Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS HUKUM SISTEM PENGELOLAAN PEKERJA OUTSOURCING

DI KOTA MAKASAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

XXX-X-XXXX-XXXX-X/XX/$XX.00 ©20XX IEEE


1st Mustari 2nd //////////////////
Dep.Pancasila and Civic Education Dep.Pancasila and Civic Education
Faculty of Social Science Faculty of Social Science
Universitas Negeri Makassar Universitas Negeri Makassar
Makassar, Indonesia Makassar, Indonesia
mustari6508@unm.ac,id Email//////
Abstract—issu penelitian:
Korupsi merupakan suatu kejahatan yang sudah dianggap sebagai suatu kejahatan yang sangat luar biasa “ extra
ordinary crime” singga dianggap sebagai “beyond the law” karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas
atas (high level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic). Pemberantasan tindak pidan korupsi
secara global diatur dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi 2003) yang telah diratifikasi dengan lahirnya UU No.7 Tahun 2003. Dalam ratifikasi tersebut
telah diatur secara khusus hal-hal baru yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara khusus diberi kewenangan kepada Komisi Pemberantasa Tindak
Pidana Korusi sebagaimana diatur dalam UU.No 30 Tahun 2003. Dengan kewenangan itu, maka pemberantasan
tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara proesional, intensif, dan berkesinambungan. Dengan demikian
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan suatu upaya atau model pemberantasan yang memadai dan
optimal, baik dari segi pencegahan maupun penindakan

Kata Kunci : Model pencegahan dan penindakan pemberantasan tindak pidana korupsi
I. INTRODUCTION

Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk untuk mencegah dan memberantas tindak pidan
korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan,
dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. KPK sebagai lembaga yang diberi
tugas dan kewenangan tentu saja bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dengan berdasarkan pada
prinsip kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Dalam UU KPK pada pasal 26
terdapat dengan jelas sebagai lembaga yang melakukan pencegahan dan penindakan. Pada bidang pencegahan meliputi bidang
pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara, bidang gratifikasi, bidang pendidikan dan
pelayanan masyarakat, bidang penelitian dan pengembangan.
Dalam pencegahan tindak pidana korupsi diperlukan suatu perbaikan sistem. Banyak sistem diterapkan di Indonesia
memberikan peluang korupsi di Indonesia. Sistem yang baik bisa meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi, maka itu
diperlukan perbaikan sistem, misalnya : mendorong transparaansi penyelenggara negara, seperti yang dilakukan oleh KPK
menerima pelaporan LHKPN, dan juga gratifikasi. Memberikan rekomnedasi kepada kementerian dan lembaga terkait untuk
melakukan langkah-langkah perbaikan. Memordenisasi pelayanan publik dengan online dengan sistem pengawasan yang
terintegrasi agar lebih transparansi dan efektif. Edukasi dan Kampanye adalah strategi pembelajaran pendidikan anti korupsi
dengan tujuan membangkitkan kedasaran masyarakatmengenai dampak korupsi, mengajak masyarakatuntuk terlibatdalam
gerakan pemberantasan korupsi serta membangun perilaku dan budaya anti korupsi tidak hanya bagi mahassiswa dan
masyarakat umum namun juga anak usia dini dan taman kanak-kanak dan sekolah. (pusat edukasi anti korupsi)
Isp.kpk@kpk.go.id.

Sekadar gambaran bahwa pencegahan tindak pidana korupsi dengan upaya pemeriksaan laporan kekayaan penyelenggara
negara, belum menunjukkan tingkat pelaporan yang belum optimal dari penyelenggara negara, dari data yang ada tentang
LHKPN : DPD dengan tingkat kepatuhan 75,76%, DPRD 60,42%, BUMN/BUMD 89,39 % Eksekutif 75,11 %, Yudikatif
61,06 % MPR 75,00 % DPR 56,50 % (Laporan Ketua KPK dalam Kompas Siang)
Legalisasi penggunaan jasa outsourcing baru terjadi pada tahun 2003, yakni dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh banyak kalangan menganggap sebagai timbulnya praktek perbudakan modern di
Indonesia, hampir di semua sektor pekerjaan melibatkan pekerja outsourcing. Banyak perkara diajukan ke pengadilan
hubungan industrial mengenai tuntutan pekerja outsourcing yang diputus hubungan kerjanya secara sepihak, untuk
mendapatkan kompensasi pemutusan hubungan kerja dari perusahaan pengguna atau bahkan agar dapat dipekerjakan pada
perusahaan pengguna sebagai pekerja di perusahaan tersebut. Pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan dapat
berjalan dengan baik dan menguntungkan jika terdapat keterkaitan yang baik antara teori, norma dan pelaksanaan, termasuk
aturan sistem outsourcing. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyangkut
outsourcing adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). pasal 64 adalah dasar hukum
berlakunya outsourcing. Pasal 64 mengatur bahwa:
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lainnya melalu perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Selanjutnya dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9(1) Penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis.(2) Perjanjian pemborongan
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat: a. hak dan kewajiban masing-masing
pihak;
b.menjamin terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-
undangan; dan c. memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
Persyaratan Perusahaan Penerima Pemborongan Pasal 12 Perusahaan penerima pemborongan harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum; b. memiliki tanda daftar perusahaan; c. memiliki izin usaha; d. memiliki bukti wajib lapor
ketenagakerjaan di perusahaan.
Bagian Perjanjian Kerja Pemborongan Pekerjaan Pasal 13 Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib
memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Pasal 14 Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan mengatur tentang hubungan kerja
antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnyayang dibuat secara tertulis. Pasal 15 Hubungan kerja
antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana diaatur dalam persyaratan penyediaan jasa pekerja/Buruh Pasal 17 (1)
Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan kegiatan
jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. (3) Kegiatan jasa penunjang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); b. usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh (catering); c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan); d. usaha jasa penunjang di pertambangan
dan perminyakan; dan e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh. (UU.No.13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan)
Jika menyimak hukum perburuhan di Afrika selatan dalam dua dasawarsa terakhir telah melakukan reformasi
ketenagakerjaan secara terstruktur dengan mengutamakan perlindungan dan memperluas partisipasi terhadap pekerja (Adler
dan Webster; 2000 Webster dan Von Holdt 2005. akan tetapi perlindungan dasar yang berlaku secara defacto tetap
tumbangkan oleh pengusaha atau tidak dilakukan oleh serika pekerja. (page-Shippp 2003;11. lihat juga Kenny 2009; Theron
2005). ketentuan yang diatur dalam aturan ketenagakerjaan di Afrika selatan banyak pekerja tetap tidak cocok model
tersebut.
Dengan demikian dari dua perbandingan peraturan ketenagakerjaan yang dikembangkan oleh dua negara yakni peraturan
ketenagakerjaan di Indonesia dengan Afrika Selatan, menunjukan bahwa betapa pentingnya serikat pekerja dalam
memperjuangkan hak-hak pekerja, sesuai dengan hak-hak normatifnya.
II. RESEARCH METHODE
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan normatif-sosiologis, melalui kajian teori
hukum dan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Lokasi penelitian di Sulawesi Selatan. Sumber bahan hukum
penelitian ini terdiri atas tiga macam, yaitu pertama, bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan, Kedua, bahan hukum sekunder berupa asas-asas hukum, teori hukum. Ketiga, bahan hukum tersier berupa
artikel-artikel atau jurnal hukum. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan wawancara dan studi dokumen. Bahan
hukum yang telah diperoleh, selanjutnya dilakukan kategorisasi atau coding data dan analisis dengan menggunakan analisis
kualitatif dengan pendekatan normatif-sosiologis untuk menginterpretasi bahan-bahan hukum tersebut secara deskriptif.
III. RESULT AND DISCUSSION
Hasil penelitian menujukkan bahwa pekerja outsourcing adalah pekerja yang secara hukum telah diatur keberadaanya
dalam peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 bahwa pelaksanaan pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh
diarahkan untuk menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis,dinamis dan berkeadilan. Dan dilaksanakan dengan
melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) bahwa Penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis.
Hak dan kewajiban masing-masing pihak merupakan salah satu ketentuan yang diatur dalam UU. ketenagakerjaan
sebagaimana diatur bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan. Dengan demikian perusahaan penyedia jasa bertanggungjawab segala sesuatunya yang terkait
dengan bidang ketenagakerjaan, termasuk diantaranya adalah hak-hak pekerja, perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja, sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pasal 64 yang mengatur bahwa perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/ buruh yang dibuat secara tertulis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh pihak pertama selaku
pemberi kerja dengan pihak kedua untuk melaksanakan pekerjaan tertuang dalam dokumen perjanjian kerja sama.
Dalam perjanjian tersebut pihak pertama menyatakan setuju dan sepakat untuk menunjuk dan memberikan tugas/pekerjaan
kepada pihak kedua, dan pihak kedua menyatakan setuju dan sepakat menerima tugas/pekerjaan dari pihak pertama untuk
melaksanakan pekerjaan.
Dalam beberapa klausul pasal yang mengatur tentang hak-hak pekerja, sehingga perjanjian kerja tersebut belum
menunjukkan perjanjian yang seharusnya menurut ketentuan sebagaimana yang diatur dalam UU ketenagakerjaan bahwa
perjanjian kerja pekerja outsourcing dalam kaitannya perlindungan kerja (hak dan kewajiban) adalah sekurang-kurangnya
adalah sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU ketenagakerjaan) dengan demikian dalam suatu perjanjian kerja
seharusnya secara tegas dan jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akan tetapi dalam suatu perjanjian kerja menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang melemahkan posisi
pekerja.
Terkait dengan pengetahuan hukum para pekerja outsourcing berdasarkan hasil wawancara menunjukkan pengertahuan
pekerja terhadap ketentuan hukum ketenagakerjaaan masih rendah, sebagian besar para pekerja outsourcing menyampaikan
bahwa mereka tidak mengetahui tentang hak dan kewajibannya sebagai pekerja, tidak mengetahui adanya UU
ketenagakerjaan, 95% responden menyatakan bahwa mereka tidak perna melihat dan tidak perna disampaikan tentang hak
dan kewajibannya dalam perjanjian tersebut.
Dalam teori perlindungan pekerja, terdapat tiga bentuk perlindungan yang harus diterima oleh pekerja; pertama adalah
perlindungan ekonomis, perlindungan sosial, dan perlindungan kesehatan kerja. (2010 ;61)
Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja
suatu yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya, termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak
mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya. Pekerja menerima upah sebatas pada upah kerja yang disampaikan secara
lisan, sementara jika merujuk pada ketentuan dalam UU ketenagakerjaan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. termasuk didalamnya adalah upah tambahan yang
bisa diterima dan tunjangan-tunjangan lainya serta besarnya upah dan cara pembayarannya, akan tetapi dalam perjanjian
kerja tersebut hanya mengatur tentang besarnya upah sebagai harga dan biaya pekerjaan. Terkait dengan perlindungan teknis
pekerja outsourcing, hanya dijelaskan dalam surat perjanjian kerjsama yaitu bahwa pihak penyedia pekerja hanya
berkewajiban menyediakan peralatan tertentu untuk mendukung pekerjaan yang dibutuhkan saat melaksanakan tugas dan
pekerjaannya. Jika merujuk pada ketentuan yang diatur dalam pasal 86 UU ketenagakerjaan, maka jelas bahwa perusahaan
penyedia jasa pekerja berkewajiban memberi perlindungan keselamatan dan kesehatan pekerja, akan tetapi dalam surat
perjanjian kerjasama tersebut tidak mencantumkan kewajiban tersebut kepada pihak kedua.
Berdasarkan hasil wawancara sebagian besar pekerja belum perna menerima peralatan yang bisa dipakai sebagai alat
pelindung dalam bekerja, terkait sebagai pembersih pekarangan gedung tentu saja sangat dibutuhkan peralatan perlindungan
dalam melakukan pekerjaan. Dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa tidak ada alasan bagi pihak pemberi
jasa untuk tidak memperhatikan hak-hak normatif pekerja termasuk keamanan kerja (job security). (Hasil wawancara)
Dalam hukum ketenagakerjaaan seorang pekerja yang terikat langsung dengan pekerja, maka pihak pemberi kerja sudah
seharusnya menyampikan hak-hak mereka, dan pihak pemberi kerja bertanggungjawab secara hukum, dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum ketenagakerjaan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 13 Tahun
2003. Seharusnya dalam perjanjian kerja sudah tergambar jelas dan tegas hak dan kewajiban masing-masing pihak, akan
tetapi dalam perjanjian kerja yang dibuat antara pemberi kerja dan penerima pekerjaan tidak jelas hak-hak pekerja
sebagaimana hak pekerja yang diatur dalam UU ketenagakerjaan, hanya saja yang digambarkan dalam kontrak kerja adalah
upah pada setiap pekerja.
Praktik sehari-hari outsourcing selama ini diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu
dalam bentuk tidak tetap/kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya
sebatas minimal, tidak adanya jaminan pengembangan karier, dan lain-lain. Dengan demikian memang benar kalau dalam
keadaan seperti itu dikatakan praktik outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan
industrial.
Pengaturan outsourcing dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan belum dapat menjawab semua
permasalahan outsourcing yang begitu luas dan kompleks. Namun, setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum
terhadap pekerja/buruh terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan
kerja lainnya dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan apabila terjadi permasalahan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing dikaitkan dengan hubungan kerja, sangat banyak dibicarakan
oleh pelaku proses produksi barang maupun jasa dan oleh pemerhati. Oleh karena outsourcing banyak dialakukan dengan
sengaja untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh di
bawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh.
Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja/buruh dan tidak jarang diikuti dengan
tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti yang disebutkan di atas menjadi tidak tercapai,
karena terganggunya proses produksi barang maupun jasa.
Dalam penyediaan jasa pekerja/buruh, perusahaan pemberi kerja tidak boleh mempekerjakan pekerja/buruh untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi dan hanya boleh digunakan untuk
melaksanakan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan
dimaksud, antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/ buruh (catering),
usaha tenaga pengaman atau satuan pengamanan (security), usaha jasa penunjang di pertambangan, dan perminyakan serta
usaha penyedia angkutan Pekerja/buruh.
Di samping persyaratan yang berlaku untuk pemborongan pekerjaan, perusahaan penyediaan jasa pekerja/buruh
bertanggung jawab dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan hubungan industrial
yang terjadi.
IV. CONCLUSION

Sistem pengelolaaan pekerja outsourcing menurut ketentuan UU ketenagakerjaan belum berjalan secara optimal, karena
beberapa ketentuan yang dipersyaratkan dalam perjanjian kerja antara pihak yang menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada pihak perusahaan penyedia jasa pekerja, belum diatur secara rinci, jelas dan tegas, sehingga bentuk
perjanjian tersebut dapat saja melemahkan posisi pekerja outsourcing. Praktik sehari-hari outsourcing lebih banyak merugikan
pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu), upah lebih
rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan
pengembangan karier,dan lain-lain, kondisi yang demikian disebabkan karena pihak perusahaan penyedia jasa pekerja kurang
memperhatikan ketentuan yang ada dalam UU ketenagakerjaan. Oleh karena diperlukan keberadaan serikat pekerja yang kuat
dalam memperjuangkan hak-hak normatife pekerja, perlu sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat tentang posisi
pekerja outsourcing dalam UU ketenagakerjaan, sehingga pihak masyarakat yang ingin bekerja sebagai tenaga kerja
outsourcing, tidak selalu menjadi obyek atau sasaran sebagai tenaga kerja murahan bagi pihak perusahaan penyedia jasa
pekerja.

Terima kasih kepada


1. Rektor Universitas Negeri Makasar
2. Dekan Universitas Negeri Makasar
3. Dinas ketenagakerjaan Kota Makasar
4. Dinas Ketenagakerjaan Propinsi Sulawesi Selatan
5. Perusahan Penyedia jasa tenaga kerja Kota

REFERENCES

[1] Anonim. Ties that Bind Book : Teis that Bind. Published by: Wits University Press. Published on line 21 April 2018
September 201pp 166-191 chapter
[2] Adrian Sutedi,2009 Hukum perburuhan, Sinar Grafika jakarta.
[3] Agusmidah,2010 . Dinamika dan Kajian Teori. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta
[4] Asikin, Zainal, Agusfian Wahab, Lalu Husni,Dan Zaeni Asyhadie. 2010. Dasar - Dasar Hukumperburuhan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
[5] Asyhadie, Zaeni. 2007. Hukum Kerja (Hukumketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja). Jakarta:Raja Grafindo Persada
[6] Budiono, Abdul.R 2011. Hukum Perburuhan. Jakarta: Indeks
[7] Budiono, A. Rachmad. 1999. Hukum Perburuhan Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada Chandra Suwondo,
Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta
[8] Husni, Lalu. 2012. Pengantar Hukum Ketenagakerjan Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[9] Sara L.Seck. 2018. Hukum Perburuhan Transnasional dan Lingkungan : Melampaui Pekerja Mandiri
:http://doi.org/10.2017/cls.2018,15 Diterbitkan online 05 September 2018
[10] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
[11] Peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
[12] Surat edaran menteri tenaga kerja dan transmigrasi republik indonesia nomor: se.04/men/viii/2013 tentang pedoman
pelaksanaan peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi republik indonesia nomor 19 tahun 2012 tentang syarat-
syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain.
[13] Konvensi ILO No. 102/1951 tentang standar jaminan sosial
[14] Konvensi ILO No. 111/1958 Tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Posisi
[15] Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi

Anda mungkin juga menyukai

  • Bindo Editor
    Bindo Editor
    Dokumen21 halaman
    Bindo Editor
    Aqil Fadhil Ms
    100% (1)
  • 560863
    560863
    Dokumen11 halaman
    560863
    Aqil Fadhil Ms
    Belum ada peringkat
  • Fef
    Fef
    Dokumen1 halaman
    Fef
    Aqil Fadhil Ms
    Belum ada peringkat
  • Abstrak Jurnal Madura
    Abstrak Jurnal Madura
    Dokumen2 halaman
    Abstrak Jurnal Madura
    Aqil Fadhil Ms
    Belum ada peringkat
  • Neuron
    Neuron
    Dokumen11 halaman
    Neuron
    Aqil Fadhil Ms
    Belum ada peringkat
  • Aqil
    Aqil
    Dokumen8 halaman
    Aqil
    Aqil Fadhil Ms
    Belum ada peringkat
  • Bunga Majemuk Dan Anuitas
    Bunga Majemuk Dan Anuitas
    Dokumen5 halaman
    Bunga Majemuk Dan Anuitas
    Aqil Fadhil Ms
    Belum ada peringkat