Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH DEMAM TIFOID

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lingkungan yang bersih adalah lingkungan yanhg sehat. Apabila lingkungan sehat maka
bakteri dan virus akan lebih sedikit berkembang biak disana. Begitupun dengan
bakterisalmonella typhi penyebab demam tifod akan lebih banyak terdapat pada lingkungan
yang kotor dan tingkat perilaku hidup bersih sehat sangat kurang sehingga kuman tersebut
akan banyak terdapat disana. Kurangnya menjaga kebersihan lingkungan dan rendahnya
kesadaran mastarakat dalam berperilaku hidup bersih sehat akan menjadi bimerang bagi
masyarakat itu sendiri, khususnya lingkungan mereka akan lebih rentan terkena penyakit.
Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
Thypi.Kuman Salmonella Typi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan
air yang tercemar. Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu food (makanan), fingers (jari
tangan/kuku), fomitus (muntah), fly (lalat), dan melalui feses. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar
kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman
masuk kedalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-
sel retikuloendotelial. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh
secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F)
selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah
selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah,
bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

1.2 Tujuan

1. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami etiologi demam tifoid.

2. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami terapi obat pada pasien anak dengan

penyakit demam tifoid

3. Mahasiswa mampu menyebutkan dan memahami terapi diet atau asuhan gizi pada pasien

anak dengan penyakit demam tifoid


4. Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang muncul pada klien yang

menderita demam tifoid.

5. Mahasiswa mampu membuat rencana tindakan keperawatan kepada pasien yang

menderita demam tifoid


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
Thypi. Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang
disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Demam tifoid adalah penyakit menular
yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial
yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi nodus peyer di distal ileum. (Soegeng
Soegijanto, 2002)

Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus
(kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus), intestinum mayor (usus
besar ), rektum dan anus. Pada kasus demam tifoid, salmonella typi berkembang biak di usus
halus (intestinum minor). Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang
berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya ± 6 m, merupakan saluran paling
panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari : lapisan usus
halus, lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot
memanjang (muskulus longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus terdiri dari
duodenum (usus 12 jari), yeyenum dan ileum. Duodenum disebut juga usus dua belas jari,
panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat
pankreas. Dari bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit yang disebut
papila vateri. Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledikus) dan saluran
pankreas (duktus wirsung/duktus pankreatikus). Dinding duodenum ini mempunyai lapisan
mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar brunner yang berfungsi
untuk memproduksi getah intestinum. (Mansoer Orief.M. 1999)

Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak leukosit. Disana-sini
terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut kelenjar soliter. Di dalam ilium terdapat
kelompok-kelompok nodula itu. Mereka membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisis
20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya satu sentimeter sampai beberapa
sentimeter. Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat
peradangan pada demam usus (tifoid). Sel-sel Peyer’s adalah sel-sel dari jaringan limfe dalam
membran mukosa. Sel tersebut lebih umum terdapat pada ileum daripada yeyenum. ( Evelyn C.
Pearce, 2000).

Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung dalam usus halus
melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam
permukaan vili usus. Sebuah vili berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang
diikat bersama jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.
Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang di
absorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh
kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan.
Fungsi usus halus :

1. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler

darah dan saluran – saluran limfe.

2. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.

3. Karbohidrat diserap dalam betuk monosakarida.

Didalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan
makanan. Enzim yang bekerja ialah :

1. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik.

2. Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.

3. Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida.

4. Maltosa mengubah maltosa menjadi monosakarida.

5. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida,


BAB III

PEMBAHASAN

Penyebab demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi
B danS.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997). Ada dua sumber penularan salmonella
typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang
sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air
kemih selama lebih dari 1 tahun.

Kuman Salmonella typi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air
yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus
halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami
hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi.
Kuman Salmonella Typi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan
mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-
kelenjar limfe ini salmonella typi masuk ke aliran darah melalui ductus thoracicus.
Kuman salmonella typi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.

Salmonella typi bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem
retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid
disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian ekperimental disimpulkan
bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada
demam tifoid. Endotoksin salmonella typi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena
membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella typi berkembang
biak. Demam pada tifoid disebabkan karena salmonella typi dan endotoksinnya merangsang
sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh zat leukosit pada jaringan yang meradang.

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat
bervariasi. Perbedaaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang
sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang
tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian hal ini
menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalamanpun dapat mengalami
kesulitan membuat diagnosis klinis demam tifoid.

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan
5F yaitu food (makanan), fingers (jari tangan/kuku), fomitus (muntah), fly (lalat), dan melalui
feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella
thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat
akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat.

Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan
dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui
mulut. Kemudian kuman masuk kedalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan
limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-selretikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke
dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus
dan kandung empedu.

Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia.Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia
bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karenamembantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam
disebabkan karena salmonella thypidan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60
hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap
dalamkeadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002).

TERAPI

TERAPI OBAT

 Pasien tanpa komplikasi dapat diobati secara rawat jalan. Mereka harus disarankan
untuk menggunakan teknik mencuci tangan yang ketat dan untuk menghindari
menyiapkan makanan untuk orang lain selama sakit. Rawat pasien harus
ditempatkan di isolasi kontak selama fase akut infeksi. Tinja dan urine harus
dibuang secara aman.
 Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan
suportif melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung
penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
 Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan di
rumah sakit. Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit tifus. Waktu
penyembuhan bisa makan waktu 2 minggu hingga satu bulan.
 Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol,
trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat
demam tipoid di negara-negara barat. Obat-obat pilihan pertama adalah
kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah
sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin
dan fluorokuinolon. Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana
terdapat indikasi kontra pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan dosis
200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat
minum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari,
terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol
dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama
14 hari.

Terapi diet :

 Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat
kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
makanan tingkat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan
vitamin dan mineral untuk mendukung keadaan umum pasien.

 Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7
hari. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah
meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon.
 Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai
sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat.
Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan
perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika,
dan Amerika Latin).
 Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan
manifestasi nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis
awal 3 mg/kg BB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul
pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali
pemberian. Tatalaksana bedah dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit
perforasi usus
 Pembedahan biasanya dilakukan dalam kasus perforasi usus. Kebanyakan ahli
bedah lebih suka sederhana penutupan perforasi dengan drainase peritoneum.
Kecil usus reseksi diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda.
 Jika pengobatan antibiotik gagal untuk membasmi kereta hepatobiliary, kandung
empedu harus direseksi. Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam memberantas
carrier karena infeksi hati yang terus ada.
 Para peneliti dalam laporan Kamerun bahwa senyawa yang berasal dari biji
Turraeanthus africanus, sebuah obat tradisional Afrika untuk demam tifoid, aktif
terhadap S typhi secara in vitro. Tim meneliti sedang mengembangkan untuk
menciptakan tambahan untuk efektifitas antimikroba.

4. Manifestasi Klinik

1. Masa tunas 10 – 20 hari yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,

sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari.

2. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak

badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang.

3. Demam. Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten dan

suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik

setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam

hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu

ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

4. Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir

kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue),

ujung dan tepinya kemerahan.

5. Gangguan kesadaran, umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam yaitu

apatis sampai somnolen, jarang terjadi stupor atau koma (kecuali penyakitnya berat dan

terlambat mendapatkan pengobatan).


6. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan

karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama

demam.

6. Test Diagnostik

a. Pemeriksaan darah

 Pemeriksaan darah untuk kultur (biakan empedu)

Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita pada minggu pertama sakit, lebih
sering ditemukan dalam urine dan feces dalam waktu yang lama.

 Pemeriksaan widal

Pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis thypoid


abdominalis secara pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu
berikutnya. (diperlukan darah vena sebanyak 5 cc untuk kultur dan widal)

b. Pemeriksaan sumsum tulang belakang

Terdapat gambaran sumsum tulang belakang berupa hiperaktif Reticulum Endotel System (RES)
dengan adanya sel makrofag.

7. Penatalaksanaan Medik

a. Perawatan
Pasien thypoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan, observasi dan
diberikan pengobatan yakni :

 Isolasi pasien.

 Desinfeksi pakaian.

 Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah,

anoreksia dan lain-lain.

 Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu normal kembali (istirahat

total), kemudian boleh duduk jika tidak panas lagi, boleh berdiri kemudian berjalan

diruangan.

b. Diet

Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan
tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas, susu 2
gelas sehari, bila kesadaran pasien menurun diberikan makanan cair melalui sonde lambung. Jika
kesadaran dan nafsu makan anak baik dapat juga diberikan makanan biasa.

c. Obat

Obat anti mikroba yang sering digunakan :

 Cloramphenicol

Cloramphenicol masih merupakan obat utama untuk pengobatan thypoid.

Dosis untuk anak : 50 – 100 mg/kg BB/dibagi dalam 4 dosis sampai 3 hari bebas panas/minimal
14 hari.

 Kotrimaksasol
Dosis untuk anak : 8 – 20 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis sampai 5 hari bebas panas/minimal 10
hari.

 Bila terjadi ikterus dan hepatomegali : selain Cloramphenicol juga diterapi dengan

ampicillin 100 mg/kg BB/hari selama 14 hari dibagi dalam 4 dosis.

B. KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Pengumpulan data

1. Identitas klien

Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status
perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.

1. Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri
perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.

1. Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.

1. Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.

1. Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

6. Pola-pola fungsi kesehatan

a) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat
makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.

b) Pola eliminasi

Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring
lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning
kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat
banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
c) Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.

d) Pola tidur dan istirahat

Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.

e) Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.

f) Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak


mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham paad klien.

g) Pola hubungan dan peran

Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan
klien harus bed rest total.

h) Pola penanggulangan stress

Biasanya orang tua akan nampak cemas


7. Pemeriksaan fisik

a) Keadaan umum

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 410 C, muka


kemerahan.

b) Tingkat kesadaran

Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

c) Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran seperti
bronchitis.

d) Sistem kardiovaskuler

Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.

e) Sistem integumen

Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam

f) Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah,
anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat.

g) Sistem muskuloskeletal

Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.

h) Sistem abdomen

Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri
tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada auskultasi peristaltik
usus meningkat.

2. Diagnose keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan

kebutuhan, dispnea.

2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella thypii.

3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan.

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, demam

5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.

6. Resiko devisit volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan

peningkatan suhu tubuh.

7. Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi

8. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran


9. Kelemahan berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring

10. Gangguan personal hygiene berhubungan dengan kelemahan

3. Intervensi Keperawatan

a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan, dispnea.

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3X24 jam pola napas efektif

Kriteria hasil : – Pola napas efektif

 Tidak terdapat pernapasan cuping hidung

 Tidak ada keluhan sesak

 Frekuensi pernapasan dalam batas normal 24-32 x/menit

Intervensi keperawatan

1. Kaji frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan

R/: Pernapasan dangkal, cepat/dispnea sehubungan dengan peningkatan kebutuhan oksigen

1. Selidiki perubahan kesadaran

R/: Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksemia dan gagal pernapasan

1. Pertahankan kepala tempat tidur tinggi. Posisi miring


R/: Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma

1. Dorong penggunaan teknik napas dalam

R/: Membantu memaksimalkan ekspansi paru

1. Kolaborasi

Berikan tambahan okseigen sesuai indikasi

R/: Perlu untuk mengatasi/mencegah hipoksia. Bila pernapasan/oksigenasi tidak adekuat,


ventilasi mekanik sesuai kebutuhan.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, proses peradangan

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, suhu tubuh


normal.

Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda peningkatan suhu tubuh,

TTV dalam batas normal

TD : 80-120/60-80 mmhg

N : 80-100x/i

S : 36,5-370 C

P : 24-32x/i
Intervensi Keperawatan

1. Observasi tanda-tanda vital

R/: Tanda-tanda vital berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit dan menjadi indikator
untuk melakukan intervensi selanjutnya

1. Beri kompres pada daerah dahi

R/: Pemberian kompres dapat menyebabkan peralihan panas secara konduksi dan membantu
tubuh untuk menyesuaikan terhadap panas

1. Anjurkan untuk banyak minum air putih

R/: Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan sehingga perlu diimbangi dengan
asupan cairan yang banyak

1. Kolaborasi pemberian antiviretik, antibiotik

R/: Mempercepat proses penyembuhan, menurunkan demam. Pemberian antibiotik


menghambat pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri

c. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam nyeri
hilang/berkurang

Kriteria hasil : – Tidak ada keluhan nyeri

 Wajah tampak tampak rileks

 Skala nyeri 0-1

 TTV dalam batas normal

TD : 80-120/60-80 mmhg

N : 80-100x/i

S : 36,5-370C

P : 24-32x/i

Intervensi keperawatan

1. Kaji tingkat nyeri, lokasi, sifat dan lamanya nyeri

R/: Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya dan untuk mengetahui sejauh
mana nyeri dipersepsikan.

1. Berikan posisi yang nyaman sesuai keinginan klien.

R/: Posisi yang nyaman akan membuat klien lebih rileks sehingga merelaksasikan otot-otot.

1. Ajarkan tehnik nafas dalam


R/: Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi nyeri

1. Ajarkan kepada orang tua untuk menggunakan tehnik relaksasi misalnya visualisasi,

aktivitas hiburan yang tepat

R/: Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian

1. Kolaborasi obat-obatan analgetik

R/: Dengan obat analgetik akan menekan atau mengurangi rasa nyeri

d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, demam

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam,


pola tidur efektif

Kriteria hasil : Melaporkan tidur nyenyak

 Klien tidur 8-10 jam semalam

 Klien tampak segar

Intervensi Keperawatan

1. Kaji pola tidur klien

R/: Mengetahui kebiasaan tidur klien, mengetahui gangguan yang dialami, memudahkan
intervensi selanjutnya
1. Berikan bantal yang nyaman

R/: Meningkatkan kenyamanan meningkatkan pemenuhan istirahat tidur

1. Berikan lingkungan yang nyaman, batasi pengunjung

R/: Mengurangi stimulus yang dapat mengganggu istirahat tidur

1. Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam/masase punggung sebelum tidur

R/: Meningkatkan relaksasi menstimulasi istirahat tidur yang nyaman

e. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan hipertermi, intake inadekua

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam, tidak terjadi defisit
volume cairan

Kriteria hasil : Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi Keseimbangan intake dan output dengan
urine normal dalam konsentrasi jumlah

Intervensi Keperawatan

1. Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit

R/: Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan


atau efek dari kehilangan cairan
1. Observasi adanya tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah

R/: Agar segera dilakukan tindakan/ penanganan jika terjadi syok

1. Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan

R/: Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan cairan

1. Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat

R/: Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah


volume cairan tubuh

1. Kolaborasi pemberian cairan intravena

R/: Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi


kebutuhan cairan yang hilang

f. Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,


nausea, intake inadekuat

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam


kekurangan nutrisi tidak terjadi
Kriteria hasil : Nafsu makan meningkat

 Tidak ada keluhan anoreksia, nausea.

 Porsi makan dihabiskan

Intervensi keperawatan

1. Kaji kemampuan makan klien

R/: Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai indikator intervensi selanjutnya

1. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering

R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa mual dan muntah

1. Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein

R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat

1. Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk memberikan makanan yang disukai

R/: Menambah selera makan dan dapat menambah asupan nutrisi yang dibutuhkan klien

1. Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk menghindari makanan yang

mengandung gas/asam, pedas


R/: dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu mual dan muntah dan
menurunkan asupan nutrisi

1. Kolaborasi

Berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi

R/: Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang dapat memicu mual/muntah

g. Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, pola eliminasi


kembali normal

Kriteria hasil : – Klien melaporkan BAB lancar

– Konsistensi lunak

Intervensi Keperawatan

1. Kaji pola eliminasi klien

R/: Sebagai data dasar gangguan yang dialami, memudahkan intervensi selanjutnya

1. Auskultasi bising usus

R/: Penurunan menunjukkan adanya obstruksi statis akibat inflamasi, penumpukan fekalit
1. Selidiki keluhan nyeri abdomen

R/: Berhubungan dengan distensi gas

1. Observasi gerakan usus, perhatikan warna, konsistensi, dan jumlah feses

R/: Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi ketepatan intervensi

1. Anjurkan makan makanan lunak, buah-buahan yang merangsang BAB

R/: Mengatasi konstipasi yang terjadi

1. Kolaborasi Berikan pelunak feses, supositoria sesuai indikasi

R/: Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan

h. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, persepsi sensori


dipertahankan

Kriteria hasil : – Tidak terjadi gangguan kesadaran

Intervensi Keperawatan

1. Kaji status neurologis


R/: Perubahan endotoksin bakteri dapat merubah elektrofisiologis otak

1. Istirahatkan hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil

R/: Istirahat yang cukup mampu membantu memulihkan kondisi pasien

1. Hindari aktivitas yang berlebihan

R/: Aktivitas yang berlebihan mampu memperburuk kondisi dan meningkatkan resiko
cedera

1. Kolaborasi

Kaji fungsi ginjal/elektrolit

R/: Ketidakseimbangan mempengaruhi fungsi otak dan memerlukan perbaikan sebelum


intervensi terapeutik dapat dimulai

i. Kelemahan berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, tidak terjadi


kelemahan

Kriteria hasil : – Klien mampu melakukan aktivitas sehari-sehari secara mandiri

Intervensi Keperawatan
1. Kaji tingkat intoleransi klien

R/: Menetapkan intervensi yang tepat

1. Anjurkan keluarga untuk membantu memenuhi aktivitas kebutuhan sehari-hari

R/: Mengurangi penggunaan energi yang berlebihan

1. Bantu mengubah posisi tidur minimal tiap 2 jam

R/: Mencegah dekubitus karena tirah baring dan meningkatkan kenyamanan

1. Tingkatkan kemandirian klien yang dapat ditoleransi

R/: Meningkatkan aktivitasringan dan mendorong kemandirian sejak dini

j. Gangguan personal hygiene berhubungan dengan kelemahan; tirah baring

Tujuan : gangguan personal hygiene teratasi

Kriteria hasil : klien tampak rapi dan tampak segar

Intervensi keperwatan :

1. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari

R/: Membantu dalam mengantisipasi / merencanakan pemenuhan kebutuhan secara


individual
1. Lakukan washlap keseluruh tubuh klien dengan air hangat

R/: Memberikan kenyamanan dan menjaga kebersihan kulit klien

1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tetap menjaga kebersihan gigi dan mulut klien

R/: Kebersihan mulut dapat meningkatkan kenyamanan dan selera makan dan kesehatan
pencernaan.

1. Anjurkan orang tua klien untuk mengganti pakaian klien setiap hari

R/: Memberikan kenyamanan kepada klien

1. Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang pentingnya menjaga kebersihan diri

R/: Peningkatan pengetahuan mengembangkan kooperatif klien dan keluarga dalam


pelaksanaan tindakan keperawatan

E. Evaluasi

a. Pola napas efektif

 Tidak terdapat pernapasan cuping hidung

 Tidak ada keluhan sesak

 Frekuensi pernapasan dalam batas normal 24-32 x/menit


b. Suhu tubuh dalam batas normal dengan kriteria :

 Suhu tubuh 36C – 37C

 Bebas demam

c. Nyeri berkurang/hilang dengan kriteria :

 Klien tidak mengeluh nyeri.

 Wajah klien ceria

d. Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dengan kriteria :

 Turgor kulit baik.

 Mukosa lembab

 Intake cairan adekuat.

 Tidak terjadi muntah.

e. Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria :

 Nafsu makan baik.

 Menunjukkan berat badan stabil/ideal.

1. Tidak terjadi gangguan pola tidur dengan kriteria:


 Tidak ada keluhan tidur kurang

 Klien tampak segar

 Klien tidur 8-10 jam semalam

1. Gangguan persepsi sensori teratsi ditandai dengan tidak terjadi gangguan kesadaran

1. Tidak terjadi gangguan eliminasi BAB, dengan kriteria:

 Klien BAB 1 kali sehari

 Konsistensi lunak

1. Kelemahan tearatasi ditandai dengan klien mampu melakukan aktivitas sehari-

sehari secara mandiri

1. Gangguan personal hygiene teratasi ditandai dengan klien tampak rapi dan tampak segar
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2007), Defenisi Typhoid Abdominalis, (online)


(http://www.laboratorium klinik prodia.com, diakses 07 Agustus 2011

Anonim, (2007), Epidemiologi Typhoid Abdominalis, (online)


(http://www.pontianak post.com, diakses 07 Agustus 2011

Hidayat AA, (2006), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, (Edisi 2), Jakarta,
Salemba Medika.

Hidayat AA, (2006), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, (Edisi 1), Jakarta,
Salemba Medika.

Ngastiyah, (2005), Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, Jakarta, EGC.


Nursalam dkk, (2005), Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta,
Salemba Medika.

Pearce C, (2004), Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Jakarta, PT. Gramedia.

Saifuddin, (2006), Anatomi Fisilogi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3,


Jakarta : EGC.

Anonim, (2007), Defenisi Typhoid Abdominalis, (online)


(http://www.laboratorium klinik prodia.com, diakses 07 Agustus 2011

Anonim, (2007), Epidemiologi Typhoid Abdominalis, (online)


(http://www.pontianak post.com, diakses 07 Agustus 2011

Hidayat AA, (2006), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, (Edisi 2), Jakarta,
Salemba Medika.

Hidayat AA, (2006), Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, (Edisi 1), Jakarta,
Salemba Medika.

Ngastiyah, (2005), Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, Jakarta, EGC.

Nursalam dkk, (2005), Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta, Salemba Medika.
Pearce C, (2004), Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Jakarta, PT. Gramedia.

Saifuddin, (2006), Anatomi Fisilogi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3,


Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai