Anda di halaman 1dari 8

Pengertian Pancasila secara etimologis

Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana)
adapun bahasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa
sansekerta perkataan “Pancasila” memilki dua macam arti secara leksikal yaitu :

“panca” artinya “lima”

“syila” vokal I pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”

“syiila” vokal i pendek artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang
senonoh”

Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan “susila “
yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis kata “Pancasila”
yang dimaksudkan adalah adalah istilah “Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memilki
makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”.
Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan tingkah laku yang
penting.

Pengertian Pancasila secara Historis

Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman
Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut.
Masalah tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan
dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad
Yamin, Soepomo dan Soekarno.

Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks)
mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama
“Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang
temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian


keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 termasuk
Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip
sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.

Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum.
Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang
dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal
ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar
negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
Pengertian Pancasila secara Terminologis

Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik
Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-
negara yang merdeka, maka panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera
mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan
UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri
atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1
aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat.

Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan
Pancasila sebagai berikut :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah yang secara
konstisional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI
yang mewakili seluruh rakyat Indonesia.

nilai-nilai pancasila diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari sebagai norma yang mangatur cara
bagaimana berkehidupan bermasyarakat

Sebagai dasar
Negara, pancasila
berkedudukan sebagai
norma dasar atau
norma
fundamental
(fundamental norm)
Negara dengan
demikian Pancasila
menempati
norma hukum
tertinggi dalam
Negara ideologi
Indonesia. Pancasila
adalah cita
hukum ( staatside )
baik hukum tertulis
dan tidak tertulis
( konvensi ).

Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia| Makna atau arti pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa indonesia adalah kristalisasi pengalaman-pengalaman hidup dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang telah membentuk sikap, watak, perilaku, tata nilai,
moral, etika yang melahirkan pandangan hidup. Pancasila sebagai pandangan hidup sering
disebut dengan way of life, weltanschauung, pandangan dunia, pegangan hidup, pedoman hidup,
dan petunjuk hidup sehari-hari. Dalam hal ini, Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup
sehari-hari.

Arti pancasila sebagai petunjuk sehari-hari adalah pancasila diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan kata lain, Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk arah bagi bangsa Indonesia
dalam semua kegiatan atau aktivitas di dalam segala bidang kehidupan. Hal ini berarti bahwa
semua tingkah laku dan perbuatan setiap manusia Indonesia seharusnya dijiwai dan merupakan
pancaran dari semua sila Pancasila. Pancasila yang harus dihayati adalah Pancasila yang
tercantum di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945. Dengan demikian, sila-sila pancasila
tersebut selalu terpancar dalam segala tingkah laku dan perbuatan setiap rakyat Indonesia.

Berdasar uraian di atas, manfaat dijadikannya pancasila sebagai


pandangan hidup bangsa antara lain untuk 1) mengatasi berbagai konflik
atau ketegangan sosial, artinya ideologi dapat meminimalkan berbagai
perbedaan yang ada dalam masyarakat dengan simbol-simbol atau
semboyan tertentu.; 2) menjadi sumber motivasi, artinya ideologi dapat
memberi motivasi kepada seseorang, kelompok orang atau masyarakat
untuk mewujudkan cita-citanya, gagasan dan ide-idenya dalam kehidupan
nyata., dan 3) Menjadi sumber semangat dalam mendorong individu dan
kelompok untuk berusaha mewujudkan nilai-nilai yang terkadung di dalam
ideologi itu sendiri serta untuk menjawab dan menghadapi perkembangan
global dan menjadi sumber insiparsi bagi perjungan selanjutnya

Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan: korupsi.
Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi
mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi
dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung
jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan
korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti
ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja
demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan. Ini merupakan hal sangat wajar. Selain dikarenakan
program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga
mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Perusahaan-perusahaan
kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi
(pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total
biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada
negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan
karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).

Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran
bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa,
wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para calon-calon penerus bangsa yang
sedang dan mengkaji dan akan menguasai imu pengetahuaan dan teknologi serta seni.

Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia yang berbudi luhur,
berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta
sehat jasmani dan rohani.

Pendidikan kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh
rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai perilaku yang:

1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa serta menghayati nilai-nilai falsafah
bangsa.

2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam masnyarakat berbangsa dan bernegara.

3. Rasional, dinamis, dan sabar akan hak dan kewajiban warga negara.

4. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.

5. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk kepentingan


kemanusiaan, bangsa dan negara.

Melalui pendidikan Kewarganegaraan , warga negara Republik indonesia diharapkan mampu


“memahami”, menganalisa, dan menjawab masalah-masalah yang di hadapi oleh masyarakat ,
bangsa dan negaranya secra konsisten dan berkesinambungan dalam cita-cita dan tujuan nasional
seperti yang di gariskan dalam pembukaan UUD 1945.

KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat di ambil kesimpulan akan pentingnya suatu pendidikan berbangsa
dan bernegara agar terciptanya keseibangan antara hak dan kewajiban bagi setiap warga negra
dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan berbegara . Dan menjadi suatu penjelasan, bahwa
sesuatu hal yang mungkin sebagian besar orang menganggapnya tidak penting pada hakikatnya
memiliki peranan yang menentukan kelangsungan hidup kita di masa yang akan datang. Dan
perlu kita ketahui dan pahami ketika hal itu terjadi, maka ketahuilah bahwa nilai-nilia terkandung
dari hal tersebut sudah mulai menghilang dari diri kita,dan perlu kita pelajari kembali.

Semoga penjelasan di atas dapat bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kta untuk menjadi warga
negara yang baik dnan berbudi luhur

ahun 2014 sering disebut banyak kalangan sebagai tahun politik. Alasannya, apalagi
kalau bukan karena pada tahun ini digelar hajatan demokrasi bangsa Indonesia berupa
Pemilihan Umum (Pemilu) yang menentukan nasib ribuan anggota legislatif dalam 12
partai politik nasional. Plus pemilihan Presiden Republik Indonesia beserta wakilnya
periode 2014-2019.

Meski akhir-akhir ini dicibir banyak orang karena dianggap memakan ongkos politik
yang tidak sedikit, Pemilu tetap menjadi keniscayaan bagi sebuah negara demokrasi
modern. Selaras dengan Universal Declaration on Democracy yang diadopsi oleh Inter-
Parliamentary Union pada 16 September 1997, yang menegaskan bahwa elemen kunci
untuk menjalankan demokrasi adalah dengan cara menyelenggarakan Pemilu yang
jujur dan adil secara berkala.

Buku berjudul lengkap Demokrasi dan Pemilu di Indonesia ini berusaha mendedah
secara detail aneka rupa wacana demokrasi dan Pemilu yang pernah terjadi di
Indonesia, mulai dari berdirinya Republik Indonesia hingga lahirnya era reformasi. Era
yang sampai saat ini telah menyelenggarakan tiga kali Pemilu.

Konsep negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) dan
negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) tak luput dari uraiannya.
Disimpulkan Janedjri M. Gaffar, penulis buku ini, bahwa keduanya dapat berjalan
beriringan dan saling melengkapi dalam sebuah Negara Demokrasi Konstitusional.

Perlu diketahui, saat ini tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya dapat
mengangankan demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi pada negara yang
wilayah dan jumlah warganya sangat kecil, sebagaimana di negara kota (polis) pada
masa Yunani Kuno. Sehingga negara demokrasi modern adalah negara yang
menjalankan demokrasi perwakilan. Termasuk Indonesia.

Dalam demokrasi perwakilan, hak rakyat diselenggarakan oleh wakil rakyat, baik yang
duduk di legislatif maupun eksekutif. Sedangkan Pemilu merupakan upaya pelibatan
rakyat dalam pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan tersebut melalui
partisipasi, representasi, dan pengawasan. (Halaman 36)

Dengan kata lain, demokrasi perwakilan mengalihkan fungsi pemerintahan dari warga
negara kepada organ-organ negara. Penentuan untuk mengisi organ-organ negara
tersebut prosesnya dilakukan melalui nominasi yang demokratis, Pemilu. Karena itu,
para wakil rakyat harus dipilih sendiri oleh rakyat.

Meski demikian, sukses tidaknya suatu Pemilu tidak melulu dilihat dari terlaksananya
semua tahapan hingga terisinya semua jabatan yang diperebutkan seperti anggota DPR
dan Presiden. Pemilu yang berhasil adalah Pemilu yang bebas dari cara-cara yang penuh
dengan pelanggaran dan kecurangan yang bertentangan dengan asas langsung, umum,
bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.

Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih maupun peserta Pemilu, tetapi
juga penyelenggara. Juga tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural
pelaksanaan Pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggara,
peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Sehingga asas tersebut dapat menjadi
spirit keseluruhan pelaksanaan Pemilu.

Faktanya, beberapa Pemilu yang pernah digelar dicurigai tidak mencerminkan asas
jujur dan adil tersebut. Salah satunya hasil Pemilu 2009 yang sempat menimbulkan
konflik dan terdapat 27 partai politik yang tidak menandatangani hasil Pemilu.
Sengketa tersebut kemudian diserahkan oleh Presiden kepada Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu), dan juga dibawa ke Mahkamah Agung. (Halaman 128)

Tidak ada teori dan konsep yang tanpa cela. Negara yang mengklaim sebagai negara
demokrasi pun dapat terjerumus menjadi negara otoriter meskipun mekanisme formal
demokrasi telah dilakukan. Sebagaimana terlihat pada masa Orde Baru. Karenanya,
tekad dan komitmen untuk mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum
dan konstitusi harus dimiliki oleh penyelenggara negara.

Perubahan terkait dengan penyelenggaraan Pemilu terjadi setelah reformasi lahir, yaitu
dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK). Keberadaan lembaga ini melengkapi
komponen yang diperlukan untuk adanya Pemilu yang demokratis khususnya terkait
dengan pengujian konstitusionalitas undang-undang (UU) yang terkait
penyelenggaraan Pemilu dan penyelesaian sengketanya.

Seluruh persoalan Pemilu adalah persoalan konstitusional. Sehingga sebagai peradilan


konstitusi MK memiliki kewenangan mulai dari memastikan keberkalaan, memastikan
dan mengawasi pelaksanaan prosedur berdasarkan asas Pemilu, hingga sebagai
lembaga akhir yang memutus hasil Pemilu jika ditemukan sengketa. (Halaman 194)

Kewenangan MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) berpangkal pada


pemahaman bahwa Pemilu adalah instrumen demokrasi. Manakala terjadi pelanggaran
atau kesalahan dalam penyelenggaraan Pemilu, pelanggaran tersebut harus dapat
diselesaikan secara hukum. MK memiliki kewenangan menyelesaikan secara hukum di
tingkat nasional.

Sebagai bagian dari disertasi doktoral, kehadiran buku setebal 228 halaman ini
semestinya telah teruji validitas datanya serta dapat dipertanggung jawabkan akurasi
analisanya secara akademis. Sehingga, buku ini dapat menjadi salah satu rujukan yang
berkaitan dengan proses demokrasi dan Pemilu di Indonesia.

Demokrasi kini dianggap sebagai pengorganisasian kehidupan yang paling mencerminkan kehendak
bersama, tak jarang pasca runtuhnya rezim Soeharto banyak masyarakat Indonesia yang mengharapkan
pelaksanaan demokrasi secara menyeluruh. Melalui demokrasi setiap orang banyak yang mengharapkan
keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan yang kompetibel dan kolektif. Banyak juga yang
mengharapkan demokrasi akan mampu mengurangi rasa ketidakadilan.

Masyarakat Indonesia percaya dengan mekanisme politik seperti ini sehingga memunculkan harapan
bahwa demokrasi seakan identik dengan kebebasan, keadilan dan persaudaraan.
Sekian banyak masyarakat yang sangat mengharapkan buah dari demokrasi secara nyata, bukan hanya
sekadar mengkhayal pada romantisme demokrasi.

Tak pelak ketika demokrasi secara mata terbuka tidak menghasilkan apa yang diharapkan tentu ini
menjadi sebuah kekecewaan besar di kalangan masyarakat. Ironisnya demokrasi justru melahirkan
sesuatu yang sangat tidak diharapkan seperti kemiskinan di mana-mana, tidak adanya rasa keamanan,
cenderung meminggirkan kelompok minoritas dalam posisi yang rentan serta tindakan korupsi semakin
merajalela.

Yang terjadi di masyarakat justru yang berkembang hanyalah konflik kepentingan yang saling
mendominasi. Kaum minoritas terlihat hanyalah menjadi boneka yang hanya dijadikan alat untuk
melanggengkan kepentingan suatu golongan tanpa bisa menyuarakan aspirasi secara substansi.

Dalam sebuah sistem politik demokrasi tentu ada yang namanya wakil rakyat (DPR) dalam fungsinya
sebagai wakil rakyat yang secara esensi seharusnya membela kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Tetapi ironis ketika wakil rakyat dalam hal ini hanyalah membela kepentingan golongan (Partai Politik)
serta mengabaikan aspirasi dan keinginan masyarakat kelas menengah kebawah (The Middle Class).
Dalam faktanya wakil rakyat hanya memiliki sebuah tujuan dan kepentingan tersendiri, mereka dapat
melakukan sesuatu dan melakukan tindakan yang sangat tidak mungkin dapat amati oleh masyarakat
dan dimonitor oleh rakyat banyak.

Mekanisme politik yang seperti ini tentu tidaklah efektif seperti yang dijanjikan karena pada akhirnya
hanya beberapa orang yang menjalankan kekuasaan itu. Masyarakat kelas menengah ke bawah selalu
dalam posisi paling bawah yang hanya mengharapkan belas kasihan negara.

Tak heran apabila banyak masyarakat merasa kurang puas dengan sistem politik yang seperti ini,
sehingga masyarakat selalu dipenuhi dengan tindakan pencurian, kejahatan, fitnah, saling tindas serta
pembunuhan.

Aksi yang sama juga kerap kali dilakukan oleh para pemimpin republik ini teutama yang disebabkan
pertarungan antar kepentingan.

Ketika rakyat menjerit menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan sehari hari, para wakil rakyat justru
sibuk mengusulkan kenaikan gaji dan menuntut fasilitas yang lebih baik bagi diri mereka sendiri.

Saat keprihatinan bangsa ini terarah pada pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang acap kali
menjadi trending topic justru para pelaku kejahatan seperti tidak merasa bersalah sama sekali.

Ketika para wakil rakyat terseret dugaan kasus korupsi senilai miliaran rupiah, bermacam alat bukti sudah
ditemukan yang esensinya merupakan sebuah jalan lebar menuju jeruji besi. Tetapi tetap saja para
pelaku dugaan korupsi berakhir pada vonis bebas.

Hal ini menandakan bahwa aparat penegak hukum sekiranya masih belum mampu menahan tekanan
intervensi dan pengaruh kepentingan dalam sebuah konstelasi politik nasional. Juga belum mampu
menjalankan tugasnya secara intoleran terhadap para pelaku kejahatan. Padahal kunci dari negara
demokratis adalah pelaksanaan hukum secara prosedural dan tegas.

Lantas kalau penegak hukum saja bersikap loyo dan hukum tidak ditegakkan, bukankah akan membuat
suatu negara tersebut akan mengalami instabilitas?

Anda mungkin juga menyukai