Anda di halaman 1dari 9

2.

1 Daya Saing
Daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan dan
pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam peningkatan
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Daya saing didentifikasikan dengan masalah
produktifitas, yakni dengan melihat tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang
digunakan. Meningkatnya produktifitas ini disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik
modal dan tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan
teknologi (Abdullah, 2002). Menurut Frinces (2011), daya saing adalah hasil dari
keunggulan-keunggulan yang dimiliki dan nilai lebih oleh sebuah perusahaan untuk
menghasilkan sesuatu, baik berupa jasa atau barang. Kenggulan berasal dari proses kerja
yang dilakukan dengan kualitas yang baik dan konsep manajemen profesional diiringi
dengan kontribusi sumber daya terbaik seperti bahan baku, kepemimpinan, keuangan yang
cukup, SDM dan dukungan dari teknologi yang canggih.

2.1.1 Elemen Daya Saing


Menurut Porter (1995), hal yang paling penting dalam pengukuran daya saing adalah
produktivitas suatu industri baik dalam memproduksi barang maupun jasa. Menurutnya
dengan produktivitas dapat meningkatkan pendapatan perkapita disusul dengan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Porter mengemukakan pentingnya daya saing bagi
sebuah industri karena dapat meningkatkan kapasitas ekonomi yang mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, menjadi stimulator peningkatan produktivitas
dan kemampuan usaha mandiri, dan adanya kepercayaan bahwa mekanisme pasar dapat
menimbulkan efisiensi. Dalam model Porter’s diamond, terdapat empat elemen penting
terkait daya saing. Adapun elemen-elemen tersebut adalah kondisi faktor, kondisi
permintaan, industri pendukung terkait, strategi, struktur, dan pesaing. Secara tidak
langsung daya saing perusahaan juga dipengaruhi oleh peran pemerintah dan adanya
peluang-peluang. Berikut adalah bagan dan penjelesan dari masing-masing elemen:
Gambar 2. 1 Model Porter’s Diamond
Sumber: (Porter, 1990)
a) Kondisi Faktor
Kondisi faktor merupakan faktor-faktor produksi yang sudah dimiliki perusahaan
seperti tenaga kerja (labour), infrastruktur, modal (capital), dan sumber daya alam
(natural resources). Kondisi faktor merupakan input penting dalam sebuah industri untuk
menjalankan usahanya agar tetap memiliki daya saing dengan perusahan-perusahaan
lainnya.
b) Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan merupakan bentuk dari kondisi dan sifat asal untuk barang dan
jasa yang berperan penting untuk keunggulan kompetitif. Kondisi ini dapat mendorong
perusahaan untuk terus berinovasi dalam peningkatan kualitas produk yang mereka
tawarkan dalam rangka meningkatkan daya saingnya mereka.
c) Industri Pendukung
Terkait Dengan adanya industri pendukung terkait maka akan terjalin sebuah
hubungan yang baik, cepat, dan aliran informasi yang akurat antara produsen dengan
pengguna terakhir. Hal ini juga mendorong pertukaran ide dan inovasi guna terciptanya
daya saing yang kuat. Selain itu dengan hadirnya industri pendukung terkait akan
menciptakan sinergitas dan efeisiensi bagi industri terkait.
d) Strategi, Struktur dan Pesaing
Daya saing dalam industri yang spesifik merupakan hasil dari konvergensi praktek
manajemen dan model organisasi mayoritas digunakan di suatu negara dan sumber-
sumber keunggulan kompetitif dalam industri itu sendiri.
e) Peran Pemerintah
Secara tidak langsung pemerintah memiliki pengaruh terhadap tingkat daya saing
sebuah perusahaan. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan mempengaruhi tingkah
laku perusahaan dalam melakukan kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor produksi
perusahaan dipengaruhi oleh regulasi yang dikeluarkan pemerintah, kemudaan akses
suatu faktor produksi dan juga peningkatan infrastruktur. Adanya penentuan standar
produk lokal oleh pemerintah juga strategi akan melihat birokrasi pemerintah setempat
agar strategi yang dikeluarkan tepat dan efektif, seperti kebiakan pajak dan antitrust.
f) Peran Peluang
Peran peluang dalam mempengaruhi daya saing terlepas dari pemerintah dan
kendali perusahaan itu sendiri. Peran peluang dapat menciptakan lingkungan daya saing
baru dan selanjutnya akan meningkatkan daya saing, seperti terobosan teknologi
mutakhir, perkembangan iklim politik, dan adanya perubahan dalam permintaan pasar
asing.

2.1.2 Konsep Daya Saing


Menurut Cho (2003), definisi daya saing yang paling populer pada tingkat nasional
juga dapat ditemukan dalam Laporan Komisi Kemampuan Bersaing Presiden yang ditulis
untuk pemerintahan Reagan pada tahun 1984 yaitu sebagai berikut : “Kemampuan bersaing
sebuah negara adalah derajat di mana negara itu dapat, di bawah keadaan pasar yang
bebas dan adil, menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi uji pasar internasional
sementara secara simultan melakukan perluasan pendapatan riel dari para warga
negaranya. Kemampuan bersaing pada tingkat nasional didasarkan pada kinerja
produktifitas superior” (Millah, 2013). Daya saing mencakup aspek yang lebih luas, tidak
berkutat hanya pada level mikro perusahaan, tetapi juga mencakup aspek diluar perusahaan
seperti iklim berusaha yang jelas diluar kendali perusahaan (Abdullah, dkk, 2002). Secara
lebih rinci, Michael Porter (1990) mendefinisikan daya saing nasional sebagai : “luaran dari
kemampuan suatu negara untuk berinovasi dalam rangka mencapai, atau mempertahankan
posisi yang menguntungkan dibandingkan dengan negara lain dalam sejumlah sektor-sektor
kuncinya”. Martin (2003) menyatakan konsep dan definisi daya saing suatu negara atau
daerah mencakup beberapa elemen utama sebagai berikut :
1) Meningkatkan taraf hidup masyarakat
2) Mampu berkompetisi dengan daerah maupun negara lain
3) Mampu memenuhi kewajibannya baik domestik maupun internasional
4) Dapat menyediakan lapangan kerja
5) Pembangunan yang berkesinambungan dan tidak membebani generasi yang akan
datang

2.2 Multi-Sector Analysis (MSA)


Multi Sector Analysis (MSA) adalah adalah teknik analisa kualitatif yang menilai
faktor-faktor pada daya saing yang berkontribusi pada pengembangan wilayah (Roberts and
Stimson, 1998). Menurut Stimson, Stough, and Roberts (2005) Multi Sector Analysis (MSA)
adalah metode analisis untuk menilai daya saing dan risiko pada suatu industri atau wilayah
di masa mendatang. MSA digunakan untuk mengetahui faktor dan industri apa saja yang
berkontribusi untuk keunggulan kompetitif, mengetahui kekuatan dan kelemahan dari
sektor, untuk mengidentifikasi hubungan dan interdependensi dari faktor-faktor yang
mendukung. Selain itu, MSA juga digunakan sebagai alat analisis kualitatif dalam mengukur
tingkat kompetitif dari faktor-faktor terkait peranannya dalam perkembangan wilayah.
Analisis tersebut berfungsi untuk melengkapi bukti pendukung strategi pengembangan
perekonomian pada suatu daerah pada pertengahan tahun 90-an. Seiring
perkembangannya, Washington DC, AS, turut mengaplikasikan MSA guna menentukan dasar
dari perkembangan wilayah kedepannya serta strategi pengembangan perekonomiannya
(Stough, 2001 dalam Regional Economic Development Analysis and Planning Strategy).
Selain itu, MSA juga digunakan untuk menganalisis kebutuhan infrastruktur di Ho Chi Minh,
Vietnam (Roberts, 2006). Melaksanakan MSA ekonomi daerah membutuhkan waktu dan
sumber daya. Menurut Puspita (2017), MSA menjembatani metode analisis kuantitatif dan
kualitatif agar memberikan perspektif yang lebih baik dalam mengidentifikasi dan
mengevaluasi faktor-faktor yang menciptakan daya saing pada perekonomian suatu wilayah.

2.2.1 Metode Multi Sector Analysis (MSA)


MSA (Multi Sector Analysis) digunakan untuk mengetahui faktor dan industri apa saja
yang berkontribusi untuk keunggulan kompetitif, mengetahui kekuatan dan kelemahan dari
sektor, untuk mengidentifikasi hubungan dan interdependensi dari faktor-faktor yang
mendukung. Menurut Stimson, R., Stough, R., Roberts, B. (2006), terdapat beberapa
metode yang digunakan dalam melakukan Multi-Sector Analysis (MSA) antara lain SWOT,
Matrix Theory dan Structural Analysis.
A. Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats) pada MSA digunakan
untuk mengidentifikasi kesempatan atau kelebihan dari salah satu sektor industri yang
dapat berpengaruh terhadap industri lain untuk meningkatkan daya saing ekonomi.
Namun, analisis SWOT itu sendiri memiliki kelemahan, yaitu membutuhkan waktu yang
lama pada pengerjaannya dan jarang digunakan dalam analisis pengembangan wilayah
dan perencanaan ekonomi.
B. Matrix Theory
Matrix Theory dipelopori oleh Saint-Paul dan Teniere-Buchot pada tahun 1974. Matrix
theory digunakan untuk analisis kualitatif, dengan menggunakan data kualitatif dan
kuantitatif. Matrix theory digunakan untuk merepresentasikan serangkaian data yang
kompleks dan tidak jarang juga digunakan untuk menyederhanakan notasi saat
berhadapan dengan angka yang besar pada suatu persamaan. Pada MSA, Matrix Theory
digunakan untuk membandingkan sektor industri pada berbagai macam kriteria. Kriteria-
kriteria tersebut diperoleh dari penaksiran pelaksanaan sektor industri dibandingkan
dengan kriteria evaluasi atau kepentingan kriteria evaluasi untuk daya saing wilayah
pada sektor industri. Keuntungan dari penggunaan teori matriks ini adalah kita dapat
mengetahui faktor yang biasa dibandingkan pada sektor basis antar wilayah yang
berkontribusi dalam daya saing wilayah dan perkembangan ekonomi. Manfaat dari
penggunaan teori matriks pada MSA adalah untuk mengkompilasi serangkaian indikator
yang digunakan untuk mengevaluasi daya saing sektor industri suatu wilayah dan
menaksir faktor resiko apa yang mungkin muncul dari industri tersebut yang akan
berdampak pada wilayah.
Tabel 2. 1 Contoh Tabel Matriks pada Multi-Sectoral Analysis

Sumber: Stimson, R., Stough, R., Roberts, B. (2006) Regional Economic Development:
Analysis and Planning Strategy
Pada contoh tabel diatas maka dapat dilihat bahwa pada tabel matriks, indikator
pada kolom berupa kriteria evaluasi, sementara indikator pada baris berupa sektor-
sektor industri. Indeks industri didapatkan dengan mencari rata-rata data pada kolom
yang sama. Indeks kriteria prioritas didapatkan dengan mencari rata-rata data pada
baris yang sama.
C. Structural Analysis
Menurut Godet (1991), analisis struktural digunakan untuk mengatasi permasalahan
dari analisis SWOT pada MSA. Analisis struktural menjelaskan suatu sistem
menggunakan matriks yang menghubungkan seluruh komponen pada sistem tersebut
dengan pembobotan. Manfaat dari penggunaan analisis strukural pada MSA adalah
untuk menstimulasi pemikiran mengenai bagaimana suatu sistem ekonomi wilayah
beroperasi. Disamping itu, analisis ini dapat digunakan untuk mengevaluasi pilihan
strategis dan skenario perencanaan, dan membantu dalam komunikasi dan diskusi untuk
menentukan opsi pengembangan ekonomi yang spesifik.
Gambar 2. 2 Contoh Matriks Stuctural Analysis untuk Mengevaluasi
Interrelationship antara Ketenagakerjaan dan Pengangguran di Perancis
Sumber: Stimson, R., Stough, R., Roberts, B. (2006) Regional Economic Development:
Analysis and Planning Strategy
Pada contoh tabel diatas, terdapat 41 (empat puluh satu) kategori exogenous dan
endogenous yang berpengaruh terhadap ketenagakerjaan menggunakan qualitative
assessment. Kategori exogenous merupakan variabel yang berasal dari eksternal, sementara
kategori endogenous merupakan variabel yang berasal dari internal kasus tersebut. Pada
contoh matriks diatas, terdapat 5 (lima) indikator pembobotan, yaitu Very Strong (VS),
Strong (S), Average (A), Weak (W), dan Very Weak (VW). Kategori pada matriks tersebut
didapatkan dengan menggunakan Delphi atau teknik FGD (Forum Group Discussion), dan
diperbaiki berulang kali hingga mencapai konsensus. Hasil dari penggunaan analisis
struktural diatas adalah variabel yang paling determinan jika dibandingkan dengan variabel
lainnya.

2.2.2 Manfaat Multi-Sector Analysis (MSA)


Terdapat beberapa manfaat dari penggunaan Multi-Sector Analysis, yaitu:
1) Untuk mengetahui faktor-faktor dalam industri yang berpengaruh terhadap
keunggulan kompetitif

2) Untuk mengukur strength dan weakness dari suatu sektor industri

3) Untuk mengidentifikasi hubungan dan interdependensi dari faktor-faktor yang


mendukung perkembangan industri
4) Untuk mengidentifikasi kesempatan dan pasar baru untuk pengembangan
ekonomi wilayah

2.3 MSA Dalam Ekonomi Wilayah


MSA merupakan teknik analisa untuk menilai faktor-faktor daya saing yang
berkontribusi pada pengembangan wilayah, dimana daya saing tersebut berperan dalam
penyusunan strategi pengembangan ekonomi wilayah dan sebagai penentu potensi
pengembangan wilayah. Selain itu hasil penilaian faktor pada MSA dapat digunakan untuk
mendorong suatu wilayah agar tidak hanya mengandalkan keunggulan komparatifnya saja
namun juga dapat bersaing dengan wilayah lain menggunakan keunggulan kompetitif.
Menurut Simarmata (2013), daya saing wilayah terdiri atas tiga elemen yaitu kemampuan
pusat (core competencies), infrastruktur strategis (strategic infrastructure, dan manajemen
resiko (risk management). Ketiga elemen tersebut menjadi pertimbangan dalam pengukuran
keunggulan kompetitif dalam MSA.

2.3.1 Kemampuan Inti (Core Competencies)


Menurut Hamel dan Prahalad (1994), core competencies yang dimaksud dalam daya
saing wilayah berupa sumber daya keunggulan wilayah, teknologi, kemampuan, dan
infrastruktur yang mendorong keunggulan kompetitif. Core competencies dapat digunakan
untuk mengukur daya saing sektor industri dan daya saing kemampuan pusat. Kompetensi
atau kemampuan inti adalah karakteristik unik dari suatu wilayah dalam menggunakan
sumber daya, teknologi, keterampilan (skill), infrastruktur, dll dengan tujuan untuk
mengembangkan keunggulan kompetitifnya. Untuk mengukur indeks kompetensi inti,
penelitian ini mengkalikan perspektif responden atas tingkat kekuatan (Strength/S) dan
tingkat kepentingan (Importance/I) faktor-faktor yang membentuk dan/atau faktor daya
tarik (attractiveness factors) kompetensi inti. Berikut merupakan rumus perhitungan yang
digunakan dalam menghitung Indeks Kompetensi Inti:
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑜𝑚𝑝𝑒𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝐼𝑛𝑡𝑖= T𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑜𝑚𝑝𝑒𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝐼𝑛𝑡𝑖 𝑃𝑒𝑟𝑘𝑟𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎
J𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑟𝑖𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑙𝑖𝑡𝑖𝑎𝑛

2.3.2 Infrastruktur Strategis (Strategic Infrastructure)


Infrastruktur strategis dalam penentuan daya saing wilayah adalah segala bentuk
infrastruktur yang mendukung penambahan nilai sebuah kegiatan. Tidak semua infrastruktur
dinyatakan strategis. Infrastruktur strategis dapat berupa sumber daya internal seperti alam,
fiskal, teknologi, dan sumber daya manusia yang mendukung wilayah untuk bersaing dalam
investasi, pengembangan, dan perdagangan. Adapun infrastruktur strategis dapat berupa
elemen fisik yang memfasilitasi usaha produksi, transportasi, dan perdagangan ekspor yang
menambahkan nilai sektor. Infrastruktur strategis diketahui berperan penting dalam
pengembangan ekonomi dan daya saing wilayah. Bahkan sebuah kesalahan kecil yang
terjadi dalam infrastruktur strategis berdampak sangat signifikan terhadap daya saing
industri, ekonomi, dan perdagangan. Infrastruktur stategis sangat berpengaruh dalam
penentuan daya saing suatu daerah karena daya saing suatu industri dan faktor-faktor
terkait daya saing sangat berkorelasi dengan dukungan infrastruktur yang baik. Infrastruktur
strategis dapat meningkatkan nilai tambah dari aktifitas ekonomi unggulan, memfasilitasi
produksi, transportasi, dan ekspor.

2.3.3 Manajemen Risiko (Risk Management)


Manajemen resiko yang dimaksud dalam daya saing wilayah adalah elemen-elemen
resiko, alam, manusia, pasar, dll yang berdampak terhadap kinerja ekonomi wilayah.
Manajemen resiko secara signifikan akan berpengaruh terhadap daya saing ekonomi wilayah
dan keunggulan kompetitif. Penilaian resiko wilayah adalah salah satu elemen penting dalam
MSA yang sangat krusial dalam perencanaan strategis, dan juga dalam manajemen wilayah
dan keputusan investasi (Mason and Harrison, 1995). Untuk mengembangkan strategi dalam
manajemen resiko regional, pengkategorian resiko sangat berguna untuk dilakukan.
Terdapat tujuh kategori yang dapat dipertimbangkan dalam penilaian dan manajemen
resiko. Ketujuh resiko tersebut diantaranya: economic risk, production risk, governance risk,
environmental risk, societal or social risk, technological risk, and behavioral risk.
Masing-masing dari ketujuh resiko tersebut memiliki masing-masing resiko yang
berdampak terhadap ekonomi wilayah. Faktor resiko tidak dapat diterapkan begitu saja
dalam setiap sektor eknomi wilayah karena beberapa resiko menghasilkan dampak/efek
yang luas. Contohnya pada krisis ekonomi yang terjadi di Asia pada 1997, terjadi perubahan
makro ekonomi secara tiba-tiba yang berdampak terhadap sektor produksi. Perubahan ini
ikut berdampak terhadap perubahan kepemerintahan dan pengembangan wilayah di
Indonesia. Manajemen resiko wilayah membutuhkan pendekatan pengembangan strategis
yang dapat melihat resiko baik secara internal maupun eksternal. Oleh sebab itu,
manajemen resiko terbagi atas exogenous dan endogenous resiko.
a. Exogenous risk adalah resiko yang dilihat secara eksternal. Terdapat empat pendekatan
yang dapat digunakan untuk mengurangi resiko exogeneous wilayah yaitu: pembatasan
secara kolektif, dukungan dan perlindungan industri, sistem inovasi daerah, dan strategi
kerjasama.
b. Endogenous risk adalah resiko yang dilihat secara internal. Terdapat empat pendekatan
yang dapat digunakan untuk mengurangi resiko exogeneous wilayah yaitu: kluster
industri, peningkatan kerjasama lokal, dan peningkatan proses konsultasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Petter. 2002. Daya Saing Daerah Konsep dan Pengukurannya di Indonesia.
Yogyakarta : BPFE
Afianti, Puspita Putri. 2017. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Standar Akuntansi
Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP) Pada UMKM Di Kabupaten
Bogor. Jurnal FE Universitas Negeri Jakarta. Jakarta
Cho, Dong-Sung & Hwy-Chang Moon. 2003. From Adam Smith To Michael Porter (Evolusi
Teori Daya Saing). Jakarta : Salemba Empat
Frinces, Z. Heflin. 2011. Manajemen SDM: Kiat Memenangkan Persaingan Global.
Yogyakarta: Gradasi Media.
Ganeshan, R., and Harrison, T. P., 1995, An Introduction to Supply Chain Management,
Department of Management Sciences and Information Systems.
Hamel dan Prahalad. Management. New Delhi: Tata McGraw Hill, 1995.
Kitson, M., Martin, R. and Tyler, P. 2004. Regional Competitiveness: An Elusive yet Key
Concept? Regional Studies, 38 (9): 991
Michael E. Porter (1990): “Competitive Strategy”., Techniques for Analysing Industries and
Competitors. New York: The Free Press.
Michael E. Porter (1995): “Competitive Advantage”New York: The Free Press., edisi
terjemahan (2008)., Kharisma Publishing Group.
Millah dan Sasana. (2013). Analisis Daya Saing Daerah di Jawa Tengah (Studi Kasus: Kota
Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Pekalongan, dan Kota
Tegal Tahun 2009-2011). Diponegoro Journal of Economics. Vol. 3, No.1, Tahun 2014,
1-8
Simarmata, D. M. (2013). Analisis Daya Saing DKI Jakarta Ditinjau Dari Kompetensi Inti,
Infrastruktur Strategis, dan Risiko Ekonomi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Multi-Sector Analysis: Approaches to Assessing Regional Competitiveness and Risk. (2006).
In R. J. Stimson, R. R. Stough, & B. H. Roberts, Regional Economic Development (pp.
279-318). Berlin: Sprineger Berlin Heidelberg.

Anda mungkin juga menyukai