Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak,
mendidik, membimbing dan mendisiplinkan anak dalam mencapai proses
kedewasaan hingga pada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan
masyarakat pada umumnya Casmini 2007 dalam (Bea Septriari, 2012).
Kecerdasan emosional sebagai kesanggupan untuk memperhitungkan
atau menyadari situasi tempat kita berada, untuk membaca emosi orang lain
dan emosi kita sendiri, serta untuk bertindak dengan tepat ( Hartono, 2012).
Kecerdasan sosial merupakan kemampuan yang membantu seseorang
untuk berhubungan baik dengan orang lain (Pariosi, 2013).
Di Indonesia, jumlah perceraian semakin meningkat. Data Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen BadilagMA),
kurun waktu 2010 ada 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian ke
Pengadilan Agama se-Indonesia. Angka tersebut merupakan angka tertinggi
sejak 5 tahun terakhir. Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat
perceraian yang cukup tinggi (Anata Rahman, 2014).
Berdasarkan berbagai sumber referensi dan data yang ada jumlah
keluarga orang tua tunggal dari pada ayah yang menjadi orang tua tunggal,
lebih banyak dibandingkan dengan keluarga orang tua pria. Menurut
Wibowo (2008) perbandingan jumlah janda dan duda di Indonesia adalah
469:100, artinya jumlah duda yang tidak memlah janda yang tidak menikah
lagi. Jadi lebih banyak duda yang menikah akibatnya ibu orang tua
tunggal lebih banyak. Hasil survey sosial ekonomi nasional yang dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik tahun 1994 (Harian Tempo, 2011) menunjukkan
bahwa jumlah ibu di Indonesia yang menjadi kepala rumah karena bercerai
sebanyak 778.156 orang dan karena kematian suami berjumlah 3.681.586
orang (total 4.459.724). Berdasarkan data Program Pemberdayaan Perempuan
Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia

1
2

berstatus janda. Hal ini berarti kenaikan jumlah orang tua tunggal ibu hampir
sepuluh kali lipat selama rentang 10 tahun (Akmalia, 2013).
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 mencatat jumlah orang tua
tunggal di Indonesia sebanyak 1,76% dari total rumah tangga dengan sebab
perceraian dan sebanyak 5,77% dengan sebab kematian pasangan. Tahun
2011 BPS juga mencatat 2,49% ibu yang menjadi orang tua tunggal dengan
sebab perceraian dan 9,59% dengan sebab kematian pasangan. Ayah yang
menjadi orang tua tunggal, BPS mencatat sebanyak 1,02% dengan penyebab
perceraian dan dengan penyebab kematian pasangan sebanyak 1,96%
(Nihlatun Naf’ah, 2014).
Di lingkungan Jenetallasa jumlah orang tua tunggal pada tahun 2018
sebanyak 40 orang. Orang tua tunggal dibedakan menjadi empat yaitu duda
yang ditinggal cerai sebanyak 7 orang, duda yang ditinggal mati sebanyak 5
orang, janda yang ditinggal cerai sebanyak 9 orang dan janda yang ditinggal
mati sebanyak 19 orang.
Didalam keluarga, pengasuhan merupakan faktor terpenting yang ada
didalamnya. Bagaimana kepribadian anak pada nantinya akan banyak
dipengaruhi oleh pengasuhan yang digunakan oleh orang tuanya. Dalam
keluarga orang tua tunggal, pengasuhan yang diterapkan tentu tidak sama
dengan pengasuhan yang diterapkan pada keluarga utuh pada umumnya.
Termasuk dalam hal kecerdasan emosional dan sosial (Anata Rahman, 2014).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik dan
berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul “ hubungan pola asuh
orang tua tunggal terhadap kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial anak
di lingkungan Jenetallasa kecamatan Pallangga kabupaten Gowa”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka muncul
pokok permasalahan yaitu bagaimana hubungan pola asuh orang tua tunggal
terhadap kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial anak di lingkungan
Jenetallasa kecamatan pallangga kabupaten gowa.

2
3

C. Batasan Masalah
Mengingat adanya keterbatasan sarana, prasarana dan waktu sehingga
pada penelitian ini peneliti melakukan batasan terhadap penelitian ini adalah
hanya mengambil pembahasan hubungan pola asuh orang tua tunggal terhadap
kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial anak.
D. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua tunggal terhadap
kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial anak di lingkungan
Jenetallasa kecamatan Pallangga kabupaten Gowa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk melihat gambaran pola asuh orang tua tunggal di lingkungan
Jenetallasa kecamatan Pallangga kabupaten Gowa.
b. Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua tunggal dengan
tingkat kecerdasan emosional anak di lingkungan Jenetallasa kecamatan
Pallangga kabupaten Gowa.
c. Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua tunggal dengan
kecerdasan sosial di lingkungan Jenetallasa kecamatan Pallangga
kabupaten Gowa.
E. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini sebagai sumbangan ilmiah dan bahan bacaan
bagi semua. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi
hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk
penelitian selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan memperluas cakrawala pengetahuan.
2. Manfaat Institusi
Memberikan informasi mengenai hasil yang dilakukan dan sebagai
gambaran informasi untuk institusi pendidikan STIKES Panakkukang
Makassar khususnya jurusan keperawatan.

3
4

3. Untuk Peneliti
a. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam
mengaplikasikan ilmu yang telah di dapat selama pendidikan.
b. Sebagai syarat dalam menyelesaikan program pendidikan S1
keperawatan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pola Asuh
1. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh merupakan bagian dari proses pemeliharaan anak dengan
menggunakan teknik dan metode yang menitikberatkan pada kasih sayang
dan ketulusan cinta yang mendalam dari orang tua (Takdir, 2013).
Pola pengasuhan adalah asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh
lain berupa sikap dan perilaku dalam hal kedekatannya dengan anak,
memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang
dan sebagainya. Kemudian berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal
kesehatan fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan
tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga, masyarakat dan
lain sebagainya (Bea Septriari, 2012).
Pola asuh orang tua adalah bagaimana orang tua memperlakukan
anak, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan anak dalam mencapai
proses kedewasaan hingga pada upaya pembentukan norma-norma yang
diharapkan masyarakat pada umumnya Casmini 2007 dalam (Bea
Septriari, 2012).
2. Prinsip Dalam Mengasuh dan Membimbing Anak
Anak perlu diasuh dan dibimbing karena mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan itu
merupakan suatu proses. Agar pertumbuhan dan perkembangan berjalan
sebaik-baiknya anak perlu diasuh dan dibimbing oleh orang dewasa,
terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga. Peran orang tua adalah
menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak kearah
yang positif (Bea Septriari, 2012).

5
6

3. Macam-Macam Pola Asuh


Pola asuh ada tiga yaitu:
a. Authotarian
Pola ini menggunakan pendekatan yang memaksakan kehendak
orang tua kepada anak. Anak harus menurut kepada orang tua.
Keinginan orang tua harus dituruti, anak tidak boleh mengeluarkan
pendapat.
Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak menjadi penakut,
pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, kurang tajam,
kurang tujuan, curiga kepada orang lain dan mudah stres.
b. Permisif
Orang tua serba membolehkan anak berbuat apa saja. Orang tua
memiliki kehangatan dan menerima apa adanya. Kehangatan cenderung
memanjakan, ingin dituruti keinginannya. Sedangkan menerima apa
adanya cenderung memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat
apa saja. Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak agresif, tidak patuh
pada orang tua, sok kuasa, kurang mampu mengontrol diri.
c. Demokratis
Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan
mencukupinya dengan pertimbangan faktor kepentingan dan kebutuhan.
Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak mandiri, mempunyai control
diri, mempunyai kepercayaan diri yang kuat, dapat berinteraksi dengan
teman sebayanya dengan baik, mampu manghadapi stres, mempunyai
minat terhadap hal-hal yang baru, kooperatif dengan orang dewasa,
penurut, patuh dan berorientasi pada prestasi (Bea Septriari, 2012).
Pada prinsipnya pola pengasuhan yang tepat adalah authoritative
atau demokratis. Yang dimaksud dengan pengasuhan authoritative atau
demokratis adalah pola pengasuhan dimana orang tua mendorong anak
untuk menjadi mandiri, tetapi tetap memberikan batasan-batasan atau
aturan serta mengontrol perilaku anak. Orang tua bersikap hangat,
mengasuh dengan penuh kasih sayang serta penuh perhatian. Orang tua
7

juga memberikan ruang kepada anak untuk membicarakan apa yang


mereka inginkan atau harapan dari orang tuanya (Bea Septriari, 2012).
Jadi orang tua tidak secara sepihak memutuskan berdasarkan
keinginannya sendiri. Sebaliknya orang tua juga tidak begitu saja
menyerah pada keinginan anak. Ada negosiasi antara orang tua dan
anak sehingga dapat dicapai kesepakatan bersama. Misalnya bila anak
batita memaksakan keinginannya untuk menggunting baju yang masih
bisa dipakai, orang tua dapat mengambil sikap dengan tetap tidak
mengizinkannya menggunting baju yang masih terpakai, tetapi
memberikan kain perca atau baju lain yang sudah tidak terpakai. Oleh
karena itu, dibutuhkan kepekaan, kesabaran dan kreativitas orang tua
(Bea Septriari, 2012).
Orang tua tunggal sering diidentikkan dengan status janda yang
disandang oleh seorang perempuan yang kehilangan pasangan hidupnya
dan status duda yang disandang seorang laki-laki yang kehilangan
pasangan hidupnya. Orang tua tunggal sebenarnya tidak hanya untuk
perempuan yang kehilangan suami dan menjadi janda. Status orang tua
tunggal ini juga banyak disandang oleh para lelaki yang kehilangan
istrinya yang memilih untuk tidak menikah lagi (Anggen, 2013).
Single parents adalah sebutan bagi perempuan atau laki-laki yang
berperan sebagai orang tua tunggal untuk anak-anaknya (Anggen, 2013).
a. Faktor Penyebab Terjadinya Orang Tua Tunggal
1) Perceraian
Ciri-ciri keluarga yang cerai adalah :
a) Salah satu dari orang tua sudah tidak tinggal serumah atau pisah
ranjang.
b) Salah satu dari kedua orang tua pergi jauh tanpa kabar berita
sehingga tidak jelas statusnya cerai atau tidak.
c) Kedua orang tua jelas berpisah/bercerai secara sah.
8

2) Kematian salah satu pasangan.


Kematian orang tua secara tiba-tiba membuat anggota keluarga
terguncang hebat. Musibah itu sering menimbulkan kesedihan, rasa
berdosa dan lain sebagainya. Perasaan duka adalah suatu emosi yang
wajar, sehingga disini peran orang tua untuk meyakinkan anak
dengan sikap empati sambil mengarahkan pikiran anak agar dapat
menyesuaikan diri dengan kenyataan sangat diperlukan, sehingga
irama kehidupan keluarga kembali normal dalam waktu yang tidak
terlalu lama (Djudiyah dan Yuniardi, 2010).
Keluarga tunggal ayah saja atau ibu saja harus melaksanakan
dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi sebagai ayah dan fungsi sebagai
ibu. Selain itu dia juga harus menjalani fungsi-fungsi keluarga yang
lain seperti ekonomi, pendidikan, sosial, budaya dan sebagainya.
Dalam keadaan seperti inilah orang tua tunggal akan dihadapkan
pada kenyataaan dan tantangan untuk melakukan berbagai tugas dan
fungsi keluarga seorang diri (A’yuni, 2010).
Shapiro (2003) menjelaskan tentang tugas-tugas yang harus
dikerjakan seorang diri oleh orang tua tunggal, baik laki-laki maupun
perempuan. Diantaranya tugas-tugas tersebut adalah : penuh dengan
benturan waktu, tanggung jawab ganda untuk tetap mempertahankan
kelangsungan hidup dan mengelola rumah tangga, tidak ada istirahat
atau waktu istirahat berkurang, ditambah dengan kebutuhan
emosional khusus terhadap anak-anak yang tidak lagi memiliki
keluarga utuh, serta menanggung beban finansial dan mengaturnya
seorang diri (A’yuni, 2010).
b. Dampak yang terjadi pada keluarga orang tua tunggal yaitu :
Dampak Negatif
1) Perubahan perilaku anak
Bagi seorang anak yang tidak siap ditinggalkan orang tuanya
bisa menjadi mengakibatkan perubahan tingkah laku. Menjadi
pemarah, berkata kasar, suka melamun, agresif, suka memukul,
9

menendang, menyakiti temanya. Anak juga tidak berkesempatan


untuk belajar perilaku yang baik sebagaimana perilaku keluarga
yang harmonis. Dampak yang paling berbahaya bila anak mencari
pelarian diluar rumah, seperti menjadi anak jalanan, terpengaruh
penggunaan narkoba untuk melenyapkan segala kegelisahan dalam
hatinya, terutama anak yang kurang kasih sayang, kurang perhatian
orang tua.
2) Perempuan merasa terkucil
Terlebih lagi pada perempuan yang sebagai janda atau yang
tidak dinikahi, dimasyarakat terkadang mendapatkan cemooh dan
ejekan.
3) Psikologis anak terganggu
Anak sering mendapat ejekan dari teman sepermainan
sehingga anak menjadi murung, sedih. Hal ini dapat mengakibatkan
anak menjadi kurang percaya diri dan kurang kreatif (Dwi
Wahyuni, 2010).
Dampak positif
1) Anak terhindar dari komunikasi yang kontradiktif dari orang tua,
tidak akan terjadi komunikasi yang berlawanan dari orang tua,
misalnya ibunya mengijinkan tetapi ayahnya melarang. Nilai yang
diajarkan ibu atau ayah diterima penuh karena tidak terjadi
pertentangan.
2) Anak lebih mandiri dan berkepribadian yang kuat, karena tidak
terbiasa selalu hal didampingi, terbiasa menyelesaikan berbagai
masalah kehidupan (Dwi Wahyuni, 2010).
c. Dampak orang tua tunggal bagi perkembangan anak
1) Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga
anak kurang dapat berinteraksi dengan lingkungan, menjadi minder
dan menarik diri.
10

2) Pada orang tua tunggal dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi


tidak seimbang sehingga menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan terganggu.
3) Orang tua tunggal kurang dapat menanamkan adat istiadat dan
murung dalam keluarga, sehingga anak kurang dapat bersopan
santun dan tidak meneruskan budaya keluarga, serta
mengakibatkan kenakalan karena adanya ketidakselarasan dalam
keluarga.
4) Dibidang pendidikan, orang tua tunggal sibuk untuk mencari
nafkah sehingga pendidikan anak kurang sempurna dan tidak
optimal.
5) Dasar pendidikan agama pada anak orang tua tunggal biasanya
kurang sehingga anak jauh dari nilai agama.
6) Orang tua tunggal kurang bisa melindungi anaknya, dari gangguan
orang lain dan bila dalam jangka waktu lama, maka akan
menimbulkan kecemasan pada anak atau gangguan psikologis yang
sangat berpengaruh pada perkembangan anak (Dwi Wahyuni,
2010).
d. Dampak orang tua tunggal terhadap ibu
1) Beban ekonomi
2) Fungsi seksual dan reproduksi
3) Hubungan dalam interaksi sosial (Dwi Wahyuni, 2010).
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Gardner (Musfiroh, 2004;24) kecerdasan adalah
kemampuan untuk menyelesaian masalah atau menghasilkan produk
yang dibuat dalam satu atau beberapa budaya. Secara lebih terperinci
Gardner menguraikan sebagai berikut: (Juntika dan Agustin, 2013)
a. Kemampuan untuk menyelesaikan dan menemukan solusi masalah
dalam kehidupan nyata.
11

b. Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk


diselesaikan; dan
c. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang akan menimbulkan
penghargaan dalam budaya seseorang.
Danial Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kecerdasan yang terkait dengan yang kita temui sehari-hari. Kita
berhubungan dan berinteraksi setiap hari dengan orang lain sehingga
perlu untuk memahami orang lain dan situasinya. Selain itu, yang lebih
penting lagi, kecerdasan emosional juga berhubungan dengan
kemampuan kita untuk memahami dan mengelola emosi kita sendiri yang
berupa ketakutan, kemarahan, agresi dan kejengkelan. Daniel Goleman
mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai kesanggupan untuk
memperhitungkan atau menyadari situasi tempat kita berada, untuk
membaca emosi orang lain dan emosi kita sendiri, serta untuk bertindak
dengan tepat ( Hartono, 2012).
Kecerdasan emosional adalah sebuah kemampuan mendengarkan
bisikan emosi dan menjadikannya sebagai sumber informasi maha
penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain demi mencapai
tujuan (Kuswandi Jaya, dkk, 2012).
2. Unsur Kecerdasan Emosional
Bila anda menghendaki terciptanya kecerdasan emosi pada anak,
anda perlu menanamkan sejak usia dini karena gejolak batin anak akan
senantiasa mengiringi setiap langkahnya. Kecerdasan emosi merupakan
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan tahan terhadap frustasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan,
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Tidak heran
bila goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) memiliki 5
unsur. Ciri-ciri tersebut diantaranya kesadaran diri (self awareness),
pengaturan diri (self regulation), motivasi (motivation), empati
(empathy) dan keterampilan sosial (social skills) (Takdir, 2013).
12

a. Kesadaran diri, yaitu mengetahui dan memahami apa yang kita


rasakan pada suatu saat, memanfaatkanya untuk memimpin
pengambilan keputusan diri sendiri, mempunyai barometer yang riil
atas potensi diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri, yaitu mampu mengendalikan emosi kita dengan baik
sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap
kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu
sasaran, mampu segera pulih kembali dari segala tekanan emosi.
c. Motivasi, yaitu menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk
menggerakan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita untuk
mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta untuk bertahan
menghadapi kegagalan dan frustasi.
d. Empati, yaitu merasakan yang dirasakan orang lain, mampu
memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling
percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
e. Keterampilan sosial, yaitu menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi
dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan
keterampilan-keterampilan ini untuk memengaruhi dan memimpin,
bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan serta untuk bekerja
sama dan bekerja dalam tim.
C. Kecerdasan Sosial
1. Pengertian Kecerdasan Sosial
Kecerdasan sosial merupakan kemampuan yang membantu
seseorang untuk berhubungan baik dengan orang lain (Pariosi, 2013).
Seseorang yang memiliki kecerdasan sosial mengerti bagaimana
menjalin komunikasi yang baik dengan orang lain, bahkan dengan
berbagai macam latar belakang seseorang. Hal ini diperkuat dengan hasil
penelitian Dong Koper dan Collaco (2008) yang menunjukkan bahwa
kecerdasan sosial secara signifikan berhubungan dengan sensitivitas
komunikasi antar budaya (Pariosi, 2013).
13

2. Unsur Kecerdasan Sosial


Silvera, Martinussen dan Dahl menyimpulkan unsur kecerdasan
sosial dari penelitiannya (Silvera at al.,2001;Gini, 2005; Berarducci,
2009; Dogan dan Cetin 2009) yaitu: (Pariosi, 2013)
a. Memproses informasi sosial: kemampuan untuk memahami pesan
verbal dalam hubungan antar manusia, berempati dan membaca
pesan tersembunyi sebaik membaca pesan yang tersirat.
b. Kemampuan sosial: kemampuan dasar komunikasi seperti
mendengar aktif, berani bertindak, membangun, mempertahankan
dan memutuskan hubungan.
c. Kesadaran sosial: kemampuan aktif berperilaku sesuai dengan
situasi, tempat dan waktu.
3. Ciri-Ciri Kecerdasan Sosial
Khilstrom dan Cantor (2000) mengusulkan ciri-ciri kecerdasan
sosial sebagai berikut: menerima orang lain apa adanya, tepat waktu
dalam membuat perjanjian, mengakui kesalahan yang diperbuatnya,
menunjukkan perhatian pada dunia yang lebih luas, mempunyai hati
nurani sosial, berpikir, berbicara dan bertindak secara sistematik,
menunjukkan rasa ingin tahu, tidak membuat penilaian yang tergesa-
gesa, membuat penilaian secara objektif, meneliti informasi terlebih
dahulu sebagai bahan pertimbangan memecahkan masalah, peka terhadap
kebutuhan dan hasrat orang lain dan menunjukkan perhatian segera
terhadap lingkungan (Pariosi, 2013).
Campbell, L, Campbell, B. dan Dickinson (dalam Wulandari,
2010) menyatakan ciri-ciri orang yang mempunyai kecerdasan sosial
yang bagus antara lain: terikat dengan orang tua dan berinteraksi dengan
orang lain, membentuk dan menjaga hubungan sosial, mengetahui dan
menggunakan cara-cara yang beragam dalam hubungan dengan orang
lain, mempengaruhi pendapat dan perbuatan orang lain, merasakan
perasaan, pikiran, motivasi, tingkah laku dan gaya hidup orang lain,
berpartisipasi dalam kegiatan kolaboratif dan menerima bermacam peran
14

yang perlu dilaksanakan oleh bawahan sampai pimpinan dalam suatu


usaha bersama, memahami dan berkomunikasi secara efektif baik verbal
maupun nonverbal, menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan grup
yang berbeda dan juga feedback dari orang lain, menerima perspektif
yang bermacam-macam dalam masalah sosial dan politik, mempelajari
keterampilan yang berhubungan dengan mediator, mengorganisir orang
lain dari berbagai latar belakang dan usia, tertarik pada karir yang
berorientasi pada hubungan interpersonal dan membentuk model sosial
atau model baru (Pariosi, 2013).
D. Dasar Pemikiran Variabel
1. Variabel Dependen
Adalah variabel yang terikat dengan variabel-variabel lain yang
berhubungan dengannya. Variabel dependen adalah objek dari
variabel lain, sering juga disebutkan sebagai variabel yang
mendapatkan perlakuan. Dengan demikian, nilai variabel dependen
ditentukan oleh nilai variabel independen. Pada umumnya hanya
terdapat satu variabel dependen (Wibowo, 2014). Adapun variabel
dependen pada penelitian tersebut yaitu kecerdasan anak (kecerdasan
emosional dan sosial)
2. Variabel Independen
Adalah variabel bebas, yaitu variabel yang
memengaruhi/mempunyai hubungan dengan variabel dependen.
Variabel independen atau variabel bebas bisa lebih dari satu
(Wibowo, 2014). Adapun variabel independen pada penelitian
tersebut yaitu pola asuh.
15

3. Hubungan Antar Variabel


Variabel Independen Variabel Dependen

Kecerdasan Anak

Pola Asuh (Kecerdasan


Emosional Dan
Sosial)

Gambar 4.1 Kerangka Konsep


Keterangan
: Variabel dependen
: Variabel independen

Identifikasi Variabel
Adapun identifikasi variabel dalam penelitian ini adalah
- Variabel independen adalah pola asuh
- Variabel dependen adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan
sosial.
4. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
a. Pola Asuh
Pola asuh adalah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
anak.
Kriteria obyektif :
- Baik jika skor yang diperoleh > 18
- Buruk jika skor yang diperoleh ≤ 18
KO : Jumlah pertanyaan tertinggi x skor tertinggi
: 12 x 2 = 24
KO : Jumlah pertanyaan tertinggi x skor terendah
: 12 x 1 = 12
: 24 + 12 = 36
1
Ti. Median =2 x36

= 18
16

b. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional yang teliti adalah kecerdasan emosi
adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri
dan orang lain, serta mengetahui bagaimana emosi diri sendiri.
Menggunakan skala Gutman dengan skor 2 (Ya) dan 1 (Tidak).
Kriteria obyektif :
- Baik jika skor yang diperoleh > 15
- Buruk jika skor yang diperoleh ≤ 15
KO :Jumlah pertanyaan tertinggi x skor tertinggi
: 10 x 2 = 20
KO : Jumlah pertanyaan tertinggi x skor terendah
: 10 x 1 = 10
20 + 10 = 30
1
Ti. Median =2 x30

= 15

c. Kecerdasan Sosial
Kecerdasan sosial yang teliti adalah kemampuan untuk
menjalin hubungan dengan lingkungan atau kelompok masyarakat.
Menggunakan skala Gutman dengan skor 2 (Ya) dan 1 (Tidak).
Kriteria obyektif :
- Baik jika skor yang diperoleh > 15
- Buruk jika skor yang diperoleh ≤ 15
KO : Jumlah pertanyaan tertinggi x skor tertinggi
: 10 x 2 = 20
KO : Jumlah pertanyaan tertinggi x skor terendah
: 10 x 1 = 10
20 + 10 = 30
1
Ti. Median =2 x30

= 15
17

5. Hipotesis Penelitian
a. Hipotesis Nol (H0)
Adapun hipotesis nol (H0) dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Tidak ada hubungan pola asuh orang tua tunggal terhadap kecerdasan
emosional.
2) Tidak ada hubungan pola asuh orang tua tunggal terhadap kecerdasan
sosial.
b. Hipotesis Alternatif (Ha)
Adapun hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Ada hubungan pola asuh orang tua tunggal terhadap kecerdasan
emosional.
2) Ada hubungan pola asuh orang tua tunggal terhadap kecerdasan sosial.
BAB III

METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Penelitian deskriptif menurut Sukmadinata 2006 adalah suatu bentuk
penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena-fenomena yang alamiah atau buatan manusia. Fenomena ini bisa
berupa hubungan, kesamaan dan perbedaan antara fenomena satu dengan
lainnya. Jadi penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan pola
asuh orang tua tunggal terhadap kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial
anak di Lingkungan Jenetallasa Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa
(Budiman, 2013).
B. Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan Cross sectional, merupakan suatu
penelitian dimana subjek penelitian diamati, diukur, diminta jawabannya.
C. Populasi Penelitian
38
Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam
penelitian. Penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting dan
menentukan keakuratan hasil penelitian. Sumber data atau subjek penelitian
mempunyai karakteristik tertentu, berbeda-beda sesuai dengan tujuan peneliti
(Saryono, 2013).
Pada penelitian ini populasinya adalah orang tua tunggal yang memiliki
anak di Lingkungan Jenetallasa, yang berjumlah 40 orang.
D. Sampel Penelitian
Sebagian dari populasi yang mewakili suatu populasi disebut sebagai
sampel. Adanya keterbatasan waktu, tenaga, biaya dan sebab lain, peneliti
hanya menggunakan sebagian dari populasi sebagai sumber data (Saryono,
2013).

18
19

a. Besar Sampel

N
𝑛=
Nd² + 1

40
𝑛=
40(0,05)2 + 1
40
𝑛 = 40(0,0025) +1
40
𝑛 = 0,1+1
40
𝑛=
1,1
𝑛 = 36

Keterangan:
n :jumlah sampel
N : jumlah populasi
d : Kesalahan sampel yang masih dapat ditolelir ( 0,05 )
b. Sampling
Tekhnik sampling adalah teknik pengambilan sampel dari populasi dalam
penelitian (Riyanto, 2011).
Pengambilan sampel ini dilakukan dengan teknik purposive
sampling. Teknik pengambilan sampel bertujuan dilakukan tidak
berdasarkan strata, kelompok atau acak, tetapi berdasarkan
pertimbangan / tujuan tertentu. Teknik ini dilakukan atas
pertimbangan tertentu seperti waktu, biaya, tenaga, sehingga tidak
dapat mengambil sampel dalam jumlah besar dan jauh (Saryono dan
Dwi, 2013).
c. Kriteria Sampel
1) Kriteria Inklusi
20

Kritereia inklusi adalah karakteristik yang dapat


dimasukkan atau layak untuk diteliti. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini adalah :
a) Orang tua tunggal lebih dari 2 tahun.
b) Orang tua tunggal usia 25 – 55 tahun.
c) Orang tua tunggal yang mempunyai anak lebih dari dua.
d) Orang tua tunggal yang bersedia diteliti.
2) Kriteria Eklusi
Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak
dapat dimasukkan atau tidak layak utuk diteliti. Yang termasuk
kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah :
a) Orang tua tunggal yang tidak lebih dari 2 tahun.
b) Orang tua tunggal yang tidak berusia 25 – 55 tahun.
c) Orang tua tunggal yang tidak mempunyai anak lebih dari dua.
d) Orang tua tunggal yang tidak bersedia diteliti.
E. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya
rekomendasi dari pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan
permohonan ijin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini kepala
kelurahan setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan
menekankan masalah etika penelitian yang meliputi (Hidayat Alimul Aziz A,
2011).
1. Informed consent (lembaran Persetujuan)
Lembar persetujuan yang akan diberikan pada responden yang akan
diteliti dan memenuhi kriteria inklusi dan manfaat penelitian.
2. Anonymity (Tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, penelitian tidak mencantumkan nama
responden, tetapi lembaran tersebut diberikan kode.
3. Confidential (rahasia)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
21

lainnya. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil
riset.

F. Prosedur Penelitian
1. Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan informasi yang diinginkan dalam penelitian
informasi yang diinginkan didapatkan melalui dua jenis sumber data
yaitu:
a. Data Primer
Data primer disebut juga sebagai data pertama. Data primer
diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat
pengukuran atau alat pengambilan data, langsung pada subjek sebagai
sumber informasi yang dicari (Saryono dan Dwi, 2013).
Data primer diperoleh melalui kuisioner yang dibagikan kepada
orang tua tunggal dan lembar observasi yang didapat dari hasil
observasi anak.
b. Data Sekunder
Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder
adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh
oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Biasanya berupa data
dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia (Saryono dan Dwi,
2013).
Data diperoleh melalui instansi yang terkait yang merupakan
data pelengkap untuk data primer yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti.
2. Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul diadakan:
a. Editing data
22

Editing data adalah upaya memeriksa kembali kebenaran data


yang diperoleh atau di kumpulkan. Editing data dapat dilakukan pada
tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
b. Coding data
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)
terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini
sangat penting bila pengolahan dan analisa data mengunakan
komputer. Biasanya dalam pemberian kode di buat juga daftar kode
dan artinya dalam satu buku (Code book) untuk memudahkan
kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu variabel.
c. Tabulasi data
Tabulasi data adalah kegiatan memasukan data yang telah
dikumpulkan kedalam master tabel atau database komputer,
kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga
membuat tabel kontigensi.
d. Analisa data
Setelah data tersebut dilakukan editing, coding dan tabulasi
maka selanjutnya dilakukan analisa data berupa:
1) Analisa Univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dengan
cara mendiskripsikan tiap variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu
melihat distribusi frekuensinya. Kemudian
2) Analisa Bivariat dilakukan untuk melihat perbandingan antara variabel
bebas secara sendiri-sendiri dengan variabel terikat digunakan uji chi-
square.
3. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan mengunakan pengolahan spss versi 16,
dengan pengujian Crosstab.
1. H0 ditolak jika p < α = 0,05
2. H0 diterima jika p > α = 0,05
Terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel independen dengan
variabel dependen jika nilai p lebih kecil dari 0,05 (p < α = 0,05)

Anda mungkin juga menyukai