Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita sering kali mendengar atau bahkan melihat ada perusahaan yang tidak
mampu atau tidak sanggup untuk membayar seluruh atau sebagian utang
(kewajibannya) yang sudah jatuh tempo pada saat ditagih. Atau terkadang
perusahaan juga sering tidak memiliki dana untuk membayar kewajibanya tepat
waktu. Mengapa hal tersebut terjadi? Karena perusahaan tidak memiliki dana
yang cukup untuk menutupi utang yang jatuh tempo tersebut. Kasus seperti ini
akan sangat mengganggu hubungan baik antara perusahaan dengan para kreditor,
atau juga dengan para distributor. Dalam jangka panjang, kasus ini akan
berdampak pula kepada para pelanggan (konsumen). Artinya pada akhirnya
perusahaan akan memperoleh krisis kepercayaan dari berbagai pihak yang selama
ini membantu kelancaran usahanya. Padahal kita tahu bahwa kepercayaan dari
berbagai pihak terhadap perusahaan merupakan modal utama perusahaan dalam
mencapai target yang telah ditetapkan.
Ketidakmampuan perusahaan membayar kewajibanya terutama utang jangka
pendek (yang sudah jatuh tempo) disebabkan oleh oleh berbagai faktor. Pertama,
bisa dikarenakan memang perusahaan sedang tidak memiliki dana sama sekali.
Atau kedua, bisa mungkin saja perusahaan memiliki dana, namun saat jatuh
tempo perusahaan tidak memiliki dana (tidak cukup) secara tunai sehingga harus
menunggu dalam waktu tertentu, untuk mencairkan aktiva lainya seperti menagih
piutang, menjual surat-surat berharga, atau menjual sediaan atau aktiva lainya.
Dalam praktiknya, tidak jarang perusahaan mengalami hal sebaliknya, yaitu
kelebihan dana. Artinya jumlah dana tunai dan dana yang segera dan dapat
dicairkan melimpah. Kejadian ini bagi perusahaan juga kurang baik karena ada
aktivitas yang tidak dilakukan secara optimal. Manajemen kurang mampu
menjalankan kegiatan operasinal perusahaan, terutama dalam hal menggunakan

3
dana yang dimiliki. Sudah pasti hal ini akan berpengaruh terhadap usaha
pencapaian laba seperti yang diinginkan.
Penyebab utama kejadian kekurangan dan ketidakmampuan perusahaan untuk
membayar kewajibanya tersebut sebenarnya akibat kelalaian manajemen
perusahaan dalam menjalankan usahanya. Kemudian, sebab lainnya adalah
sebelumnya pihak manajemen perusahaan tidak menghitung rasio keuangan yang
diberikan sehingga tidak mengetahui bahwa sebenarnya kondisi perusahaan sudah
dalam keadaan tidak mampu lagi karena nilai utangnya lebih tinggi dari dari harta
lancarnya. Seandainya perusahaan sudah menganalisis rasio yang berhubungan
dengan hal tersebut, perusahaan dapat mengetahui dengan mudah dan posisi
perusahaan sebenarnya. Kemudian, perusahaan dapat berusaha mencarikan jalan
keluarnya. Analisis keuangan yang berkaitan dengan kemampuan perusahaan
untuk membayar atau kewajiban dikenal dengan nama analisis rasio likuiditas.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian likuiditas dan solvabilitas?
2. Apa yang dimaksud dengan resiko likuiditas?
3. Apa saja metode pengendalian resiko likuiditas?
4. Apa saja sebab terjadinya resiko likuiditas?
5. Apakah hubungan antara likuiditas dan solvabilitas?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian likuiditas dan solvabilitas.
2. Untuk mengerahui tentang resiko likuiditas.
3. Untuk mengetahui metode pengen

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Resiko Likuiditas


1. Pengertian Resiko
Resiko merupakan bahaya, resiko adalah ancaman atau kemungkinan suatu
tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak yang berlawanan dengan
tujuan yang ingin dicapai. Resiko juga merupakan peluang, resiko adalah sisi
yang berlawanan dari peluang untuk mencapai tujuan. Resiko adalah sesuatu
yang selalu dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya keadaan yang merugikan
dan tidak diduga sebelumnya bahkan bagi kebanyakan orang tidak
menginginkannya.
Resiko adalah sebagai konsekuensi atas pilihan yang mengandung ketidak
pastian yang berpotensi mengakibatkan hasil yang tidak diharapkan atau
dampak negative lainya yang merugikan bagi yang mengambil keputusan. Jadi
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan resiko adalah ketidakpastian
atas sebuah keputusan yang telah diambil yang berpotensi menimbulkan
dampak negative atau berlawan dengan tujuan yang akan dicapai.
2. Pengertian Likuiditas
Menurut Joseph E. Burns, Likuiditas bank berkaitan dengan kemampuan
suatu bank untuk menghimpun sejumlah tertentu dana dengan biaya tertentu
dan dalam jangka waktu tertentu. Pernyataan tersebut sependapat dengan
Oliver G. Wood, Jr yang menyatakan bahwa Likuiditas adalah kemampuan
bank untuk memenuhi semua penarikan dana oleh nasabah deposan, kewajiban
yang telah jatuh tempo dan memenuhi permintaan kredit tanpa penundaan. Tak
berbeda jauh, Wiliam M. Glavin menyatakan bahwa Likuiditas berarti
memiliki sumber dana yang cukup tersedia untuk memenuhi semua kewajiban.
Jadi dapat disimpulkan yang dimaksud dengan likuiditas adalah kemampuan
perusahaan atau bank dalam menyediakan dana guna memenuhi segala
kewajibanya.

5
3. Pengertian Resiko Likuiditas
BI melalui PBI no.13/23/PBI/2011 mendefinisikan bahwa resiko likuiditas
sebagi resiko akibat ketidakmampuan bank memenuhi liabilitas yang jatuh
tempo dari sumber pendanaan arus kas dan atau likuid berkualitas tinggi yang
dapat digunakan, tanpa mengganggu aktivitas dan keuangan.
4. Solvabilitas
Menurut Kasmir (2008:151) rasio solvabilitas atau leverage merupakan
rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiaya
dengan hutang. Artinya berapa besar beban utang yang ditanggung perusahaan
dibandingkan dengan aktivanya. Dalam arti luas dikatakan bahwa rasio
solvabilitas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk
membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang
apabila perusahaan dibubarkan (dilikuidasi).

B. Resiko Likuiditas
1. Lembaga Keuangan Bank
Risiko Likuiditas dalam lembaga keuangan Bank adalah risiko akibat
ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari
sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang
dapat diagunkan, tanpa menganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Likuiditas sangat penting untuk menjaga kelangsungan usaha bank. Oleh
karena itu, bank harus memiliki manajemen risiko likuiditas bank yang baik.
Dalam mengantisipasi terjadinya Risiko Likuditas.
Menurut Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
bahwa Risiko Likuiditas dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Risiko Likuditas Pasar, yaitu risiko yang timbul karena Bank tidak mampu
melakukan offsetting posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisi
likuditas pasar yang tidak memadai atau terjadi gangguan di pasar (market
disruption).

6
2. Risiko Likuditas Pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena Bank tidak
mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana
lain.
Aktivitas Manajemen Risiko yang umumnya ditetapkan oleh Bank antara
lain adalah:
a. Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang
dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun
penarikan tunai.
b. Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik
melalui incoming transfer maupun setoran tunai nasabah.
c. Membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan
dana berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar
yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih
rata-rata saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan
likuiditas Bank.
d. Selanjutnya Bank menetapkan secondary reserve untuk menjaga posisi
likuiditas Bank, antara lain menempatkan kelebihan dana kedalam
instrumen keuangan yang likuid.
e. Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang
Bank. Melaksanakan fungsi ALCO (Asset & Liability Committee) untuk
mengatur tingkat bunga dalam usahanya.
f. Meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.
2. Manajemen Resiko
Untuk menganalisis secara lebih dalam tentang risiko likuiditas dapat
dilakukan dengan menganalisis kondisi kemampuan suatu perusahaan yang
dapat dilihat dari segi :
a. Analisis arus kas.
b. Analisis kewajiban jangka pendek.
c. Melakukan analisis terhadap arus dana jangka pendek.
4 pilar manajemen risiko yang diadopsi oleh Bank Indonesia yaitu:
1) Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi.
2) Kebijakan dan prosedur serta limit risiko.
3) Proses manajemen risiko.

7
4) Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Secara garis besar, gambaran kerangka manajemen risiko likuiditas adalah
sebagai berikut:

C. Sumber Resiko Likuiditas


Dalam melakukan penilaian risiko likuiditas, ada baiknya untuk melakukan
memahami sumber-sumber kejadian risiko likuditas. Sumber resiko likuiditas
bank terdiri dari :
1. Sumber likuiditas langsung, meliputi:
a. Liquiditas Asset
Kekosongan deposito dapat menyebabkan problema likuiditas bank,
hingga penggunaan oleh para peminjam komitmen pinjaman & lini kredit
lainnya. Cara mengatasi likuiditas asset dapat melalui cara sebagai berikut:
 Manajemen likuiditas yang dibeli (meminjam di pasar uang &
meminjamkan dana ini kepada peminjam),
 Manajemen likuiditas yang disimpan (menurunkan aset kas milik bank).
b. Liquiditas Liabilities
Dalam kondisi tertentu, terkadang bank mengalami kekosongan deposito
bersih, yaitu: jumlah dengan mana penarikan kas melebihi dari
tambahannya; suatu arus kas keluar bersih. Yang dikarenakan kebanyakan
rekening giro secara normal bertindak sebagai deposito inti, yaitu, deposito
yang menyediakan sumber pendanaan jangka panjang untuk suatu bank.

8
Rekening giro & rekening transaksi lainnyadapat dijadikan kontrak yang
memberikan para pemegangnya hak untuk menjual klaim kembali kepada
bank pada beberapa hari tertentu & meminta pembayaran kembali segera
pada nilai muka atas klaim depositonya dalam kas. Dalam teori, paling
sedikit, suatu bank mempu-nyai 20% kewajiban-kewajiban dalam rekening
giro & rekening transaksi lain harus siap untuk membayar jumlah itu dengan
melikuidasi aset-asetnya pada hari perbankan.
c. Likuiditas OFF B/S, dengan mengestimasi Penarikan fasilitas kredit.
2. Resiko Lainnya
a. Resiko Kredit, antara lain dengan peningkatan NPL yang akan
mempengaruhi cashflow suatu lembaga keuangan tersebut
b. Resiko Pasar, antara lain dengan peningkatan tingkat suku bunga yang dapat
meningkatkan atau menurunkan tingkat suku bunga.
c. Resiko Operasional, antara lain adalah kegagalan dalam sistem Force
majeure hal ini juga dapat mempengaruhi Cashflow suatu lembaga
keuangan tersebut.
d. Risiko Likuditas Pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena Bank tidak
mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana
lain.
3. Identifikasi Risiko Likuiditas
a. Bank harus melakukan identifikasi dan analisis secara cermat produk dan
transaksi perbankan serta aktivitas fungsional yang mengandung risiko
likuiditas.
b. Bank harus melakukan analisis mengenai kemungkinan dampak penerapan
berbagai skenario yang berbeda atas posisi likuiditas karena kondisi
likuiditas Bank tergantung pada pola cash flow dalam berbagai kondisi.
c. Bank dapat menerapkan berbagai skenario yang digunakan untuk menilai:
 Arus kas dan posisi likuiditas Bank dalam keadaan normal.
 Skenario Bank individual pada saat krisis, yang antara lain dicerminkan
bahwa sebagian besar kewajiban Bank tidak dapat diperpanjang.

9
 Skenario sistem perbankan pada saat krisis, yang antara lain dicerminkan
bahwa kondisi sebagian besar atau seluruh sistem perbankan menghadapi
masalah likuiditas.
d. Dalam menerapkan skenario tersebut, Bank harus membuat asumsi
mengenai kebutuhan likuiditas di masa mendatang, baik jangka pendek
maupun jangka panjang serta kemampuan Bank untuk memperoleh
likuiditas di pasar uang.

D. Faktor Pendorong Timbulnya Resiko Likuiditas


Secara umum resiko likuiditas mencakup dua hal yaitu kemampuan bank
dalam memenuhi liabilitas atau jumlah dana simpanan nasabah yang akan ditarik
kembali oleh para nasabah, kemudian hal yang kedua adalah kemampuan bank
dalam mendapatkan dana baru, dana baru yang dimaksud disini adalah akses atau
sumber pendanaan yang bisa segera bank dapatkan guna memenuhi kebutuhan
jangka pendek yang telah jatuh tempo.
Dengan demikian, resiko likuiditas perbankan merupakan akibat dari interaksi
antara asset dan liabilitas yang bank miliki. Sehingga permasalahan likuiditas
pada bank dapat terjadi jika beberapa kejadian
1. Pada saat penarikan dana simpanan yang berjumlah besar. Ini bisa menjadi
penyebab bank mengalami permasalahan likuiditas, karena jika pada saat
nasabah melakukan penarikan dana dari bank dengan jumlah yang besar, akan
tetapi pada saat yang bersamaan pihak bank tidak memiliki sumber yang
mencukupi dan tidak bisa mencari sumber pendanaan lain dengan cepat untuk
bisa memenuhi kewajibanya tersebut. Maka akan menyebabkan terjadinya
kekosongan kas.
2. Ketika bank telah memiliki komitmen pembiayaan dalam jumlah besar yang
belum terealisasi dengan debitur dan pada saat realisasi bank tidak memiliki
dana yang cukup. Dalam kejadian seperti ini bisa diibaratkan seperti saat kita
berjanji kepada orang lain, akan tetapi pada saat tiba waktunya untuk menepati
janji, kita tidak bisa menrpatinya. Hal ini akan menyebebkan penurunana

10
tingkat kepercayaan nasabah yang berakibat para nasabah akan kabur dari
bank.
3. Terjadi penarikan simpanan yang cukup besar dan bank tidak memiliki asset
yang dapat segera dicairkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas tersebut.
Oleh karena itu memang sudah seharusnya bank memiliki aset yang dapat bisa
dengan cepat untuk dicairkan seperti sertifikat bank Indonesia atupun aset-aset
yang lainya yang sejenis. Maka bank tidak bisa menyalurkan seluruh dana
ataupun asset yang dimilikinya untuk pendanaan ataupun jenis-jenis akad
pembiayaan yang tidak bisa dicairkan dalam waktu singkat.
4. Terjadi penurunan besar-besaran terhadap nilai asset yang bank miliki yang
memicu turunnya pula tingkat kepercayaan nasabah terhadap bank tersebut.
Turunya tingkat kepercayaan nasabah terhadap bank akan memicu para
nasabah untuk menarik dana simpananya yang terdapat di bank tersebut, jika
tidak semua nasabah yang menarik investasinya dan pihak bank bisa memenuhi
kewajibanya itu maka kondisi bank akan baik-baik saja, akan tetapi jika para
nasabah melakukan penarikan dananya secara bersama-sama tentu saja pihak
bank tidak akan sanggup untuk memenuhi kewajibanya tersebut. Dan
akibatnya bank akan mengalami kebangkrutan.
5. Kondisi ekonomi dan moneter
Sebagai bagian dari system perekonomian, kondisi perekonomian secara
umum sangat mempengaruhi kondisi likuiditas perbankan. Pada saat terjadi
tingkat inflasi yang tinggi yang akan ditandai dengan tingginya demand, maka
otoritas moneter akan mengambil kebijakan kontarksi moneter dengan
memainkan instrument moneter seperti menaikan tingkat suku bunga serifikat
bank Indonesia.

 Sebab-Sebab Terjadinya Risiko Likuiditas


Risiko likuiditas adalah salah satu risiko yang paling umum terjadi. Secara
garis besar, risiko likuiditas bisa terjadi karena beberapa sebab, yakni :
 Aset tidak dapat dijual karena kurang likuid di pasar.

11
 Risiko likuiditas dari utang, yakni tidak dapat melunasi utang, atau tidak
dapat memperoleh utang dengan biaya rendah. Risiko likuiditas ini
berpotensi mengakibatkan kondisi keuangan menjadi goyah.
 Perusahaan telah melakukan kebijakan strategi yang salah sehingga
memberikan pengaruh pada kerugian yang bersifat jangka pendek dan
jangka panjang.
 Kepemilikan aset perusahaan tidak lagi mencukupi untuk menstabilkan
perusahaan, yaitu sudah terlalu banyak aset yang dijual sehingga jika aset
yang tersisa tersebut masih ingin dijual maka itu juga tidak mencukupi
untuk menstabilkan perusahaan.
 Penjualan dan keuntungan yang diperoleh mengalami penurunan yang
sistematis serta fluktuatif, artinya perusahaan harus melakukan harus
melakukan perubahan konse sebelum terlambat.

Penting untuk mengidentifikasi kelemahan dalam likuiditas, karena:


 Membantu dalam mengelola asset dalam kondisi keuangan yang sulit
sekalipun.
 Memastikan bahwa kita mempunyai portfolio asset dan investasi yang
terdiversifikasi dan dapat menutup banyak skenario risiko.

Di sisi lain, terdapat juga kelemahan didalamnya, yakni:


 Usaha dalam mengidentifikasi kelemahan dalam likuiditas mungkin akan
memakan waktu dan terasa kurang penting dalam kondisi keuangan baik.
 Membutuhkan anggaran untuk menciptakan dan menjalankan proses dalam
manajemen likuiditas.

E. Proses Manajemen Resiko Likuiditas


Likuiditas menjadi hal yang penting bagi bank untuk dikelola. Di satu sisi
tingginya likuiditas pada suatu bank membuat posisi bank relatif aman dan stabil,
tetapi di sisi lain likuiditas yang terlalau banyak akan menyebabkan tingkat

12
profitabilitas atau keuntungan suatu bank menjadi menurun, ini dikarenakan aset-
aset yang likuid biasanya tidak menghasilkan atau memberikan profit bagi bank
tersebut.
Dalam perbankan manajemen likuiditas adalah salah satu hal yang penting
dalam memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. Untuk itu,
setiap bank yang beroperasi sangat menjaga likuiditasnya agar pada posisi yang
ideal. Dalam manajemen likuidtas bank berusaha untuk mempertahankan status
rasio likuiditas, memperkecil dana yang menganggur guna meningkatkan
pendapatan dengan resiko sekecil mungkin, serta memenuhi kebutuhan
cashflownya.
Jadi, tujuan manajemen likuiditas adalah mencapai cadangan yang dibutuhkan
yang telah ditetapkan oleh bank sentral, karena jika tidak dipenuhi akan dikenai
pinalti dari Bank sentral, kedua memperkecil dana yang menganggur karena kalau
banyak dana yang menganggur akan mengurangi profitabilitas bank, dan
mencapai likuiditas yang aman untuk menjaga proyeksi cashflow dalam kondisi
yang sangat mendesak misalnya penarikan dana oleh nasabah, pengambilan
pinjaman.
Dalam manajemen likuiditas yang baik, haruslah diawali dengan proses
pengukuran likuiditas pada bank dan dengan diakhiri dengan berbagai strategi
mitigasi resiko yang dapat dilakuakan bank.
1. Penetapan risk appetie
Risk appetie adalah tingkat toleransi resiko dari manajemen bank dalam
menciptakan nilai bagi pemilik bank. Risk appetie terdiri atas dua komponen
utama yaitu, risk tolerance dan risk limit.
Risk tolerance menunjukan seberapa banyak cadangan modal yang secara
kuantitatif dipersiapkan untuk mengantisipasi resiko. Risk tolerance juga
menggambarkan tingkat resiko yang masih dapat diterima oleh bank secara
keseluruhan karena dianggap potensi kerugian yang akan terjadi masih dapat
diserap oleh cadangan modal yang masih dimiliki.
Sedangkan risk limit adalah batas toleransi resiko yang diperkenankan untuk
lebih granular, yaitu tingkat resiko yang dapat diterima pada level unit bisnis

13
atau divisi. Resiko limit juga merupakan panduan bagi setiap unit bisnis yang
ada pada struktur orgaisasi bank islam untuk mengambil resiko pada setiap
transaksi yang dilakukan,setiap transaksi yang masih dibawah risk limit akan
tetap dilakukan namun apabila diatas risk limit maka transaksi tersebut
sebaiknya ditinggalkan atau minimal dipertimbangkan secara matang.
Proses penetapan risk appetie bukan merupakan proses yang hanya
mengandalkan intuisi atau penilaian kualitatif belaka, tetapi juga harus juga
berdasarkan data historis yang mencerminkan tingkat resiko yang ada pada
bank dan sekaligus mempertimbangkan pengembangan bisnis bank dimasa
depan.
2. Identifikasi resiko
Proses identifikasi resiko merupakan sebuah proses untuk menentukan
resiko apa yang dapat terjadi dan bagaimana resiko itu terjadi. Proses
identifikasi resiko harus dilakukan secara menyeluruh. Jenis resiko yang
melekat pada produk dan aktivitas bank dapat berbeda-beda, bagitu pula
dampak yang diakibatkan oleh resiko tersebut.
Terdapat beberapa tahapan dalam mengidentifikasi sebuah resiko, pertama
menyususn daftar resiko secara komprehensif, resiko yang mungkin terjadi
disusun berdasarkan dampak pada setiap elemen kegiatan, faktor-faktor
penyebabnya, hingga diketahui besarnya tingkat resiko yang mungkin terjadi
nantinya. Kedua menganalisis karakteristik resiko yang melekat pada bank baik
pada produk-produk maupun pada kegiata usaha bank. Ketiga menggambarkan
proses terjadinya resiko dengan menganalisis faktor-faktor apa yang menjadi
penyebab timbulnya sebuah resiko. Keempat menentukan pendekatan atau
instrument yang tepat untuk identifikasi resiko. Misalnya berdasarkan
pengalaman, pencatatan atas resiko yang pernah terjadi, dan sebagainya.
3. Pengukuran Resiko Likuiditas
Proses manajemen resiko likuiditas diawali dengan identifikasi berbagai
komponen pada asset dan liabilitas yang sangat terkait dengan likuiditas bank.
Aset-aset yang dimiliki bank akan menghasilkan arus kas masuk, dimana
dalam arus kas masuk tersebut ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh

14
bank untuk mendapatkan dana liquid. Sementara liabilitas yang dimiliki akan
mengakibatkan arus kas keluar dari bank, seperti penarikan dan yang dilakukan
oleh para nasabah, pemberian nisbah bagi hasil dengan nasaba maupun para
investor dan sebagainya.
Pengumpulan data arus kas masuk dan keluar sangatlah penting karena akan
menjadi sumber informasi dalam penyusunan proyeksi arus kas. Dengan
mengamati pola perilaku arus kas yang masuk dan arus kas yang keluar di
masa lalu dan kemudian menggunakannya untuk memprediksi dan
memproyeksikan arus kas dimasa yang akan datang, sehingga dengan
menggunakan data tersebut bank dapat memperoleh proyeksi kelebihan atau
kah kekurangan likuiditas dimasa yang akan datang.
Jika kondisinya arus kas yang masuk lebih besar dibandingkan dengan arus
kas yang keluar, maka bank mengalami kelebihan likuiditas (excess liquidty)
dan jika kondisinya pada sebaliknya maka bank mengalami kekurangan
likuiditas (shortage liquidity). Maka, informasi ini sangat berguna bagi bank
untuk menentukan kapan pendanaan kekurangan likuiditas harus dilakukan
agar bank terhindar dari masalah likuiditas. Dengan demikian langkah
antisipatif untuk menghindari masalah likuiditas dapat dilakukan, agar model
proyeksi arus kas masuk dan keluar dapat dipastikan akurasinya maka back
testing perlu dilakukan agar kesalahan proyeksi dapat diminimalisirkan.
Kemudian, selain dengan metode kas masuk dan keluar pengukuran resiko
likuiditas juga bisa dilakukan dengan cara melihat besarnya penarikan dana
yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun
penarikan tunai secara harian. Dan Melaksanakan monitoring secara harian atas
semua dana masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai
nasabah.
Untuk melihat apakah sebuah perusahaan atau bank dikategorikan likuid
atau tidak maka dapat dapat digunakan current ratio sebagai alat untuk
menganalisanya. Current ratio biasanya digunakan sebagai alat untuk
mengukur keadaan likuiditas suatu perusahaan, dan juga merupakan petunjuk
untuk mengetahui dan menduga sampai manakah kiranya kita apabila kita

15
memberikan kredit berjangka pendek kepada seorang nasabah, dapat merasa
aman atau tidak. Dasar perbandingan tersebut dipergunakan sebagai alat
petunjuk, apakah perusahaan yang mandapat kredit itu kira-kira akan mampu
ataupun tidak untuk memenuhi kewajibannya untuk melakukan pembayaran
kembali atau pada pelunasan pada tanggal yang sudah ditentukan. Dasar
perbandingan itu menunjukan apakah jumlah aktiva lancar itu cukup
melampaui besarnya kewajiban lancar, sehingga dapatlah kiranya diperkirakan
bahwa, sekiranya pada suatu ketika dilakukan likuiditas dari aktiva lancar dan
ternyata hasilnya dibawah nilai dari yang tercantum di neraca, namun masih
tetap akan terdapat cukup kas ataupun yang dapat dikonversikan menjadi uang
kas di dalam waktu singkat, sehingga dapat memenuhi kewajibannya.
Semakin tinggi Current ratio maka makin baiklah posisi para kreditor, oleh
karena terdapat kemungkinan yang lebih besar bahwa utang perusahaan itu
akan dapat dibayar pada waktunya. Hal ini terutama berlaku bila pimpinan
perusahaan menguasai pos-pos modal kerja dengan ketat/dengan semestinya.
Dilain pihak ditinjau dari sudut pemegang saham suatu current ratio yang
tinggi tak selalu paling menguntungkan, terutama bila terdapat saldo kas yang
kelebihan dan jumlah piutang dan persediaan adalah terlalu besar.
Pada umumnya suatu current ratio yang rendah lebih banyak mengandung
risiko dari pada suatu current ratio yang tinggi, tetapi kadang-kadang suatu
current ratio yang rendah malahan menunjukkan pimpinan perusahaan
menggunakan aktiva lancar sangat efektif. Yaitu bila saldo disesuaikan dengan
kebutuhan minimum saja dan perputaran piutang dari persediaan ditingkatkan
sampai pada tingkat maksimum. Jumlah kas yang diperlukan tergantung dari
besarnya perusahaan dan terutama dari jumlah uang yang diperlukan untuk
membayar utang lancar, berbagai biaya rutin dan pengeluaran darurat.
Munawwir menyatakan current ratio 200% kadang sudah memuaskan bagi
suatu perusahaan, tetapi jumlah modal kerja dan besarnya rasio tergantung
pada beberapa faktor, suatu standar atau rasio yang umum tidak dapat
ditentukan untuk seluruh perusahaan. Current ratio 200% hanya merupakan

16
kebiasaan atau rule of thumb dan akan digunakan sebagai titik tolak untuk
mengadakan penelitian atau analisa yang lebih lanjut.
Current ratio ini menunjukkan tingkat keamanan (margin of safety) kreditor
jangka pendek, atau kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang
tersebut. Tetapi suatu perusahaan dengan current ratio yang tinggi belum tentu
menjamin akan dapat dibayarnya hutang perusahaan yang sudah jatuh tempo
karena proposisi atau distribusi dari aktiva lancar yang tidak menguntungkan,
misalnya jumlah persediaan yang relatif tinggi dibandingkan taksiran tingkat
penjualan yang akan datang sehingga tingkat perputaran persediaan rendah dan
menunjukkan adanya over investment dalam persediaan tersebut atau adanya
saldo piutang yang besar yang mungkin sulit untuk ditagih.
Adapun formulasi dari current ratio (CR) adalah sebagai berikut :
Current ratio= (aktiva lancar : hutang lancar) x 100%
4. Mitigasi Resiko Likuiditas
Mitigasi adalah suatu langkah pencegahan untuk menanggulangi resiko
yang ada. Secara umum proses manajemen resiko likuiditas tidak jauh beda
dengan resiko lainya, khusus untuk resiko likuiditas praktik manajemen resiko
harus dilakukan dalam upaya menjaga agar bank islam berada dalam tingkat
likuiditas optimal dimana kelebihan maupun kekurangan likuiditas dapat
dihindari. Oleh karena itu melalui departemen treasury aktivitas bank dalam
mengelola likuiditas berlangsung secara dinamis dibandingkan dengan resiko
lainya, hal ini disebabkan karena resiko likuiditas dapat terjadi kapan saja.
Kebijakan resiko likuiditas pada bank biasanya terdiri dari empat hal, yaitu
kebijakan investasi untuk mengalokasikan kelebihan likuiditas, kebijakan
pendanaan untuk menangani kekurangan likuiditas, kebijakan terkait liquidity
buffer dan strategi mitigasi resiko likuiditas bank dapat dilakukan untuk
menghindari kerugian akibat terjadinya permasalahan likuiditas. Jika terdapat
kelebihan likuiditas yakni kondisi dimana arus kas yang masuk lebih besar
dibandingkan arus kas yang keluar sebagia akibat berlimpahnya dana pihak
ketiga yang masuk bank harus menggunakan berbagai instrument investasi
jangka pendek yag digunakan untuk menempatkan dana yang lebih tersebut.

17
Karena bersifat sementara maka sebaiknya instrument investasi yang
digunakan merupakan instrument yang mudah ditransaksikan dipasar, jika
sewaktu-waktu bank mengalami likuiditas segera instrument tersebut biasanya
berupa SBI (Sertifikat Bank Indonesia), pasar uang dan sebagainya.
Begitu pula dengan keadaan yang sebaliknya saat bank mengalami
kekurangan likuditas maka bank akan mencari sumber dana yang cepat untuk
memenuhi kewajibannya tersebut. Karena kekurangan likuiditas biasanya juga
bersifat sementara maka sumber pendanaan yang dicari juga seharusnya yang
berjangka waktu pendek. Beberapa sumber pendanaan biasanya diperoleh dari
pasar uang maupun pasar uang antar bank, atau arah yang lainnya adalah
dengan cara bank menerbitkan surat berharga.
5. Proses Review Resiko
Dalam sebuah proses kegiatan tentu akan lebih baik lagi apabila trdapat
proses evaluasi atau review, begitupula pada proses manajemen resiko juga
terdapat tahapan pengevaluasian setelah analisis serta proses manajemen resiko
yang telah dilakukan. Evaluasi resiko merupakan hal yang sangat penting
kareana akan menentukan langkah dan tindakan yang dapat diambil
manajemen untuk mengelola resiko tersebut.
Pada evaluasi dan review resiko, tingkat resiko aktual yang terjadi pada
bank dimonitor dan dibandingkan dengan berbagai ketentuan resiko yang telah
ditetapkan sebalumnya. Selain itu evaluasi resiko juga dapat digunakan untuk
melihat apakah kebijakan-kebijakan yang diambil dalam penanggulangan
resiko sudah efektif atau belum, serta juga bisa digunakan untuk menentukan
kebijkan apa yang akan diambil untuk langkah kedepanya.

F. Pengendalian Resiko Likuiditas


Resiko likuiditas muncul sebagai konsekuensi dari fungsi intermediasi yang
diambil oleh bank. Resiko ini akan senantiasa melekat pada bank sepanjang
proses bisnis yang dijalankan oleh sebuah bank. Mulai dari bank mengumpulkan
dana dari masyarakat, hingga sampai bank menyalurkan kembali dana tersebut
kepada masyarakat. sehingga menajemen resiko likuiditas sudah selayaknya

18
dilekatkan pada setiap tahapan pada proses bisnis sebuah bank, termasuk pada
saat menciptakan suatu produk keuangan. Untuk melakukan pengendalian dan
mitigasi resiko likuiditas terdapat beberapa hal yang seharusnya dilakukan bank.
Pertama sebaiknya bank melakukan diversifikasi atas sumber pendanaan yang
digunakan untuk mendanai berbagai pembiayaan yang disalurkan kepada
masyarakat. Diversifikasi tersebut mencakup berbagai jenis produk simpanan
dana pihak ketiga dengan jangka waktu bervariasi (jangka pendek, menengah,
maupun jangka panjang). Sebaliknya, konsentrasi pendanaan yang hanya pada
satu produk simpanan saja sebiaknya dihindari karena justru akan meningkatkan
resiko likuiditas abagi sebuah bank. Penyebab harus dihindarinya konsentrasi
pendanaan yang hanya pada satu produk simpanan saja adalah, seumpamanya jika
suatu bank memiliki produk penyaluran dana yang banyak tetapi pada bank
tersebut hanya memiliki satu produk pendanaan kita ambil contohnya tabungan,
ketika suatu saat bank telah melakukan kontrak pembiayaan atau akan
menyalurkan dan kepada masyarakat dan pada kondisi yang bersamaan ada
nasabah yang akan melakukan penarikan dana tabungannya maka dapat
dipastikan bank tidak bisa menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat
dikarenakan uang yang ada di bank atau yang akan diberikan telah dikembalikan
pada pemiliknya, sehingga hal ini akan menyebabkan kekosongan kas pada bank
tersbut. Oleh karena itu dalam produk penghimpunan dana tidak boleh hanya
terkonsentrasi pada satu produk saja. Karena sifat tabungan yang bisa ditarik
kapan saja maka bank tidak bisa memprediksi jangka waktu tabungan para
nasabahnya, akan tetapi jika terdapat produk yang lainya seperti produk deposito
berjangka, maka pihak bank dapat memprediksi kapan nasabah akan melakukan
penarikan dana pihak bank juga bisa menyalurkan dan kepada masyarakat tanpa
harus khawatir nasabah kan melakukan penarikan dana secara tiba-tiba.

 Strategi Likuiditas
Dalam menjalankan aktifitasnya manajemen dapat melakukan beberpa
strategi agar likuiditas bank tetap berjalan dengan baik, strategi tersebut
diantaranya:

19
1. Strategi Preventif
Strategi prefentif adalah bahwa likuiditas dikelola dengan menjauhi
unsur-unsur spekulatif sehingga masalah likuiditas dapat dijauhi. Untuk itu,
kaidah-kaidah dalam pengendalian likuiditas harian dan jangka menengah
perlu dipenuhi. Adapun prosesnya dapat dijelaskan dibawah ini:
 Pengendalian Harian
 Pengendalian Jangka Menengah
 Pengendalian jangka panjang
 Strategi Represif
Walau telah diusahakan dengan strategi prefentif, masalah likuiditas
masih mungkin terjadi. Perubahan lingkungan yang cepat mungkin belum
dapat diantisipasi oleh pihak bank sehingga strategi yang ada menjadi
kurang mengena yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya masalah
likuiditas. Apabila hal ini sampai terjadi terdapat berbagai cara untuk
mengatasinya sehingga pihak bank diharap tetap dapat memenuhi kewajiban
penarikan kas dari nasabah dan kepercayaan terhadap bank tetap terpelihara.
Beberapa cara atau strategi represif yang diterapkan untuk mengatasi
masalah likuiditas dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Meminjam dari pasar uang.
 Mengkonversikan dana valuta asing yang dimiliki.
 Meminjam valuta asing dari pasar internasional.
 Memanfaatkan fasilitas “discount window I”.
 Memanfaatkan fasilitas “discount window II”.

G. Resiko Likuiditas Jangka Pendek dan Jangka Panjang


1. Resiko Likuiditas Jangka Pendek
Resiko likuiditas jangka pendek membutuhkan suatu pemahaman tentang
siklus operasi perusahaan. Rasio-rasio keuangan yang dapat digunakan menilai
Resiko likuiditas jangka pendek adalah sebagai berikut:

20
 Rasio Lancar (Current Ratio). Current Ratio merupakan instrumen untuk
mengukur tingkat likuiditas suatu perusahaan. Semakin tinggi current ratio
maka semakin likuid suatu perusahaan dan sebaliknya. Rasio lancar
dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan hutang lancar. Rasio ini
menunjukkan besarnya kas yang dipunyai perusahaan ditambah aset aset
yang bisa berubah menjadi kas dalam waktu satu tahun, relatif terhadap
besarnya hutang hutang yang jatuh tempo dalam jangka waktu dekat (tidak
lebih dari satu tahun), pada tanggal tertentu seperti tercantum pada neraca.
 Rasio Cepat (Quick Ratio). Quick Ratio merupakan instrumen untuk
mengukur tingkat likuiditas suatu perusahaan. Semakin tinggi quick ratio
maka semakin likuid suatu perusahaan dan sebaliknya. Persediaan
dikeluarkan karena dianggap sebagai aktiva lancar yang paling tidak likuid.
Secara umum, informasi dari quick ratio akan sama (searah) dengan
informasi dari rasio lancar.
 Rasio aliran kas operasional terhadap hutang lancar (operating cah flow to
current liabilities). Rasio ini menunjukan sejauhmana kas yang dihasilkan
dari operasi dapat menutupi kewajiban lancar perusahaan. Semakin tinggi
rasio ini, maka semakin rendah resiko yang dihadapi perusahaan. Rumus
untuk rasio ini adalah aliran kas dari operasi (sebelum item-item luar
biasa)/rata rata hutang lancar.
 Rasio aktivitas modal kerja. Rasio aktivitas modal kerja menghitung
seberapa cepat modal kerja berputar, atau menghitung seberapa lama dana
tertanam di modal kerja. Beberapa rasio: Rata-rata umur piutang, rata-rata
umur persediaan, rata-rata umur hutang

2. Resiko Likuiditas Jangka Panjang


Resiko solvabilitas jangka panjang digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam memenuhi pembayaran bunga dan angsuran pinjaman atas
utang jangka panjang dan untuk memenuhi kewajiban yang segera jatuh tempo.

21
Rasio-rasio keuangan yang dapat digunakan untuk menilai resiko
solvabilitas jangka panjang adalah:
Rasio utang jangka panjang (long term debt ratio). Rasio ini menunjukan
seberapa besar total utang yang digunakan oleh perusahaan untuk membiayai
aktivitasnya. Semakin besar rasio ini maka semakin besar pula resiko yang
dihadapi perusahaan. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil rasio ini maka
semakin kecil pula resiko yang dihadapi perusahaan.
Rasio kewajiban terhadap aktiva (liabilities to assets ratio). Rasio ini
menunjukan seberapa besar utang yang digunakan untuk membiayai aktiva
perusahaan. Semakin besar rasio ini maka semakin besar pula resiko yang
dihadapi perusahaan. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil rasio
perusahaan maka semakin kecil pula resiko yang dihadapi perusahaan.
Rasio aliran kas operasional terhadap total hutang (operating cash flow to
total liabilities ratio). Rasio ini menunjukan sejauhmana kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan arus kas dari kegiatan operasi untuk menutupi
atau memenuhi seluruh kewajibannya. Rasio ini melihat kemampuan
perusahaan menghasilkan aliran kas untuk menutup kewajibannya. Aliran kas
dari operasi bisa dilihat dari laporan aliran kas, yaitu dalam komponen operasi.
Rasio aliran kas operasional terhadap pengeluaran modal (operating cash
flow to capital expenditure). Rasio ini menunjukan seberapa besar pengunaan
arus kas operasi yang dihasilkan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan
pengeluaran modal. Analisis ini memberi informasi besarnya aliran kas untuk
menutup pengeluaran modal yang diperlukan untuk investasi memelihara dan
membangun pabrik dan bangunan. Kelebihan kas tersebut bisa dipakai untuk
membayar hutang dengan bunganya.

H. Risiko Likuditas dan Nilai Saham serta Reaksi Investor


Manajemen perusahaan selalu berusaha menjaga kondisi likuditas perusahaan
yang sehat dan terpenuhi secara tepat waktu. Ini dilakukan dengan maksud untuk
memberi reaksi kepada para calon investor dan para pemegang saham khususnya

22
bahwa kondisi perusahaan selalu berada dalam kondisi yang aman dan stabil,
yang otomatis maka harga saham perusahaan juga cenderung stabil dan bahkan
diharapkan terus mengalami kenaikan.
Dalam rangka memprediksi risiko likuditas maka perusahaan harus
memperkuat nilai risiko likuditas. Karena, perusahaan yang memiliki risiko
likuditas tinggi akan diminati para investor dan akan berimbas pula pada harga
saham yang cenderung akan naik karena tingginya permintaan.
Sudah menjadi karakter investor untuk selalu meminati saham yang cenderung
bersifat aman dan terus mengalami kenaikan. Penguatan pada rasio likuditas
perusahaan akan menjadi “good news” yang selanjutnya dikaji secara pendekatan
signaling theory bahwa ini cenderung akan memberi pengaruh pada kenaikan
harga saham. Maka memutuskan pembelian saham pada saat rasio likuditas
perusahaan cenderung sehat dan stabil adalah lebih baik dari pada membeli saham
pada rasio likuditas perusahaan yang berisiko serta bermasalah.
Harus diingat bahwa hampir semua investor berkarakter menjauh atau
menghindari dari risiko dan mendekat pada keuntungan yang maksimal
(maximality profit). Karena investor selalu menginginkan keuntungan yang
maksimal dari setiap investasi yang dilakukan, dan mengambil keuntungan dari
hasil investasi tersebut untuk selanjutnya diinvestasikan ke tempat lain dengan
tingkat risiko yang kecil juga, dan begitu seterusnya. Dengan keputusan seperti itu
diharapkan perolehan keuntungan dari berbagai tempat investasi tersebut akan
memberikan kenyamanan dan ketenangan secara batin/ psikologis bagi investor
tersebut dalam keputusannya mengelola fiansial.

I. Hubungan Likuditas dan Solvabilitas


Likuditas adalah kemampuan suatu perusahaan memenuhi kewajiban jangka
pendeknya secara tepat waktu. Adapun solvabilitas adalah kemampuan suatu
perusahaan dalam membayar utang- utangnya yang jatuh tempo secara tepat
waktu atau tidak terlambat. Maka pemahaman likuditas dan solvabilitas ini
merupakan dua ukuran yang sering dipergunakan investor dalam mengenali
kondisi dan situasi kemampuan keuangan perusahaan dalam menyelesaikan

23
masalah- masalahnya secara tepat dan baik. Dalam permasalahan likuditas dan
solvabilitas ini, dalam perspektif investor ada empat bentuk hubungan antara
likuditas (liquid) dan solvabilitas (solvabel) yang dapat dijadikan ukuran untuk
melihat risiko suatu perusahaan, yaitu :
1. Likuid dan solvable
Likuid dan Solvabel adalah dimana suatu perusahaan dinyatakan sehat dan
dalam keadaan baik, karena ia mampu melunasi kewajiban- kewajibannya yang
bersifat jangka pendek dan juga mampu melunasi utang- utangnya yang jatuh
tempo secara tepat waktu. Pada posisi ini saham perusahaan dilihat dalam
kondisi yang baik atau konstan bertumbuh. Artinya secara finansial dan non
finansial perusahaan dianggap tidak memiliki kendala atau permasalahan
apapun.
2. Likuid dan Insolvable
Likuid dan insolvable adalah suatu kondisi dimana suatu perusahaan tidak
lagi memiliki keseimbangan finansial secara baik, karena likuditasnya
dianggap sehat namun solvabilitasnya atau emampuan membayar utang-
utangnya secara tepat waktu dianggap berada dalam posisi bermasalah bahkan
cenderung tidak lagi tepat waktu (insolvabel). Pada posisi ini perusahaan sudah
mengalami kondisi finansial distress (kesulitan keuangan), dimana mungkin
saja dana untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo tersebut dipakai
untuk membayar kewajiban jangka pendeknya seperti membayar listrik,
telepon, gaji karyawan, gaji buruh, dan lain-lain.
3. Ilikuid dan solvable
Iliquid dan solvable adalah suatu kondisi dimana suatu perusahaan tidak
mampu lagi memiliki keseimbangan secara baik, ini terjadi karena liquditasnya
sudah tidak sehat lagi atau pihak manajemen perusahaan sudah tidak mampu
lagi memenuhi kewajiban finansialnya secara tepat waktu. Namun di sisi lain
kemampuan perusahaan untuk membayar utang- utangnya yang jatuh tempo
masih sangat baik. Ketidakseimbangan ini mungkin saja terjadi karena dana
jangka pendeknya berupa dari likuditas dipakai untuk membayar utang yang
telah jatuh tempo, salah satu analisa pihak manajemen adalah memindahkan

24
sementara dana likiditas daripada nama baik perusahaan di perbankan turun
bahkan lebih jauh memungkinkan agunan perusahaan diambil oleh bank karena
faktor tidak lagi mampu membayar utang- utang tersebut.
4. Ilikuid dan Insolvable
Kondisi keuangan yang iliquid dan insolvabel adalah kondisi perusahaan
yang berada dalam kondisi menuju kepada kebangkrutan (bankcruptcy).
Kondisi bankcruptcy terjadi pada saat sebuah perusahaan tidak mampu lagi
melunasi kewajiban jangka pendek atau short term liqudity- ya dan utang-
utang nya yang ada diberbagai tempat yang jatuh tempo atau kewajiban
solvabilitasnya. Jika tidak cepat diatasi maka perusahaan ini memungkinkan
akan mengalami kondisi untuk diakuisisi oleh perusahaan lain, atau melakukan
kebijakan merger. Akuisisi adalah pengambilalihan suatu perusahaan oleh
perusahaan lain, dan merger adalah penggabungan satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya.

J. Analisis Altman Z Score


Beberapa model prediksi kesulitan keuangan (financial distress prediction
models) telah dikembangkan beberapa tahun yang lalu. Model tersebut sama
dengan model peringkat utang, tetapi bukannya memprediksi peringkat, model
memprediksi apakah perusahaan akan menghadapi beberapa kondisi kesulitan,
umumnya didefinisikan sebagai kepailitan. Dalam berbagai studi akademik,
Altman Z-score (bankruptcy model) dipergunakan sebagai alat kontrol terukur
terhadap status keuangan suatu perusahaan yang sedang mengalami kesulitan
keuangan (financial distress). Dengan kata lain, Altman Z-score dipergunakan
sebagai alat untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan.
Altman Z-score dinyatakan dalam bentuk persamaan linear yang terdiri dari 4
hingga 5 koefisien “T” yang mewakili rasio-rasio keuangan tertentu, yakni:
Z = 1,2 T1 + 1,4 T2 + 3,3 T3 + 0,6 T4 + 0,99 T5
Dimana:
T1 = modal kerja neto / total aset
T2 = saldo laba / total aset

25
T3 = EBIT / total aset
T4 = nilai pasar terhadap ekuitas / nilai buku terhadap total liabilitas
T5 = penjualan / total aset
Dengan zona diskriminan sebagai berikut:
Bila Z > 2.99 = zona “aman”
Bila 1.81 < Z < 2.99 = zona “abu-abu”
Bila Z < 1.81 = zona “distress”
Namun, Z-score tidak dipergunakan untuk perusahaan jenis jasa keuangan atau
lembaga keuangan, baik swasta maupun pemerintah. Hal ini karena adanya
kecenderungan perbedaan yang cukup besar antara neraca suatu institusi keuangan
dengan institusi keuangan lainnya.
Saat ini, formula Z-score untuk perusahaan jenis manufaktur dan non-
manufaktur dibedakan sebagai berikut:
Untuk perusahaan manufaktur, menggunakan formula yang terdiri dari 5
koefisien, yakni:
Z = 0,717 T1 + 0,847 T2 + 3,107 T3 + 0,420 T4 + 0,998 T5
Dengan zona diskiriman sbb:
Bila Z > 2,9 = zona “aman”
Bila 1,23 < Z < 2,9 = zona “abu-abu”
Bila Z < 1,23 = zona “distress”
Untuk perusahaan non-manufaktur, menggunakan formula yang terdiri dari 4
koefisien, yakni:
Z = 6,56 T1 + 3,26 T2 + 6,72 T3 + 1,05 T4
Dengan zona diskriminan sebagai berikut:
Bila Z > 2,9 = zona “aman”
Bila 1,22 < Z < 2,9 = zona “abu-abu”
Bila Z < 1,22 = zona “distress”
Berikut contoh tabel hasil perhitungan Altman Z Score pada perusahaan plastik
dan kemasan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

26
Sumber : Firda, Muhammad Saifi, Devi Farah. 2014. Altman Z-Score Sebagai
Salah Satu Metode Dalam Menganalisis Estimasi Kebangkrutan Perusahaan.
Jurnal Ilmiah. Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya : Malang.

K. Contoh Kasus Likuiditas


Kasus Bank Century yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara terus
bergulir kencang padahal awalnya tampak biasa saja. Namun, kini kasus itu
menggelinding memasuki ranah politik segera setelah Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century.
Setelah setahun bailout LPS masuk ke Bank Century, hasil audit BPK akhirnya
membongkar adanya ‘pat-gulipat’ dalam pengelolaannya. Kasus ini diharapkan
bisa terbongkar dengan transparan demi kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan nasional. Gagal mengikuti kliring pada tanggal 13 November 2008
menjadi awal dari terbongkarnya berbagai penipuan di Bank Century. Walau obat
penawar sudah dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui dana
talangan (bailout), namun hingga setahun berselang, bank ini belum juga sembuh.
Uang nasabah tetap tidak kembali, uang negara malah ikut raib.
Gagal kliring itu sendiri karena Bank Century kekurangan dana di Bank
Indonesia (BI) sebagai syarat mengikuti kliring. Sementara penyebab awal
persoalan keuangan di bank ini menurut hasil pemeriksaan, adalah adanya surat
berharga valuta asing (valas) bank ini yang bermasalah. Surat berharga yang dibeli
pada 2003 yang seluruhnya (sekitar US$203,4 juta) diterbitkan oleh bank asing itu
tergolong macet karena tidak memiliki rating.
Diketahuilah bahwa dana cadangan bank ini di BI sudah di bawah saldo
minimal. Di samping itu, selama ini bank ini ternyata melakukan penjualan

27
reksadana walau tidak mempunyai izin. Bahkan, salah satu reksadana itu
merupakan reksadana ‘bodong’. Alias, dibuat tanpa seizin Badan Pengawas
Penanaman Modal (Bapepam). Reksadana tersebut dijual dengan nama Investasi
Dana Tetap Terproteksi dan dikeluarkan oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas.
Sekitar Rp 1 triliun – 1,5 triliun uang nasabah terkena masalah seputar produk
yang dikabarkan sudah dijual sejak tahun 2001 itu. Uang itu diberitakan mengalir
ke rekening Robert Tantular sebagai pemilik bank dan rekannya di Antaboga.
Modus kasus yang boleh disebut pembobolan secara sistematis ini adalah
dengan cara mengiming-imingi para nasabah dengan bunga tinggi di atas bunga
deposito yang berlaku saat itu. Nasabah yang percaya, akhirnya memindahkan
dananya dari Bank Century ke rekening Antaboga yang ada di Century juga.
Setelah dana masuk ke rekening Antaboga, uang itu kemudian ditarik oleh Robert.
Selain melalui cara itu, pembobolan dengan modus pinjaman juga dilakukan
Robert. Yaitu, beberapa kredit dikucurkan manajemen lama ke berbagai nama
yang ternyata ujungnya ke Robert juga.
Kasus bailout berawal dari masalah kesulitan likuiditas dan modal Bank
Century. Untuk mengatasi masalah keuangan itu, pada tanggal 15 Oktober 2008,
bank central sebenarnya telah memerintahkan tiga pemegang saham mayoritas
bank ini, yakni Robert Tantular, Rafat Ali Rizfi, dan Hesyam Al Waraq
menandatangani letter of commitment yang isinya memuat janji ketiganya untuk
membayar surat berharga yang jatuh tempo dan menambah modal bank. Selain
itu, mereka juga berjanji mencari investor baru untuk menyelesaikan
permasalahan bank paling lambat 31 Maret 2009. Namun, mereka tidak menepati
janjinya sehingga Bank Century tidak bisa memenuhi kewajibannya pada
nasabah.
Melihat kenyataan demikian, BI akhirnya memberikan fasilitas pendanaan
jangka pendek pada bank ini sebesar Rp502 miliar pada 14 November 2008.
Seiring dengan itu, BI juga kembali memerintahkan Robert, Hesyam dan Rafat
menepati komitmennya yang dituangkan kemudian dalam letter of commitment
pada 16 November 2008. Surat itu antara lain berisi komitmen untuk
memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia,

28
mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo dan tidak akan
menjaminkan surat berharga ke pihak lain. Tapi, letter of commitment ini juga
tidak ditepati. BI pun kembali mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek
sebesar Rp187 miliar pada 18 November 2008.
Lantaran kondisi Bank Century makin memburuk, pada 21 November 2008
penanganan bank itu pun akhirnya diserahkan pada Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Pada saat itu juga, LPS menyuntikkan dana Rp2,77 triliun agar kecukupan
modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century 10 persen. Kemudian
pada 5 Desember 2008, LPS kembali menyuntikkan dana Rp2,20 triliun untuk
memenuhi tingkat kesehatan bank. Ketiga, pada 3 Februari 2009 LPS memberi
lagi dana sebesar Rp1,15 triliun. Dan keempat, pada 21 Juli 2009 LPS kembali
menyuntikkan dana sebesar Rp630 miliar. Jadi, total LPS telah menyuntikkan
dana Rp6,7 triliun kepada Bank Century setelah pengelolaan bank tersebut
diambil alih.
Alasan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Menkeu,
BI, dan LPS melakukan penyertaan modal sementara di bank ini melalui LPS,
selain mengganti manajemen bank, karena BI menilai kondisi yang dialami Bank
Century saat itu bisa berdampak sistemik yang bisa menimbulkan penyebaran
masalah ke bank lainnya.
DPR meminta BPK melakukan audit investigasi atas penyertaan modal
pemerintah melalui LPS ke Bank Century yang membengkak menjadi Rp6,7
triliun. Mulai dari proses merger tiga bank menjadi Bank Century, tidak tegasnya
BI terhadap pelanggaran Bank Century selama tahun 2005-2008, hingga
pengucuran dana bailout. Sesuai hasil audit BPK yang diserahkan ke DPR
tertanggal 23 Nov 2009 menunjukkan adanya paling tidak lima bagian dugaan
pelanggaran di dalam kasus Bank Century yang dilakukan oleh pemilik lama, BI,
hingga KKSK.
Selain itu munculnya risiko sistemik dari sisi fiskal akibat kebijakan pengetatan
fiskal atau perlambatan pengeluaran atau belanja pemerintah yang dilakukan oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Langkah kebijakan inilah yang justru telah
menciptakan risiko sistemik pada perbankan nasional.

29
Bank Century adalah kasus kriminal individu dari bank kecil yang
pengaruhnya tidak akan signifikan terhadap industri perbankan. Semestinya yang
dilakukan Bank Indonesia dan KSSK adalah menutup dan meyakinkan publik
bahwa kasus Bank Century murni kasus kriminal dan tidak terkait dengan krisis
global maupun kondisi makroekonomi dan perbankan nasional.
Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Departemen Keuangan berpendapat
bahwa penyelamatan Bank Century melalui suntikan dana tersebut sudah tepat
dengan alasan untuk menghindari risiko sistemik yang mungkin timbul dari
ditutupnya Bank tersebut sehingga dikhawatirkan terulangnya kembali krisis
keuangan seperti tahun 1998 lalu. Atas keputusan ini, banyak pihak menilai
bahwa keputusan menyelamatkan Bank Century tidak tepat. Selain menggunakan
uang Negara yang merupakan uang rakyat, alasan mengenai kemungkinan
terjadinya risiko sistemik kurang bisa dipertanggungjawabkan. Menurut pihak
yang tidak setuju dengan penyelamatan Bank ini, ditutupnya Bank ini tidak akan
mengganggu kestabilan sistem perbankan Negara kita karena secara market share
Bank Century hanya mempunyai mencakup 0,1 % jumlah nasabah perbankan di
Indonesia. Selain itu asset Bank Century hanya berjumlah 0,3 % dari total asset
perbankan Indonesia.
Penutupan Bank Century diperkirakan akan mengakibatkan kepanikan pada
nasabahnya. Kepanikan ini mendorong nasabah-nasabah lain akan berbondong-
bondong menarik uangnya pada banyak bank terutama Bank-bank kecil sekelas
Century dan memindahkan ke bank-bank yang lebih besar. Penarikan besar-
besaran ini mengakibatkan bank-bank yang pada awalnya sehat menjadi ikut
bermasalah dan mengalami masalah likuiditas, disini terjadi risiko likuiditas.
Sebagai akibatnya bank-bank ini akan berusaha mencari pendanaan dengan
meminjam dana dari Bank-bank besar melalui pinjaman antar bank.
Dalam hal ini bank-bank besar cenderung lebih berhati-hati dalam
mengucurkan dananya sehingga bank-bank kecil semakin terdesak karena
kesulitan memperoleh likuiditas. Dalam keadaan seperti inilah banyak bank akan
berjatuhan. Sistem perbankan akan mengalami rush dan mengakibatkan naiknya
suku bunga pinjaman secara tajam. Selain itu akan banyak terjadi kredit macet

30
sehingga nasabah akan mengalami kerugian dan sektor industri juga akan terkena
dampaknya. Sebagai akibatnya, bank-bank besarpun akan terkena dampaknya dan
terjadilah kelumpuhan sistem perbankan. Akibat lebih jauh adalah merosotnya
kredibilitas sistem perbankan nasional sehingga akan terjadi capital outflows
secara besar-besaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap investasi nasional,
country risk dan sistem ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Selain terjadinya risiko likuiditas, kredit macet dan risiko sistemik, Bank
Century juga tersengat risiko reputasi. Namun sebelumnya, simak dulu penerapan
manajemen risiko di perbankan nasional. Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 5/8/PB1/2003 tanggal 13 Mei 2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Ini merupakan simbol
sejarah anyar dalam perbankan nasional dengan berbasis manajemen risiko. PBI
ini bertujuan untuk mengantisipasi risiko sejalan dengan pesatnya perkembangan
bisnis perbankan dan perubahan lingkungan bisnis.
Namun, pada PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum, bank umum konvensional wajib
menerapkan manajemen risiko untuk seluruh jenis risiko sejak 1 luli 2010.
Dengan bahasa manajemen risiko, setiap produk, jasa, dan aktivitas bisnis
perbankan wajib berbasis manajemen risiko.
Terkait dengan kasus Bank Century, risiko yang layak diamati dengan cermat
adalah risiko reputasi. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat
kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholders) yang bersumber dari persepsi
negatif terhadap suatu bank. Risiko tersebut muncul antara lain karena adanya
pemberitaan dan atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif serta strategi
komunikasi bank yang kurang efektif.

BAB III
KESIMPULAN

31
Resiko Likuiditas adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan akibat dari
adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka
pendek dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko
likuiditas ditentukan antara lain:
a) Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang
dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun
penarikan tunai.
b) Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui
incoming transfer maupun setoran tunai nasabah.
c) Membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana
berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang
pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata
saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat ketahanan likuiditas Bank.
d) Selanjutnya Bank menetapkan secondary reserve untuk menjaga posisi
likuiditas Bank, antara lain menempatkan kelebihan dana ke dalam instrumen
keuangan yang likuid.
e) Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank.
Melaksanakan fungsi ALCO (Asset & Liability Committee) untuk mengatur
tingkat bunga dalam usahanya dan meningkatkan/menurunkan sumber dana
tertentu.
Oleh karena itu bank wajib menyediakan likuiditas tersebut dengan cukup dan
mengelolanya dengan baik, karena apabila likuiditas tersebut terlalu kecil maka
akan mengganggu kegiatan operasional bank, namun demikian likuiditas juga
tidak boleh terlalu besar, karena apabila jumlah likuiditas terlalu besar maka akan
menurunkan efisiensi bank sehingga berdampak pada rendahnya tingkat
profitabilitas.

DAFTAR PUSTAKA

32
Indroes, Ferry N. Manajemen Resiko Perbankan. Jakarta. Rajagrafindo Persada.
2008.
Wahyudi, Imam dkk. Manajemen Resiko Bank Islam. Jakarta. Salemba empat.
2013.
Karim, Adiwarman A. Bank Islam. Jakarta. Rajagrafindo Persada. 2010.
http://ammarawirausaha.blogspot.com/2009/10/pengertian-resiko-usaha.html
http://riaembo.blogspot.com/2013/04/risiko-likuiditas.html
http://syrifhidayat1992.blogspot.com/2013/04/manajemen-likuiditas-bank-
syariah.html
http://3yoo.wordpress.com/2012/06/07/manajemen-likuiditas/
http://fadliknight.wordpress.com/2011/10/08/manajemen -likuiditas-bank/
http://top-studies.blogspot.com/2013/11/pengertian-risiko-usaha-
kewirausahaan.html#sthash.b3Zjk8Iw.dpuf
http://id.wikipedia.org/wiki/Likuiditas
http://makalahegi.blogspot.com/2013/01/manajemen-likuiditas-bank.html

33

Anda mungkin juga menyukai