Anda di halaman 1dari 7

Skenario 3.

Menuju Indonesia Bebas TBC tahun 2050


Jumlah kasus baru TB (tuberculosis) di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17
Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali labih besar
dibandingkan pada perempuan. Badan kesehatan dunia menetapkan standar keberhasilan pengobatan
sebesar 85%. Angka keberhasilan di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 87,8% (data per 17 Mei 2018).
Namun angka kesembuhan pasien TB menurun dari tahun ke tahun. Sasaran nasional Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang tertuang pada PP No 59 tahun 2017 tentang SDGs
menetapkan target prevalensi TBC pada 2019 menjadi 245 per 100.000 penduduk. Sedangkan di
Permenkes No 67 tahun 2016 tentang penanggulangan TBC menetapkan target program penanggulangan
TBC nasional yaitu eliminasi pada tahun 2035 dan Indonesia Bebas TBC tahun 2050.

STEP 1
Pasal 3 (1) Target program Penanggulangan TB nasional yaitu eliminasi pada
tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050.
(2) Target program Penanggulangan TB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dievaluasi dan dapat diperbarui sesuai dengan perkembangan program
Penanggulangan TB.(3) Dalam mencapai target program Penanggulangan TB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun strategi nasional
setiap 5 (lima) tahun yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Untuk tercapainya target program Penanggulangan TB nasional, Pemerintah
Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus menetapkan
target Penanggulangan TB tingkat daerah berdasarkan target nasional dan
memperhatikan strategi nasional.
(5) Strategi nasional Penanggulangan TB sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
terdiri atas:
a. penguatan kepemimpinan program TB;
b. peningkatan akses layanan TB yang bermutu;
c. pengendalian faktor risiko TB;
d. peningkatan kemitraan TB;
e. peningkatan kemandirian masyarakat dalam Penanggulangan TB; dan
f. penguatan manajemen program TB.

Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan:


a. promosi kesehatan;
b. surveilans TB;
c. pengendalian faktor risiko;
d. penemuan dan penanganan kasus TB;
e. pemberian kekebalan; dan
f. pemberian obat pencegahan.

Paragraf 1 Promosi Kesehatan Pasal 7 (1)


Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB ditujukan untuk:
a. meningkatkan komitmen para pengambil kebijakan;
b. meningkatkan keterpaduan pelaksanaan program; dan
c. memberdayakan masyarakat.

(2) Peningkatan komitmen para pengambil kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan melalui kegiatan advokasi kepada pengambil kebijakan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.
(3) Peningkatan keterpaduan pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui kemitraan dengan lintas program atau sektor terkait dan layanan
keterpaduan pemerintah dan swasta (Public Private Mix).
(4) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan menginformasikan, mempengaruhi, dan membantu masyarakat agar berperan aktif
dalam rangka mencegah penularan TB, meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta
menghilangkan diskriminasi terhadap pasien TB.
(5) Perorangan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat dapat
melaksanakan promosi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(4) dengan menggunakan substansi yang selaras dengan program penanggulangan TB.

Paragraf 2 Surveilans TB Pasal 8

(1) Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus menerus terhadap data
dan informasi tentang kejadian penyakit TB atau masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhinya untuk mengarahkan tindakan penanggulangan yang efektif dan efisien.

(2) Surveilans TB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan berbasis
indikator dan berbasis kejadian

(3) Surveilans TB berbasis indikator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk
memperoleh gambaran yang akan digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
program Penanggulangan TB.
(4) Surveilans TB berbasis kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk
meningkatkan kewaspadaan dini dan tindakan respon terhadap terjadinya peningkatan TB
resistan obat.

Pasal 9 (1) Dalam penyelenggaraan Surveilans TB dilakukan pengumpulan data secara aktif
dan pasif baik secara manual maupun elektronik. (2) Pengumpulan data secara aktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengumpulan data yang diperoleh langsung
dari masyarakat atau sumber data lainnya. (3) Pengumpulan data secara pasif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Paragraf 3 Pengendalian Faktor Risiko TB Pasal 10 (1) Pengendalian
faktor risiko TB ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit TB.
(2) Pengendalian faktor risiko TB dilakukan dengan cara: a. membudayakan perilaku hidup
bersih dan sehat; b. membudayakan perilaku etika berbatuk; c. melakukan pemeliharaan dan
perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat; -9- d.
peningkatan daya tahan tubuh; e. penanganan penyakit penyerta TB; dan f. penerapan
pencegahan dan pengendalian infeksi TB di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan di luar
Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Paragraf 4 Penemuan dan Penanganan Kasus TB Pasal 11 (1)
Penemuan kasus TB dilakukan secara aktif dan pasif. (2) Penemuan kasus TB secara aktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. investigasi dan pemeriksaan kasus
kontak; b. skrining secara massal terutama pada kelompok rentan dan kelompok berisiko; dan
c. skrining pada kondisi situasi khusus. (3) Penemuan kasus TB secara pasif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan pasien yang datang ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. (4) Penemuan kasus TB ditentukan setelah dilakukan penegakan
diagnosis, penetapan klasifikasi dan tipe pasien TB. Pasal 12 (1) Penanganan kasus dalam
Penanggulangan TB dilakukan melalui kegiatan tata laksana kasus untuk memutus mata
rantai penularan dan/atau pengobatan pasien. (2) Tata laksana kasus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas: a. pengobatan dan penanganan efek samping di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan; b. pengawasan kepatuhan menelan obat; c. pemantauan kemajuan pengobatan dan
hasil pengobatan; dan/atau -10- d. pelacakan kasus mangkir. (3) Tata laksana kasus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan pedoman nasional
pelayanan kedokteran tuberkulosis dan standar lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan. Pasal 13 Setiap pasien TB berkewajiban mematuhi semua tahapan
dalam penanganan kasus TB yang dilakukan tenaga kesehatan. Paragraf 5 Pemberian
Kekebalan Pasal 14 (1) Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan
melalui imunisasi BCG terhadap bayi. (2) Penanggulangan TB melalui imunisasi BCG
terhadap bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam upaya mengurangi risiko
tingkat keparahan TB. (3) Tata cara pemberian imunisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Paragraf 6
Pemberian Obat Pencegahan Pasal 15 (1) Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada: a.
anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak erat dengan pasien TB aktif; b. orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa TB; atau c. populasi tertentu lainnya. -11- (2)
Pemberian obat pencegahan TB pada anak dan orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan selama 6 (enam) bulan.
(3) Pemberian obat penegahan TB pada populasi tertentu lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pathogenesis dan Penularan TB 1.

Kuman Penyebab TB Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain:
M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan
diagnosis dan pengobatan TB.
GEJALA PENYAKIT TBC Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan
gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik. 6 Gejala sistemik/umum: • Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat
disertai dengan darah) • Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul • Penurunan nafsu makan dan berat badan • Perasaan
tidak enak (malaise), lemah Gejala khusus: • Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena,
bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas
melemah yang disertai sesak. • Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru),
dapat disertai dengan keluhan sakit dada. • Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala
seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. • Pada anak-anak dapat mengenai otak
(lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya
adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Pada pasien anak
yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan
pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa
memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal
serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi
berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena: 1) Tuberkulosis paru Adalah


tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput
paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru Adalah tuberkulosis yang
menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
alat kelamin, dan lain-lain. B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK
mikroskopis, yaitu pada TB Paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif a) Sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau
lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak
memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA
negatif harus meliputi: a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b)
Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis c) Tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter
untuk diberi pengobatan C. Klasifikasi berdasarkan tingkat kePARAHan penyakit. 1)
TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far
advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2) TB ekstra-paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB ekstra paru ringan,
misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis,
milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. Catatan: • Bila seorang pasien TB ekstra
paru juga mempunyai TB paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut
harus dicatat sebagai pasien TB paru. • Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru
pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang
penyakitnya paling berat. D. Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan
sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Kasus Baru Adalah pasien yang BELUM PERNAH
diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu). 10 2) Kasus Kambuh (Relaps) Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus
Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus Gagal (Failure) Adalah
pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi
ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan
hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Catatan: TB
paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default
maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara
patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

Step 7

HASIL Sistem surveilans TB yang diimplementasikan di Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik


selama tahun 2014, memberikan gambaran sebagai berikut. 1. Input Penilaian terhadap
komponen input sistem surveilans dilakukan terhadap kuantitas dan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM), dana, serta sarana untuk mengimplementasikan sistem.

2. Proses Pengumpulan data pada sistem surveilans TB dilakukan secara pasif baik pada
tingkat Dinas Kesehatan maupun di tingkat Puskesmas dengan frekuensi pengumpulan data
telah sesuai dengan buku panduan, yaitu setiap triwulan. Penilaian untuk pengolahan serta
analisis data hanya dilakukan pada tingkat Dinas Kesehatan saja karena menurut Kemenkes
No 1116/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Kesehatan, Puskesmas hanya bertugas untuk melaksanakan pencatatan dan pelaporan. Akan
tetapi kegiatan analisis data di tingkat Dinas Kesehatan hanya dilakukan dengan
menampilkan data dalam bentuk tabel maupun gambar saja, belum melakukan analisis
menurut orang, tempat dan waktu.

3. Output Dinas Kesehatan telah melakukan diseminasi informasi dan Puskesmas telah
menerima informasi yang diberikan. Jenis informasi yang telah disampaikan oleh dinas dan
diterima Puskesmas telah sesuai dengan ketetapan yang berlaku yaitu laporan terkait dengan
jumlah TB BTA positif, hasil konversi, kesembuhan, sukses rate, estimasi jumlah suspek
diperiksa, CDR, data semua kasus, data cakupan suspek diperiksa dan CDR dibanding
dengan target serta hasil uji silang. Sebagai tindak lanjut dari informasi yang diterima,
Puskesmas telah melakukan berbagai kegiatan yang direkomendasikan oleh Dinas Kesehatan.

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB. Tinggi rendahnya
TSR atau Treatment Success Rate dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain; 1) Faktor
pasien: pasien tidak patuh minum obat anti TB (OAT), pasien pindah fasilitas pelayanan
kesehatan, dan TB nya termasuk yang resisten terhadap OAT. 2) Faktor pengawas minum
obat (PMO): PMO tidak ada, PMO ada tapi kurang memantau. 3) Faktor obat: suplai OAT
terganggu sehingga pasien menunda atau tidak meneruskan minum obat, dan kualitas OAT
menurun karena penyimpanan tidak sesuai standar (Kemenkes RI, 2014)

pengobatan di Puskesmas Dinoyo secara berturut-turut berdasarkan besar nilai OR (Odd


Ratio) adalah; 1) Ada/Tidaknya PMO (OR = 13,5), 2) Sikap Pasien (OR = 4,3), 3) Tipe
Pengobatan (OR = 2,43), 4) Pengetahuan (OR = 0,17), 5) Penghasilan, 6) Pendidikan, dan 7)
Usia. Kholifah, Nur. 2009. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kesembuhan Penderita
TB Paru (Studi Kasus di BP4 Salatiga Tahun 2008). Semarang: Jurusal Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Negeri Semarang

Secara umum, faktor utama yang mempengaruhi angka kesembuhan pasien TB Paru
ditentukan oleh kepatuhan pasien TB Paru dalam minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Kepatuhan menyangkut aspek jumlah dan jenis OAT yang diminum, serta keteraturan waktu
minum obat. Tingginya angka putus berobat mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman
terhadap OAT yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan bertambah lamanya
pengobatan (Kemenkes RI, 2013).

Secara umum, faktor utama yang mempengaruhi angka kesembuhan pasien TB Paru
ditentukan oleh kepatuhan pasien TB Paru dalam minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Kepatuhan menyangkut aspek jumlah dan jenis OAT yang diminum, serta keteraturan waktu
minum obat. Tingginya angka putus berobat mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman
terhadap OAT yang membutuhkan biaya yang lebih besar dan bertambah lamanya
pengobatan (Kemenkes RI, 2013).

Penelitian Bertin Tanggap Tirtana (2011) variabel bebasnya adalah berupa faktor penderita
yang meliputi keteraturan berobat, lama pengobatan, tingkat pendapatan, jenis pekerjaan,
kebiasaan merokok, jarak tempat tinggal pasien hingga tempat pengobatan dan status gizi.
Hasil dari penelitian tersebut adalah terdapat pengaruh antara keteraturan berobat dan lama
pengobatan terhadap keberhasilan pengobatan, sedangkan untuk faktor pelayanan kesehatan
belum dilakukan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai