Anda di halaman 1dari 113

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

HUBUNGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI DENGAN


TINGKAT PENERAPAN KONSERVASI PENGELOLAAN LAHAN
PASANG SURUT DI BENDUNGAN GAJAH MUNGKUR KECAMATAN
BATURETNO KABUPATEN WONOGIRI

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jurusan/ Program Studi Penyuluhan Dan Komunikasi Pertanian (PKP)

Disusun Oleh :
NURILLAH ’IZZATI
H 0406061

Dosen Pembimbing:
1. Ir. Marcelinus Molo, MS, PhD
2. Bekti Wahyu Utami, SP, MSi

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
2011to user

i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Dengan Tingkat Penerapan


Konservasi Pengelolaan Lahan Pasang Surut Di Bendungan Gajah Mungkur
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri

yang dipersiapkan dan disusun oleh


Nurillah ‘Izzati
H 0406061

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji


pada tanggal : 9 Maret 2011
dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji


Ketua Anggota I Anggota II

Ir. Marcelinus Molo, MS., PhD Bekti Wahyu Utami, SP, MSi Dr. Ir. Suwarto, MSi
NIP. 19490320 197611 001 NIP. 19780715 200112 2 001 NIP. 19561119 198303 1 002

Surakarta, Maret 2011


Mengetahui
Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret

Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS


NIP. 19551217 198203 1 003

commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
Rahmat, Hidayah dan Nikmat kesehatan yang diberikan sehingga penulis dapat
melaksanakan dan menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul ”Hubungan
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Dengan Tingkat Penerapan Konservasi
Pengelolaan Lahan Pasang Surut Di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan
Baturetno Kabupaten Wonogiri”.
Terselesaikannya penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS, selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Dr. Ir. Kusnandar, MSi selaku Ketua Jurusan Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Ir. Marcelinus Molo, MS, PhD, selaku pembimbing utama yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skipsi ini.
4. Ibu Bekti Wahyu Utami, SP, MSi selaku pembimbing pendamping sekaligus
Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis
dalam penyusunan skripsi dan studi.
5. Bapak Dr. Ir. Suwarto, MSi selaku Dosen peguji tamu yang telah
mengarahkan penulis dalam penyusunan skipsi ini.
6. Bapak Ketut dan seluruh karyawan Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan
Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta atas kemudahan dalam menyelesaikan administrasi penulisan
skripsi.
7. Kepala Bapeda Kabupaten Wonogiri atas pemberian ijin penelitian.
8. Kepala Kesbangpolinmas Kabupaten Wonogiri atas pemberian ijin penelitian.
9. Kepala dan Karyawan PERUM Jasa Tirta 1 dan petani di kecamatan yang
telah memberikan bantuannya.
commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10. Kedua orang tua penulis, Bapak Yatno Karsi dan Ibu Ma’rifatun, serta adikku
Istafad Sani terima kasih atas dukungan, doa, dan segalanya yang terus
mengalir. Mohon maaf jika belum bisa memberikan yang terbaik.
11. Sahabat-sahabat penulis anak kost Rilda (Dian, Herning, Poyan), Genk Pelok
(Datik, Yayuk, Santi), Yunita, Ifat, Asih, Ule, Febri atas segala hal yang telah
diberikan, bantuan, perhatian dan dukungan doa kepada penulis.
12. Teman-teman PKP 2006 yang telah bersedia membantu dan memberi
dukungan kepada penulis.
13. Kakak-kakak tingkat PKP 2004, 2005 dan adik tingkat PKP 2007.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan skirsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan baru bagi yang memerlukan.

Surakarta, Maret 2011

Penulis

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
RINGKASAN ................................................................................................... x
SUMMARY ..................................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 6
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 7
B. Kerangka Berfikir ................................................................................. 34
C. Hipotesis Penelitian ............................................................................... 36
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ................................... 36
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian ...................................................................... 44
B. Lokasi Penelitian .................................................................................. 44
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel ............................................. 45
D. Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 46
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 47
F. Metode Analisis Data ........................................................................... 47
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
commit to user
A. Keadaan Geografis ............................................................................... 50

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Keadaan Penduduk .............................................................................. 50


C. Keadaan Pertanian ............................................................................... 55
D. Keadaan Sarana Perekonomian ........................................................... 57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identitas Responden ............................................................................. 59
B. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Dan Tingkat Penerapan
Konservasi Lahan Pasang Surut ........................................................... 62
C. Hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Dengan
Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut ............................ 81
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 102
B. Saran ................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pengukuran Karakteristik Sosial Ekonomi ........................................ 38


Tabel 2.2 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut
Tanaman Padi .................................................................................... 39
Tabel 2.3 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut
Tanaman Kedelai ............................................................................... 40
Tabel 2.4 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut
Tanaman Jagung ................................................................................ 41
Tabel 2.5 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut
Tanaman Cabai .................................................................................. 42
Tabel 2.6 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut
TanamanKacang Panjang .................................................................. 43
Tabel 3.1 Daerah yang Memiliki Pasang Surut di Kabupaten Wonogiri ........... 45
Tabel 3.2 Jumlah Petani Tiap Desa di Kecamatan Baturetno ........................... 45
Tabel 3.3 Data yang Akan Diteliti ...................................................................... 46
Tabel 4.1 Penduduk Kecamatan Baturetno Menurut Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin Tahun 2009 .......................................................................... 52
Tabel 4.2 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan
Baturetno Tahun 2009 ....................................................................... 54
Tabel 4.3 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan
Baturetno Tahun 2009 ....................................................................... 54
Tabel 4.4 Luas penggunaan Pertanian di Kecamatan Baturetno Tahun 2008 ... 55
Tabel 4.5 Jumlah Komoditas Pertanian di Kecamatan Baturetno Tahun 2008 . 56
Tabel 4.6 Jumlah Hewan Ternak di Kecamatan Baturetno Tahun 2008 ........... 57
Tabel 4.7 Sarana Perekonomian di Kecamatan Baturetno Tahun 2008 ............ 58
Tabel 5.1 Distribusi Responden berdasarkan Identitas Responden ................... 59
Tabel 5.2 Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Psang Surut ............................ 63
Tabel 5.3 Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut Tiap
Komoditas .......................................................................................... 79
Tabel 5.4 Hubungan Antara Karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi lahan pasang surut .......................................... 82
Tabel 5.5 Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi lahan pasang surut untuk tiap variabel ........... 87
commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pasang Surut .................................................................................... 18


Gambar 2.2 Skema Kerangka Berpikir ............................................................... 35
Gambar 5.1 Pola Tanam Di Lahan Pasang Surut................................................ 78

commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kuesioner Penelitian.................................................................... 109


Lampiran 2 : Identitas Responden .................................................................... 121
Lampiran 3 : Tabulasi Karakteristik sosial ekonomi ........................................ 123
Lampiran 4 : Tabulasi Tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut tiap
komoditas ..................................................................................... 125
Lampiran 5 : Tabulasi Tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut ....... 140
Lampiran 6 : Tabulasi tenaga kerja .................................................................... 148
Lampiran 7 : Tabulasi biaya produksi................................................................ 170
Lampiran 8 : Tabulasi Pendapatan ...................................................................... 196
Lampiran 9 : Tabulasi Pola tanam ..................................................................... 198
Lampiran 10 : Means ........................................................................................ 202
Lampiran 11 : Frequencies ................................................................................. 209
Lampiran 12 : Nonparametric Correlations ....................................................... 214
Lampiran 13 : T Hitung ....................................................................................... 220
Lampiran 14 : Foto-Foto Penelitian ................................................................... 221
Lampiran 15 : Surat-Surat Perijinan Penelitian .................................................. 225
Lampiran 16 : Peta Daerah Penelitian ................................................................ 226

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang berkembang dengan struktur
perekonomian yang bercorak agraris. Hal ini ditandai oleh sebagian penduduk
Indonesia yang bermata pencaharian di bidang pertanian. Baik sebagai petani
yang memiliki tanah sendiri (petani pemilik) maupun yang tidak memiliki
tanah sendiri (buruh tani). Dengan demikian untuk masa sekarang maupun
dimasa-masa yang akan datang tanah merupakan sumber daya yang utama
atau primer bagi seluruh penduduk.
Perkembangan penduduk yang diiringi dengan pembangunan yang
pesat diberbagai sektor mengakibatkan kebutuhan lahan untuk berbagai
keperluan pembangunan dan kepentingan lain juga meningkat. Hal tersebut
menimbulkan tekanan terhadap keberadaan kawasan hutan dan pertanian.
Pembangunan wilayah khususnya pembangunan pertanian merupakan
kegiatan pokok dalam usaha melaksanakan kebijakan memberikan
kesempatan kerja agar dapat meningkatkan pendapatan petani di daerah
pedesaan. Bagi masyarakat pedesaan, lahan pertanian merupakan modal utama
dalam memenuhi kehidupan keluarganya. Untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas hasil produksinya, para petani pada umumnya melakukan usaha
pengembangan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Salah satu pengembangan intensifikasi pertanian yaitu pengairan sebab
lahan pertanian membutuhkan pengairan bahkan semua makhluk hidup butuh
air, seperti manusia yang membutuhkan air bersih untuk minum, mandi,
masak dan lain-lain. Air merupakan material yang membuat kehidupan terjadi
di bumi. Untuk tanaman kebutuhan air juga mutlak. Pada kondisi tidak ada air,
terutama pada musim kemarau tanaman akan segera mati. Sehingga dalam
pertanian disebutkan bahwa kekeringan merupakan bencana terparah
dibandingkan bencana lainnya. Misalkan bila kebanjiran tanaman masih bisa
hidup, kekurangan pupuk masih bisa diupayakan. Selain itu bendungan juga
commit
dapat menampung air pada saat to user
musim hujan sehingga tidak terjadi banjir.

1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

Untuk itu pembangunan sarana irigasi yang baik perlu dilakukan. Misalnya
dengan dibangun bendungan contohnya seperti Bendungan Gajah Mungkur.
Bendungan Gajah Mungkur didesain untuk 100 tahun terhitung sejak
beroperasi tahun 1982 sampai tahun 2082. Namun pada saat ini Bendungan
Gajah Mungkur tersebut telah mengalami sedimentasi atau pendangkalan
akibat penuh dengan wallet (lumpur tanah) yang berasal dari erosi sungai-
sungai yang bermuara ke bendungan yang meliputi Sungai Keduang, Wiroko,
Solo Hulu, Alang dan Sungai Wuryantoro. Hal itu dikarenakan air hujan dari
tangkapan air (cathment area) yang kondisi lahannya sudah gundul akan
membawa material tanah masuk ke dalam bendungan tanpa bisa dicegah. Agar
hal tersebut tidak terjadi maka perlu dilakukan usaha konservasi di areal
sekitar bendungan, yaitu lahan green belt dan lahan pasang surut. Sebab
green belt dan lahan pasang surut merupakan areal yang sangat strategis
sebagai penyangga keberadaan bendungan, sekaligus sebagai pemisah antara
areal bendungan dengan lahan non bendungan (Jasa Tirta, 2009).
Pembangunan green belt dilakukan dengan cara menanam tanaman
tahunan di sekitar bendungan, yang berbentuk seperti sabuk. Hal itulah yang
membuat green belt sering disebut dengan sabuk hijau. Sabuk hijau (green
belt) Bendungan Gajah Mungkur berada di sekitar bendungan dengan luas
1.653 ha yang tersebar di tujuh wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan
Wonogiri kota, Nguntoronadi, Ngadirojo, Baturetno, Giriwoyo, Wuryantoro
dan Eromoko. Sedangkan luas lahan pasang surut adalah 1177 ha, yang
berbatasan langsung dengan green belt dan bendungan, karena keberadaannya
tersebut maka lahan pasang surut sangat menentukan cepat atau tidaknya
sedimentasi yang nantinya akan mempengaruhi umur Bendungan Gajah
Mungkur. Dalam pengelolaan lahan pasang surut terdapat aturan-aturan yang
harus dipatuhi oleh petani, petani yang menggarap lahan pasang surut
merupakan petani mitra dari Perum Jasa Tirta. Perum Jasa Tirta adalah
Perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang ditunjuk untuk
mengelola Bendungan Gajah Mungkur (jasa Tirta, 2005).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

Pengelolaan lahan pasang surut sangat dipengaruhi oleh petani mitra


yang mengelolanya. Oleh sebab itu penelitian mengenai hubungan
karakteristik sosial ekonomi petani terhadap tingkat penerapan pengelolaan
Lahan Pasang Surut di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri perlu
dilakukan. Sebab tindakan petani untuk mau mematuhi atau melanggar aturan-
aturan konservasi pengelolaan lahan pasang surut ditentukan oleh karakteristik
petani. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Baturetno karena pada tahun
2002 menjadi daerah yang memiliki Lahan Pasang Surut paling luas meskipun
pada tahun 2010 menjadi daerah terluas kedua. Namun hal tersebut
disebabkan karena terdapat dua desa yang tadinya masuk ke Kecamatan
Baturetno sekarang terbagi ke Kecamatan Nguntoronadi. Disamping itu,
dipilihnya Kecamatan Baturetno karena menjadi daerah percontohan
konservasi Lahan Pasang Surut di Wonogiri.

B. Perumusan Masalah
Bendungan Serbaguna Wonogiri yang terkenal dengan Bendungan
Gajah Mungkur diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, pada saat itu
yang menjabat H. Suharto, tepatnya pada tanggal 17 November 1978.
Pembangunan Bendungan Gajah Mungkur mengorbankan 51 Desa di 7
kecamatan yang terdiri dari 12.525 kepala keluarga (KK) yang secara sukarela
melakukan bedhol desa dengan bertransmigrasi ke berbagai daerah, daerah
tersebut seperti di Sumatera Barat (Sitiung), Jambi (Jujuhan, Rimbo Bujang,
Alai ilir, Pemenang), Bengkulu (Air Lais, Sebelat, Ketahun, Ipuh), Sumatera
Selatan (Panggang, Baturaja). Pengerjaan pembangunan Bendungan Gajah
Mungkur dilakukan secara swakelola dengan bantuan konsultan dari Nippon
Koei Co, Ltd Jepang. Hal itulah yang menyebabkan pembangunan Bendungan
Gajah Mungkur lama sehingga Bendungan Gajah Mungkur baru mulai
beroperasi pada tahun 1982.
Fungsi utama Bendungan selain untuk mengendalikan banjir ( flood
control) juga untuk irigasi, pemasok air baku untuk Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) dan air industri, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA),
commit to user
pariwisata, perikanan darat. Luas tangkapan air (Cachtment area) Bendungan
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

Gajah Mungkur adalah 1.350 Km2 terdiri atas 90 km2 genamgan bendungan
dan 1260 km2 DTA (Daerah Tangkapan Air). Akibat pendangkalan
bendungan yang disebabkan oleh sedimentasi, Bendungan Gajah Mungkur
yang tadinya mampu mengendalikan banjir dari 4000 meter kubik (m3) per
detik sekarang hanya dapat mengendalikan banjir 400 meter kubik (m3) per
detik. Padahal Bendungan Gajah Mungkur digunakan untuk mengamankan
seluruh daerah di sekitar aliran Bengawan Solo mulai Wonogiri, Ngawi
sampai ke wilayah hilir di Gresik Jawa Timur dari bencana banjir. Terjadinya
banjir pada awal tahun 2008 di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo
merupakan salah satu akibat dari Bendungan Gajah Mungkur yang telah
mengalami pendangkalan karena tingginya laju sedimentasi (Jasa Tirta, 2009).
Sejak beroperasi 27 tahun yang lalu, Bendungan Gajah Mungkur
banyak memberi manfaat dalam pencegahan banjir dan yang lebih utama
mampu mengairi lahan pertanian seluas lebih dari 23.600 ha di kabupaten
Sukoharjo, Klaten, Karanganyar, Sragen. Selain manfaat pengendali banjir
dan kebutuhan irigasi, Bendungan Gajah Mungkur mampu memproduksi
listrik sebesar 24 MW dari 2 mesin pembangkit namun, karena pendangkalan
Bendungan pada musim kemarau kini Bendungan Gajah Mungkur hanya
mampu menghasilkan listrik sebesar 12 MW.
Salah satu hal yang penting di dalam pengelolaan Bendungan
Serbaguna Wonogiri adalah pemeliharaan daerah lindung Bendungan yang
terdiri dari daerah sabuk hijau (green belt) dan lahan pasang surut. Sabuk hijau
(green belt) Bendungan Gajah Mungkur seluas 1.653 ha, sedangkan luas lahan
pasang surut Bendungan Gajah Mungkur saat pertama dibangun adalah 804 ha
sekarang 1177 ha. Penambahan luas lahan pasang surut disebabkan oleh
sedimentasi yang berasal dari tangkapan air yang kondisi lahannya sudah
gundul akan membawa material masuk kedalam bendungan tanpa bisa
dicegah. Lahan pasang surut Bendungan Gajah Mungkur terdiri dari dua
macam yaitu lahan pasang surut tetap dan lahan pasang surut tidak tetap.
Lahan pasang surut tetap yaitu lahan yang pada musim hujan kemungkinan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

banyak tergenang air, sedangkan lahan pasang surut tidak tetap yaitu lahan
yang jarang tergenang air, walaupun saat musim hujan.
Sejak dibangun Bendungan Gajah Mungkur, lahan pasang surut tidak
tetap sudah digunakan masyarakat Kabupaten Wonogiri sebagai lahan
pertanian. Hingga kini masyarakat yang mengolah lahan pasang surut
merupakan petani yang tinggal di sekitar bendungan dan sebagian besar
adalah masyarakat yang dahulunya tinggal di daerah yang sekarang menjadi
Bendungan Gajah Mungkur namun masyarakat tersebut tidak ikut
transmigrasi. Untuk itu lahan pasang surut mempunyai kontribusi yang besar
terhadap rumah tangga petani. Dilihat dari segi fungsinya sebagai daerah
lindung maka lahan pasang surut perlu dilindungi, agar tidak terjadi
eksploitasi lahan pertanian yang nantinya dapat menyebabkan atau
mempercepat sedimentasi Bendungan Gajah Mungkur. Upaya yang dilakukan
pemerintah yaitu dengan mengadakan konservasi dengan bentuk membuat
aturan-aturan dalam pemanfaatan lahan pasang surut. Aturan tersebut antara
lain seperti pengelolaan lahan, sewa lahan dan lain-lain. Aturan konservasi
pemanfaatan lahan sebenarnya sudah dibuat sejak tahun 1984, namun baru
dilaksankan pada tahun 2009, sebab surat keputusan dari Bupati Wonogiri
baru turun pada tahun 2009. Untuk itu petani yang menggarap lahan pasang
surut harus menyewa lahan dari Pemerintah dan mematuhi aturan pengelolaan
lahan pasang surut. Pemerintah yang berwenang disini adalah Perum Jasa
Tirta. Sehingga petani penggarap daerah pasang surut dapat disebut dengan
Petani Mitra Jasa Tirta.
Keberhasilan Pengelolaan lahan pasang surut sangat dipengaruhi oleh
karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang mengolahnya. Oleh karena itu
perlu diteliti hubungan karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam


penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi petani lahan pasang surut di
Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri?
2. Sejauh mana tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut
di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri?
3. Bagaimana hubungan karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservsi pengelolaan lahan pasang surut di Bendungan Gajah
Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji karakteristik sosial ekonomi petani lahan pasang surut di
Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.
2. Mengkaji tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut di
Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.
3. Mengkaji hubungan karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut di Bendungan Gajah
Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.

D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan
informasi dan landasan untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan
konservasi lahan pasang surut.
2. Bagi peneliti, agar dapat memahami lebih jauh tentang hubungan
karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan konservasi
pengelolaan lahan pasang surut di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan
Baturetno Kabupaten Wonogiri.
3. Bagi peneliti lain, dapat dipergunakan sebagai referensi dalam penelitian
sejenis selanjutnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Pembangunan Pertanian
Tujuan penting yang menjadi sasaran kegiatan pembangunan
pertanian adalah meningkatkan taraf hidup petani, khususnya petani kecil
melalui peningkatan pendapatan dan kegiatan usaha pertaniannya. Ke dua
adalah meningkatkan kemampuan petani serta daya saing produk dan jasa
pertanian nasional dalam menghadapi persaingan pasar bebas. Ke tiga
adalah mencegah degradasi lingkungan akibat kegiatan pertanian dan
kegiatan sektor lain sehingga dapat menjaga keseimbangan dan
keberlanjutan ekologis. Ke empat adalah menjamin ketahanan pangan
nasional yang dinamis secara proporsional, bermutu, dan aman. Tujuan
pembangunan pertanian yang ke lima yaitu memanfaatkan sumberdaya
alam secara rasional guna menjamin kegiatan pembangunan pertanian
secara berkelanjutan (Mangunwidjaja dan Illah, 2005).
Pembangunan pertanian berkelanjutan menurut Apriyantono (2006),
diartikan sebagai upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha pertanian
melalui penerapan teknologi pertanian dan kelembagaan secara
berkesinambungan bagi generasi kini dan masa depan. Kesinambungan
usaha dapat diartikan bahwa usahatani tersebut dapat memberikan
kontribusi ekonomi bagi petani dan keluarganya, sehingga pemilihan jenis
komoditas dan usaha harus yang bernilai ekonomis, pasar tersedia dan
produksi kontinyu.
Banyak di negara berkembang kebijakan tata guna lahan untuk lahan
hutan dikemukakan berdasarkan peran hutan yang dianggap dapat
mempengaruhi ciri-ciri tertentu hidrologi, perlindungan erosi tanah, dan
penekanan sampai sekecil mungkin endapan suatu DAS (Daerah Aliran
Sungai). Sebagai contoh adalah penebangan hutan hujan tropika akan
mengakibatkan terbentuknya gurun. Penghutanan kembali atau penanaman
commit
daerah terbuka dengan hutan, to userlahan rumput yang ekstensif, akan
termasuk

7
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

menyebabkan naiknya muka air sumur, mengalirnya kembali mata air, dan
meningkatnya debit rendah di sungai-sungai (Hamilton, 1997).
2. Bendungan
Pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS (Daerah Aliran
Sungai) secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu
pemanfaatan sumberdaya tanah dalam hal ini lahan dan pemanfaatan
sumberdaya air. Secara garis besar ada 3 sasaran umum yang ingin dicapai
dalam pengelolaan DAS (Dareah Aliran Sungai) (Asdak, 2002) dalam
Lukman dan Eko Susanto (2008), (1) rehabilitasi lahan terlantar atau lahan
yang masih produktif tetapi digarap dengan cara yang tidak mengindahkan
prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. (2) perlindungan terhadap lahan-
lahan yang umumnya sensitif terhadap terjadinya erosi dan tanah longsor
atau lahan-lahan yang diperkirakan memerlukan tindakan rehabilitasi di
kemudian hari. (3) peningkatan dan pengembangan sumberdaya air.
Ketiga sasaran tersebut hanyalah alat yang digunakan untuk meningkatkan
stabilitas tanah, meningkatkan pendapatan petani, dan meningkatkan
kesadaran masyarakat terhadap kegiatan konservasi.
Haeruman (1994) dalam Sunaryo (2002), Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS) merupakan upaya terpadu yang melibatkan beberapa
disiplin ilmu yang bekerja secara multidisipliner dalam pengendalian dan
pengembangan sumberdaya dengan memasukkan manjemen dan teknologi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan DAS (Daerah
Aliran Sungai) pada dasarnya meliputi pengelolaan sumberdaya air,
pengelolaan sumberdaya lahan, pengelolaan sumberdaya vegetasi/hutan,
dan pembinaan sumberdaya manusia. Pengeloaan DAS (Daerah Aliran
Sungai) merupakan rangkaian aktivitas manusia dalam pemanfaatan
sumberdaya alam DAS (Daerah Aliran Sungai) untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian manfaat DAS
(Daerah Aliran Sungai). Dalam memanfaatkan sumberdaya alam berupa
tanah, air dan vegetasi serta interaksi antar faktor sangat dipengaruhi oleh
commit to user
kegiatan manusia itu sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

Goeswono (1978) dalam Mardikanto (1994) mengatakan air sebagai


salah satu sumber kehidupan manusia sehari-hari ternyata telah
dimanfaatkan untuk bebagai kepentingan, dari yang langsung untuk
keperluan hidup manusia yaitu kebutuhan domestik, industri, pertanian,
dan transportasi. Ditinjau dari sudut kepentingannya bagi usaha pertanian,
air terbukti memegang peranan yang sangat penting sejak proses
pertumbuhan dan perkembangannya. Baik merupakan bagian sel tumbuh
tanaman dan hewan sebagai pelarut sela dan memberikan medium untuk
pengangkutan hara di dalam tanah untuk berlangsungnya proses
photosintesis maupun sebagai salah satu hara yang dibutuhkan guna
pembentukan senyawa-senyawa baru seperti protein dan karbohidrat.
Maka pengelolaan air sangat penting seperti dibangunnya bendungan
untuk sarana irigasi (Hadi, 1979 dalam Mardikanto, 1994).
Pengertian Bendungan menurut Kodoatie (2005), Bendungan adalah
bangunan penyimpanan air. Bendungan sebagai bangunan utama yang
memiliki bangunan penunjang lainnya seperti bangunan pelimpah
(spillway) yang berfungsi untuk melimpahkan kelebihan air dalam
bendungan. Bangunan pengambilan (intake) berfungsi untuk pengambilan
air dari bendungan. Pipa pesat berfungsi sebagai pembangkit listrik tenaga
air dan lain-lain. bendungan dari segi fungsinya juga ada bermacam-
macam misalnya bendungan tipe urugan, Bendungan betin dan lain-lain
nama lain dari bendungan antara lain DAM, eservoir. Sistem irigasi adalah
sistem usaha penyediaan dan pengaturan air untuk pertanian. Sumber
irigasi bisa dari air permukaan atau dari air tanah. Sumber irigasi air
permukaan antara lain sungai yang dibendung, bendungan, danau, dan
rawa. Sumber irigasi air tanah dapat diambil dari control aquater atau
unconfined aquifer.
Donie (1996), Usaha pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah untuk mendorong masyarakat agar melakukan kegiatan
konservasi tanah dan air sudah dilakukan sejak lama, baik melalui proyek-
proyek fisik, percontohan,commit to user gerakan-gerakan studi banding
penyuluhan,
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

maupun melalui proses pendidikan informal seperti kursus tani. Aparat


desa, kelompok tani dan kelompok PKK. Usaha yang paling besar yang
pernah dilakukan adalah proyek penghijauan bantuan bank dunia. Yang
meliputi kegiatan fisik sampai kegiatan pembinaan sumberdaya
manusianya serta meliputi seluruh daerah tangkapan bendungan.
Pengendapan akhir atau sedimentasi terjadi pada kaki bukit yang
relative datar, sungai dan bendungan. Pada daerah aliran sungai partikel
dan unsur hara yang larut dalam aliran permukaan akan mengalir ke sungai
dan bendungan sehingga terjadi pendangkalan pada tempat tersebut.
Keadaan ini akan mengakibatkan daya tampung sungai dan bendungan
menjadi menurun sehingga timbul bahaya banjir dan penyuburan air secara
berlebihan atau etrofikasi (Soemarwoto, 1997).
3. Adopsi inovasi
a. Pengertian adopsi inovasi
Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide
baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi
merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi
sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya
kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe
pengambilan keputusan yang khas (Suprapto dan Fahrianoor, 2004).
Ibrahim et al (2003) menyebutkan adopsi adalah proses yang
terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai
orang tersebut mengadopsinya. Dalam proses adopsi, petani sasaran
mengambil keputusan setelah melalui beberapa tahapan. Beberapa
tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat adopsi sangat dipengaruhi tipe
keputusan untuk menerima atau menolak inovasi. Dengan melihat tipe
keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap
yaitu: tahap mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion),
pengambilan keputusan (decision) dan konfirmasi (confirmation).
Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai
commitsesuatu
penerapan atau penggunaan to user ide, alat-alat atau teknologi baru
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan).


Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa
tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang
dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya.
Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai
gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Tidak menjadi soal, sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia,
apakah ide itu betul-betul baru atau tidak jika diukur dengan selang
waktu sejak dipergunakan atau diketemukannya pertama kali.
Kebaruan inovasi itu diukur secara subyektif, menurut pandangan
individu yang menangkapnya. Baru dalam ide yang inovatif tidak
berarti harus baru sama sekali.
Segala sesuatu ide, cara-cara baru, ataupun obyek yang
dioperasikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru adalah inovasi.
Baru di sini tidaklah semata-mata dalam ukuran waktu sejak
ditemukannya atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Yang
penting adalah kebaruan dalam persepsi, atau kebaruan subyektif hal
yang dimaksud bagi seseorang, yang menetukan reaksinya terhadap
inovasi tersebut. Dengan kata lain, jika sesuatu dipandang baru bagi
seseorang, maka hal itu merupakan inovasi (Nasution, 2004).
b. Proses Adopsi Inovasi
Samsudin (1982) dan Mosher (1978) menyebutkan, adopsi
adalah suatu proses yang dimulai dari keluarnya ide-ide dari satu
pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai diterimanya ide
tersebut oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Seseorang menerima
suatu hal atau ide baru selalu melalui tahapan-tahapan. Tahapan ini
dikenal sebagai tahap proses adopsi, secara bertahap mulai dari:
1) Tahap kesadaran. Petani mulai sadar tentang adanya sesuatu yang
baru, mulai terbuka akan perkembangan dunia luarnya, sadar apa
yang sudah ada dan apa yang belum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

2) Tahap minat. Tahap ini ditandai oleh adanya kegiatan mencari


keterangan-keterangan tentang hal-hal yang baru diketahuinya.
3) Tahap penilaian. Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh,
mulai timbul rasa menimbang-nimbang untuk kemungkinan
melaksanakannya sendiri.
4) Tahap mencoba. Jika keterangan sudah lengkap, minat untuk
meniru besar, dan jika ternyata hasil penilaiannya positif, maka
dimulai usaha mencoba hal baru yang sudah diketahuinya.
5) Tahap adopsi. Petani sudah mulai mempraktekkan hal-hal baru
dengan keyakinan akan berhasil.
Tahapan diatas kemudian diperbaiki oleh Rogers dan
Shoemaker (1971) dalam Hanafi (1986), proses adopsi inovasi terdiri
dari empat tahap, yaitu:
1) Pengenalan, dimana seseorang mengetahui adanya inovasi dan
memperoleh beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu
berfungsi. Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) menambahkan bahwa
pada tahap ini, komunikan menerima inovasi dari mendengar dari
teman, beberapa media massa, atau dari agen pembaru (penyuluh)
yang menumbuhkan minatnya untuk lebih mengetahui hal ikhwal
inovasi tersebut.
2) Persuasi, dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak
berkenan terhadap inovasi.
3) Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yanga
membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak
inovasi.
4) Konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat bagi keputusan
inovasi yang telah dibuatnya. Pada tahap ini mungkin terjadi
seseorang merubah keputusannya jika ia memperoleh informasi
yang bertentangan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

4. Konservasi
Konservasi lahan menurut Bumiar (2008) adalah usaha untuk
mengoptimalisasikan pemanfaatan lahan-lahan yang kritis dan mengalami
kesulitan dalam mengadopsi air dan hara dari dalam tanah. Dengan
melakukan konservasi lahan maka keuntungan yang diperoleh adalah
dapat mengurangi terjadinya aliran permukaan mengurangi resiko
kekeringan mencegah terjadinya erosi angin serta mencegah dari pukulan
hujan secara langsung, menciptakan kesuburan tanah serta mengurangi
terjadinya pencemaran tanah dan air.
Sedangkan menurut Arsyad (1989), konservasi tanah diartikan
sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai
dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sifat-sifat
fisik, kimia tanah dan topografi lapangan menentukan kemampuan tanah
untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang dibutuhkan. Sarief (1986),
menyebutkan konservasi tanah dan air merupakan usaha-usaha untuk
menjaga dan meningkatkan produktivitas tanah, kualitas dan kuantitas air.
Menurut Ilyas dan Ginting (1990), tanpa memperhatikan tindakan
konservasi tanah dan air akan terjadi bahaya erosi yang akan menunjukan
kesuburan tanah.
Suripin (2004) Konservasi air tidak dapat lepas dari konservasi
tanah, sehingga keduanya sering disebut bersamaan menjadi konservasi
tanah dan air. Hal ini mengandung makna, bahwa kegiatan konservasi
tanah akan berpengaruh tidak hanya pada perbaikan kondisi lahan tetapi
juga pada kondisi sumberdaya airnya. Demikian juga sebaliknya.
Langkah-langkah usaha konservasi tanah dan air secara menyeluruh dan
komprehensif. Tujuan akhir dari konservasi tanah adalah untuk
mendapatkan tingkat keberlanjutan produksi lahan dengan menjaga laju
kehilangan tanah tetap dibawah amabang batas yang diperkenankan, yang
secara teoritis dapat dikatakan bahwa laju erosi harus lebih kecil atau sama
dengan laju pembentukancommittanah.toKarena
user erosi merupakan proses alam
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

yang tidak dapat dihindari sama sekali atau nol erosi. Khususnya untuk
lahan pertanian, maka yang dapat dilakukan adalah mengurangi laju erosi
sampai batas yang dapat diterima (maximum acceptable limit).
Kohnke dan Bertrand (1959), Tujuan-tujuan spesifik yang akan
dicapai dalam upaya konservasi lahan antara lain yaitu: (1) menjaga
supaya erosi berada pada tingkat yang rendah sehingga terdapat
keseimbangan antara produksi pembentukan tanah baru secara alami dan
perlakuan budidaya dengan tanah yang hilang karena erosi; (2)
mengupayakan ketersediaan unsur hara pada jumlah tertentu, mencegah
hilangnya unsur hara secara tidak perlu, serta mengganti unsur hara yang
hilang; (3) menjaga bahan organik pada lapisan oksidasi dengan baik; (4)
untuk menjaga atau memperbaiki tanah-tanah yang miring; (5)
mengoptimalkan penggunaan air tanah.
Secara garis besar metode konservasi tanah dapat dikelompokkan
menjadi tiga golongan utama yaitu (1) secara agronomis atau biologi
adalah memanfaatkan vegetasi untuk membantu menurunkan erosi lahan
dan meningkatkan pengisian air tanah. (2) secara mekanis atau fisik adalah
konservasi yang berkonsentrasi pada penyiapan tanah supaya dapat
ditumbuhi vegetasi yang lebat, dan secara memanipulasi topografi mikro
untuk mengendalikan aliran air dan angin. Pemutusan air berlangsung
lebih lama sehingga kesempatan air untuk meresap ke dalam tanah lebih
panjang. Sedangkan (3) Secara kimia adalah usaha konservasi yang
ditujukan untuk memperbaiki struktur tanah sehingga lebih tahan terhadap
erosi (Kodoatie, 2005).
5. Lahan Pasang Surut
Bendungan memiliki bagian – bagian yang tidak terpisahkan.
Menurut Su Ritohardoyo (1999) dalam Daryanto (2007), wilayah
bendungan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :wilayah perairan
bendungan, wilayah pasang surut bendungan dan wilayah sempadan
bendungan. Wilayah perairan bendungan ialah wilayah yang senantiasa
commit
tergenang oleh air sepanjang tahuntobaik
usermusim penghujan maupun musim
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

kemarau. Wilayah pasang surut bendungan adalah wilayah yang senatiasa


mengalami perubahan wujud lahan dimana pada saat musim penghujan
saat air bendungan mengalami pasang maka daerah tersebut akan terendam
air sedangkan pada saat musim kemarau saat air bendungan mengalami
surut maka daerah tersebut akan berubah menjadi lahan tanah yang
terbuka.
Menurut Direktorat jendral pengelolaan lahan dan air (2010),
Sawah Pasang Surut adalah Sawah yang pengairannya tergantung pada air
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Sedangkan sawah
reklamasi rawa pasang surut adalah sawah yang sumber air utamanya
berasal dari reklamasi rawa pasang surut.
Menurut Saragih (1989), Pasang surut ialah gejala gerak berkala
dari permukaan air dalam arah vertikal yang disebabkan pengaruh gaya
tarik benda-benda langit terutama gaya tarik bulan. Gerakan vertikal dari
air tersebut menyebabkan perbedaan tinggi air dari satu tempat ke tempat
lain, sehingga timbul gerak arus. Sedangkan menurut Noorsyamsi dan
Hidayat, 1970 dalam Saragih (1989) daerah pasang surut dibedakan
menjadi 4 tipe yaitu: (1) tipe A; daerah pasang surut yang langsung
dipengaruhi air pasang. Daerah ini terluapi baik pada waktu pasang besar
(pasang tunggal) maupun pasang kecil (pasang ganda). (2) tipe B; daerah
pasang surut yang langsung dipengaruhi air pasang, tetapi terluapi hanya
pada waktu pasang besar. (3) tipe C; daerah pasang surut yang tidak
terluapi baik pada waktu pasang besar maupun pasang kecil. Pengaruh air
pasang hanya merupakan rembesan dalam tanah, genangan air lebih
banyak dipengaruhi oleh air hujan. (4) tipe D; dareah pasang surut yang
tidak terluapi baik pasang besar maupun pasang kecil dan tidak terdapat
rembesan tanah. Daerah ini sering disebut dengan lahan kering pasang
surut.
Vegetasi yang berada di pinggiran bendungan yang berbentuk
memanjang menyerupai sabuk hijau, sehingga kumpulan vegetasi ini
commit
disebut dengan sabuk hijau (greentobelt).
user Menurut Margono (1996), sabuk
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

hijau (green belt) adalah daerah penyangga (buffer zone) yang dibentuk
dengan cara membatasi kegiatan pembangunan terhadap daerah lahan
tertentu. Kelestarian kawasan sabuk hijau akan berpengaruh juga terhadap
kelestarian fungsi bendungan.
Anonimb (2010), sabuk hijau atau green belt adalah penetapan
kebijakan dan penggunaan tanah yang digunakan dalam perencanaan
penggunaan lahan untuk mempertahankan daerah yang sebagian besar
belum berkembang, liar, atau pertanian lahan sekitar daerah perkotaan atau
tetangga. Konsep serupa hijau atau wedges hijau yang memiliki karakter
yang linier dan dapat berjalan melalui daerah perkotaan bukannya di
sekitarnya. Sebuah sabuk hijau pada dasarnya adalah garis tak kasat mata
yang terjadi di sekitar area tertentu, menghentikan orang dari bangunan
ada sehingga beberapa dari tanah liar dan pertanian dapat disimpan.

6. Konservasi Pengelolaan Lahan Pasang Surut


Kawasan sabuk hijau dan lahan pasang surut dikelola oleh
Perusahaan Umum Jasa Tirta I (PJT-I) didirikan melalui peraturan
Pemerintah (PP) No.5 Tahun 1990 yang diperbaharui melalui PP No. 93
Tahun 1999. Wilayah kerja perusahaan Jasa Tirta mencakup Daerah
Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas dan melalui keputusan Presiden No.
129 Tahun 2000 mencakup pula DAS Bengawan Solo. Untuk DAS
Bengawan Solo perusahaan ini berkedudukan di Surakarta Jawa Tengah.
a. Tugas Pokok Perusahaan Umum Jasa Tirta sebagai Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) adalah untuk mengelola sumberdaya air DAS
(Daerah Aliran Sungai) Bengawan Solo disamping unit pelaksana
teknis lain yang berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum Balai
Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo maupun di bawah
Dinas PU Pengairan Jawa Tengah seperti Balai PSDA Wilayah Sungai
Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun.
b. Tanggung Jawab PJT-I Bengawan Solo antara lain:
1) Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) termasuk konservasi
commit to user
lahan secara lintas sektoral.
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

2) Pengelolaan kuantitas air yang meliputi izin penggunaan air,


alokasi air, distribusi air dan pengawasan prasarananya.
3) Pengelolaan kualitas air yang mencakup pemanfaatan kualitas air
dan pengendalian pencemaran sumber air.
4) Pengendalian banjir dan pengelolaan lingkungan sungai-sungai.
5) Pemeliharaan prasarana pengairan.
6) Penelitian dan pengembangan pengelolaan sumber daya air melalui
kerja sama dengan instansi/lembaga/perusahaan di wilayah Sungai
Bengawan Solo (Jasa Tirta, 2009).
Sejalan dengan tugas dan tanggung jawab pada hal yang tersebut
diatas mengarah kepada pengelolaan daerah tangkapan air maka perlu
dilakukan pengelolaan terhadap kawasan sekitar bendungan yang
merupakan salah satu kawasan lindung (buffer) ke bendungan.
Pengelolaan ini antara lain diwujudkan dengan menciptakan efek
konservasi yang maksimal dari kawasan lindung bendungan. Salah satunya
adalah daerah pasang surut.
Dalam rangka pemanfaatan dan pelestarian lahan pasang surut
Bendungan Gajah Mungkur Wonogiri yang dibagi atas:
a. Daerah genangan tetap s/d elv+127,00 m (kantong lumpur).
b. Daerah pasang surut (elv+127 s/d 138,20 m).
c. Daerah sabuk hijau (elv+138,20 s/d 140,00 m).
Daerah pasang surut dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
a. Daerah pasang surutetap, yaitu daerah yang kemungkinan pada
musim hujan banyak tergenang air (elv 127,00 s/d 136,00 m).
b. Daerah pasang surut yang jarang tergenang air walaupun saat hujan
(elv+136,00 s/d 138,20 m).
Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

Skala 1: 66.000
Gambar 2.1 Pasang Surut
Keterangan:
: green belt
: pasang surut
: Bendungan GajahtoMungkur
commit user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Ketentuan-ketentuan pemanfaatan daerah pasang surut sesuai SK


Gubernur yaitu daerah yang boleh ditanami ialah elv+136,00 m keatas
sampai elv batas green belt yang terendah +138,20 m. ketentuan-ketentuan
yang harus ditaati untuk pengelolaan lahan pasang surut sebagi berikut:
a. Ketentuan jenis tanaman antara lain:
a) Jenis tanaman yang semusim dan panennya tidak dicabut, untuk
menjaga erosi.
b) Jenis tanaman yang meninggalkan seresah sedikit.
c) Penanaman dimulai pada awal musim kemarau, dan panennya
pada awal musim hujan.
b. Ketentuan bagi petani penggarap antara lain:
a) Penduduk bekas pemilik tanah yang masih bertempat tinggal
disekitar Bendungan Wonogiri.
b) Penduduk sekitar yang tidak memiliki tanah dan tidak mampu.
c) Berdasarkan azas pemerataan.
c. Ketentuan cara penggarapan tanah antara lain:
a) Tanah yang akan digarap harus yang landai dengan kemiringan
maximum 10%.
b) Tidak boleh membuat batas tanah garapan dengan pagar hidup,
cukup dengan galengan kecil saja.
c) Penggarapan tanah secara terasering, dan dihindari cara
mengolah tanah dengan pemberian air yang berlebihan.
d) Pada tempat-tempat tertentu dibuat saluran drainase dan pada
terjunan dibuat pasangan batu kosong untuk mencegah erosi.
e) Daerah pada radius 4 km dari tubuh Bendungan Wonogiri tidak
boleh digarap/ diolah untuk menjaga adanya pelumpuran.
f) Pengolah wajib membuang sampah/seresah sisa tanaman keluar
wilayah bendungan.
g) Pembatasan penggunaan bahan kimia antara lain pupuk dan
pestisida.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Penjelasan dari pernyataan diatas adalah:


a. Mengenai jenis tanaman semusim yang dimaksud adalah tanaman
yang berumur pendek (3-4) bulan, yaitu jenis tanaman padi gogo,
kacang panjang, kedelai.
b. Jenis tanaman yang meninggalkan seresah sedikit adalah tanaman
seperti tersebut diatas termasuk jenis tanaman yang meninggalkan
seresah sedikit atau memanennya dengan cara menyabit/ membabat.
c. Penduduk bekas pemilik tanah yang dimaksud ialah penduduk yang
tanahnya kena genangan bendungan dan bertempat tinggal disekitar
Bendungan Wonogiri (desa yang berbatasan dengan Bendungan
Wonogiri).
d. Penduduk sekitar yang tidak memiliki tanah dan tidak mampu yang
dimaksud adalah:
1) Penduduk desa yang berbatasan dengan Bendungan Wonogiri.
2) Penduduk desa yang tidak mempunyai tanah garapan.
3) Penduduk desa yang penghidupannya sebagai petani.
4) Lain-lain sesuai peraturan/ijin pihak berwenang.
e. Berdasarkan azas pemerataan, yang dimaksud adalah:
1) Tiap desa disekeliling Bendungan Wonogiri diprioritaskan
mengolah tanah, sesuai dengan jumlah petani penggarap.
2) Luas lahan yang diolah sesuai dengan kemampuan petani
penggarap setiap desa. (misalkan sebagai contoh satu orang mampu
menggarap lahan seluas 0,5 ha dan tidak lebih).
3) Penggarap/pengolah lahan tidak boleh menyewakan kepada orang
lain.
Untuk memudahkan pengawasan/koordinasi daerah green belt
maupun pemanfaatan Lahan Pasang Surut, maka disekeliling Bendungan
Wonogiri pada saat ini telah ditempatkan 25 petugas pengawas jaga
bendungan, yang masing-masing menempati sebuah kantor dinas
pengawas bendungan. Adapun tugas dan kewajiban pengawas bendungan
yang sudah ada adalah: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

a. Umum
1) Mengamankan daerah sekitar bendungan terhadap erosi dan
pencemaran bendungan.
2) Memelihara tanaman green belt yang telah ada.
3) Pengawasan terhadap tanah yang menjadi penguasaan.
4) Pengembangan dan penyempurnaan green belt yang sudah ada.
5) Pengawasan keamanan terhadap gangguan dari luar antara lain:
pencurian, kebakaran, hewan dan pengrusakan.
6) Menjaga kelestarian daerah green belt.
7) Membersihkan sampah bekas tanaman/kotoran yang berada di
daerah green belt/menjaga jangan sampai ada kotoran tanaman
yang tergenang hanyut ke bendungan, dan mengawasi agar sampah
bekas tanaman berada di daerah pasang surut dibuang keluar
wilayah bendungan.
b. Administrasi
1) Pemeliharaan fasilitas kantor/rumah jaga pengawas bendungan dan
tanaman sabuk hijau (green belt) serta perlengkapannya.
2) Inventarisasi tanaman yang ada dibatas daerah yang menjadi
tanggung jawabnya.
3) Inventarisasi kegiatan yang ada di daerah yang menjadi tanggung
jawabnya.
4) Laporan kegiatan, program dan evaluasi mingguan/bulanan.
c. Teknis
1) Pengumpulan biji untuk keperluan persemaian.
2) Pembuatan persemaian sebagai persediaan untuk penyulaman dan
pengembangan.
3) Pembuatan program kerja bulanan/tahunan.
4) Pembinaan/penyuluhan terhadap masyarakat.
5) Pengamatan terhadap pertumbuhan masing-masing jenis tanaman
yang ada di daerah masing-masing.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Lahan pasang surut merupakan lahan yang boleh digarap oleh


petani dengan cara menyewanya, tarif sewa lahan pesang surut antara lain:
1. Untuk 1 x panen= Rp 50/m2/th
2. Untuk 2 x panen= Rp 100/m2/th
3. Untuk 3 x panen= Rp 150/m2/th (Jasa Tirta, 1984).
Cara petani mitra agar dapat mengolah lahan pasang surut yaitu
membuat surat perjanjian sewa menyewa lahan. Perjanjian tersebut dapat
dibuat secara individu maupun kelompok/kolektif yang harus diketahui
oleh kepala desa dan selanjutnya ditujukan kepada Perum Jasa Tirta.
Perjanjian tersebut berisi kewajiban dan hak petani mitra, kewajiban dan
hak Perum Jasa Tirta, larangan, keadaan kahar, berlakunya perjanjian,
sanksi, perselisihan, dan lain-lain.
a. Kewajiban petani penggarap/mitra adalah:
1) Mentaati peraturan-peraturan yang berlaku.
2) Menanam/memelihara tanaman green belt di masing-masing daerah
yang dikelola.
3) Menjaga tanaman green belt dari perusakan hewan maupun lain-
lainnya.
4) Pelaksanaan tersebut diatas dibawah pengawasan/dikoordinir
pengawas bendungan.
5) Bila sampai terjadi hal-hal diluar dugaan yang mengakibatkan
kerusakan tanaman green belt, menjadi tanggung jawab petani, juga
dalam hal pencemaran air bendungan.
6) Bila sewaktu-waktu tanah digunakan/dibutuhkan oleh Proyek
Bengawan Solo, tidak ada ganti rugi/menjadi resiko petani.
7) Membakar/membuang keluar lokasi pasang surut sisa-sisa/seresah
tanaman hasil panen tersebut.
b. Hak petani penggarap/mitra adalah:
1) Memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan lahan pasang surut.
2) Mendapatkan pemberitahuan apabila lahan akan digunakan oleh
Perum Jasa Tirta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

c. Sanksi
1) Tidak boleh memindahkan/mengalihkan hak pengolahan lahan
pasang surut kepada orang lain, kecuali ada
pertimbangan/persetujuan dari pihak yang berwenang.
2) Bila ternyata ada yang tidak sepengetahuan yang berwenang
memindahkan hak pengolahann lahan pasang surut kepada orang
lain, hak pengolahannya akan dicabut untuk seterusnya.
3) Bila sudah mempunyai hak pengolahan lahan pasang surut, tetapi
tidak memenihi kewajiban-kewajiban sebagai penyewa lahan
pasang surut, maka haknya dipertimbangkan/dicabut
(Sugimin, 2010).
Tanaman yang sering ditanam di Lahan Pasang surut antara lain
adalah padi, jagung, kedelai, cabai, kacang panjang. Cara bercocok
tanamnya antara lain:
a. Padi
Usahatani padi di lahan sawah pasang surut memerlukan teknik
budi daya tersendiri, karena keadaan tanah dan lingkungannya tidak
serupa dengan lahan sawah irigasi. Kesalahan budi daya dapat
menyebabkan gagalnya panen dan dapat pula merusak tanah dan
lingkungan. Berdasarkan tipe luapan air, padi sawah dapat
dibudidayakan pada lahan bertipe luapan air A, B, atau C yang telah
menjadi sawah tadah hujan. Lahan yang bertipe luapan air A adalah
lahan yang selalu terluapi air, baik pada saat pasang besar maupun
kecil. Tipe B hanya terluapi air pada saat pasang besar saja.
Sedangkan lahan tipe C lahan tidak terluapi air pasang, namun air
tanahnya dangkal. Lahan pasang surut juga dapat ditanami padi gogo,
tetapi teknik budi dayanya berbeda dengan padi sawah.
Penyiapan lahan terdiri dari penebasan rumput-rumput/belukar.
Penebasan dilakukan dengan menggunakan parang. Rumput/ belukar
yang sudah ditebas dikumpulkan disuatu tempat kemudian dibakar.
commit todua
Pengolahan tanah dilakukan usertahap. Setelah pengolahan tahap
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

pertama, tanah digenangi, agar zat beracun terpisah dari tanah. Tinggi
air genangan berkisar antara 5-10 cm. Untuk mengatur tinggi air
genangan dapat dilakukan dengan memperbesar atau memperkecil
bukaan pintu saluran air. Pengolahan tanah tahap kedua dilakukan dua
minggu setelah pengolahan pertama. Alat untuk mengolah tanah dapat
menggunakan cangkul, traktor, bajak yang ditarik sapi/kerbau.
Kedalaman pengolahan tanah sekitar 20-25 cm, jika terlalu dalam
dapat menyebabkan terangkatnya lapisan pint (lapisan beracun). Pint
ini dapat meracuni tanaman dan berakibat tanaman mati. Namun
sebaiknya tidak dilakukan pengolahan tanah atau tanpa olah tanah
agar lahan pasang surut tidak menyebabkan erosi tanah. Pengolahan
tanah dengan TOT, TOT adalah suatu cara pengolahan tanah yang
lebih dikonsentrasikan pada pembakaran dan penyiangan tanaman dan
gulma atau dengan menggunakan herbisida. Pengolahan tanah ini
dilakukan tanpa atau hanya dengan melakukan pengolahan tanah
secara minimal.
Beberapa varietas padi sawah yang sesuai di lahan pasang surut
telah disebarluaskan di beberapa wilayah pasang surut. Melihat
potensi hasil rata-rata 4-7 ton/ha, varietas unggul ini dapat
meningkatkan pendapatan petani khususnya di lahan pasang surut ini.
Jumlah benih 30-45 kg per hektar. Musim tanam pertama, penanaman
dilakukan pertengahan Oktober sampai awal Desember atau Juni
sampai Agustus. Musim tanam kedua, penanaman dilakukan
pertengahan Maret sampai awal April atau September sampai
Oktober. Jarak tanam lahan potensial 25 cm x 25 cm, lahan sulfat
masam 20 cm x 20cm, lahan bergambut 20 cm x 20 cm, jumlah bibit:
3-4 batang setiap rumpun. Penyiangan dilakukan dua kali yaitu
penyiangan pertama umur 3 minggu setelah tanam penyiangan kedua
umur 6 minggu setelah tanam penyiangan dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu dicabut dengan tangan, kemudian dipendam dalam
tanah. Menggunakan commit to user
alat siang (gasrok) namun tidak boleh terlalu
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

dalam. Cara pemberian pupuk disebar rata di permukaan lahan.


Keadaan air sawah pada saat memupuk harus macak-macak.
Pengapuran penting artinya untuk menurunkan kemasaman tanah,
terutama pada lahan sulfat masam. Takaran kapur 1 ton/hektar. Hama
yang banyak menyerang pertanaman padi dilahan pasang surut adalah
tikus, orong-orong, kepinding tanah (lembing batu), walang sangit,
wereng coklat. Sedangkah penyakit utama di lahan pasang surut
adalah blast. Pengendalian hama tikus dapat dilakukan dengan
Memelihara kebersihan lingkungan, penanaman serempak (satu
hamparan sekunder), pemasangan umpan beracun, dengan racun
Klerat RMB sebanyak 2 kg/hektar, dan diletakkan di beberapa tempat,
melaksanakan gropyokan atau pengemposan menggunakan belerang.
Hama orong-orong dapat dikendalikan dengan cara menggenangi
lahan, merendam bibit sebelum tanam dalam larutan pestisida
karbofuran (Curater 3G, Dharmafur, atau Furadan 3G). Kepinding
tanah dikendalikan dengan menyemprotkan pestisida sebanyak 1-2
liter/ha. Penyakit bias dikendalikan dengan menyemprotkan fungisida
Beam atau Fujiwan sebanyak 1-2 kg per hektar. Menanam varietas
yang tahan blast. Panen dapat dilakukan dengan menggunakan alat
sebagai berikut Sabit bergerigi, Reaper, Stripper dan pemanenan
dilakukan dengan memotong batang tepat diatas tanah
(Suastika dkk, 1997).
b. Kedelai
Sewaktu pengolahan tanah perlu memperhatikan kedalaman
pirit untuk lahan masam 20 cm sedangkan untuk lahan gambut 10 cm.
Varietas yang dianjurkan yaitu Galunggung, lakon, Wilis, Dempo,
Guntur, dan kelinci. Jumlah benih yang diperlukan untuk setiap hektar
lahan adalah 40-45 kg. Jika ditanam dengan jarak tunggal jarak
tanaman 20 cm x 40 cm, dengan jumlah biji 2-3 per lubang tanam
kemudian ditutup tanah. Jika ditanam dengan tumpang sari jarak tanam
boleh kurang dari 2commit
meter todan
userjarak barisan 40 cm. Pengairan
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

menggunakan air bendungan dengan cara dipompa. Jumlah takaran


pupuk tergantung setiap lokasi. Untuk penjarangan dan penyulaman
dilakukan ketika tanaman berumur 1-2 minggu setelah tanam,
penyiangan dapat dilakukan 2 kali yaitu pada saat tanaman berumur 2-
3 minggu setelah tanam tergantung keadaan gulma. Panen dilakukan
setelah semua daun tanaman sudah tua atau berwarna kuning. Panen
menggunakan sabit gerigi/mesin pemanen. Dengan cara memotong
batang 15-20 cm dari tanah (Wayan, 1997).
c. Cabai
Tanah dibuat gundukan/bedengan kemudian ditutup dengan
mulsa. Benih yang dibutuhkan 1-1,25 sachet pada bedengan dibuat
lubang dengan jarak 20cm x 20 cm kemudian tiap lubang diisi 2-3 biji.
Dan ditutup dengan tanah tanaman cabe tidak begitu membutuhkan
banyak air. Jika lahan kering baru diairi, dan biasanya dengan air
bendungan yang dipompa. Pupuk dasar biasanya menggunakan pupuk
kandang dan kompos kemudian ditambahkan urea dan KCl.
Penyiangan dilakukan dua minggu setelah tanam. Bila terkena hama
dan penyakit ditangani dengan memberi obat sesuai dosis. Cabai
dipanen jika sudah tua. Setelah dipanen batangnya dipotong kira-kira
tepat diatas tanah (Anonima, 2009).
d. Jagung
Cara penyiapan lahan sangat bergantung pada fisik tanah
seperti tekstur tanah. Tanah bertekstur berat perlu pengolahan yang
intensif. Sebaliknya, tanah bertekstur ringan sampai sedang dapat
disiapkan dengan teknik olah tanah konservasi seperti olah tanah
minimum (OTM) atau TOT. Keuntungan penyiapan lahan dengan
teknik olah tanah konservasi adalah dapat memajukan waktu tanam,
menghemat tenaga kerja, mengurangi pemakaian bahan bakar untuk
mengolah tanah dengan traktor, mengurangi erosi, dan meningkatkan
kandungan air tanah (FAO, 2000). Budidaya jagung dengan teknik
commitdapat
penyiapan lahan konservasi to user
berhasil baik pada tanah bertekstur
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

ringan sampai sedang dan ditunjang oleh drainase yang baik (Lopez-
Belido et al. 1996). Pada tanah bertekstur ringan, sedang, dan berat,
penyiapan lahan dengan sistem TOT dan gulma disemprot dengan
herbisida berbahan aktif glifosat sebanyak 3 l/ha, hasil jagung tidak
berbeda antartekstur tanah. Di beberapa tempat, hasil jagung dengan
teknologi TOT lebih baik dibanding teknik Olah Tanah Sempurna
(OTS) maupun OTM. Dalam teknik TOT memberikan keuntungan
lebih tinggi dibanding teknik OTS. Keunggulan teknik TOT di sini
adalah mengurangi biaya untuk pengolahan tanah dan pengairan. Hasil
yang lebih tinggi dari teknik TOT diperoleh pada kondisi lingkungan
tumbuh tanaman yang lebih baik, tertama dari aspek kecukupan lengas
tanah. Penanaman jagung dengan teknik TOT lebih awal satu bulan
dibanding OTS, sehingga sisa air setelah padi dapat dimanfaatkan oleh
tanaman jagung. Mundurnya waktu penanaman pada teknik OTS
karena menunggu turunnya lengas tanah untuk dapat diolah
(Wahid et al. 2002) dalam Akil dan Hadijah (2007).
Varietas yang digunakan adalah jagung manis. Benih yang
dibutuhkan kira-kira 40kg/ha Penanaman 1 lobang tanam 1-2 benih
jagung, dengan jarak tanam 70cm x 40cm. Pengairan dilakukan jika
lahan kering dan biasanya dengan air bendungan yang dipompa. Untuk
pupuk dasar biasanya pupuk kandang dan pupuk susulannya pupuk
daun, urea dan KCl sesuai kebutuhan lahan masing-masing. Biasanya
penyiangan dilakukan dua minggu setelah tanam. Tanpa pengendalian
gulma, pertumbuhan tanaman jagung tertekan sehingga hasilnya
rendah. Oleh sebab itu, pengendalian gulma mutlak diperlukan, apalagi
pada budidaya tanpa olah tanah. Pengendalian gulma dapat dilakukan
dengan cara manual seperti penyiangan menggunakan cangkul atau
bajak, atau secara mekanis menggunakan alat, mesin, dan secara
kimiawi menggunakan herbisida. Dari segi teknis, penyiangan dengan
herbisida tidak berbeda dengan penyiangan secara mekanis. Takaran
commit
dan jenis herbisida yang to user bergantung pada jenis gulma,
digunakan
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

kepadatan gulma, dan anjuran penggunaan masing-masing herbisida.


Penyemprotan herbisida untuk pengendalian gulma sebaiknya
dilakukan dua kali, masing-masing pada saat tanaman berumur 21 dan
42 HST. Tanaman jagung manis di panen, waktu masih muda belum
terlalu tua. Batang tanaman jagung di potong kira-kira 0-5 cm dari
tanah, bila sudah kering tanaman dicabut
(Armansyah, 2009; Akil dan Hadijah, 2007).
e. Kacang panjang
Biasanya pengolahan lahan dibuat bedengan, panjang bedengan
4-5 m. Benih yang dibutuhkan untuk satu hektar kurang lebih 15-20
kg. Penanaman dilakukan dengan membuat lubang tanam dengan
kedalaman 45cm. Jarak antar lubang tanam sekitar 28-30 cm dan antar
barisan 60-75 cm. Pengairan dilakukan jika lahan kering dan biasanya
dengan air bendungan yang di pompa. Pupuk dasar yang digunakan
adalah pupuk kandang. Pupuk susulannya seperti Urea, 100 kg/ha TSP
200 kg/Ha dan KCl. Penyiangan dilakukan setelah tanaman berumur 3
dan 8 minggu. Bila terkena hama dan penyakit diberi pestisida. Panen
dilakukan dengan cara memotong batang tepat diatas permukaan tanah
(Haryanto, 2007).
7. Karakteristik Sosial Ekonomi
Keadaan/karakteristik sosial ekonomi petani adalah ciri-ciri khusus
atau sifat khas yang dimiliki petani berkaitan dengan sosial ekonominya.
Karekteristik sosial ekonomi petani meliputi umur, pendidikan, luas lahan,
pendapatan petani dan pengalaman (Hernanto, 1984).
Pengertian karakteristik sosial ekonomi tersebut sama seperti
Mosher (1991), karakteristik sosial ekonomi petani adalah cirri-ciri khusus
atau sifat khas yang dimiliki petani berkaitan dengan sosial ekonominya
dalam mengelola uasahataninya. Petani akan sangat dipengaruhi faktor di
dalam (intern) dan diluar (ekstern) petani itu sendiri yang saling disebut
sebagai karakteristik sosial ekonomi petani.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik sosial ekonomi


petani adalah:
a. Umur
Umur sesuai dengan pertumbuhan biologis dan psikis individu
mempengaruhi persepsinya terhadap suatu obyek atau stimuli. Remaja
dapat berbeda persepsinya terhadap suatu obyek dibandingkan dengan
persepsi orang tua terhadap obyek yang sama (Powel, 1983). Dapat
dijelaskan bahwa dengan bertambahnya usia, secara logis setiap
individu akan bertambah pula pengalaman-pengalamannya.
Pengalaman individu amat berperan dalam proses pemberian arti
terhadap obyek, atau rangsangan yang diperolehnya ( Weaver, 1978).
Hernanto (1984) menyatakan bahwa umur seseorang akan
mempengaruhi kemampuan fisik atau merespon terhadap hal-hal yang
baru. Dan semakin tinggi tingkat pengalaman responden, semakin
tinggi penilaiannya terhadap suatu obyek.
Semakin muda petani, biasanya mempunyai semangat untuk
ingin tahu apa yang belum mereka ketahui. Dengan demikian mereka
akan berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun
sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam adopsi inovasi
tersebut (Soekartawi, 1988). Sedangkan menurut Rogers (1971) petani
yang berusia lebih muda dalam kaitannya dengan umur dan pengalaman
pertanian lebih besar kemungkinan ia akan menerima gagasan. Petani
yang lebih muda hanya sedikit mempelajari metode lama, sehingga ia
dengan mudah berubah dari satu sistem ke sistem yang lain.
b. Pendidikan formal
Pendidikan formal Menurut Suhardiono (1992) adalah struktur
dari suatu sistem pengajaran yang kronologis dan berjenjang. Lembaga
pendidikan dimulai dari pra sekolah sampai dengan perguruan tinggi.
Pendidikan non formal merupakan pengajaran sistematis di luar sistem
pendidikan formal bagi sekelompok orang untuk memenuhi keperluan
khusus. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

Rogers (1971), mengatakan bahwa petani dengan pencapaian


bidang pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat adopsi yang
lebih tinggi dibandingkan petani dengan pencapaian bidang pendidikan
yang lebih rendah. hal tersebut juga di kemukakan oleh Nikmatullah
(1995) yang mengatakan pendidikan formal petani akan mempengaruhi
nuansa berfikir serta kemampuan penalaran terhadap suatu objek
tertentu.
c. Pendidikan non formal
Pendidikan non formal adalah sebagai penyelenggaraan
pendidikan yang terorganisir yang berada diluar sistem pendidikan
sekolah, isi pendidikan terprogram, proses pendidikan yang
berlangsung dalam suatu situasi interaksi belajar mengajar yang banyak
terkontrol (Mardikanto, 1982).
Kartasapoetra (1991), penyuluhan merupakan suatu sistem
pendidikan yang bersifat non formal/sistem pendidikan diluar sistem
persekolahan yang biasa dimana orang ditunjukkan cara-cara mencapai
sesuatu dengan memuaskan sambil orang itu kerap mengerjakan
sendiri, jadi belajar dengan mengerjakan sendiri.
Tingkat pendidikan petani baik formal maupun informal akan
mempengaruhi cara berpikir dan pandangan seseorang dalam
menjalankan usaha taninya, yaitu dalam rasionalitas usaha, dan
kemampuan memanfaatkan setiap kesempatan ekonomi yang ada
(Hernanto, 1984).
Menurut Nikmatullah (1995), pendidikan non formal akan
mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang.
Selanjutnya pendidikan non formal yang ada pada petani akan
mengubah kebiasaan petani yang ada sejak lama, yang selanjutnya akan
menimbulkan kebiasaan baru dengan mengadopsi teknologi baru.
d. Pengalaman
Pengalaman adalah guru yang baik dan dapat dijadikan sebuah
commit to
pedoman untuk mengambil user
keputusan untuk menerapkan sebuah
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

inovasi. Pengambilan keputusan berdasar pengalaman memilki manfaat


bagi pengetahuan praktis. Hal ini dikarenakan, pengalaman seseorang
dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan untung
rugi sebuah inovasi yang diambil, serta baik buruknya keputusan yang
dihasilkan (Hasan, 2002).
Apabila sebuah keputusan harus diambil biasanya orang
memperlihatkan kejadian-kejadian dimasa lalu. Seseorang melihat dan
mengerti persoalan sehubungan dengan konsepsi yang telah dikenal.
Dalam kasus tertentu orang akan menentang cara pendekatan baru yang
sama sekali asing baginya. Pengalaman memberikan petunjuk untuk
pembuatan keputusan, kiranya nilai terpenting dari pengalaman dalam
bidang pengambilan keputusan adalah pengembangan suatu
kemampuan untuk mendiskriminasi dan menggeneralisasi situasi
lampau (Firdaus, 2007).
e. Luas lahan
Raharjo (1999), Pemilikan lahan yang sempit cenderung pada
sistem pertanian intensif seperti pada lahan di Jawa pada umumnya.
Sedangkan pada lahan yang luas cenderung kepada ekstensif.
Sedangkan menurut Mardikanto (1994), lahan sebagai sumber ekonomi
bagi masyarakat desa khususnya petani, luas lahan dan kondisi sawah
sebagai lahan pertanian sangat menentukan produksi dan pendapatan
rumah tangga petani.
Menurut Nikmatullah (1995), luas lahan garapan akan
mempengaruhi petani dalam menerapkan teknologi baru. Bahwa
semakin luas lahan garapan petani semakin tinggi responnya dalam
menerapkan teknologi baru.
f. Pendapatan
Soekartawi (1988) mengemukakan bahwa petani dengan tingkat
pendapatan yang tinggi ada hubungannya dengan penggunaan inovasi.
Petani dengan pendapatan tinggi akan lebih mudah melakukan sesuatu
commit
yang diinginkan sehingga akan to userefektif dalam partisipasi.
lebih
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam


menunjang perekonomian keluarga. Tingkat pendapatan merupakan
salah satu indikator sosial ekonomi seseorang di masyarakat disamping
pekerjaan, kekayaan dan pendidikan (Hernanto, 1984).
8. Petani Mitra
Kemitraan usaha pertanian merupakan salah satu innstrumen kerja
sama yang mengacu kepada terciptanya suasana keseimbangan,
keselarasan, dan keterampilan yang didasari saling percaya antara
perusahaan mitra dan kelompok melalui perwujudan kemitraan yaitu
terwujudnya hubungan yang saling membutuhkan, saling menguntungkan,
dan saling memperkuat. Kemitraan usaha bersama bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan, kesinambungn usaha, jaminan suplai jumlah,
kualits produksi, meningkatkan kualitas kelompok mitra, peningkatan
usaha, dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan
kelompok mitra yang mandiri (Martodirejo, 2002).
Keputusan menteri Pertanian Nomor 940 tahun 1997 menyebutkan
juga bahwa kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama uasaha antara
perusahaan mitra dan kelompok mitra di bidang usaha pertanian.
Sedangkan menurut Soemarjan (1997) dalam Martodirejo (2002),
kemitraan adalah kerjasama antara dua pihak dengan hak dan kewajiban
yang setara dan saling menguntungkan.
Empat cara yang dilakukan untuk menciptakan ikatan hubungan
kemitraan yang dapat bertahan menurut Burnet (2002) yaitu:
a. Mengembangkan kepercayaan pribadi
b. Menciptakan rintangan untuk masuk
c. Memperkuat rintangan untuk keluar
d. Proyek usaha patungan yang member sumbanagan bagi pencpaian
tujuan-tujuan pelanggan.
Mosher (1966) dalam Mardikanto (1996) memberikan gambaran
yang agak luas tentang “petani”, yaitu:
a. Petani sebagai manusiacommit to user
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

Petani seperti halnya manusia yang lain, ia juga rasional, memiliki


harapan-harapan, keinginan-keinginan, dan kemauan untuk hidup lebih
baik. Di samping itu, petani seperti halnya manusia, yang lain juga
memiliki harga diri dan tidak bodoh, sehingga memiliki potensi yang
dapat dikembangkan guna memperbaiki hidupnya.
b. Petani sebagai juru tani
Petani yang melakukan kegiatan bertani, yang memiliki
pengalaman dan telah belajar dari pengalamannya. Hasil belajarnya itu
tercermin dari kebiasaan-kebiasaan yang mereka terapkan dalam
kegiatan bertani.
c. Petani sebagai pengelola usahatani
Petani selain sebagai manusia dan juru tani, seorang petani
umumnya juga pengelola atau “manajer” dari usahataninya. Hal ini
berati bahwa, petani adalah orang yang memiliki wewenang untuk
mengambil keputusan sendiri tentang usahatani yang dikelolanya, serta
terbiasa mempertanggungjawabkan hasil pengelolaannya itu kepada
keluarga serta masyarakat lingkungannya.
Petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi
sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya di bidang pertanian dalam arti
luas yang meliputi usahatani pertanian, peternakan, perikanan dan
pemungutan hasil laut. Peranan petani sebagai pengelola usahatani
berfungsi mengambil keputusan dalam mengorganisir faktor-faktor
produksi yang diketahui. Petani mempunyai banyak sebutan, fungsi, dan
kedudukan atas perannya, yaitu sebagai pribadi (individu), sebagai kepala
keluarga, sebagai guru, sebagai pengelola uahatani, sebagai warga sosial
dan kelompok, serta sebagai warga negara (Hernanto, 1993).
Menurut Samsudin (1982), yang dimaksud dengan petani adalah
mereka yang untuk sementara waktu atau tetap menguasai sebidang tanah
pertanian, menguasai sesuatu cabang usahatani atau beberapa cabang
usahatani dan mengerjakan sendiri, baik dengan tenaga sendiri maupun
commit to Adiwilaga
dengan tenaga bayaran. Sedangkan user (1982), menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

petani adalah orang-orang yang melakukan kegiatan bercocok tanam hasil


bumi atau memelihara ternak dengan tujuan untuk memperoleh kehidupan
dan kegiatannya.
Menurut Moore dalam Mardikanto (1982), pengertian “petani”
dibedakan dengan golongan masyarakat yang lain berdasarkan kekhususan
de facto dalam pemilikan tanah yang merupakan ciri pokoknya. Petani
adalah setiap penduduk atau orang-orang yang memiliki dan atau
menguasai “tanah pertanian” (de facto), tidak tergantung berapapun
luasnya dan siapa yang mengusahakannya. Petani adalah penduduk atau
orang-orang yang secara de facto memiliki atau menguasai sebidang lahan
pertanian serta mempunyai kekuasaan atas pengelolaan faktor-faktor
produksi pertanian (meliputi: tanah berikut faktor alam yang
melingkupinya, tenaga kerja termasuk organisasi dan skill, modal dan
peralatan) di atas lahannya tersebut secara mandiri (otonom) atau bersama-
sama dengan pihak lain.

B. Kerangka Berpikir
Bendungan Gajah Mungkur Wonogiri mempunyai lahan pasang surut.
Lahan pasang surut terdiri dari dua macam yaitu ”Lahan Pasang Surut Tetap”
dan ”Lahan Pasang Surut Tidak Tetap”. Lahan pasang surut tetap yaitu lahan
yang kemungkinan pada musim hujan banyak tergenang air, sedangkan lahan
pasang surut tidak tetap adalah lahan yang jarang tergenang air, walaupun saat
musim hujan. Lahan pasang surut memiliki topografi lahan yang curam seperti
lereng, sehingga memiliki tingkat erosi yang tinggi. Erosi dan sedimentasi
merupakan proses terlepasnya butiran tanah dari induknya disuatu tempat dan
terangkutnya material tersebut oleh gerakan air dan angin, kemudian diikuti
dengan pengendapan material yang terangkut ditempat yang lain (Suripin,
2004). Pada saat ini Bendungan Gajah Mungkur telah mengalami sedimentasi,
yang ditandai banyaknya lumpur yang ada di bendungan, yang disebabkan
pengolahan lahan pasang surut yang kurang baik.
Dalam upaya mengurangi erosi dan sedimentasi, maka Pemerintah
commit to user
Kabupaten Wonogiri membuat aturan-aturan pengolahan lahan pasang surut.
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

Pengolahan lahan pasang surut yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta sebagai
BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Aturan-aturan tersebut dibuat karena
lahan pasang surut merupakan lahan pemerintah. Apabila masyarakat ingin
memanfaatkannya maka harus menyewanya. Bagi masyarakat Kecamatan
Baturetno lahan pasang surut merupakan lahan yang sangat dibutuhkan. Sebab
lahan itu digunakan sebagai area pertanian yang dinilai dapat menunjang
perekonomian rumah tangga Petani Mitra. Walaupun demikian karekteristik
sosial ekonomi petani terhadap pengelolaan lahan pasang surut akan
menentukan tindakan petani apakah dapat menerima atau sebaliknya menolak
aturan maupun ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam pengelolaan lahan
pasang surut. Sebab karakteristik sosial ekonomi petani adalah ciri-ciri khusus
atau sifat khas yang dimiliki petani yang berkaitan dengan sosial ekonominya
(Hernanto, 1984).
Karakteristik sosial ekonomi terdiri dari umur, pendidikan formal,
pendidikan non formal, pengalaman, luas lahan, dan pendapatan. Sedangkan
tingkat penerapan pengelolaan lahan pasang surut terdiri dari persiapan lahan,
pemeliharaan dan panen untuk tanaman padi, jagung, kedelai, kacang
panjang,dan cabai. Kemudian nantinya akan diketahui apakah peraturan
tersebut sesuai, cukup sesuai, atau tidak sesuai.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dengan kerangka berfikir dibawah ini:

Karakteristik sosial Tingkat penerapan konservasi


. Pengelolaan Lahan Pasang Surut
Sesuai
ekonomi:
1. Umur terdiri dari Persiapan Lahan,

2. Pendidikan Formal pemeliharaan, dan Panen Pada:


Cukup sesuai
3. Pendidikan non Formal 1. Tanaman Padi

4. Pengalaman 2. Tanaman Jagung

5. Luas Lahan 3. Tanaman Kedelai Tidak sesuai


. 4. Tanaman Kacang panjang
6. Pendapatan
5. Tanaman Cabai
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berfikir.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis
1. Hipotesis Mayor
Diduga ada hubungan signifikan antara karakteristik sosial
ekonomi petani dengan tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan
pasang surut di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno
Kabupaten Wonogiri.
2. Hipotesis Minor
a. Diduga ada hubungan yang signifikan antara usia petani dengan
tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut di
Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri.
b. Diduga ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan petani
dengan tingkat penerapan konservasi pengelolaan Lahan Pasang Surut
di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri.
c. Diduga ada hubungan yang signifikan antara pengalaman petani
dengan tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut
di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri.
d. Diduga ada hubungan yang signifikan antara luas lahan dengan tingkat
penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut di Bendungan
Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wopnogiri
e. Diduga ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan
dengan tingkat penerapan konservasi pengelolaan Lahan Pasang Surut
di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri.

D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel


a. Definisi Operasional
Karakteristik sosial ekonomi petani adalah ciri-ciri khusus atau
sifat-sifat khusus dan khas yang dimiliki petani yang berkaitan dengan
commit to user
sosial ekonominya.
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

a. faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik sosial ekonomi antara


lain:
1. Umur adalah lama hidup seseorang yaitu petani yang menjadi
responden sampai pada saat penelitian dilakukan yang dinyatakan
dalam tahun. Diukur dengan skala ordinal.
2. Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan yang telah ditamatkan
petani lahan pasang surut di bangku sekolah atau lembaga
pendidikan formal. Diukur dengan skala ordinal.
3. Pendidikan non formal adalah pendidikan yang diperoleh petani di
luar pendidikan formal. Diukur melalui frekuensi mengikuti kegiatan
seperti penyuluhan, kursus atau pelatihan dalam satu tahun terakhir.
4. Pengalaman adalah lama petani mengolah lahan pasang surut yang
berkaitan dengan kegiatan seperti persiapan lahan, pemeliharaan dan
panen. Diukur dengan skala ordinal.
5. Luas lahan adalah luas lahan pasang surut petani yang disewa dari
Perum Jasa Tirta.
6. Pendapatan merupakan kemampuan masyarakat responden untuk
memenuhi kebutuhan dari hasil usahatani dan non usahatani dalam
satu musim tanam. Diukur dengan skala ordinal.
b. Tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut di
Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri
untuk tanaman padi, jagung, kedelai, kacang panjang, dan cabai antara
lain adalah:
1. Persiapan lahan adalah kegiatan yang dilakukan petani untuk
mengolah lahan seperti kedalaman tanah saat mencangkul. Diukur
dengan skala ordinal.
2. Pemeliharaan adalah kegiatan yang dilakukan petani dalam
pemeliharaan seperti jenis pupuk yang digunakan, cara
pengendalian hama dan penyakit, serta teknik penyiangan. Yang
diukur dengan skala ordinal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

3. Panen adalah kegiatan yang dilakukan petani pada saat panen


seperti tinggi besar tinggi batang saat memanen dan perlakuan pada
seresah/sampah pertanian. Diukur dengan skala ordinal.
b. Pengukuran Variabel
Tabel 2.1 Pengukuran Karakteristik Sosial Ekonomi
No Variabel Indikator Kriteria Skor/
pengukuran
1 Usia Lama manusia § Muda (<40 th). 1
hidup § Tua (40th-54th). 2
§ Lansia (55th->55th) 3

2 Pendidikan Jenjang § Tidak sekolah- tamat 1


formal pendidikan yang SD/sederajat
ditamatkan § Tamat SMP- tamat 2
SMA/sederajat
§ Tamat D1-S1 3

3 Pendidikan Frekuensi/persent § <5 kali dalam satu tahun. 1


non formal ase mengikuti § 5-9 kali dalam satu tahun. 2
penyuluhan, § 10->12 kali dalam satu tahun. 3
pelatihan dalam
satu tahun

4 pengalaman Lama petani § 1th-9th 1


mengolah lahan § 10th-19th 2
pasang surut § 19th->20th 3

5 Luas lahan Luas lahan pasang § <0,25 ha 1


surut yang disewa § 0,25-0,49 ha 2
§ 0,5->0,5 ha 3

6 pendapatan Kemampuan § tidak cukup untuk memenuhi


untuk memenuhi kebutuhan 1
kebutuhan § cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari namun 2
tidak bisa menabung
§ cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan 3
bisa menabung

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.2 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut


Tanaman Padi
No Variabel Indikator Kriteria Skor/
pengukuran
1 Persiapan Pengolahan lahan § Olah tanah dengan 1
lahan kedalaman > 19 cm.
§ Olah tanah dengan 2
kedalaman 10 cm.-19 cm.
§ Olah tanah dengan 3
kedalanman 5 cm-9 cm
§ Tanpa olah tanah. 4

2 Pemelihara Pemupukan § Pupuk kimia. 1


an (jenis Pupuk yang § Pupuk kimia>pupuk organik. 2
digunakan) § Pupuk Organik>pupuk kimia. 3
§ Pupuk Organik. 4

§ mencabut 11-15 cm. 1


Penyiangan § mencabut 6-10 cm. 2
(teknik § mencabut 1-5 cm. 3
penyiangan) § mencabut 0 cm. 4

§ Pestisida kimia.
Pengendalian § Pestisida kimia dan pestisida 1
Hama dan organik. 2
penyakit(Jenis § Pestisida organik.
pestisida) § Tanpa menggunakan 3
pestisida (secara mekanik). 4

3 Panen Cara panen § Memotong batang 20cm 1


diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang >10-15 cm 2
diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang 5-10 cm 3
diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang 0/tepat 4
dipermukaan tanah.

Perlakuan seresah § Seresah/sampah dibiarkan 1


saja
§ Seresah/sampah di bakar di 2
lahan
§ Seresah/sampah dibakar tapi 3
jauh dari lahan
§ Seresah dibawa pulang dan 4
untuk pakan ternak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.3 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut


Tanaman Kedelai
No Variabel Indikator Kriteria Skor/
pengukuran
1 Persiapan Pengolahan lahan § Olah tanah dengan 1
lahan kedalaman > 19 cm.
§ Olah tanah dengan 2
kedalaman 10 cm-19 cm
§ Olah tanah dengan. 3
kedalanman 5 cm-9 cm
§ Tanpa olah tanah. 4

2 Pemelihara Pemupukan § Pupuk kimia. 1


an (jenis Pupuk yang § Pupuk kimia dan pupuk 2
digunakan) organik.
§ Pupuk Organik. 3
§ Tidak dipupuk. 4

Penyiangan § mencabut 11-15 cm. 1


(teknik § mencabut 6-10 cm. 2
penyiangan) § mencabut 1-5 cm. 3
§ mencabut 0 cm. 4

Pengendalian § Pestisida kimia. 1


Hama dan § Pestisida kimia dan pestisida 2
penyakit(Jenis organik.
pestisida) § Pestisida organik. 3
§ Tanpa menggunakan 4
pestisida (secara mekanik).

3 Panen Cara panen § Memotong batang 20cm 1


diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang >10-15 cm 2
diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang 5-10 cm 3
diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang 0/tepat 4
dipermukaan tanah.

Perlakuan seresah § Seresah/sampah dibiarkan 1


saja.
§ Seresah/sampah di bakar di 2
lahan.
§ Seresah/sampah dibakar tapi 3
jauh dari lahan.
§ Seresah dibawa pulang dan 4
untuk pakan ternak.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.4 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut


Tanaman Jagung
No Variabel Indikator Kriteria Skor/
Pengukuran
1 Persiapan Pengolahan lahan § Olah tanah dengan 1
lahan kedalaman >19 cm.
§ Olah tanah dengan 2
kedalaman 10 cm-19 cm.
§ Olah tanah dengan 3
kedalanman 5 cm-9 cm.
§ Tanpa olah tanah. 4

2 Pemelihara Pemupukan § Pupuk kimia. 1


an (jenis Pupuk yang § Pupuk kimia dan pupuk 2
digunakan) organik.
§ Pupuk Organik. 3
§ Tidak dipupuk. 4

Penyiangan § mencabut 11-15 cm. 1


(teknik § mencabut 6-10 cm. 2
penyiangan) § mencabut 1-5 cm. 3
§ mencabut 0 cm. 4

Pengendalian § Pestisida kimia. 1


Hama dan § Pestisida kimia dan pestisida 2
penyakit(Jenis organik. 3
pestisida) § Pestisida organik. 4
§ Tanpa menggunakan
pestisida (secara mekanik).
3 Panen
Cara panen § batang tanaman dicabut dari 1
tanah.
§ Memotong batang >5 cm 2
diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang 1-4 cm 3
diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang 0/tepat 4
dipermukaan tanah.

Perlakuan seresah § Seresah/sampah dibiarkan 1


saja.
§ Seresah/sampah di bakar di 2
lahan.
§ Seresah/sampah dibakar tapi 3
jauh dari lahan.
§ Seresah dibawa pulang dan 4
untuk pakan ternak.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.5 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut


Tanaman Cabai
No Variabel Indikator Kriteria Skor/
Pengukuran
1 Persiapan Pengolahan lahan § Olah tanah. 1
lahan § Tanpa olah tanah tidak
dibuat bedengan. 2
§ Tanpa olah tanah dibuat
bedengan. 3
§ Tanpa olah tanah dibuat
bedengan dan diberi mulsa. 4

2 Pemelihara Pemupukan § Pupuk kimia. 1


an (jenis Pupuk yang § Pupuk kimia dan pupuk 2
digunakan) organik. 3
§ Pupuk Organik. 4
§ Tidak dipupuk

Penyiangan § mencabut 11-15 cm. 1


(teknik § mencabut 6-10 cm. 2
enyiangan) § mencabut 1-5 cm. 3
§ mencabut 0 cm. 4

Pengendalian § Pestisida kimia. 1


Hama dan § Pestisida kimia dan pestisida 2
penyakit(Jenis organik.
pestisida) § Pestisida organik. 3
§ Tanpa menggunakan 4
pestisida (secara mekanik).

3 Panen Cara panen § Memotong batang.+10 cm


diatas permukaan tanah. 1
§ Memotong batang 6-10cm
diatas permukaan tanah. 2
§ Memotong batang 1-5-cm
diatas permukaan tanah. 3
§ Memotong batang 0/tepat
dipermukaan tanah. 4

Perlakuan seresah § Seresah/sampah dibiarkan


saja 1
§ Seresah/sampah di bakar di
lahan 2
§ Seresah/sampah dibakar tapi
jauh dari lahan 3
§ Seresah dibawa pulang dan
untuk pakan ternak 4

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.6 Pengukuran Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut


Tanaman Kacang Panjang
No Variabel Indikator Kriteria Skor/
Pengukuran
1 Persiapan Pengolahan lahan § Olah tanah diberi lanjaran. 1
lahan § Olah tanah tidak diberi
lanjaran. 2
§ Tanpa olah diberi lanjaran. 3
§ Tanpa olah tidak diberi 4
lanjaran.

2 Pemelihara Pemupukan § Pupuk kimia. 1


an (jenis Pupuk yang § Pupuk kimia dan pupuk 2
digunakan) organik.
§ Pupuk Organik. 3
§ Tidak dipupuk 4

Penyiangan § mencabut 11-15 cm. 1


(teknik § mencabut 6-10 cm. 2
penyiangan) § mencabut 1-5 cm. 3
§ mencabut 0 cm. 4

§ Pestisida kimia.
Pengendalian § Pestisida kimia dan pestisida 1
Hama dan organik. 2
penyakit (Jenis § Pestisida organik.
pestisida) § Tanpa menggunakan 3
pestisida (secara mekanik). 4

3 Panen Cara panen § Batang dicabut dari tanah. 1


§ Memotong batang >10. 2
§ Memotong batang 5-10 cm 3
diatas permukaan tanah.
§ Memotong batang 0/tepat 4
dipermukaan tanah.

Perlakuan seresah § Seresah/sampah dibiarkan 1


saja.
§ Seresah/sampah di bakar di 2
lahan.
§ Seresah/sampah dibakar tapi 3
jauh dari lahan.
§ Seresah dibawa pulang dan 4
untuk pakan ternak.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar Penelitian


Metode dasar penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif.
Penelitian kuantitatif menurut Mardikanto (2001) yaitu penelitian yang
memusatkan pada pengumpulan data yang berupa angka-angka untuk
kemudian dianalisis dengan mengggunakan alat-alat analisis kuantitatif
maupun dengan perhitungan matematika. Berdasarkan hal tersebut maka
penelitian kuantitatif memiliki keunggulan yaitu mampu memberikan
penilaian yang lebih obyektif.
Teknik penelitian kuantitatif ini dilakukan dengan teknik survai.
Teknik survai dilakukan dengan mengambil sampel dari satu populasi dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Salah satu
keuntungan utama dari penelitian ini adalah mungkinnya pembuatan
generalisasi untuk populasi yang besar (Singarimbun dan Effendi, 1995).
B. Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Penetapan lokasi dalam penelitian diambil secara sengaja (purposive),
yaitu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan
penelitian. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Baturetno
Kabupaten Wonogiri. Dipilih tempat tersebut karena pada tahun 2002 menjadi
daerah yang memiliki lahan pasang surut paling luas dan pada tahun 2010
menjadi daerah ke dua paling luas. Hal itu disebabkan karena terdapat dua
desa (Sendang dan Kedungombo) yang tadinya masuk ke Kecamatan
Baturetno sekarang terbagi ke Kecamatan Nguntoronadi, serta merupakan
daerah yang saat ini menjadi percontohan konservasi lahan pasang surut.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.1:

commit to user

44
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

Tabel 3.1 Daerah yang Memiliki Lahan Pasang Surut di Kabupaten Wonogiri
No Kecamatan Tahun Tahun Jumlah
2002(ha) 2010(ha) petani
1 Wonogiri 0 32 517
2 Ngadirojo 5 138 138
3 Nguntoronadi 150 378 2606
4 Baturetno 319 279 2393
5 Giriwoyo 30 45 668
6 Eromoko 248 132 1738
7 Wuryantoro 52 173 1031
Total 804 1177 9101
Sumber: Perum Jasa Tirta tahun 2002 dan 2010

C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian


1. Penentuan Populasi
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-
cirinya akan diduga (Singarinbun dan Effendi, 2002). Populasi yang
menjadi penelitian ini adalah petani penggarap lahan pasang surut di
Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Adapun Jumlah petani
penggarap lahan pasang surut di Kecamatan Baturetno dapat dilihat pada
table 3.2:
Tabel 3.2 Jumlah Petani Tiap Desa di Kecamatan Baturetno
No Desa Luas lahan Jumlah Jumlah
pasang surut petani responden
(ha)
1 Gambiranom 19,956 428 8
2 Talunombo 35,4315 300 7
3 Kedungombo 69,5006 540 11
4 Setrorejo 18,8808 127 4
5 Boto 82,4453 444 10
6 Glesungrejo 50,2941 437 10
7 Sendangrejo 2,5471 17 0
Total 279,0555 2393 50
Sumber: Data Perum Jasa Tirta 2010 dan Data Sekunder

2. Penentuan Responden
Responden dalam penelitian ini ditentukan secara acak dengan
proposional random sampling. Adapun jumlah sampel yang diambil
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

sebanyak 50 responden yaitu petani penggarap lahan pasang surut, dengan


menggunakan rumus:
nk
ni 길 xn
N
Keterangan: ni = jumlah responden
nk = jumlah petani penggarap lahan pasang surut
N = jumlah populasi
n = jumlah responden yang diinginkan

D. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari petani
responden dengan teknik wawancara menggunakan kuisioner.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi pemerintah atau
lembaga terkait dengan mencatat secara langsung berupa data dari Badan
Pusat Statistik Wonogiri, Perusahaan Umum Jasa Tirta.
Tabel 3.3 Data yang akan diteliti
Data yang digunakan Sifat data Sumber
Pr Sk Kn Kl

Data Pokok
1. Identitas responden X X Responden
2. Karakteristik sosial ekonomi:
a. Umur X X Responden
b. Pendidikan formal X X Responden
c. Pendidikan non formal X X Responden
d. Pengalaman X X Responden
e. luas lahan X X Responden
f. Pendapatan
3. Tingkat penerapan
konservasi pengelolaaan
Lahan pasang surut: X Responden
a. Persiapan lahan X X Responden
b. Pemeliharaan X X Responden
c. Panen X

Data pendukung :
1. Keadaan alam X X X Monografi
2. Keadaan wilayah X X X Monografi
3. Keadaan penduduk X X X Monografi
4. Keadaan pertanian X X x Monografi
Keterangan : Pr = Primer Sk = Sekunder
commit to user
Kn = Kuantitatif Kl = Kualitatif
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Wawancara, wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau
lebih secara langsung. Maksudnya ialah memperoleh data untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab tatap muka antara pewawancara
dengan responden. Mengajukan pertanyaan kepada responden dengan
menggunakan alat bantu kuisioner (Susanto, 2006). Wawancara
dilakukan dengan petani-petani yang menyewa sekaligus penggarap
lahan pasang surut sebagai responden dalam penelitian ini.
2. Observasi, pengertian observasi menurut Gulo (2002) adalah teknik
pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang
mereka saksikan selama penelitian. Penyaksian peristiwa-peristiwa bisa
dengan melihat, mendengarkan, merasakan, yang kemudian dicatat
seobyektif mungkin. Dilakukan untuk memahami data yang berbentuk
kegiatan atau perilaku.
3. Pencatatan, Pengumpulan data dengan mengutip dan mencatat sumber-
sumber informasi dari pustaka-pustaka maupun instansi-instansi yang
terkait dengan penelitian ini.
F. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengukur karakteristik sosial ekonomi petani digunakan analisis
Compare Means melalalui program SPSS 17,0 windows.
2. Untuk mengukur tingkat penerapan pengelolaan lahan pasang surut tiap-
tiap komoditas (tanaman padi, tanaman jagung, tanaman kedelai, tanaman
kacang panjang dan tanaman cabai) baik dari seluruh responden yang
menanam satu, dua, tiga, empat ataupun lima komoditas menggunakan
analisis Compare Means.
3. Tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut yang diukur dalam
kategori sesuai, cukup sesuai, ataupun tidak sesuai dengan peraturan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

pemerintah (Perum Jasa Tirta I) yaitu melalui distribusi frekuensi dengan


menggunakan lebar interval. Rumus lebar interval kelas, yaitu:
nilai tertinggi - nilai terendah
Kelas kategori :
jumlah kelas
4. Untuk mengetahui derajat tingkat hubungan antara karakteristik sosial
ekonomi petani dengan tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan
pasang surut di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri menggunakan
analisis korelasi, yang berarti mencari keeratan hubungan antara dua
variabel. Uji korelasi dengan cara menggunakan Rank Spearman (rs).
Menurut Siegel (1994), rumus koefisien korelasi jenjang sperman (rs)
adalah:
N
6å di 2
i =1
rs = 1 -
N -N 3

Keterangan : rs = koefisien korelasi rank spearman


N = jumlah sampel petani
di = selisih ranking antara faktor-faktor yang mempengaruhi
karakteristik petani dengan tingkat penerapan konservasi
pengelolaan lahan pasang surut
Untuk menguji tingkat signifikansi hubungan, digunakan uji t dengan
tingkat kepercayaan 90% dengan rumus (Siegel, 1994) :

N -2
t= rs
1 - (rs ) 2

Kesimpulan :
1. Jika t hitung ³ t tabel (a = 0,1) maka Ho ditolak, berarti ada hubungan yang
signifikan antara karakteristik social ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut di Kecamatan
Baturetno Kabupaten Wonogiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

2. Jika t hitung < t tabel (a = 0,1) maka Ho diterima berarti tidak ada hubungan
yang signifikan antara karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut di Kecamatan
Baturetno Kabupaten Wonogiri.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Keadaan Geografis
Kecamatan Baturetno merupakan salah satu Kecamatan di Wonogiri
yang terdiri dari 12 desa, diantara 12 desa tersebut terdapat 7 desa yang
mempunyai lahan pasang surut yaitu Desa Gambiranom, Desa Talunombo,
Desa Kedungombo, Desa Setrorejo, Desa Boto, Desa Glesungrejo, Desa
Sendangrejo. Luas Kecamatan Baturetno 8910,38 ha yang terdiri dari lahan
sawah 2411,53 ha, bangunan/ pekarangan 1724,18 ha, tegal 1200,25 ha, hutan
308,00 ha, padang rumput 22,00 ha dan lainnya 3244,42 ha. Adapun batas-
batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Sebelah utara : Kecamatan Nguntoronadi
Sebelah selatan : Kecamatan Giriwoyo
Sebelah barat : Kecamatan Eromoko
Sebelah timur : Kecamatan Batuwarno
Kecamatan Baturetno merupakan dataran rendah dan sebagian
perbukitan dengan ketinggian 136-151 meter dari permukaan laut. Suhu rata-
rata Kecamatan Baturetno adalah 24º-32ºC. Berdasarkan keadaan alam
tersebut, Kecamatan Baturetno mempunyai potensi untuk pengembangan
tanaman padi, palawija dan sayuran.
Jarak Kecamatan Baturetno dengan pusat administratif adalah sebagai
berikut :
Jarak dari ibukota kabupaten : 42 km
Jarak dari Kota Solo : 74 km
Jarak dari ibukota propinsi : 175 km (Monografi, 2009).

B. Keadaan Penduduk
Keadaan penduduk di suatu daerah menggambarkan kondisi sosial
ekonomi penduduk di daerah tersebut. Berikut ini adalah data keadaan
penduduk di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri berdasarkan pada
data monografi pada tahun 2008.
commit to user

50
perpustakaan.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

1. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk di Kecamatan Baturetno dibedakan menjadi
dua macam yaitu kepadatan penduduk geografis dan kepadatan penduduk
agraris. Kepadatan penduduk geografis adalah perbandingan jumlah
penduduk dengan luas wilayah per km2, sedangkan kepadatan penduduk
agraris adalah perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan
pertanian. Luas Kecamatan Baturetno kurang lebih 89,10 km2 sedangkan
luas lahan pertaniannya 3611,78 ha. Perhitungan untuk kepadatan
penduduk geografis dan agraris adalah sebagai berikut ini.
57.892 jiwa
Kepada tan PendudukGeografis = 2
= 649,74 jiwa/km2
89,10km
57.892 jiwa
Kepada tan PendudukAgraris = = 16,03 jiwa/ ha
3611,78ha
Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diketahui kepadatan
penduduk geografis sebesar 650 jiwa/ km2 artinya dalam luas wilayah satu
km2, terdapat 650 jiwa yang menempati wilayah tersebut. Demikian pula
dengan kepadatan penduduk agraris sebesar 16 jiwa/ ha artinya dalam luas
lahan sebesar 1 ha dikerjakan oleh 16 orang. Dengan demikian Kecamatan
Baturetno dapat dikatakan sebagai daerah padat penduduk karena dalam
luas wilayah 1 km2 terdapat 650 jiwa yang menempati luas wilayah
tersebut.
2. Keadaan Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Keadaan penduduk berdasarkan produktivitasnya dapat dilihat dari
umur atau usia yang dimiliki seseorang pada saat itu. Penduduk
diklasifikasikan sebagai usia belum produktif (0-15 tahun), usia produktif
(16-60 tahun), dan usia tidak produktif (lebih dari 60 tahun). Penduduk di
Kecamatan Baturetno berjumlah 57.892 jiwa, yang terdiri dari 29.030
penduduk laki-laki dan 28.862 penduduk perempuan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.1Penduduk Kecamatan Baturetno Menurut Kelompok Umur dan


Jenis Kelamin Tahun 2009
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan
0-5 1895 1727
6-15 4258 3927
16-19 1683 1600
20-25 2646 2448
26-60 14569 14217
61 -keatas 3979 4943
Jumlah 29030 28862
Sumber : Data Monografi Kecamatan Baturetno Tahun 2009
Tabel 4.1 mengenai data penduduk menurut umur dan jenis
kelamin dapat digunakan untuk menghitung Angka Beban Tanggungan
(ABT) di Kecamatan Baturetno. ABT adalah perbandingan antara jumlah
penduduk usia non produktif (penduduk umur <14 tahun dan penduduk
umur >60 tahun) dengan jumlah penduduk usia produktif (penduduk umur
15-59 tahun). Jumlah penduduk usia non produktif adalah 1.509 orang dan
penduduk usia produktif adalah 3.186 orang. Perhitungan ABT adalah
sebagai berikut:

ABT =
å Pendudukno n Pr oduktif ´ 100
å Penduduk Pr oduktif
8922
= x100 = 24
37163
Berdasarkan perhitungan Angka Beban Tanggungan tersebut
diketahui besarnya Angka Beban Tanggungan yaitu sebesar 24 artinya
dalam setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 24 penduduk usia
non produktif. Berdasarkan data tersebut maka komposisi penduduk
menurut umur dapat mendorong pembangunan ekonomi Kecamatan
Baturetno karena jumlah penduduk usia produktit lebih tinggi dibanding
jumlah penduduk usia nonproduktif. Semakin besar rasio antara jumlah
kelompok non produktif dan jumlah kelompok produktif maka akan
semakin besar beban tanggungan bagi kelompok yang produktif terhadap
kelompok non produktif. Hal ini dapat berpengaruh terhadap proses
commit
pembangunan perekonomian yangtosedang
user dijalankan.
perpustakaan.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id

3. Keadaan Penduduk menurut Jenis Kelamin


Penduduk Kecamatan Baturetno berjumlah 57892 jiwa, yang terdiri
dari 29030 penduduk laki-laki dan 28862 penduduk perempuan.
Berdasarkan angka tersebut, maka dapat dihitung sex ratio. Sex ratio
adalah perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan jumlah penduduk
perempuan. Jika sex ratio kurang dari 100 maka jumlah penduduk laki-laki
lebih sedikit dari jumlah penduduk perempuan. Jika sex ratio sama dengan
100 maka jumlah penduduk laki-laki sama dengan jumlah penduduk
perempuan. Dan jika sex ratio lebih dari 100 maka jumlah penduduk laki-
laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Adapun perhitungan sex ratio
adalah sebagai berikut ini.
JumlahPendudukLaki - laki 29030
SexRatio = x100 = x100 = 100,5
JumlahPendudukPerempuan 28862
Berdasarkan perhitungan di atas diketahui besarnya sex ratio sebesar
101. Artinya dalam setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat 101
orang penduduk laki-laki. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak
dibandingkan jumlah penduduk perempuan meskipun selisihnya hanya
satu. Perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan
mempengaruhi pembagian pekerjaan dalam bidang pertanian. Pekerjaan
dalam bidang pertanian lebih banyak dikerjakan oleh laki-laki karena
dianggap memiliki tenaga yang lebih besar dibandingkan perempuan.
4. Keadaan Penduduk menurut Mata Pencaharian
Penduduk di Kecamatan Baturetno bekerja di berbagai sektor guna
mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Sektor yang paling dominan
sebagai mata pencaharian penduduk Kecamatan Baturetno adalah sektor
pertanian. Berikut ini adalah gambaran penduduk menurut mata
pencaharian.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.2 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan


Baturetno Tahun 2009

No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase


1. Tani 14544 67,65
2. Pegawai Negeri Sipil 900 4,19
3. TNI/ POLRI 63 0,29
4. Karyawan swasta 764 3,55
5. Wiraswasta/ pedagang 2494 11.6
6. Nelayan 123 0,57
7. Industri 1126 5,24
8. Transportasi 794 3,69
9. Buruh tani 1 0,004
10. Pensiunan 690 3,20
Jumlah 21499 100,00
Sumber : Data Monografi Kecamatan Baturetno Tahun 2009
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar
(67,65 persen) penduduk Kecamatan Baturetno bekerja pada sektor
pertanian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian dalam
sektor pertanian masih memegang peranan utama bagi masyarakat di
Kecamatan Baturetno dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
5. Keadaan Penduduk menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk menunjukkan kualitas sumber daya
manusia dalam suatu daerah tersebut. Hal ini dapat juga digunakan untuk
mengetahui potensi penduduk secara umum. Keadaan penduduk menurut
tingkat pendidikan di Kecamatan Baturetno dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan
Baturetno Tahun 2009
No. Jenjang Pendidikan Jumlah Persentase
1. Tidak/ belum pernah SD 9701 16,76
3. Tidak / belum tamat SD 8239 14,23
4. SD/ MI/ sederajat 15614 26,97
5. SMP/MTS/ sederajat 9046 15,63
SMA/ SMK/ MA/
6. 13026 22,50
sederajat
7. Akademi/ D1-D3 1120 1,94
8. Sarjana/ D4/S1 1094 1,89
9. Pasca Sarjana/ S2-S3 41 0,07
Jumlah 57881 100,00
Sumber : Data Monograficommit to user
Kecamatan Baturetno Tahun 2009
perpustakaan.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

Kriteria tingkat pendidikan dapat dikatakan rendah jika penduduk


yang tamat SD ke atas kurang dari 30 persen. Kriteria pendidikan sedang,
jika penduduk yang tamat SD ke atas antara 30 sampai dengan 60 persen,
dan pendidikan tinggi jika penduduk yang tamat SD ke atas lebih dari 60
persen. Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa penduduk
Kecamatan Baturetno sebesar 26,97 persen tamat SD, sedangkan yang lain
berturut-turut adalah tamat SMA (22,50 persen), SMP (15,63 persen),
belum tamat SD (14,23 persen), D1-D3 (1,94 persen), D4-S1 (1,89 persen)
dan S2-S3 (0,07 persen). Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4.3
penduduk Kecamatan Baturetno yang pendidikannya tamat SD ke atas
sebesar 42,03 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan
penduduk Kecamatan Baturetno tergolong sedang. Hal itu dikarenakan
penduduk di Kecamatan Baturetno sudah menetapkan harus menempuh
pendidikan sembilan tahun. Pendidikan penduduk yang tinggi di suatu
daerah dapat membuat daerah tersebut semakin maju.
C. Keadaan Pertanian
Sebagian besar penduduk yang tinggal di pedesaan bermata pencaharian
sebagai petani. Berikut ini adalah gambaran mengenai keadaan pertanian di
Kecamatan Baturetno:
1. Penggunaan Lahan Pertanian
Luas penggunaan lahan pertanian di Kecamatan Baturetno dapat
dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4. Luas Penggunaan Lahan Pertanian di Kecamatan Baturetno
Tahun 2008
Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase
a. Tanah Sawah
Irigasi setengan teknis 1060,57 48,68
Irigasi sederhana 263,10 12,08
b. Pasang surut 855,00 39,24
Jumlah 2178,67 100,0
Sumber: Data Monografi Kecamatan Baturetno Tahun 2009
Berdasarkan data pada Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa
penggunaan lahan pertanian di Kecamatan
commit to user Baturetno yang terbesar adalah
perpustakaan.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id

tanah sawah dengan pengairan irigasi setengah teknis dan sederhana atau
non teknis, yaitu 48,68 persen dan 12,08 persen, sedangkan penggunaan
lahan pertanian lainnya yaitu lahan pasang surut sebesar 39,24 persen.
Lahan pasang surut di Kecamatan Baturetno juga ditanami tanaman
pangan seperti padi dan palawija. Sehingga pendapatan petani di
Kecamatan Baturetno juga ditunjang dari lahan pasang surut tersebut.
2. Komoditas Utama
Komoditas yang diusahakan di suatu daerah dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti kondisi tanah, topografi dan sumber daya manusia.
Sehingga komoditas di setiap daerah tidak sama. Komoditas utama di
Kecamatan Baturetno adalah tanaman padi dan palawija dapat dilihat pada
Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Komoditas Pertanian di Kecamatan Baturetno Tahun 2008
No. Tanaman Luas (ha) Produksi (kw)
1. Padi 2915 161767,51
2. Jagung 2595 159464,70
3. Kedelai 2436 66339,26
Sumber : Data Monografi Kecamatan Baturetno Tahun 2008
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa komoditas pertanian
yang terdapat di Kecamatan Baturetno yang paling besar adalah padi
dengan luas lahan 2915 ha dengan produksi 161767,51 kw. Jagung 2595
ha dengan produksi 159464,70 kw dan kedelai 2436 ha dengan produksi
66339,26 kw. Tanah garapan yang luas akan menghasilkan produksi yang
besar pula.
3. Kelembagaan Pertanian
Kelembagaan di bidang pertanian yang ada di Kecamatan
Baturetno terdapat 6 kelompok Tani yaitu Kelompok Tani Ngudi Mulyo
yang berada di Desa Talunombo, Kelompok Tani Karya Mina di Desa
Kedungombo, Kelompok Tani Ngudi Rejeki di Desa Glesungrejo,
Kelompok Tani suka Makmur di Desa Boto, Kelompok Tani Sedyo Mulyo
di Desa Boto, dan Kelompok Tani Rahayu Mina di Desa Gambiranom.
Pelaksanaan penyuluhan commit to user Baturetno dilakukan berdasarkan
di Kecamatan
perpustakaan.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

Kelompok Tani tersebut dan penyuluhan tersebut dilaksanakan setiap satu


bulan sekali. Penyuluhan dilaksanakan untuk menambah pengetahuan
petani mengenai bagaimana cara pengelolaan lahan pasang surut yang
baik, serta bagaimana cara meningkatkan pendapatan dengan
menggunakan teknik konservasi yang benar.
Tabel 4.6. Jumlah Hewan Ternak di Kecamatan Baturetno Tahun 2008
No. Hewan Ternak Jumlah (ekor)
1. Sapi 4404
2. Kambing 3699
3 Unggas : a. ayam buras 21777
b. ayam pedaging 12500
c. ayam petelur 7597
d. itik 563
Sumber : Data Monografi Kecamatan Baturetno Tahun 2009
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa hewan ternak di
Kecamatan Baturetno cukup beragam. Hewan ternak tersebut adalah ayam
yang terdiri dari ayam buras, ayam petelur dan ayam pedaging. Yang
bayaknya 21777, ekor, 12500, ekor dan 7597 ekor. Serta ada sapi (4404
ekor), kambing (3699 ekor) dan itik (563 ekor). Kotoran dari hewan ternak
tersebut biasanya tidak dibuang begitu saja, namun digunakan sebagai
pupuk kandang sehingga dapat menghemat biaya produksi.

D. Keadaan Sarana Perekonomian


Sarana perekonomian yang terdapat dalam suatu wilayah akan
mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Kegiatan jual beli akan
semakin mudah jika tersedia pasar yang mampu mempertemukan penjual dan
pembeli dalam proses permintaan dan penawaran barang. Sarana
perekonomian yang terdapat di Kecamatan Baturetno antara lain toko,
warung, kaki lima, Bank, koperasi simpan pinjam dan lumbung desa. Tabel
4.7 menunjukkan sarana perekonomian yang terdapat di Kecamatan
Baturetno.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id

Tabel 4.7. Sarana Perekonomian di Kecamatan Baturetno Tahun 2008


No. Sarana Perekonomian Jumlah
1. Toko 21
2. Warung 18
3. Kaki lima 28
4. Bank 1
5. Koperasi Simpan Pinjam 5
6. Pasar 5
Sumber : Data Monografi Kecamatan Baturetno Tahun 2008

Berdasarkan Tabel 4.7 mengenai sarana perekonomian, dapat diketahui


bahwa sarana perekonomian yang terdapat di Kecamatan Baturetno cukup
tersedia mulai dari Bank hingga kaki lima. Bank yang terdapat di Kecamatan
Baturetno berjumlah satu buah, warung berjumlah 18 buah, kaki lima
berjumlah 28 buah, koperasi simpan pinjam berjumlah 5 buah dan pasar
berjumlah 5 buah. Keberadaan sarana perekonomian di sebuah desa akan
membantu kegiatan perekonomian seperti kegiatan simpan pinjam dan
kegiatan jual beli.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 65
digilib.uns.ac.id

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Responden
Identitas responden yang diteliti dalam penelitian ini meliputi jenis
kelamin, tingkat pendidikan formal, dan alamat responden. Identitas
responden selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Identitas Responden
No. Identitas Responden Jumlah (orang) Persentase
1. Jenis Kelamin
a. Laki-laki 42 84
b. Perempuan 8 16
2. Tingkat Pendidikan Formal
a. Tidak bersekolah-Tamat SD 24 48
b. Tidak tamat SMP-Tamat SMP 10 20
c. Tidak tamat SMA-D1/S1 16 32
3 Umur
a. Muda <40 th 6 12
b. Tua ( 40 th s/d 54 th) 20 40
c. Lansia (55 th s/d >55 th 24 48
4 Pendidikan non formal (Penyuluhan)
a. 0 s/d 4 kali setahun 35 70
b. 5 s/d 9 kali setahun 12 24
c. 10 s/d 12 kali setahun 3 6
5 Pengalaman mengolah lahan pasang
surut
a. 1th-9th 23 46
b. 10th-19th 14 28
c. ³ 20th 13 26
6 Luas Lahan pasang surut
a. <0,25 ha 29 58
b. 0,25-0,49 ha 12 24
c. 0,5->0,5ha 9 18
7 Pendapatan
a. tidak cukup untuk memenuhi 41 82
kebutuhan
b. cukup untuk memenuhi kebutuhan 7 14
sehari-hari namun tidak bisa
menabung
c. cukup untuk memenuhi kebutuhan 2 4
sehari-hari dan bisa menabung
Jumlah 50 100,0
Sumber : Analisis Data Primer 2010
commit to user

59
perpustakaan.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id

1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin responden pada penelitian ini terdapat 84 persen laki-
laki dan 16 persen perempuan. Responden perempuan berperan aktif
dalam hal mengolah lahan sampai panen di Kecamatan Baturetno.
Perempuan juga berperan untuk memberikan pendapatnya di dalam
pengambilan keputusan.hal tersebut terjadi karena suami dari responden
bekerja di luar daerah dan ada yang sudah meninggal. Bagi responden
perempuan yang masih mempunyai suami keputusan terakhir masih
ditetapkan oleh laki-laki yang berperan sebagai kepala rumah tangga.
2. Tingkat Pendidikan Formal
Menurut Roger (1971) pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi
tingkat adopsi inovasi. Sebab seseorang yang memiliki tingkat pendidikan
yang lebih tinggi semakin terbuka untuk menerima hal-hal yang baru dan
mempunyai keinginan untuk mencoba.
Responden yang menempuh pendidikan /tidak sekolah sampai tamat
SD sebanyak 24 orang (48 persen), tidak tamat SMP/ tamat SMP sebanyak
10 orang (20 persen) dan responden yang berpendidikan tidak tamat SMA-
tamat D1/S1 sebanyak 16 orang (32 persen). Berdasarkan data tersebut,
dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan responden sedang, dimana
jumlah responden dengan tingkat pendidikan diatas SD 52 persen. Tingkat
pendidikan responden tersebut akan mempengaruhi tingkat adopsi
responden terhadap segala sesuatu yang baru, terutama dalam hal
penerapan pengelolaan konservasi lahan pasang surut yang ada
disekitarnya.
3. Umur
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui umur responden dalam penelitian
ini 12 persen berusia kurang dari 40 tahun, 40 persen berusia 40 tahun
sampai 54 tahun dan 48 persen berusia lebih dari 54 tahun. Berdasarkan
Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa kebanyakan responden berusia lansia.
Umur seseorang akan mempengaruhi kemampuan fisik merespon terhadap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 61
digilib.uns.ac.id

hal-hal yang baru. Semalin tinggi tingkat pengalaman responden, semakin


tinggi penilaiannya terhadap suatu objek.
4. Pendidikan non formal (Penyuluhan)
Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa 70 persen responden
pernah mengikuti penyuluhan sebanyak 0-4 kali dalam satu tahun, 24
persen responden mengikuti penyuluhan sebanyak 5-9 kali dalam setahun,
dan 6 persen responden mengikuti penyuluhan sebanyak 10-12 kali dalam
satu tahun. Penyuluhan dilakukan setiap satu bulan sekali yang biasanya
dilaksanakan di Balai Desa atau rumah ketua kelompok tani.
Di Kecamatan Baturetno terdapat 6 kelompok Tani yaitu kelompok
tani Ngudi Mulyo yang berada di Desa Talunombo, Kelompok Tani Karya
Mina di Desa Kedungombo, Kelompok Tani Ngudi Rejeki di Desa
Glesungrejo, Kelompok Tani Suka Makmur di Desa Boto, Kelompok Tani
Sedyo Mulyo di Desa Boto, dan Kelompok Tani Rahayu Mina di Desa
Gambiranom.
5. Pengalaman
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui sebesar 46 persen responden
mempunyai pengalaman menggarap lahan pasang surut selama 1tahun-9
tahun, 28 persen selama 10-19 tahun dan 26 persen selama lebih dari 19
tahun. Petani yang menggarap lahan pasang surut merupakan petani mitra
dari Perum Jasa Tirta dengan cara menyewa lahan tersebut sesuai dengan
kemampuan responden. Pengalaman akan mempengaruhi responden dalam
mengambil keputusan untuk mengadosi suatu inovasi.
6. Luas Lahan
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui 58 persen responden menggarap
lahan kurang dari 0,25 ha, 24 persen menggarap 0,25-0,49 ha, dan 18
persen menggarap 0,5->0,5 ha. Lahan pasang surut merupakan lahan milik
pemerintah, maka petani bila ingin menggarap harus menyewanya.
Responden dapat menggarap lahan pasang surut sesuai dengan
kemampuannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 62
digilib.uns.ac.id

Menurut Nikmatullah (1995), luas lahan garapan akan


mempengaruhi petani dalam menerapkan teknologi baru. Bahwa semakin
luas lahan garapan petani semakin tinggi responnya dalam menerapkan
teknologi baru.
7. Pendapatan
Berdasarkan Tabel 5.1 sebanyak 82 persen responden pendapatannya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, 14 persen responden
cukup, namun tidak dapat menabung, dan 4 persen responden cukup dan
bisa menabung. Pendapatan responden yang kecil dipengaruhi oleh luas
lahan garapan yang sempit sehingga hasil panen yang diperoleh juga
sedikit.

B. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani dan Tingkat Penerapan Konservasi


Lahan Pasang Surut di Kecamatan Baturetno
Penerapan konservasi di lahan pasang surut perlu dilakukan untuk
memelihara tanah dan air yang berada di sekitar daerah lahan pasang surut
Bendungan Gajah Mungkur. Tingkat penerapan konservasi lahan pasang
surut dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi petani yang menggarap
lahan pasang surut. Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik sosial
ekonomi petani adalah umur, pendidikan formal, pendidikan non formal,
pengalaman, luas lahan dan pendapatan. Tabel 5.2 menyajikan data mengenai
tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut berdasarkan karakteristik
soaial ekonomi petaninya.
1. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani
a. Umur
Menurut Hernanto (1984), umur seseorang akan mempengaruhi
produktivitas kerja mereka. Petani dengan umur lebih dari 50 tahun akan
menurun produktivitas kerjanya dibandingkan umur petani lain yang
masih muda atau produktif.

commit to user
63
65

Tabel 5.2 Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut

No Karakteristik Sosial Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut


Ekonomi Rata-rata N % Rata-rata N % Rata-rata N % Rata-rata N % Rata- N % Rata-rata N %
rata
Y1(padi) Y2(jagung) Y3(kedelai) Y4(Kacang Y5(ca Ytot(semua
panjang) bai) tanaman)
1 X1(Umur)
Muda (<40 th)
15.75 4 11,4 16.50 6 13,3 19.20 5 22,7 18.50 2 14,3 16.50 2 28,6 54.67 6 12
Tua (40 th-54 th)
17.19 16 45,7 17.05 20 44,4 19.60 10 45,4 17.00 1 7,1 14.00 3 42,6 43.55 20 40
Lansia (55 th- >55
16.67 15 42,9 17.84 19 42,2 19.57 7 31,8 19.18 11 78,6 18.50 2 28,6 40.58 24 48
th)
2 X2 (pendidikan
formal)
Tidak sekolah-
16.17 18 51,4 17.25 20 44,4 19.25 12 54,5 20.50 4 28,6 18.50 2 28,6 41.08 24 48
tamat SD
Tamat SMP-tidak
18.10 10 28,6 17.62 13 28,8 20.00 4 18,1 18.75 4 28,6 15.50 2 28,6 45.85 13 26
tamat SMA
Tamat SMA-tamat
16.57 7 20 17.08 12 26,6 19.67 6 27,2 18.00 6 42,8 14.67 3 42,6 45.46 13 26
D1/S1
3 X3 (Pendidikan
non formal setiap
tahun)
0-4 kali
16.64 25 71,4 17.40 30 66,6 19.67 15 68,2 18.78 9 64,3 16.25 4 57,1 41.91 35 70
4-9 kali
17.00 8 22,9 16.92 12 26,6 18.83 6 27,2 18.33 3 21,4 14.50 2 28,6 44.67 12 24
10-12 kali
18.00 2 5,7 18.00 3 6,6 21.00 1 5,5 20.50 2 14,3 18.00 1 14,3 56.67 3 6
4 X4(Pengalaman)
1th- 9 th
16.75 16 45,7 17.24 21 46,6 19.23 13 59,1 20.80 5 35,7 13.00 2 28,6 43.91 23 46
10 th-19 th
17.00 7 20 17.00 12 26,6 20.80 5 22,7 17.20 5 35,7 15.50 2 28,6 41.85 13 26
>19 th
16.75 12 34,3 17.75 12 26,6 18.75 4 18,1 18.75 4 28,6 18.33 3 42,6 44.21 14 28
5 X5 (Luas lahan)
64

<0,25 ha
16.73 15 42,9 17,58 24 53,3 20.22 9 40,9 18,60 10 71,4 17.00 2 28,6 37.07 29 58
0,25-0,49 ha 3
17.55 11 31,4 17,75 12 26,7 18.75 8 36,4 21,00 2 14,3 16.33 42,8 53.92 12 24
0,5-> 0,5 ha 2
16.00 9 25,7 16,00 9 20 19.40 5 22,7 18,50 2 14,3 14.50 28,6 50.11 9 18
6 X6 (Pendapatan
dalam hal tingkat
kecukupan
memenuhi
kebutuhan)
Tidak cukup
16.70 27 77,1 17.50 36 80 19.73 15 68,2 18.50 12 85,7 16.25 4 57,1 40.73 41 82
Cukup tidak bisa 0
17.00 6 17,1 16.43 7 15,5 18.80 5 22,7 0 0 15.50 2 28,6 48.86 7 14
menabung
Cukup dan bisa
17.50 2 5,7 17.00 2 4,4 19.50 2 9,1 18.50 2 14,3 16.00 1 14,3 80.50 2 4
menabung
Rata-rata total 16,89 35 100 17,10 45 100 19,55 22 100 17,85 14 100 16,04 7 100 53 50 100

Kategori Y:

Tidak sesuai 6-11 6-11 6-11 6-11 6-11 6-43

Cukup sesuai 12-17 12-17 12-17 12-17 12-17 44-81

Sesuai 18-24 18-24 18-24 18-24 18-24 82-120

Sumber : Analisis Data Primer 2010


Keterangan :
Y total :tingkat penerapan konservasi semua komoditas
N : Jumlah responden (jiwa)
% : Persentase
perpustakaan.uns.ac.id 65
digilib.uns.ac.id

Berdasarkan Tabel 5.2 responden yang membudidayakan tanaman


padi sebagian besar 45,7 persen tergolong tua, begitu pula pada
responden yang membudidayakan tanaman jagung 44,4 persen,
responden yang membudidayakan kedelai 45,4 persen dan responden
yang membudidayakan cabai 42,6 persen. Sedangkan responden yang
membudidayakan tanaman kacang panjang tergolong dalam kriteria
lansia sebesar 78,6 persen, dan total dari semua responden berdasarkan
umurnya tergolong dalam kriteria lansia sebesar 48 persen. Rata-rata
umur responden dalam penelitian ini adalah 53 tahun.
Umur seseorang dapat mempengaruhi tingkat adopsi inovasi yang
diberikan kepada petani. Petani yang berumur tua lebih kolot sedangkan
petani yang muda cenderung lebih mudah menerima inovasi dan mau
mempraktekkannya.
b. Pendidikan formal
Rogers (1971) mengatakan bahwa petani dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat adopsi yang lebih
tinggi dibandingkan petani yang pendidikannya lebih rendah. Petani
yang berpendidikan tinggi mau mencoba inovasi yang diberikan. Petani
yang berpendidikan rendah cenderung menggunakan pengalaman
berusahatani yang sudah turun temurun dari nenek moyang. Mereka
tidak mau mengambil resiko apabila terjadi kerugian dari penerapan
suatu inovasi.
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi cara berfikir
serta kemampuan pemahaman terhadap suatu objek tertentu. Responden
yang tidak sekolah/ tamat SD terdapat pada responden yang menanam
tanaman padi sebesar 51,4 persen, tanaman jagung sebesar 44,4
persen, tanaman kedelai 54,5 persen. Tanaman Kacang panjang dan
tanaman cabai kebanyakan responden berpendidikan tamat SMA/ tamat
D1-S1 sebesar 42,8 persen. Total dari seluruh responden berpendidikan
tidak sekolah- tamat SD sebesar 48 persen. Berdasarkan Tabel 5.1
commit
sebagian besar responden dalamtopenelitian
user ini adalah tidak tamat SD.
perpustakaan.uns.ac.id 66
digilib.uns.ac.id

c. Pendidikan Non Forrmal (Penyuluhan)


Menurut Nikmatullah (1995), pendididkan non formal akan
mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang.
Selanjutnya pendidikan non formal yang ada pada petani akan
mengubah kebiasaan petani yang ada sejak lama, yang selanjutnya akan
menimbulkan kebiasaan baru dengan mengadopsi teknologi baru.
Salah satu contoh dari pendidikan non formal adalah kegiatan
penyuluhan. Penyuluhan sebagai penyelenggaraan pendidikan yang
terorganisir yang berada diluar sistem pendidikan sekolah. Sebagian
besar keaktifan responden mengikuti penyuluhan 0-4 kali dalam
setahun. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2, responden yang
mengikuti penyuluhan 0-4 kali dalam setahun terdapat pada responden
yang menanam tanaman padi (71,4 persen), tanaman jagung (66,6
persen, tanaman kedelai (68,2 persen), tanaman kacang panjang (64,3
persen), tanaman cabai (57,1 persen). Dengan demikian, total responden
dalam penelitian ini sebagian besar mengikuti kegiatan penyuluhan 0-4
kali dalam satu tahun sebesar 70 persen.
Sebagian besar responden yang berusia muda aktif mengikuti
penyuluhan di Balai Desa. Responden yang berusia tua jarang
mengikuti kegiatan penyuluhan karena beristirahat di rumah. Ada pula
responden yang tidak tahu kalau pada hari itu ada penyuluhan di Balai
Desa.
d. Pengalaman
Pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pengalaman petani mengolah atau menggarap lahan pasang surut.
Petani yang menggarap lahan pasang surut merupakan petani mitra dari
Perum Jasa Tirta I. Petani tersebut dapat mengolah lahan dengan cara
menyewanya. Syarat petani untuk menyewa lahan pasang surut cukup
mudah yaitu dengan datang ke kantor Jasa Tirta I yang terletak di
Wonogiri kemudian mengisi formulir surat sewa, setelah itu petani
commit
membuat surat perjanjian to user
dengan Perum Jasa Tirta1. Surat perjanjian
perpustakaan.uns.ac.id 67
digilib.uns.ac.id

dapat dibuat oleh petani secara individu atau kelompok. Tarif sewa
lahan yang ditetapkan Perum Jasa Tirta 1 ada tiga tingkatan yaitu Rp
50,00/meter tiap tahun untuk lahan yang dapat ditanami satu kali, Rp
100,00/meter tiap tahun untuk lahan yang dapat ditanami dua kali
panen, dan Rp 150,00/meter tiap tahun untuk lahan yang dapat ditanami
tiga kali panen. Sehingga petani mitra dapat menyewa lahan pasang
surut sesuai dengan kemampuannya.
Berdasarkan Tabel 5.2 Sebagian besar responden telah
menggarap lahan pasang surut selama 1-9 tahun, terdapat pada
responden yang menanam tanaman padi (45,7 persen), responden yang
menanam tanaman jagung (46,6 persen), responden yang menanam
kedelai (59,1 persen), tanaman kacang panjang (35,7 persen).
Responden yang menanam cabai kebanyakan telah menggarap lahan
pasang surut selama lebih dari 19 tahun.
Pengalaman merupakan guru yang paling berharga. Oleh karena
itu, pengalaman dapat mempercepat adopsi inovasi seseorang.
Pengalaman mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk
mau mengadopsi atau tidak suatu inovasi.
e. Luas lahan
Luas lahan sangat mempengaruhi petani dalam menjalankan
usahataninya. Luas lahan juga mempengaruhi petani untuk mengadopsi
suatu inovasi. Semakin luas usahatani yang dimiliki petani maka tingkat
adopsi terhadap inovasinya juga tinggi, karena petani tersebut memiliki
keadaan ekonomi yang baik. Rata-rata luas lahan yang disewa oleh
petani sebesar 0,06 ha.
Berdasarkan pada Tabel 5.2 responden yang membydidayakan
tanaman padi (42,9 persen), responden yang membudidayakan jagung
(53,3 persen), yang menanam tanaman kedelai (40,9 persen), dan yang
membudidayakan kacang panjang (71,4 persen) menyewa lahan pasang
surut seluas kurang dari 0,25 ha. Sedangkan responden yang menanam
commit
cabai sebagian besar (42,8 to user
persen) menyewa lahan pasang surut seluas
perpustakaan.uns.ac.id 68
digilib.uns.ac.id

0,25 ha- 0,49. Dapat disimpulkan bahwa dari responden yang


membudidayakan semua tanaman adalah sebanyak 58 persen dengan
menggarap lahan kurang dari 0,25 ha. Sehingga dapat diketahui luas
lahan pasang surut yang digarap responden termasuk dalam kategori
sempit.
Luas sempitnya usahatani akan mempengaruhi tingkat adopsi
mereka terhadap konservasi lahan pasang surut. Petani yang
menyewa/menggarap lahan sempit cenderung tidak mau mengambil
resiko untuk gagal dan mengeluarkan biaya yang besar.
f. Pendapatan
Pendapatan petani dapat dihitung dari penerimaan usahatani
dikurangi biaya eksplisit usahatani. Penerimaan diperoleh dari hasil
penjualan produksi usahatani, sedangkan biaya eksplisit terdiri dari
biaya tenaga kerja, biaya pembelian pupuk dan pestisida, biaya
pembelian benih, sewa traktor dan sewa power thresher. Petani dengan
pendapatan yang tinggi akan lebih tertarik untuk mencoba inovasi baru
dibandingkan dengan petani dengan pendapatan yang rendah.
Petani yang tergolong berpendapatan rendah, terdapat pada
responden yang membudidayakan tanaman padi 77,1 persen, tanaman
jagung 80 persen, responden yang menanam kedelai 68,2 persen,
tanaman kacang panjang 85,7 persen, dan tanamn cabai 57,1 persen.
Dengan demikian total pendapatan responden yang mengolah lahan
pasang surut untuk semua tanaman 82 persen berpenghasilan rendah,
sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Rata-rata pendapatan petani lahan pasang surut adalah Rp
4.300.000,00 dalam satu tahun. Lahan pasang surut biasanya dapat
ditanami satu hingga dua kali dalam setahun. Petani mempunyai
penghasilan tambahan yang berasal dari berdagang di pasar, nelayan,
dan bekerja di luar daerah. Sehingga responden dapat mencukupi
kebutuhan keluarganya. Pendapatan tersebut dapat mempengaruhi
commit
adopsi inovasi konservasi to user
lahan pasang surut, sebab petani yang
perpustakaan.uns.ac.id 69
digilib.uns.ac.id

berpendapatan rendah cenderung tidak mau mencoba hal-hal yang baru


dengan tidak mau mengambil resiko untuk gagal.

2. Tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut di Kecamatan


Baturetno

Penerapan konservasi lahan pasang surut dalam penelitian ini adalah


konservasi tanah dan air. Maksudnya adalah cara untuk memelihara tanah
yang ada di sekitar bendungan agar tidak terjadi erosi yang dapat
menyebabkan pendangkalan pada bendungan. Sehingga bendungan tetap
memiliki kualitas air yang bagus dan bendungan dapat berfungsi dengan
baik.
Pemerintah (Perum Jasa Tirta I) memberi ketentuan-ketentuan atau
aturan untuk petani yang menyewa lahan pasang surut. Ketentuannya ada 2
yaitu pertama, petani dianjurkan mengolah lahan pasang surut secara TOT
(Tanpa Olah Tanah). Caranya adalah sebelum menanam memotong rumput-
rumput yang tumbuh di lahan pasang surut. Rumput-rumput yang sudah di
potong dibiarkan diatas tanah sebagai mulsa. Namun sebanyak 14 responden
(28 persen) masih mengolah tanah dengan traktor. Responden yang
menggunakan traktor terdapat pada responden yang membudidayakan
tanman padi dan jagung secara monokultur maupun tumpang sari.
Sedangkan responden yang membudidayakan tanaman kedelai, kacang
panjang dan cabai sudah mengikuti aturan yang telah dianjurkan pemerintah.
Ketentuan kedua adalah ketentuan mengenai jenis tanaman, ketentuan
yang dianjurkan yaitu menanam tanman semusim, tanaman yang cara
panennya tidak dicabut, dan tanman yang meninggalkan seresah sedikit.
Contoh tanaman yang ditentukan adalah tanman padi, jagung, kedelai,
kacang panjang dan cabai. Sehingga penerapan konservasi lahan pasang
surut di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri dilihat dari tanaman
yang ditanam di lahan tersebut. Tanaman yang dibudidayakan dilahan
pasang surut Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri antara lain padi,
jagung, kedelai, kacang panjang, dan cabai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 70
digilib.uns.ac.id

a. Tanaman Padi
Konservasi tanaman padi terdiri dari tiga komponen kegiatan yaitu
pengolahan lahan, pemeliharaan dan panen. Pemeliharaan meliputi tiga
komponen yaitu penggunaan jenis pupuk, teknik penyiangan dan
pengendalian hama penyakit. Panen terdiri dari dua komponen kegiatan
yaitu cara panen dan perlakuan seresah.
Konservasi di lahan pasang surut untuk tanaman padi sebanyak 22
responden (62,9 persen) termasuk dalam kategori cukup sesuai dengan
petunjuk, sedangkan 13 (37,1 persen) responden termasuk dalam kategori
sesuai. Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui skor rata-rata tingkat penerapan
konservasi tanaman padi di lahan pasang surut sebesar 16,89. Artinya
tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut untuk
tanaman padi tergolong dalam kategori cukup sesuai dengan petunjuk.
Tanaman padi biasanya dibudidayakan pada musim tanam pertama.
Pengolahan lahan pasang surut yang baik yaitu dengan cara TOT (Tanpa
Olah Tanah). Sebagian responden sudah melakukan TOT namun masih
ada yang melakukan olah tanah dengan kedalaman kira-kira 5 cm-15 cm
bahkan ada yang menggunakan traktor. Petani yang mengolah lahan
dengan traktor berpendapat bahwa sudah dari dulu selalu melakukan olah
tanah, petani merasa jika tanah tidak diolah maka tanah tidak gembur.
Pemeliharaan tanaman padi terdiri dari tiga komponen yaitu jenis
pupuk yang digunakan, teknik penyiangan, dan pengendalian hama
penyakit. Pupuk yang digunakan rata-rata adalah pupuk organik yaitu
pupuk kandang. Kebanyakan responden memiliki hewan ternak seperti
sapi, kambing dan unggas (ayam dan itik) sehingga kotorannya dapat
dimanfaatkan untuk menekan biaya produksi. Kedalaman penyiangan
tanaman padi antara 0 sampai 4 cm dari tanah dengan cara dicabut dengan
menggunakan tangan atau cangkul. Cangkul yang digunakan ukurannya
kecil dan bagian ujungnya runcing. Penyiangan tanaman padi biasanya
dilakukan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur dua minggu dan
commit
tanaman berumur satu bulan. to user
Pengendalian hama penyakit tanaman padi
perpustakaan.uns.ac.id 71
digilib.uns.ac.id

biasanya menggunakan obat seperti arivo, furadan, tiodan, regen dan


pastax. Sebab hama yang menyerang biasanya belalang, ulat dan wereng.
Panen tanaman padi dilakukan pada saat padi sudah menguning
dan sudah berisi. Padi yang dimaksud adalah tanaman padi sudah
merunduk dan jenis padi yang biasa digunakan adalah IR 64 dan padi
gogo. Umur tanaman padi yang siap panen antara tiga bulan hingga seratus
hari. Cara panen tanaman padi berbeda dengan tanaman padi yang ditanam
di sawah. Cara panen tanaman padi sawah dengan cara memangkas batang
padi 5-15 cm dari permukaan tanah, namun pada tanaman padi di lahan
pasang surut adalah dengan memangkas batang tepat diatas permukaan
tanah. Hal itu dilakukan agar bekas batang padi (seresah) yang ada di
lahan pasang surut tidak masuk ke bendungan pada saat air pasang. Masih
ada responden yang memengkas batang padi 5 cm-15 cm dari permukaan
tanah. Hal tersebut karena sudah turun-temurun dilakukan sejak dulu
sehingga sulit untuk diubah.
b. Tanaman jagung
Tanaman Jagung biasanya ditanam pada musim tanam pertama
yaitu bulan Juni-September maupun musim tanam kedua pada bulan
September-November, baik secara monokultur maupun tumpang sari.
Konservasi tanaman jagung terdiri dari tiga kegiatan yaitu pengolahan
lahan, pemeliharaan dan panen. Untuk pemeliharaan ada tiga komponen
yaitu penggunaan jenis pupuk, teknik penyiangan dan pengendalian
hama penyakit. Panen terdiri dari dua kegiatan yaitu cara panen dan
perlakuan seresah.
Konservasi di lahan pasang surut untuk tanaman jagung sebanyak
28 responden (62,2 persen) termasuk dalam kategori cukup sesuai dengan
petunjuk, sedangkan 17 (37,8 persen) responden termasuk dalam kategori
sesuai. Rata-rata skor-skor konservasi tanaman jagung sebesar 17,21.
Artinya tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan pasang surut
untuk tanaman jagung tergolong dalam kategori cukup sesuai dengan
petunjuk yang di anjurkancommit to user atau Perum Jasa Tirta I.
oleh penyuluh
perpustakaan.uns.ac.id 72
digilib.uns.ac.id

Pengolahan lahan tanaman jagung kebanyakan TOT (Tanpa Olah


Tanah). Walaupun begitu ada juga yang mengolah tanah dengan cangkul.
Cangkul yang digunakan adalah cangkul yang berbentuk segi empat.
Pengolahan tanah oleh penati dilakukan sedalam 5 cm-10 cm.
Pemeliharaan tanaman jagung terdiri 3 komponen kegiatan yaitu
jenis pupuk yang digunakan, teknik penyiangan, dan pengendalian hama
penyakit. Jenis pupuk yang digunakan petani di lahan pasang surut untuk
tanaman jagung kebanyakan adalah urea, NPK, Za, TSP dan pupuk
kandang. Teknik penyiangan tanaman jagung sama seperti tanaman padi
yaitu dilakukan dua kali pada saat tanaman berusia dua minggu dan satu
bulan. Penyiangan tanaman jagung biasanya menggunakan tangan dan
alat yang berbentuk seperti cangkul namun ujungnya runcing.Petani
melakukan penyiangan dengan kedalaman 0-3 cm. Pengendalian hama
penyakit pada tanaman jagung biasanya dilakukan dengan menggunakan
pestisida. Hama yang sering menyerang tanaman jagung dilahan pasang
surut adalah ulat dan belalang.
Panen tanaman jagung dilakukan apabila tanaman jagung sudah
bertongkol dan tua, yang ditandai dengan daun-daun dan klobot kering.
Cara penen tanaman jagung di lahan pasang surut berbeda dengan panen
di lahan sawah. Caranya yaitu memengkas batang tepat pada tanah.
Namun tidak semua responden mematuhi peraturan tersebut. Hal itu
dikarenakan kebanyakan tanaman jagung ditanam pada musim tanam
kedua sehingga waktu pemanenan dekat dengan waktu air pasang. Bila
air sudah pasang responden hanya mengambil buah (tongkol) jagung saja
dan tidak memangkas batang, sebab lahan sudah tergenang air.
c. Tanaman kedelai
Tanaman kedelai biasanya ditanam pada musim tanam kedua baik
secara monokultur maupun tumpangsari. Konservasi tanaman kedelai
terdiri dari tiga kategori yaitu pengolahan lahan, pemeliharaan dan panen.
Pemeliharaan tanaman kedelai ada tiga komponen yaitu penggunaan
commit dan
jenis pupuk, teknik penyiangan to user
pengendalian hama penyakit. Panen
perpustakaan.uns.ac.id 73
digilib.uns.ac.id

terdiri dari dua komponen kegiatan yaitu cara panen dan perlakuan
seresah.
Konservasi di lahan pasang surut untuk tanaman kedelai sebanyak 3
responden (13,6 persen) termasuk dalam kategori cukup sesuai dengan
petunjuk, sedangkan 19 (86,4 persen) responden termasuk dalam kategori
sesuai. Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui rata-rata skor-skor konservasi
tanaman kedelai sebesar 19,55. Artinya tingkat penerapan konservasi
pengelolaan lahan pasang surut untuk tanaman kedelai tergolong dalam
kategori sesuai dengan petunjuk.
Pengolahan lahan tanaman kedelai kebanyakan dilakukan dengan
TOT ( Tanpa Olah Tanah) sebab tanah lahan pasang surut sudah gembur
sehingga tidak perlu pengolahan tanah. Namun ada juga yang melakukan
olah tanah dengan cangkul dengan kedalaman 5-10 cm. Hal itu
dikarenakan cara petani mengolah tanah merupakan cara yang sudah
diajarkan secara turun-temurun sehingga sulit untuk diubah.
Pemeliharaan tanaman kedelai terdiri dari jenis pupuk yang
digunakan, teknik penyiangan, dan pengendalian hama penyakit. pupuk
yang digunakan antara lain urea dan pupuk kandang. Namun, ada juga
petani yang tidak menggunakan pupuk sama sekali. Hal tersebut
dilakukan petani karena menganggap tanah sudah banyak mengandung
zat yang dibutuhkan tanaman. Tanaman kedelai biasanya jarang
dilakukan penyiangan. Ada juga petani yang melakukan penyiangan
hanya satu kali saat tanaman masih kecil. Teknik penyiangannya dengan
menggunakan tangan. Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman
kedelai jarang dilakukan sebab tamanan kedelai di lahan pasang surut
jarang terkena hama. Adapun hama yang menyerang biasanya adalah ulat.
Panen tanaman kedelai biasanya dilakukan bila tanaman sudah tua
dan polongnya berwarna kuning. Cara panen kedelai yaitu dengan
memangkas batang 0 cm dari tanah. Petani biasanya membawa seresah
pulang untuk pakan ternaknya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 74
digilib.uns.ac.id

d. Tanaman kacang panjang


Tanaman kacang panjang biasanya ditanam pada musim tanam
pertama dan kedua namun dengan tumpangsari. Konservasi tanaman
kacang panjang terdiri dari tiga komponen kegiatan yaitu pengolahan
lahan, pemeliharaan dan panen. Pemeliharaan tanaman kacang panjang
ada tiga komponen kegiatan yaitu penggunaan jenis pupuk, teknik
penyiangan dan pengendalian hama penyakit. Panen terdiri dari dua
komponen kegiatan yaitu cara panen dan perlakuan seresah.
Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui rata-rata konservasi tanaman
kacang panjang sebesar 17,85. Artinya tingkat penerapan konservasi
pengelolaan lahan pasang surut untuk tanaman kacang panjang tergolong
dalam kategori sesuai dengan petunjuk yang selama ini dianjurkan oeh
Perum Jasa Tirta I. Konservasi di lahan pasang surut untuk tanaman
kacang panjang sebanyak 4 responden (28,6 persen) termasuk dalam
kategori cukup sesuai dengan petunjuk, sedangkan 10 (71,4 persen)
responden termasuk dalam kategori sesuai.
Pengolahan lahan tanaman kacang panjang biasanya tanpa olah
tanah. Tanaman kacang panjang juga tidak dibuat lanjaran karena
tanaman kacang panjang merupakan tanaman tambahan saja untuk
meningkatkan pendapatan. Jenis pupuk yang digunakan petani untuk
membudidayakan tanaman kacang panjang biasanya hanya menggunakan
pupuk organik yaitu pupuk kandang. Pengendalian hama penyakit tidak
dilakukan, bila terserang hama tanaman hanya dibiarkan begitu saja.
Pemeliharaan kacang panjang terdiri dari jenis pupuk yang
digunakan, teknik penyiangan, dan pengendalian hama penyakit.
Tanaman kacang panjang tidak diberi pupuk dan tidak dilakukan
penyiangan serta tidak ada pengendalian hama penyakit.
Panen tanaman kacang panjang biasanya tidak hanya satu kali
panen namun bisa berulang-ulang bila kacang sudah panjang dan siap
panen. Kacang panjang yang siap panen adalah kacang tidak begitu tua
commit
dan tidak begitu muda, sebab to user
kacang panjang biasanya digunakan untuk
perpustakaan.uns.ac.id 75
digilib.uns.ac.id

sayur. Cara memanennya yaitu dengan memotong batang dari tanah 0 cm.
Petani memanfaatkan seresah kacang panjang sebagai pakan ternak dan
kadang daun yang masih muda dimasak untuk sayur.
e. Tanaman cabai
Tanaman cabai biasanya ditanam pada musim tanam kedua baik
dengan tumpang sari maupun monokultur. Konservasi tanaman cabai
terdiri dari tiga kegiatan yaitu pengolahan lahan, pemeliharaan dan panen.
untuk pemeliharaan ada tiga kegiatan yaitu penggunaan jenis pupuk,
teknik penyiangan dan pengendalian hama penyakit. Panen terdiri dari
dua kegiatan yaitu cara panen dan perlakuan seresah.
Konservasi tanaman cabai di lahan pasang surut sebanyak 4
responden (57,1 persen) termasuk dalam kategori cukup sesuai dengan
petunjuk, sedangkan 3 (42,9 persen) responden termasuk dalam kategori
sesuai. Sehingga diketahui rata-rata skor konservasi tanaman cabai
sebesar 16,04. Artinya tingkat penerapan konservasi pengelolaan lahan
pasang surut untuk tanaman cabai tergolong dalam kategori cukup sesuai
dengan petunjuk.
Petani yang menanam tanaman cabai jarang melakukan pengolahan
lahan sebab penanamannya juga tidak berasal dari biji namun berasal dari
bibit yang sudah tumbuh yang dibeli dari pasar. Tanaman cabai yang
ditanam di lahan pasang surut tidak menggunakan mulsa.
Pemeliharaan tanaman cabai terdiri dari tiga kegiatan yaitu jenis
pupuk yang digunakan, teknik penyiangan, dan pengendalian hama
penyakit. Jenis pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang.
Pemeliharaan tanaman cabai di lahan pasang surut cukup mudah, karena
petani tidak melakukan penyiangan dan pengendalian hama penyakit.
Bila tanaman cabai terkena hama, tanaman tersebut hanya dibiarkan saja.
Panen tanaman cabai tidak hanya satu kali namun bisa tiap minggu
hingga tanaman mati kurang lebih selama empat minggu. Pemanenan
dilakukan bila cabai sudah tua dengan ciri-ciri warna buah sudah merah
commit batang
atau kebiru-biruan. Kemudian to user tanaman cabai dipangkas tepat
perpustakaan.uns.ac.id 76
digilib.uns.ac.id

diatas tanah agar seresahnya tidak mengotori lahan. Seresah tanaman


cabai kebanyakan dibakar jauh dari lahan pasang surut. Hal itu dilakukan
petani agar abu dari seresah tidak mengotori lahan dan bendungan pada
saat air sudah pasang.
f. Tingkat konservasi semua tanaman
Konservasi tanaman padi di lahan pasang surut sebanyak 31
responden (62 persen) termasuk dalam kategori tidak sesuai dengan
petunjuk dari pemerintah, sedangkan 16 responden (32 persen) responden
termasuk dalam kategori cukup sesuai dan 3 responden (6 persen)
termasuk dalam ketegori sesuai dengan peraturan yang ditetapkan Perum
Jasa Tirta I. Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui rata-rata nilai konservasi
semua tanaman tanaman sebesar 53. Artinya tingkat penerapan
konservasi untuk semua tanaman di lahan pasang surut tergolong dalam
kategori cukup sesuai dengan petunjuk yang dianjurkan oleh pemerintah
(Perum Jasa Tirta). Perum Jasa Tirta dalam mengelola lahan pasang surut
dibantu oleh pengawas. Pengawas lahan pasang surut Bendungan Gjah
Mungkur sebanyak 25 orang yang tersebar di 7 Kecamatan Wonogiri
yaitu Wonogiri kota, Ngadirojo, Nguntoronadi, Baturetno, Giriwoyo,
Eromoko dan Wuryantoro. Kecamatan Baturetno sendiri memiliki 4
pengawas yang diberi fasilitas oleh Perum Jasa Tirta. Fasilitas tersebut
antara lain rumah dinas yang berada dekat dengan Bendungan Gajah
Mungkur, untuk mempermudah kegiatan pengawas.

3. Pola Pergiliran Tanam Di Lahan Pasang Surut Musim Tanam I (Bulan


Juni-Agustus) Dan Musim Tanam II (Bulan September-November)
Penelitian ini mengkaji tingkat penerapan konservasi di lahan pasang
surut. Petani yang menggarap lahan pasang surut adalah petani mitra Perum
Jasa Tirta I. Petani dapat membudidayakan tanaman satu sampai dua kali
setahun di lahan pasang surut. Petani hanya dapat membudidayakan
komoditas pada lahan yang tidak tergenang air. Petani membudidayakan
tanaman padi, jagung, kedelai, kacang panjang, dan cabai baik secara
commit
monokultur maupun tumpang sari to
di user
Bulan Juni sampai Agustus. Begitu
perpustakaan.uns.ac.id 77
digilib.uns.ac.id

pula pada musim tanam kedua yaitu pada bulan September sampai
November.
Berdasarkan gambar 5.1, responden membudidayakan tanaman padi,
jagung, kedelai, kacang panjang, dan cabai secara monokultur dan tumpang
sari di lahan pasang surut Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.
Sebagian besar responden membudidayakan tanaman padi, tanaman jagung
dan tanaman kedelai secara monokultur di lahan pasang surut. Contohnya
responden nomor 2, 10, 14, 28 dan 30 membudidayakan tanaman padi dan
tanaman jagung pada musim tanam pertama (Bulan Juni-Agustus).
Responden nomor 3, 25 dan 30 membudidayakan tanaman kedelai pada
musim tanam kedua (bulan September-November). Pola tanam yang
digunakan oleh petani di lahan pasang surut secara tumpang sari adalah
padi-jagung, padi-kacang panjang, padi-kedelai, jagung-kedelai, jagung-
kacang panjang, kedelai-kacang panjang, jagung-cabai, jagung-kacang
panjang-cabai, jagung-kedelai-kacang panjang, dan jagung-kedelai-cabai.
Sebagian besar responden membudidayakan tanaman secara
tumpang sari pada musim tanam kedua (Bulan September-November).
Contoh responden nomor 28 membudidayakan tanaman secara tumpang sari
di lahan pasang surut. Sebab, responden yang membudidayakan tanaman
secara tumpang sari di lahan pasang surut untuk mendapatkan hasil yang
beragam sehingga dapat meningkatkan pendapatannya.
Gambar 5.1 menyajikan pola pergiliran tanam di lahan pasang surut
pada musim tanam I (Bulan Juni-Agustus) dan musim tanam II (Bulan
September-November).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 78
digilib.uns.ac.id

R16
Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Maret April Mei juni

R28

R32

R1

R9

R5

R25

R3

R30

R14

R10

R2
Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Maret April Mei juni
Gambar 5.1 Pola Tanam di Lahan Pasang Surut
Keterangan:

= tanaman = tanaman = tanaman = tanaman


kedelai cabai Kacang jagung
panjang
= tanaman
padi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 79
digilib.uns.ac.id

4. Tingkat Penerapan Konservasi Di Lahan Pasang Surut Tiap Komoditas


Penelitian ini mengkaji tingkat penerapan konservasi di lahan pasang
surut. Ada lima komoditas yang ditanam petani penyewa lahan pasang surut
yaitu tanaman padi, tanaman jagung, tanaman kedelai, tanaman kacang
panjang, dan tanaman cabai. Petani membudidayakan tanaman secara
monokultur dan tumpang sari di lahan pasang surut. Tabel 5.3 menyajikan
data mengenai tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut tiap
komoditas.
Tabel 5.3 Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut Tiap
Komoditas
Jumlah Y per
Ytotal N % Kategori
Komoditas Komoditas
Cukip
1 17.40 17.40 5 10
sesuai
Cukup
2 35.04 17.74 27 54
sesuai
Cukup
3 51.40 17.20 10 20
sesuai
4 74.50 19.17 6 12 sesuai
5 89.50 18.00 2 4 sesuai
1 2 3 4 5
Kategori :
komoditas komoditas komoditas komoditas komoditas
Tidak sesuai
6-11 12-23 18-35 24-47 30-59
Cukup sesuai
12-17 24-35 36-53 48-71 60-89
Sesuai 18-24 36-48 54-72 72-96 90-120
Sumber: Analisis Data Primer 2011

a. Satu Komoditas
Sebanyak 5 orang (10 persen) responden yang menanam satu
komoditas di lahan pasang surut dengan skor rata-rata 17,40. Hal ini
berarti tingkat penerapannya cukup sesuai dengan aturan. Petani
penggarap lahan pasang surut mulai menanam sejak musim tanam
Agustus-November. Tanaman yang dibudidayakan secara monokultur
adalah padi, jagung, kedelai dan cabai. Responden yang menanam satu
komoditas tersebut dikarenakan lahan yang mereka sewa dekat dengan
bendungan dengan elevasi kurang lebih 38,00 meter. Karena responden
commit to user
menanam satu komoditas maka mereka hanya panen satu kali dalam
perpustakaan.uns.ac.id 80
digilib.uns.ac.id

satu tahun, sehingga uang sewa lahan yang mereka bayar sebesar Rp
50,00 per meter/ tahun.
b. Dua Komoditas
Berdasarkan Tabel 5.3, 27 orang (54 persen) responden yang
menanam dua jenis tanaman dengan skor rata-rata 35,04/17,74. Artinya
tingkat penerapan konservasi di lahan pasang surut untuk responden
yang menanam dua komoditas tergolong dalam cukup sesuai dengan
aturan. Petani menanam dua komoditas secara monokultur selama dua
kali musim tanam dan secara tumpang sari selama satu kali musim
tanam. Petani yang menanam secara tumpang sari kebanyakan
menggunakan pola tanam padi-jagung, padi-kacang panjang, padi-
kedelai, jagung-kedelai, jagung-kacang panjang, jagung-cabai, dan
kedelai-kacang panjang.
c. Tiga Komoditas
Responden yang menanam tiga jenis tanaman di lahan pasang
surut sebanyak 10 orang (20 persen) dengan skor rata-rata 51,40/17,20.
Artinya tingkat penerapan konsrvasi di lahan pasang surut untuk
responden yang menanam tiga komoditas termasuk dalam kategori
cukup sesuai dengan aturan. Petani yang menanam tiga komoditas
kebanyakan membudidayakan tanaman secara monokultur dan tumpang
sari dengan dua kali musim tanam. Musim tanam pertanam pada bulan
Juni-Agustus dan musim tanam kedua pada bulan Agustus-November
ada juga yang menanam bulan Mei-Juli. Petani memilih menanam
secara tumpang sari pada musim tanam kedua karena pada musim
tanam kedua waktunya lebih mendekati musim hujan. Petani
mendapatkan hasil yang lebih tinggi dari musim tanam pertama
sehingga hasil panennya meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan
keluarganya. Petani mitra membayar sewa lahan pasang surut sebesar
Rp 100,00 per meter/tahun karena lahan tersebut dapat ditanami
sebanyak dua kali.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 81
digilib.uns.ac.id

d. Empat Komoditas
Responden yang membudidayakan empat komoditas sebanyak 6
orang (12 persen) dengan skor rata-rata 74,50/19,17. Artinya tingkat
penerapan konservasi untuk petani yang menanam empat jenis
komoditas termasuk dalam kategori sesuai dengan aturan. Kebanyakan
responden yang menanam tanaman empat jenis, dilakukan dengan
tumpang sari karena lahan pasang surut yang disewa petani hanya bisa
ditanami dua kali.
e. Lima Komoditas
Berdasarkan Tabel 5.3 responden yang menanam lima
komoditas sebanyak 2 orang (4 persen) dengan skor rata-rata
89,50/18,00. Artinya tingkat konservasi untuk petani yang menanam
lima jenis tanaman termasuk dalam kategori sesuai dengan anjuran.
Petani dapat menanami lahan pasang surut yang disewa dua kali selama
musim tanam. Petani menanam tanaman secara tumpang sari. Petani
mitra yang lahan pasang surutnya luas dapat membudidayakan tanaman
secara tumpangsari baik pada saat musim tanam pertama maupun
musim tanam kedua. Sehingga hasil yang didapatkan juga banyak dan
dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
C. Hubungan Antara Karakteristik Sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi lahan pasang surut
Penelitian ini mengkaji hubungan karakteristik sosial ekonomi petani
dengan tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut. Untuk mengetahui
hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani dan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut digunakan uji korelasi Rank Spearman (rs),
sedangkan untuk menguji tingkat signifikansi terhadap nilai yang diperoleh
dengan menggunakan besarnya nilai t hitung dan t Tabel dengan tingkat
kepercayaan 90 % (a = 0,10). Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi
petani dengan tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut dapat dilihat
pada Tabel 5.4.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 82
digilib.uns.ac.id

Tabel 5.4. Hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Dengan


Tingkat Konservasi Lahan Pasang Surut
No. Karakteristik Sosial Ekonomi Rs T hitung Ket
1 Umur (X1) -0.196 -1.385 NS
2 Pendidikan formal (X2) 0.04 0.277 NS
3 Pendidikan non formal (X3) 0.267* 1.920 S
4 Pengalaman (X4) -0.065 -0.451 NS
5 Luas lahan (X5) 0.276* 1.989 S
6 Pendapatan (X6) 0.271* 1.951 S

Sumber : Analisis Data Primer 2010


Keterangan :
NS : non signifikan Rs : korelasi rank spearman
SS : sangat signifikan T Tabel : 1,68 (taraf kepercayaan 90%)
S : signifikan

1. Hubungan antara umur dengan tingkat penerapan konservasi lahan pasang


surut
Umur merupakan lamanya seseorang hidup yang dinyatakan dalam
satuan tahun. Petani dengan umur lebih tua memiliki pengalaman yang
lebih banyak dibandingkan dengan petani lain yang umurnya lebih muda.
Terkait dengan adopsi inovasi, umur merupakan suatu variabel yang
mempengaruhi tingkat pengadopsian suatu inovasi. Petani yang usianya
muda atau dalam usia produktif cenderung mau untuk mencoba atau
menerapkan praktik-praktik baru. Sebaliknya petani yang usianya tua
biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya mau
melakukan kegiatan yang sudah biasa diterapkan di daerahnya. Begitu
pula dengan konservasi lahan pasang surut merupakan inovasi baru bagi
petani. Hal ini dimaksudkan, agar petani mengolah lahan sebaik mungkin
dan memelihara kelestarian lingkungan lahan pasang surut dan bendungan.
Berdasarkan pada Tabel 5.4, dapat diketahui bahwa terdapat
hubungan yang tidak signifikan antara umur dengan tingkat penerapan
Konservasi lahan pasang surut. Hal ini dapat dilihat dari nilai rs sebesar -
commit
0,196 dan t hitung -1,385 to user
lebih kecil dari t tabel 1,68 pada taraf
perpustakaan.uns.ac.id 83
digilib.uns.ac.id

kepercayaan 90%. Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi karena


penerapan konservasi lahan pasang surut diterapkan oleh petani yang rutin
mengikuti penyuluhan. Penyuluhan biasanya memberikan informasi
bagaimana cara dan teknik budidaya tanaman yang baik di lahan pasang
surut. Selain itu tidak selamanya petani yang lebih muda cepat untuk
melakukan adopsi konservasi pengelolaan di lahan pasang surut.
2. Hubungan antara pendidikan formal dengan tingkat penerapan konservasi
lahan pasang surut.
Pendidikan formal adalah struktur dari suatu sistem pengajaran yang
kronologis dan berjenjang. Rogers (1971) mengatakan bahwa petani
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat adopsi
yang lebih tinggi dibandingkan petani dengan tingkat pendidikan yang
lebih rendah. Begitu pula inovasi lahan pasang surut hanya diadopsi oleh
petani yang berpendidikan tinggi sedangkan rata-rata petani di daerah
penelitian hanya berpendidikan tamat SD.
Hubungan antara pendidikan formal dengan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut tidak signifikan. Ketidaksignifikanan dapat
dilihat dari nilai rs sebesar 0,04 dan t hitung 0,277 lebih kecil dari t tabel
1,68 pada taraf kepercayaan 90%. Artinya tinggi atau rendahnya
pendidikan yang ditempuh responden di bangku sekolah tidak berpengaruh
terhadap tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut di Kecamatan
Baturetno Kabupaten Wonogiri.
3. Hubungan antara pendidikan non formal (Penyuluhan) dengan tingkat
penerapan konservasi lahan pasang surut
Pendidikan non formal adalah sebagai penyelenggaraan pendidikan
yang terorganisir yang berada diluar sistem pendidikan sekolah, isi
pendidikan terprogram, proses pendidikan yang berlangsung dalam suatu
situasi interaksi belajar mengajar yang banyak terkontrol (Mardikanto,
1982). Menurut Nikmatullah (1995), pendidikan non formal akan
mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang.
Selanjutnya pendidikan non formal yang ada pada petani akan mengubah
commit to user
kebiasaan petani yang ada sejak lama, yang selanjutnya akan
perpustakaan.uns.ac.id 84
digilib.uns.ac.id

menimbulkan kebiasaan baru dengan mengadopsi teknologi baru. Begitu


pula dengan konservasi lahan pasang surut karena petani mengikuti
penyuluhan0-4 kali.
Hubungan antara pendidikan non formal dengan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai rs
sebesar 0,267 dan t hitung 1,920 lebih besar dari t tabel 1,68 pada taraf
kepercayaan 90%. Hubungan yang signifikan ini terjadi karena sering
diadakannya penyuluhan oleh PPL (Pekerja Penyuluh Lapangan) maupun
dari Perum Jasa Tira yang memberikan sosialisasi. Penyuluhan tersebut
dilakukan setiap satu bulan sekali bertempat di Balai Desa atau di rumah
kelompok tani. Setiap desa dibentuk kelompok tani untuk mempermudah
dilakukannya penyuluhan. Ada 6 kelompok tani yaitu kelompok tani
Ngudi Mulyo yang berada di Desa Talunombo, Kelompok Tani Karya
Mina di Desa Kedungombo, Kelompok Tani Ngudi Rejeki di Desa
Glesungrejo, Kelompok Tani suka Makmur di Desa Boto, Kelompok Tani
Sedyo Mulyo di Desa Boto, dan Kelompok Tani Rahayu Mina di desa
Gambiranom. Materi yang disampaikan dalam penyuluhan adalah cara-
cara berusahatani yang baik dan benar di lahan pasang surut seperti teknik
pengolahan tanah, penggunaan pupuk organik dan pestisida organik.
4. Hubungan antara pengalaman petani mengolah lahan pasang surut dengan
tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut
Hubungan antara pengalaman dengan tingkat penerapan konservasi
lahan pasang surut tidak signifikan. Hal ini dapat dilihat dari nilai rs
sebesar -0,065 dan t hitung -0,451 lebih kecil dari t tabel 1,68 pada taraf
kepercayaan 90%. Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi karena
sebagian besar petani baru mengolah lahan pasang surut selama 1-9 tahun.
pengalaman sering berkaitan dengan pengambilan keputusan. Kebanyakan
umur petani tergolong dalam kategori tua. Petani yang tua memiliki
pemikiran yang kolot sehingga sulit untuk mengadopsi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 85
digilib.uns.ac.id

Seseorang mengambil keputusan berdasarkan kejadian-kejadian di


masa lalu. Seseorang melihat dan mengerti persoalan sehubungan dengan
konsepsi yang telah dikenal. Dalam kasus tertentu, orang akan menentang
cara pendekatan baru yang sama sekali asing baginya. Begitu pula petani
mengambil keputusan akan mengadopsi konservasi lahan pasang surut
berdasarkan pengalaman yang ada. Teknik konservasi yang digunakan
selama ini adalah teknik yang sudah turun-temurun dilakukan sehingga
sulit untuk diubah.
5. Hubungan antara luas lahan dengan tingkat penerapan konservasi lahan
pasang surut
Menurut Nikmatullah (1995), luas lahan garapan akan
mempengaruhi petani dalam menerapkan teknologi baru. Bahwa semakin
luas lahan garapan petani semakin tinggi respon petani dalam menerapkan
teknologi baru.
Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara luas lahan dengan tingkat penerapan konservasi
pengelolaan lahan pasang surut. Hal ini dapat dilihat dari nilai rs sebesar
0,276 dan t hitung 1,989 lebih besar dari t tabel 1,68 pada taraf
kepercayaan 90%. Arti nilai tersebut yaitu bahwa luas lahan yang
diolah/sewa oleh petani memiliki hubungan yang signifikan dengan
tingkat penerapan petani terhadap konservasi lahan pasang surut. Temuan
ini menegaskan bahwa luas sempitnya lahan yang digarap oleh petani
serta-merta membuat mereka mengadopsi konservasi lahan pasang surut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat penerapan konservasi
lahan pasang surut ternyata ditentukan oleh luas lahan yang digarap.
6. Hubungan antara pendapatan dengan tingkat penerapan konservasi lahan
pasang surut
Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam
menunjang perekonomian keluarga. Pendapatan keluarga petani dibedakan
menurut sumbernya yaitu dari sektor pertanian dan non pertanian. Tingkat
pendapatan merupakan salah satu indikator sosial ekonomi seseorang di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 86
digilib.uns.ac.id

masyarakat disamping pekerjaan, kekayaan dan pendidikan


(Hernanto, 1984). Pendapatan sektor pertanian yaitu dari usahatani (on
farm) dan non usahatani (off farm), sedangkan pendapatan non pertanian
diperoleh dari keterampilan dan tenaga yang dimiliki petani. Petani dengan
tingkat pendapatan yang tinggi ada hubungannya dengan penggunaan
inovasi. Petani dengan pendapatan tinggi akan lebih mudah melakukan
sesuatu yang diinginkan. Petani di Kecamatan Baturetno rata-rata memiliki
pendapatan yang rendah dalam usahatani namun mereka memiliki
pekerjaan di luar usahatani seperti berdagang dipasar, pegawai negeri, dan
buruh pabrik yang berada di Kecamatan Baturetno.
Berdasarkan pada Tabel 5.4, dapat diketahui bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut. Hal ini dapat dilihat dari nilai rs sebesar
0,271 dan t hitung 1,951 lebih besar dari t tabel 1,68 pada taraf
kepercayaan 90%. Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendapatan mempengaruhi tingkat penerapan petani terhadap konservasi
lahan pasang surut. Petani yang memiliki pendapatan rendah dengan
mudah mengadopsi aturan konservasi di lahan pasang surut. Petani
mengadopsi aturan tersebut pada lahan yang mereka sewa. Sebab sifat
inovasi yang dianjurkan PPL dan Perum Jasa Tirta I mudah untuk dicoba
dan dilaksanakan petani.
Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi di lahan pasang surut tersaji pada tabel 5.5.
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui nilai koefisien korelasi dan
signifikansi dari tiap variabel antara variabel X dengan variabel Y.
Penjelasan lebih rinci mengenai hubungan antar variabel dapat dibaca pada
pembahasan di bawah tabel 5.5.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 87
digilib.uns.ac.id

Tabel 5.5. Hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Dengan


Tingkat Penerapan Konservasi Lahan Pasang Surut Tiap
Variabel
Y
X Ytotal (N=50) Y1 (N=35) Y2 (N=45) Y3 (N=22) Y4 (N=14) Y5 (N=7)
Rs Thit Rs T hit Rs T hit Rs T hit Rs T hit Rs T hit
X1 -0,196 -1.385 -0.081 -0.467 0.194 1.297 -0.005 -0.022 -0.033 -0.114 0.486 1.243
X2 0.04 0,277 0.264 1.572 -0.32* -2.215 -0.065 -0.291 -0.466 *
-1.824 -0.705 *
-2.223
X3 0.267* 1.920 0.177 1.033 0.11 0.726 -0.1 -0.449 0.003 0.010 0.019 0.042
X4 -0.065 -0.451 -0.053 -0.305 0.082 0.540 0.076 0.341 -0.337 -1.240 0.907** 4.816
* **
X5 0.276 1.989 -0.133 -0.771 -0.332 -2.308 -0.283 -1.320 -0.282 -1.018 -0.44 -1.096
*
X6 0.271 1.951 -0.26 -1.547 -0.196 -1.311 -0.067 -0.300 -0.385 -1.445 0.255 0.590

Sumber : Analisis Data Primer 2010


Keterangan :
** : sangat signifikan X1 : Umur
* : signifikan X2 : Pendidikan Formal
Rs : korelasi rank spearman X3 : Pendidikan non formal
a :0,010 (taraf kepercayaan 90%) X4 : Pengalaman
T Tabel Ytot : 1,68 X5 : Luas lahan
T Tabel Y1 : 1,69 X6 : Pendapatan
T Tabel Y2 : 1,68 Y1 :Tanaman Padi
T Tabel Y3 : 1,73 Y2 :Tanaman Jagung
T Tabel Y4 : 1,78 Y3 :Tanaman Kedelai
T Tabel Y5 : 2,02 Y4 :Tanaman Kacang panjang
Y5 :Tanaman Cabai

1. Hubungan antara umur dengan tingkat penerapan konservasi lahan pasang


surut
a. Hubungan antara umur dengan tanaman padi
Tabel 5.5 menunjukkan nilai hubungan antara umur responden
dengan tingkat penerapan konservasi -0,081 dengan t hitung -0,467
lebih kecil daripada t tabel 1,69 pada taraf kepercayaan 90%. Nilai ini
menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara umur dengan
tingkat penerapan konservasi untuk tanaman padi. Hal ini disebabkan
tidak ada perbedaan kemampuan petani membudidayakan tanaman
padi dilihat dari segi kelompok umur. Baik petani tua maupun yang
muda relatif sama bekerja menerapkan konservasi pada tahap
pengolahan lahan, pemeliharaan, maupun panen.
b. Hubungan antara umur dengan penerapan konservasi tanaman jagung
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,194
commit to user
dengan t hitung 1,297 lebih kecil daripada t tabel 1,69 pada taraf
perpustakaan.uns.ac.id 88
digilib.uns.ac.id

kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak


signifikan antara umur responden dengan penerapan konservasi.
Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi karena petani muda maupun
tua mampu membudidayakan tanaman jagung. Baik dalam hal
pengolahan lahan, pemeliharaan maupun panen dalam artian bahwa
penanaman dapat diterapkan oleh petani tanpa membedakan umur.
c. Hubungan antara umur dengan penerapan konservasi tanaman kedelai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,005
dengan t hitung -0,022 lebih kecil daripada t tabel 1,73 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara umur responden dengan penerapan konservasi.
Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi karena petani muda maupun
tua mampu membudidayakan tanaman kedelai. Baik dalam hal
pengolahan lahan, pemeliharaan maupun panen.
d. Hubungan antara umur dengan penerapan konservasi tanaman kacang
panjang
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,112
dengan t hitung -0,858 lebih kecil daripada t tabel 1,78 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara umur responden dengan penerapan konservasi.
Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi karena petani muda
maupun tua mampu membudidayakan tanaman kacang panjang, baik
dalam hal pengolahan lahan, pemeliharaan maupun panen.
e. Hubungan antara umur dengan penerapan konservasi tanaman cabai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,486
dengan t hitung 1,243 lebih kecil daripada t tabel 2,02 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara umur responden dengan penerapan konservasi.
Hubungan yang tidak signifikan ini terjadi karena petani muda maupun
tua mampu membudidayakan tanaman cabai, baik dalam hal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 89
digilib.uns.ac.id

pengolahan lahan, pemeliharaan maupun panen dalam artian bahwa


penanaman dapat diterapkan oleh petani tanpa membedakan umur.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
umur dengan tingkat konservasi di lahan pasang surut Bendungan
Waduk Gajah Mungkur tidak signifikan. Baik pada responden yang
membudidayakan tanaman padi, jagung, kedelai, kacang panjang,
maupun cabai.
2. Hubungan antara pendidikan formal dengan tingkat penerapan konservasi
lahan pasang surut
a. Hubungan antara pendidikan formal dengan penerapan konservasi
tanaman padi
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,264
dengan t hitung 1,572 lebih kecil daripada t tabel 1,69 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendidikan formal responden dengan tingkat
penerapan konservasi lahan pasang surut. Setinggi apapun tingkat
pendidikan petani tidak mempengaruhi petani dalam cara berusahatani
untuk tanaman padi. Karena cara petani membudidayakan tanaman
padi dipengaruhi oleh cara budidaya padi yang turun-temurun.
b. Hubungan pendidikan formal dengan penerapan konservasi tanaman
jagung
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,32
dengan t hitung -2,215 lebih besar daripada t tabel 1,68 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang signifikan
antara pendidikan formal responden dengan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut untuk budidaya tanaman jagung.
Tingkat pendidikan formal mempengaruhi responden dalam
membudidayakan tanaman jagung. Karena cara membudidayakan
tanaman jagung dilahan pasang surut berbeda dengan di lahan-lahan
non pasang surut. Cara membudidayakan tanaman jagung dilahan
commit
pasang surut adalah dengan to user
tidak dilakukan pengolahan tanah sehingga
perpustakaan.uns.ac.id 90
digilib.uns.ac.id

lahan hanya dibersihkan dari rumput, kemudian benih jagung langsung


ditanam di lahan. Pupuk yang digunakanpun hanya pupuk kandang dan
Urea dengan dosis yang rendah. Hama yang menyerang hanyalah ulat
sehingga petani jarang menggunakan pestisida. Cara panen tanaman
Jagung yaitu dengan cara memangkas batang tepat di atas permukaan
tanah.
c. Hubungan pendidikan formal dengan penerapan konservasi tanaman
kedelai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,065
dengan t hitung -0,029 lebih kecil daripada t tabel 1,73 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendidikan formal responden dengan tingkat
penerapan konservasi lahan pasang surut untuk tanaman kedelai. Hal
ini menunjukkan setinggi apapun tingkat pendidikan petani tidak
mempengaruhi petani dalam cara pembudidayaan tanaman kedelai.
Karena cara petani membudidayakan tanaman kedelai dipengaruhi
oleh cara budidaya tanaman kedelai yang diwariskan oleh leluhurnya.
d. Hubungan pendidikan formal dengan penerapan konservasi tanaman
kacang panjang
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,466
dengan t hitung -1,824 lebih besar daripada t tabel 1,78 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang signifikan
antara pendidikan formal responden dengan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut untuk tanaman kacang panjang. Tingkat
pendidikan responden akan mempengaruhi tatacara budidaya tanaman
kacang panjang. Semakin tinggi pendidikan responden yang
membudidayakan tanman kacang panjang maka semakin rendah
tingkat penerapan konservasi di lahan pasang surut. Cara
pembudidayaan tanaman kacang panjang di lahan pasang surut
berbeda dengan pembudidayaan tanamn kacang panjang di ladang,
commit to Pengolahan
sawah maupun pekarangan. user lahan tanaman kacang
perpustakaan.uns.ac.id 91
digilib.uns.ac.id

panjang yaitu dengan cara tanpa olah tanah (TOT), sehingga tidak
perlu membuat bedengan (gundukan) dan lanjaran seperti budidaya
tanaman kacang panjang pada umumnya. Sebanyak 50 persen
responden yang membudidayakan tanaman kacang panjang dilahan
pasang surut tidak menggunakan pupuk dan pestisida, disebabkan
hama yang menyerang tanaman kacang panjang hanya ulat, maka
petani hanya membiarkan saja. Karena daun tanaman kacang panjang
yang dimakan ulat dapat tumbuh lagi. Cara memanen tanaman kacang
panjang di lahan pasang surut dilakukan dengan memotong batang
tepat diatas permukaan tanah.
e. Hubungan pendidikan formal dengan penerapan konservasi tanaman
cabai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,705
dengan t hitung -2,223 lebih besar daripada t tabel 2,02 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang signifikan
antara pendidikan formal responden dengan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut untuk tanaman cabai. Tingkat
pendidikan formal responden mempengaruhi cara pembudidayaan
tanaman cabai. Pengolahan lahan pasang surut untuk tanaman cabai
tidak sama dengan cara pengolahan lahan di sawah yang umumnya
dibuat bedengan maupun ditutup dengan mulsa. Namun cara
pengolahan lahannya dengan membersihkan dari rumput-rumput liar.
Bibit tanaman cabai di lahan pasang surut tidak berasal dari biji,
namun dari tanaman yang sudah disemai yang dibeli dari pasar. Benih
tersebut dibeli dalam bentuk ikatan, satu ikat berisi 30 tanaman. Cara
memanen tanaman cabai yaitu memotong batang tepat diatas
permukaan tanah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, ada hubungan yang
signifikan antara pendidikan formal dengan tingkat penerapan
konservasi di
lahan pasang surut pada responden yang
commit jagung,
membudidayakan tanaman to user kacang panjang, dan cabai.
perpustakaan.uns.ac.id 92
digilib.uns.ac.id

Sedangkan pada responden yang membudidayakan tanaman padi dan


kedelai hubungan itu tidak signifikan.
3. Hubungan antara pendidikan non formal dengan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut
a. Hubungan antara pendidikan non formal dengan penerapan konservasi
tanaman padi
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,177
dengan t hitung 1,033 lebih kecil daripada t tabel 1,69 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendidikan non formal (keikutsertaan dalam
penyuluhan) responden dengan penerapan konservasi lahan pasang
surut untuk tanaman padi. Sehingga berapa kalipun petani mengikuti
pendidikan non formal (penyuluhan) tidak akan mempengaruhi tingkat
penerapan konservasi di lahan pasang surut. Sebab sebagian besar dari
petani yang membudidayakan tanaman padi sering tidak datang dalam
penyuluha. Petani tidak mengetahui jadwal penyuluhan yang berada di
Balai Desa.
b. Hubungan antara pendidikan non formal dengan penerapan konservasi
tanaman jagung
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,11
dengan t hitung 0,726 lebih kecil daripada t tabel 1,68 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendidikan non formal responden dengan penerapan
konservasi lahan pasang surut untuk tanaman jagung. Sehingga
keaktifan petani mengikuti pendidikan non formal tidak akan
mempengaruhi tingkat penerapan konservasi untuk tanaman jagung di
lahan pasang surut.
c. Hubungan antara pendidikan non formal dengan penerapan konservasi
tanaman kedelai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,1
commit
dengan t hitung -0,449 lebihtokecil
user daripada t tabel 1,73 pada taraf
perpustakaan.uns.ac.id 93
digilib.uns.ac.id

kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak


signifikan antara pendidikan non formal dengan penerapan konservasi
lahan pasang surut untuk tanaman kedelai. Sehingga berapa kalipun
petani mengikuti penyuluhan tidak akan mempengaruhi tingkat
penerapan konservasi tanaman kedelai di lahan pasang surut.
d. Hubungan antara pendidikan non formal dengan penerapan konservasi
tanaman kacang panjang
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,003
dengan t hitung 0,010 lebih kecil daripada t tabel 1,78 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendidikan non formal dengan penerapan konservasi
lahan pasang surut untuk tanaman kacang panjang. Sehingga berapa
kalipun petani mengikuti penyuluhan tidak akan mempengaruhi
tingkat penerapan konservasi tanaman kacang panjang di lahan pasang
surut.
e. Hubungan antara pendidikan non formal dengan penerapan konservasi
tanaman cabai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,019
dengan t hitung 0,042 lebih kecil daripada t tabel 2,02 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendidikan non formal dengan penerapan konservasi
lahan pasang surut untuk tanaman cabai. Sehingga keaktifan petani
mengikuti pendidikan non formal tidak akan mempengaruhi tingkat
penerapan konservasi tanaman cabai di lahan pasang surut.
Hubungan antara keikutsertaan responden dalam penyuluhan
dengan tingkat penerapan konservasi di lahan pasang surut tidak
signifikan. Baik pada responden yang membudidayakan tanaman padi,
jagung, kedelai, kacang panjang maupun cabai.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 94
digilib.uns.ac.id

4. Hubungan antara pengalaman dengan tingkat penerapan konservasi lahan


pasang surut
a. Hubungan antara pengalaman dengan penerapan konservasi tanaman
padi
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,053
dengan t hitung -0,305 lebih kecil daripada t tabel 1,69 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pengalaman responden dengan penerapan konservasi
lahan pasang surut untuk tanaman padi. Sehingga pngalaman yang
banyak maupun sedikit tidak mempengaruhi tingkat penerapan
konservasi di lahan pasang surut. Sebab sebagian besar dari petani
mengambil keputusan berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya.
sehingga teknik penerapan konservasi juga berdasarkan pengalaman
yang dimiliki petani.
b. Hubungan antara pengalaman dengan penerapan konservasi tanaman
jagung
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,082
dengan t hitung 0,540 lebih kecil daripada t tabel 1,68 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pengalaman responden dengan penerapan konservasi
lahan pasang surut untuk tanaman jagung. Sehingga pengalaman yang
banyak maupun sedikit tidak mempengaruhi tingkat penerapan
konservasi di lahan pasang surut. Petani yang sudah lama maupun baru
mulai menggarap lahan pasang surut mempunyai tingkat resiko yang
sama. Contohnya penanaman di lahan pasang surut pada saat musim
hujan menyebabkan lahan pasang surut yang disewa tidak dapat
ditanami.
c. Hubungan antara pengalaman dengan penerapan konservasi tanaman
kedelai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,076
dengan t hitung 0,341commit
lebih tokecil
userdaripada t tabel 1,73 pada taraf
perpustakaan.uns.ac.id 95
digilib.uns.ac.id

kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak


signifikan antara pengalaman responden dengan penerapan konservasi
lahan pasang surut untuk tanaman kedelai. Sehingga pengalaman yang
banyak maupun sedikit tidak mempengaruhi tingkat penerapan
konservasi di lahan pasang surut. Karena petani yang sudah lama
maupun baru mulai menggarap lahan pasang surut mempunyai tingkat
resiko yang sama, contohnya penanaman di lahan pasang surut pada
saat musim hujan tiba maka lahan pasang surut yang disewa tidak
dapat ditanami.
d. Hubungan antara pengalaman dengan penerapan konservasi tanaman
kacang panjang
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,337
dengan t hitung -1,240 lebih kecil daripada t tabel 1,78 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pengalaman responden dengan penerapan konservasi
lahan pasang surut untuk tanaman kacang panjang. Sehingga
pengalaman yang banyak maupun sedikit tidak mempengaruhi tingkat
penerapan konservasi di lahan pasang surut. Petani mudah melakukan
budidaya tanaman kacang panjang di lahan pasang surut, karena tidak
membutuhkan pengalaman yang banyak. Misalnya cara mengolah
lahan dengan cara TOT (Tanpa Olah Tanah).
e. Hubungan antara pengalaman dengan penerapan konservasi tanaman
cabai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,907
dengan t hitung 4,816 lebih besar daripada t tabel 2,02 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang sangat
signifikan antara pengalaman responden dengan penerapan konservasi
lahan pasang surut untuk tanaman cabai. Karena pengalaman berkaitan
dengan bagaimana mengambil keputusan. Petani biasanya mengambil
keputusan berdasarkan pengalaman masa lalu. Demikian juga terhadap
commit to user tanaman cabai. Tanaman cabai
responden yang membudidayakan
perpustakaan.uns.ac.id 96
digilib.uns.ac.id

biasanya ditanam pada musim tanam kedua dan mentaati kaidah


konservasi yang ada. Kaidah tersebut antara lain tidak mengolah tanah,
sebab tanaman cabai yang ditanam dilahan pasang surut tidak
menggunakan mulsa jadi tidak dilakukan pengolahan tanah. Pupuk
yang digunakan untuk tanaman cabai adalah pupuk kandang. Dalam
budidaya tanaman cabai petani tidak melakukan penyiangan dan
pengendalian hama penyakit dengan menggunakan pestisida. Cara
memanen tanaman cabai di lahan pasang surut yaitu memangkas
batang tepat di atas permukaan tanah dan seresah tanaman cabai
dibakar jauh dari lahan. Hal tersebut dilakukan agar seresah tidak
masuk ke bendungan saat hujan tiba.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
pengalaman responden menyewa lahan pasang surut dengan tingkat
penerapan konservasi di lahan pasang surut tidak signifikan pada
responden yang membudidayakan tanaman padi, jagung, kedelai dan
kacang panjang. Sedangkan pada responden yang membudidayakan
tanaman cabai terdapat hubungan yang sangat signifikan.
5. Hubungan antara luas lahan dengan tingkat penerapan konservasi lahan
pasang surut
a. Hubungan antara luas lahan dengan penerapan konservasi tanaman
padi
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,133
dengan t hitung -0,771 lebih kecil daripada t tabel 1,69 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara luas lahan yang disewa petani dengan penerapan
konservasi. Berapapun luas lahan untuk berusahatani yang dimiliki
oleh petani tidak mempengaruhi petani dalam penerapan konservasi
lahan pasang surut. Karena petani yang menyewa lahan luas maupun
sempit di lahan pasang surut mempunyai tingkat resiko yang sama
pada saat musim hujan tiba. Hal ini disebabkan musim hujan yang sulit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 97
digilib.uns.ac.id

diprediksi. Contohnya petani hendak membudidayakan tanaman padi


namun hujan turun sehingga lahan tergenang oleh air pasang.
b. Hubungan antara luas lahan dengan penerapan konservasi tanaman
jagung
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,332
dengan t hitung -2,308 lebih besar daripada t tabel 1,69 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang sangat
signifikan antara luas lahan dengan tingkat penerapan konservasi lahan
pasang surut. Sebagian besar petani lahan pasang surut menyewa lahan
yang sempit sesuai dengan kemampuannya. Dapat dikatakan bahwa
semakin luas lahan yang disewa, petani semakin tidak menerapkan
konservasi dan sebaliknya semakin sempit lahan maka menerapkan
konservasi semakin baik. Bila lahan yang disewa petani sempit, maka
petani tidak melakukan pengolahan tanah serta tidak menggunakan
pupuk, dan pestisida dengan tujuan untuk menekan biaya produksi.
Sedangkan sebagian besar petani yang menyewa lahan pasang surut
luas melakukan olah tanah, bahkan tidak hanya dicangkul namun juga
menggunakan traktor. Hal itu dilakukan petani dengan anggapan agar
mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Namun menurut kaidah
konservasi lahan pasang surut, cara membudidayakan tanaman dengan
(TOT) tanpa olah tanah.
c. Hubungan antara luas lahan dengan penerapan konservasi tanaman
kedelai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,283
dengan t hitung -1,320 lebih kecil daripada t tabel 1,73 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara luas lahan yang disewa petani dengan penerapan
konservasi. Berapapun luas lahan yang disewa untuk berusahatani
tidak mempengaruhi petani dalam penerapan konservasi lahan pasang
surut. Karena petani yang menyewa lahan luas maupun sempit di
commit to user
lahan pasang surut mempunyai tingkat resiko yang sama pada saat
perpustakaan.uns.ac.id 98
digilib.uns.ac.id

musim hujan tiba. Hal ini disebabkan musim hujan yang sulit
diprediksi. Contohnya petani tidak dapat membudidayakan tanaman
kedelai karena air pasang saat hujan turun.
d. Hubungan antara luas lahan dengan penerapan konservasi tanaman
kacang panjang
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,282
dengan t hitung -1,018 lebih kecil daripada t tabel 1,78 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara luas lahan dengan penerapan konservasi. Berapapun
luas lahan untuk berusahatani yang dimiliki oleh petani tidak
mempengaruhi petani dalam penerapan konservasi lahan pasang surut.
Karena petani yang menyewa lahan luas maupun sempit di lahan
pasang surut mempunyai tingkat resiko yang sama pada saat musim
hujan tiba. Hal ini disebabkan musim hujan yang sulit diprediksi.
Contohnya petani hendak membudidayakan tanaman kacang panjang
namun hujan turun maka tidak dapat membudidayakannya.
e. Hubungan antara luas lahan dengan penerapan konservasi tanaman
cabai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,44
dengan t hitung -1,096 lebih kecil daripada t tabel 2,02 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara luas lahan dengan penerapan konservasi. Berapapun
luas lahan untuk berusahatani yang disewa petani tidak mempengaruhi
dalam penerapan konservasi lahan pasang surut. Karena petani yang
menyewa lahan luas maupun sempit di lahan pasang surut mempunyai
tingkat resiko yang sama pada saat musim hujan tiba. Hal ini
disebabkan musim hujan yang sulit diprediksi. Contohnya petani
hendak membudidayakan tanaman cabai namun hujan turun maka
tidak dapat membudidayakannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 99
digilib.uns.ac.id

Hubungan antara luas lahan yang disewa responden dengan


tingkat penerapan konservasi di lahan pasang surut tidak signifikan
pada responden yang membudidayakan padi, kedelai, kacang panjang,
dan cabai. Sedangkan responden yang membudidayakan tanaman
jagung hubungan itu sangat signifikan.
6. Hubungan antara pendapatan dengan tingkat penerapan konservasi lahan
pasang surut
a. Hubungan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman
padi
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,26
dengan t hitung -1,547 lebih kecil daripada t tabel 1,68 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman
padi. Hubungan yang tidak signifikan ini disebabkan karena
pendapatan yang tinggi tidak mempengaruhi penerapan konservasi
lahan pasang surut walaupun pendapatan yang dihasilkan untuk
tanaman padi tinggi.
b. Hubungan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman
jagung
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,196
dengan t hitung -1,311 lebih kecil daripada t tabel 1,69 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman
jagung. Hubungan yang tidak signifikan ini disebabkan karena
pendapatan yang tinggi tidak mempengaruhi penerapan konservasi
lahan pasang surut. Apalagi pendapatan responden yang
membudidayakan tanaman jagung relatif rendah yaitu rata-rata Rp
926.883,00 per tahun. Hal itu disebabkan karena biaya produksi dan
upah tenaga kerja untuk budidaya tanaman jagung besar. Maka
responden sulit untuk mengadopsi aturan konservasi di lahan pasang
surut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 100
digilib.uns.ac.id

c. Hubungan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman


kedelai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,067
dengan t hitung -0,300 lebih kecil daripada t tabel 1,73 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendapatan responden dengan penerapan konservasi
untuk tanaman kedelai. Hubungan yang tidak signifikan ini disebabkan
karena pendapatan yang tinggi tidak mempengaruhi penerapan
konservasi lahan pasang surut. Apalagi pendapatan responden untuk
budidaya tanaman kedelai relatif rendah yaitu Rp 1.535.636,00 per
tahun.
Sebagian besar responden membudidayakan tanaman kedelai
dengan tumpangsari. Responden membudidayakan tanaman kedelai
dengan tanaman padi dan jagung. Responden yang menanam kedelai
secara monokultur hanya 5 orang, sehingga petani cukp sulit untuk
menerapkan konservasi di lahan pasang surut.
d. Hubungan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman
kacang panjang
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs -0,385
dengan t hitung -1,445 lebih kecil daripada t tabel 1,78 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman
kacang panjang. Hubungan yang tidak signifikan ini disebabkan karena
pendapatan yang tinggi tidak mempengaruhi penerapan konservasi
lahan pasang surut. Pendapatan responden relatif rendah yaitu rata-rata
Rp 175.285,00 per tahun. Hal itu disebabkan semua responden (14
orang) yang menanam kacang panjang, menanam kacang panjang
secara tumpangsari. Hasil dari tanaman kacang panjang merupakan
hasil sampingan (tambahan) dari tanaman pokok yaitu padi. Dengan
demikian responden sulit untuk menerapkan konservasi di lahan
pasang surut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 101
digilib.uns.ac.id

e. Hubungan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman


cabai
Berdasarkan Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa nilai rs 0,255
dengan t hitung 0,590 lebih kecil daripada t tabel 2,02 pada taraf
kepercayaan 90%. Nilai ini menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara pendapatan dengan penerapan konservasi tanaman
cabai. Hubungan yang tidak signifikan ini disebabkan pendapatan yang
tinggi tidak mempengaruhi penerapan konservasi lahan pasang surut.
Pendapatan responden yang membudidayakan tanaman cabai relatif
rendah yaitu Rp 778.785,00 per tahun. Hal itu disebabkan sebagian
besar responden yang membudidayakan tanaman cabai secara
tumpangsari. Sehingga hasil yang didapat dari tanaman cabai kurang
maksimal. Maka membuat responden sulit untuk menerapkan
konservasi di lahan pasang surut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan antara
pendapatan responden dalam usahatani di lahan pasang surut dengan
tingkat penerapan konservasi tidak signifikan, baik pada responden
yang membudidayakan tanaman padi, jagung, kedelai, kacang panjang,
maupun cabai.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara karakteristik
sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut
di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Karakteristik sosial ekonomi responden.
a. Sebanyak 48 persen responden berumur 55 tahun atau lebih serta
berpendidikan formal hingga tamat SD.
b. Sebanyak 70 persen responden mengikuti penyuluhan 0-4 kali. Ada 46
persen responden yang berusahatani di lahan pasang surut antara satu
sampai sembilan tahun. Ada 58 persen responden menyewa lahan
pasang surut kurang dari 0,25 ha. Dan pendapatan dari 82 persen
responden tidak cukup memenuhi kebutuhan primer keluarga tiap
bulan.
2. Tingkat penerapan konservasi berdasarkan jumlah komoditas yang di
budidayakan.
a. Tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut untuk tanaman padi,
tanaman jagung, dan tanaman cabai tergolong cukup sesuai dengan
peraturan yang dianjurkan Perum Jasa Tirta I.
b. Tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut untuk tanaman
kedelai dan tanaman kacang panjang tergolong sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan oleh Perum Jasa Tirta I.
c. Tingkat penerapan konservasi di lahan pasang surut untuk semua jenis
tanaman skornya 53 sehingga dapat dikatakan cukup sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan Perum Jasa Tirta I.
d. Tingkat penerapan konservasi di lahan pasang surut untuk responden
yang membudidayakan satu jenis tanaman, dua jenis tanaman, dan tiga
jenis tanaman termasuk dalam kategori cukup sesuai dengan peraturan
commit
yang telah ditetapkan Perum to Tirta
Jasa user I.

102
perpustakaan.uns.ac.id 103
digilib.uns.ac.id

e. Tingkat penerapan konservasi di lahan pasang surut untuk responden


yang membudidayakan empat jenis tanaman, dan lima jenis tanaman
termasuk dalam kategori sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan
Perum Jasa Tirta I.
3. Hubungan antara karakteristik sosial ekonomi petani dengan tingkat
penerapan konservasi lahan pasang surut.
a. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara umur petani dengan
tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut, baik pada responden
yang membudidayakan tanaman padi, tanaman jagung, tanaman
kedelai, tanaman kacang panjang, tanaman cabai maupun total seluruh
tanaman.
b. Terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal dengan
tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut pada responden yang
membudidayakan tanaman jagung, tanaman kacang panjang, dan
tanaman cabai. Sedangkan pada responden yang membudidayakan
tanaman padi, kedelai dan total semua responden mempunyai
hubungan yang tidak signifikan.
c. Terdapat hubungan yang tidak signifikan antara pendidikan non formal
(keikutsertaan responden dalam penyuluhan) dengan tingkat penerapan
konservasi lahan pasang surut, pada responden yang membudidayakan
tanaman padi, jagung, kedelai, kacang panjang maupun cabai.
Sedangkan total semua responden mempunyai hubungan yang
signifikan.
d. Terdapat hubungan sangat signifikan antara pengalaman responden
yang membudidayakan tanaman cabai yang menyewa lahan pasang
surut dengan tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut.
Sedangkan pada total semua responden maupun responden yang
membudidayakan tanaman padi, jagung, kedelai dan kacang panjang
tidak terdapat hubungan yang signifikan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 104
digilib.uns.ac.id

e. Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara luas lahan yang


disewa responden dengan tingkat penerapan konservasi lahan pasang
surut pada responden yang membudidayakan tanaman jagung.
Sedangkan pada total semua responden terdapat hubungan yang
signifikan. Responden yang membudidayakan tanaman padi, kedelai,
kacang panjang, dan cabai tidak terdapat hubungan yang signifikan.
f. Terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan tingkat
penerapan konservasi lahan pasang surut untuk total seluruh
responden. Sedangkan responden yang membudidayakan tanaman
padi, jagung, kedelai, kacang panjang maupun cabai tidak terdapat
hubungan yang signifikan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara karakteristik
sosial ekonomi petani dengan tingkat penerapan konservasi lahan pasang surut
di Bendungan Gajah Mungkur Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri,
peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut:
Pemerintah menganjurkan agar cara mengolah tanah untuk budidaya
tanaman di lahan pasang surut dengan TOT ( Tanpa Olah Tanah). Tujuannya
untuk mencegah erosi yang disebabkan oleh lumpur lahan pasang surut yang
masuk ke perairan saat hujan tiba. Namun petani yang menyewa lahan pasang
surut cukup luas, pengolahan lahan pasang surut menggunakan traktor. Untuk
mengurangi tindakan petani tersebut sebaiknya dalam penyewaan lahan
pasang surut diberi batasan luas lahan. Dengan demikian diharapkan tingkat
konservasi di lahan pasang surut dapat meningkat serta petani penyewa
mendapat luas lahan yang disewa relatif sama. Untuk membatasi penggunaan
traktor petani diperkenankan menyewa beberapa petak lahan yang terpisah di
area pasang surut Bendungan Gajah Mungkur.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai