Anda di halaman 1dari 8

PAPER MATA KULIAH HUKUM PERLINDUNGAN ANAK

“Studi Kasus Penganiyayaan Audrey”

Disusun Oleh:
Muhammad Eko Julianto
Patun Imansyah Sinaga
Achmad Zulfikar Luthfi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA


JAKARTA
Pendahuluan

Menurut undang-undang perlindungan anak no 11 tahun 2012, anak adalah seorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka
seharusnya seorang anak yang berhadapan dengan hukum diberikan perlindungan, bukan
hukuman, bahkan hukuman mati. Tapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa setiap
manusia itu harus diberi hukuman efek jera sesuai usia dan tingkat pidananya.

Seperti kasus ini, kasus kekerasan terhadap Audrey, siswa (SMP) Pontianak berusia 14 tahun
yang dilakukan 12 siswi SMA yang dimana pelaku juga masih dibawah umur.

Dia menjadi korban pengeroyokan 12 siswi SMA. Pemicunya, diduga persoalan percintaan.
Hari ini, keluarga korban akan melapor ke Polresta Pontianak. Lalu hukuman seperti apa
yang pantas bagi pelaku? Mengingat para pelaku tersebut masih duduk di usia sekolah.

Kasus ini pun viral di jagat sosial media, netizen banyak yang mengecam atas terjadinya
kasus tersebut bahkan sudah ada petisi yang ditandatangani oleh lebih dari dua juta
masyarakat Indonesia.

Rumusan Masalah

1. bagaimana kronologi kasus Audrey

2. bagaimana persfektif hukuman apa yang pantas bagi pelaku?


BAB II
ISI

Kronologis

Polresta Pontianak, Kalimantan Barat, pun masih menyelidiki perkara pengeroyokan seorang
siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) berinisial AD (14) yang diduga dilakukan 12 siswi
Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pontianak.

Kasat Reskrim Polresta Pontianak, Kompol Husni Ramli mengatakan, peristiwa


pengeroyokan terjadi di dua tempat berbeda, yakni di Jalan Sulawesi, Kecamatan Pontianak
Kota dan Taman Akcaya, Jalan Sutan Syahrir Pontianak, Kalimantan Barat, pada Jumat
(29/3/2019) sekira pukul 14.30 WIB.

Saat itu, AD sepulang sekolah dijemput seorang temannya untuk pergi ke rumah saudara
sepupunya. Tak lama setelah sampai di rumah saudaranya, korban bersama temannya itu
pergi keluar dengan menggunakan sepeda motor.

Namun ternyata, di tengah perjalanan korban dibuntuti pelaku dengan menggunakan dua
sepeda motor. Saat di Jalan Sulawesi, korban dicegat pelaku.

"Oleh salah seorang pelaku, wajah korban disiram dengan air. Rambutnya ditarik dari
belakang. Lalu dia terjatuh ke aspal," kata Husni, di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat,
Selasa (9/4/2019).

Setelah terbaring di jalan, pelaku lain menginjak perut korban dan membenturkan kepalanya
ke aspal. "Korban bersama temannya itu kemudian melarikan diri menuju Taman Akcaya,
yang memang berada tak jauh dari situ," ujarnya.

Korban kemudian dikejar lagi. Setelah dapat, korban dipiting, kemudan salah satu pelaku
menendang perutnya lagi. Kejadian tersebut menarik perhatian warga sekitar. Dan membuat
pelaku melarikan diri.

Husni mengatakan, hasil pemeriksaan sementara, jumlah pelaku di indikasikan berjumlah tiga
orang pelajar, bukan 12 seperti yang beredar luas di media sosial.

"Kami sudah memeriksa orangtua korban. Dan hari ini memeriksa dua saksi. Sementara
terduga pelaku masih menunggu hasil keterangan yang diperoleh dari saksi," ucapnya.
Saat penganiayaan tersebut, kepala AD diduga dibenturkan ke aspal dan trauma bagian dada.

Tak hanya itu, bahkan salah seorang pelaku ini merusak organ intim korban agar tidak
perawan lagi.

Kini ketiga pelaku utama menurut informasi sudah diamankan di kantor polisi.

Penganiayaan terhadap AU yang merupakan siswi SMPN 17 Pontianak ini terjadi Jumat
(29/3/2019)

Dari informasi yang dihimpun Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah (KPAD)
Kalimantan Barat, kejadian ini bermula dari saling komentar di media sosial.

Korban AU sejatinya bukanlah target utama dari 12 pelaku, tapi kakak sepupu korban.
"Permasalahan awal karena masalah cowok. Menurut info, kakak sepupu korban merupakan
mantan pacar pelaku penganiayaan ini," kata Wakil Ketua KPPAD Kalbar, Tumbur Manalu
kepada TribunPontianak.

Namun antara pelaku dan korban saling berbalas komentar di media sosial. Hingga akhirnya
pelaku merencanakan penjemputan dan penganiayaan terhadap korban.

"Di media sosial mereka saling komentar sehingga pelaku menjemput korban karena kesal
terhadap komentar itu," lanjutnya.

“Semua pelaku adalah teman-teman kakak sepupunya, mereka menggunakan korban ini
untuk memancing kakaknya keluar dari rumah dengan cara menjemput korban dari rumah
neneknya di Jl. Cendrawasi sekitar jam 14.00,” ujar korban dikutip TribunnewsBogor.com
dari BerkatnewsTV di RS Promedika. Saat itu, korban dijemput pelaku sore hari oleh pelaku.

Pelaku yang merupakan oknum siswi pelajar SMA ini juga meminta korban
mempertemukan dengan kakak sepupunya, yang berinisial PO, dengan alasan ada yang ingin
dibicarakan. AU yang tidak mengenal para oknum menyanggupi hal itu, hingga AU bertemu
dengan kakak sepupunya. Pada saat penjemputan korban tidak menyadari, dirinya akan
dianiaya.

"Ketika dibawa ke Jalan Sulawesi korban diinterogasi dan dianiaya secara brutal oleh pelaku
utama tiga orang dan rekannya yang membantu ada 9 orang sehingga total ada 12 orang,"
kata Wakil Ketua KPPAD, Tumbur Manalu.
Korban dianiaya di dua lokasi, selain di Jalan Sulawesi, korban juga dianiaya di Taman
Akcaya. Ada tiga aktor utama yang dilaporkan korban terkait penganiayaan tersebut. "Ada
tiga orang yang dilaporkan oleh korban," kata Kabid Humas Polda Kalbar Kombes Dony,
Selasa (9/4/2019). Sementara sembilan orang lainnya, membantu pelaku dalam melancarkan
aksinya. Saat tiba di lokasi inilah korban dianiaya. Bahkan menurut informasi yang didapat,
kepala korban dibenturkan ke aspal.

“Para pelaku membenturkan kepala korban dengan aspal, lalu menendang perut korban
berkali-kali, serta dilakukan pencekikan dan penyiraman dengan air secara bergantian," tulis
akun @syarifahmelinda

"Dan wajah korban ditendang dengan sendal gunung sehingga terjadi pendarahan dalam
hidung korban serta di kepala ada benjolan dan kebanyakan luka dalam,” tambahnya.

Selain itu, pelaku diduga melukai bagian organ intim korban hingga menimbulkan
bekas luka. Setelah mengalami penganiayaan, korban takut melaporkan ke orangtuanya.
Bahkan masalah ini baru disampaikan ke orangtuanya selang 7 hari usai penganiayaa. Korban
dan orang tuanya melaporkan penganiayaan tersebut ke Polsek Pontianak Selatan, Jumat
(5/4/2019)

Setelah dilaporkan ke pihak kepolisian, langsung dilakukan proses mediasi di Polsek


Pontianak Selatan. Sebenarnya sempat dilakukan mediasi pada tanggal 5 April kemarin,
namun tidak ada itikad baik dari para pelaku seperti meminta maaf. Bahkan viral dan beredar
pula foto-foto para pelaku yang cengengesan selama berada di kantor kepolisian.

Sementara itu, proses penyidikan terhadap ke-12 pelaku ini hingga saat ini masih
berjalan. Kanit PPA Polresta Pontianak, Iptu Inayatun Nurhasanah mengatakan, pihaknya
baru saja menerima limpahan berkas dari Polsek Selatan. "Kita baru saja mendapatkan
limpahan berkasnya," ucap Nurhasah saat diwawancarai, Senin (8/4/2019).

Lanjut disampaikannya dalam proses pengembangan kasus ini akan memanggil pihak
orangtua korban. "Kita akan panggil orangtua korban," ujarnya Inayatun. Wali Kota
Pontianak, Edi Rusdi Kamtono turun tangan atas pengeroyokan yang terjadi terhadap AU.
Edi bahkan sudah mendatangi langsung korban di rumah sakit. Menurutnya, aksi
penganiyaan yang dilakukan oknum pelajar SMA terhadap AU sangat brutal. "Gejala-gejala
yang dilakukan pelajar ini dapat memberikan dampak negatif, terutama korban," katanya.
"Kita harapkan tidak terulang lagi kasus ini, mereka juga merupakan anak dibawah umur,
maka perlu investigasi secepatnya agar dapat diambil langkah dalam memberikan
pembinaan," lanjutnya.

Wali Kota Pontianak edi Rusdi Kamtono menegaskan pelaku harus diberikan efek jera dan
edukasi, agar tidak terulang kembali kejadian semacam ini di Pontianak.

2. Perspektif Hukum

Berkaca dari kasus diatas, pengeroyokan, pemukulan, menendang dan membuat orang terluka
jelas adalah suatu tindak pidana penganiayaan yang kalau melihat dari perspektif hukum
pidana di Indonesia yang mana didasarkan pada KUHP, akan tetapi karena konteks korban
adalah anak dibawah umur maka ada asas dalam hukum yang disebut lex spesialis derogat lex
generalis, peraturan khusus mengenyampingkan peraturan umum. Dalam hal ini peraturan
khususnya adalah UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 76 C dan 76 E UU
35/2014.

Pasal 76C

Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau


turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Pasal 76E

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 76 c UU ini apabila terduga pelaku benar-benar telah melakukan kekerasan terhadap
korban dan apabila terduga pelaku benar-benar terbukti melakukan kekerasan seksual tentu
pasal 76 E ini yang melarang kekerasan seksual terhadap anak.

untuk ancaman sanksi terkait larangan terhadap pasal 76 c diatur dalam Pasal 80 ayat 1 UU
ini.

Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). dan untuk larangan terhadap pasal 76
E diatur dalam Pasal 82 ayat 1 UU ini.

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal-pasal diatas adalah pasal yang menurut perspektif penulis apabila terjadi tindak
kekerasan dan kekerasan seksual terhadap anak. Dalam hal penegakan hukum terkait kasus
Audrey ini, tentunya terkait penerapan pasal apa yang akan digunakan penegak hukum adalah
hak prerogatif penegak hukum, karena untuk penegakan hukum, penegak hukum adalah
orang yang diberikan kewenangan.

Terduga Pelaku Dibawah Umur

Akan tetapi karena terduga pelaku masih dibawah umur maka terkait penegakan hukumnya,
penegak hukum dalam hal ini tentunya mengacu pada UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Anak. Diperadilan anak dikenal yang namanya Diversi. Menurut pasal 1 angka 7
UU 11/2012.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses
di luar peradilan pidana.

Akan tetapi diversi ada kriteria yang diatur dalam pasal 7 UU 11/2012 yaitu:

1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan


negeri wajib diupayakan Diversi.
2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana
yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 8 ayat 3 UU 11/2012 Dalam Hal proses Diversi wajib memperhatikan:

a. kepentingan korban
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif
d. penghindaran pembalasan
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Harapan Keadilan

Tentu muara dari atas kejadian yang telah terjadi adalah keadilan. Perspektif keadilan setiap
orang memang berbeda-beda, akan tetapi dalam konteks ini harapan keadilan dari korban
penganiyaan adalah hal yang utama yang diharapkan bisa diwujudkan dalam penegakan
hukum, selain itu masyarakat lewat petisi yang lebih dari dua juta masyarakat juga
mengharapkan agar terwujudnya keadilan.

BAB III

KESIMPULAN

 Achmad Zulfikar Luthfi


Menurut prespektif saya pemicu dari kasus ini adalah saling menyerang secara verbal
melalui social media yang diakibatkan oleh permasalahan asmara pada remaja yang
berakhir pada kasus pengeroyokan saudari Audrey. Kedua belah pihak memiliki
ketidakstablian secara psikologis karena mereka masih dapat dikategorikan sebagai
remaja, oleh karena itu pertanggung jawaban atas tindakan korban dan pelaku harus dapat
diputuskan oleh seorang hakim yang bijaksana

 Imansyah Sinaga
Pada kasus ini penegak hukum tidak dapat memberikan hukuman penuh kepada pelaku
tindak pidana karena terdapatnya indikasi bahwasannya Audrey juga turut memancing
emosi para pelaku untuk melakukan hal sedemikian rupa melalui hal-hal yang tidak
sepatutnya dilakukan di social media

 Muhammad Eko Julianto


Pemantauan anak yang dilakukan oleh orang tua terhadap aktivitas anak di dunia nyata
maupun maya harus dilakukan dengan standar yang tinggi untuk memprevensi hal serupa
terjadi, dalam kasus ini pun secara yuridis pelaku dapat dikenakan hukuman yang berat
namun secara moral pelaku pun berhak atas pengampunan melalui hak diversi terhadap
hukuman yang akan dikenakan oleh hakim

Anda mungkin juga menyukai