Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Global Developmental Delay

2.1 Definisi

Global developmental delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan


Global (KPG) adalah keterlambatan yang signifikan pada dua atau lebih domain
perkembangan anak, diantaranya: motorik kasar, halus, bahasa, bicara, kognitif,
personal atau sosial aktivitas hidup sehari-hari. Istilah KPG dipakai pada anak
berumur kurang dari 5 tahun, sedangkan pada anak berumur lebih dari 5 tahun saat
tes IQ sudah dapat dilakukan dengan hasil yang akurat maka istilah yang
dipergunakan adalah retardasi mental.1,2 Anak dengan KPG tidak selalu menderita
retardasi mental sebab berbagai kondisi dapat menyebabkan seorang anak
mengalami KPG seperti penyakit neuromuskular, palsi serebral, deprivasi
psikososial meskipun aspek kognitif berfungsi baik.2,3

2.2 Epidemiologi

Prevalensi KPG sekitar 5-10% pada anak di seluruh dunia, sedangkan di


Amerika Serikat angka kejadian KPG diperkirakan 1%-3% dari anak-anak
berumur<5 tahun.3 Penelitian oleh Suwarba dkk.4 di RS Cipto Mangunkusumo
Jakarta mendapatkan prevalensi KPG adalah 2,3 %. Etiologi KPG sangat bervariasi,
sekitar 80% akibat sindrom genetik atau abnormalitas kromosom, asfiksia perinatal,
disgenesis serebral dan deprivasi psikososial sedangkan 20% nya belum diketahui.
Sekitar 42% dari etiologi keterlambatan perkembangan global dapat dicegah seperti
paparan toksin, deprivasi psikososial dan infeksi intra uterin, serta asfiksia
perinatal.3

Menurut penelitian Deborah M dkk.5 prevalensi KPG di Poliklinik Anak


RSUP Sanglah adalah 1,8% dan sering ditemukan pada anak berumur lebih dari 12
bulan (67%). Rasio laki-laki dan perempuan hampir sama 1:1,12. Keluhan
terbanyak adalah belum bisa berbicara pada 16 (24%), belum bisa berbicara dan
berjalan pada 14 (21%), serta belum bisa berjalan pada 12 (18%) pasien.
Didapatkan 20% BBLR dan BBLSR, ibu berpendidikan menengah ditemukan pada
68% kasus. Karakteristik klinis didapatkan 30% gizi kurang, 29% mikrosefali, 20%
dicurigai suatu sindrom. Evaluasi perkembangan menunjukkan 40 (60%) terlambat
pada seluruh sektor perkembangan. Etiologi ditemukan pada 61% dengan penyebab
terbanyak adalah kelainan majemuk, hipotiroid, serebral disgenesis, palSsi serebral.

2.3 Tahap Perkembangan Normal pada Anak

2.3.1 Ciri-ciri dan Prinsip-prinsip Tumbuh Kembang Anak

Anak memiliki suatu ciri khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang sejak
konsepsi sampai berakhirnya masa remaja. Hal ini yang membedakan anak dengan
dewasa. Anak menunjukkan ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai
dengan usianya.

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan


interselular, berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau
keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.6

Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih


kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta
sosialisasi dan kemandirian.6

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan peristiwa yang terjadi secara


simultan. Berbeda dengan pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil interaksi
kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, misalnya
perkembangan sistem neuromuskular, kemampuan bicara, emosi, dan sosialisasi.
Kesemua fungsi tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia yang utuh.

Seiring dengan berjalannya waktu, anak akan terus mengalami proses


pertumbuhan dan perkembangan. Proses tumbuh kembang anak memiliki ciri-ciri
yang satu sama lainnya saling berkaitan. Ciri-ciri tersebut antara lain perkembangan
menimbulkan perubahan, pertumbuhan dan perkembangan pada tahap awal
menentukan perkembangan selanjutnya, pertumbuhan dan perkembangan
mempunyai kecepatan yang berbeda, perkembangan berkorelasi dengan
pertumbuhan, perkembangan mempunyai pola yang tetap, serta perkembangan
memiliki tahap yang berurutan. 6,7

Selain memiliki ciri-ciri yang khusus, proses tumbuh kembang anak juga
memiliki prinsip-prinsip yang saling berkaitan. Prinsip-prinsip dapat digunakan
sebagai kaidah atau pegangan dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan
anak. Terdapat dua prinsip proses tumbuh kembang, yaitu perkembangan
merupakan hasil proses kematangan dan belajar, serta pola perkembangan dapat
diramalkan.6,7

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tumbuh Kembang Anak


Pada umumnya anak memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan
normal yang merupakan hasil interaksi banyak faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut antara lain faktor Internal, diantaranya ras/etnik atau bangsa,
keluarga, umur, jenis kelamin, genetik, dan kelainan kromosom; faktor eksternal,
diantaranya faktor prenatal (gizi, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi,
infeksi, kelainan imunologi, anoksia embrio, dan psikologi ibu), faktor persalinan,
faktor pasca persalinan (gizi, penyakit kronis/kelainan kongenital, lingkungan fisis
dan kimia, psikologis, endokrin, sosio-ekonomi, lingkungan pengasuhan, stimulasi,
dan obat-obatan).6,8

2.3.3 Aspek-aspek Perkembangan yang Dipantau

Secara Internasional terdapat 4 parameter menilai aspek-aspek


perkembangan anak oleh Frankenburg et al. (1981). 6
1. Personal sosial (kepribadian atau tingkah laku sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Fine motor adaptive (gerakan motorik halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan
dilakukan otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat. Misalnya,
kemampuan untuk menggambar dan memegang sesuatu benda.
3. Language (bahasa)
Kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, mengikuti perintah
dan bicara spontan.
4. Gross motor (perkembangan motorik kasar)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan pergerakan
tubuh dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar.

Milestone perkembangan anak


Fine Motor/Adaptive Mean Normal Range
Unfisted 3 months 0 to 4 months
Bats at objects 3 months 2 to 5 months
Objects to midline 4 months 3 to 6 months
Transfers objects 5 months 4 to 7 months
Raking grasp 7 months 5 to 10 months
Finger feeds 7 months 5 to 10 months
Primitive pincer 8 months 6 to 10 months
Neat pincer 9 months 7 to 10 months
Voluntary release 12 months 10 to 15 months
Helps with dressing 12 months 10 to 16 months
Spoon feeds 15 months 12 to 18 months
Uses cup open/sippy 15 months 10 to 18 months
Imitates housework 18 months 14 to 24 months
Handedness 24 months 18 to 30 months
Helps with undressing 24 months 22 to 30 months
Undresses self 36 months 30 to 40 months
Toilet training 24 to 36 months

Language Mean Normal Range


Cooing 3 months 1 to 4 months
Laugh 4 months 3 to 6 months
Turns to voice 4 months 3 to 6 months
Razzing 5 months 4 to 8 months
Babbling 6 months 5 to 9 months
Dada/mama non-specifically 8 months 6 to 10 months
Gesture games 9 months 7 to 12 months
Understands no, 10 months 9 to 18 months
Mama/dada specifically 10 months 9 to 14 month
One step command with a gesture 12 months 10 to 16 months
Immature jargoning 13 months 10 to 18 months
One step command w/out a gesture 15 months 12 to 20 months
Points to body parts 18 months 12 to 24 months
Mature jargoning 18 months 16 to 24 months
Puts two words together 24 months 20 to 30 months
Pronouns inappropriately 24 months 22 to 30 months
Two step command 24 months 22 to 30 months
States first name 34 months 30 to 40 months
Pronouns appropriately 36 months 30 to 42 months

Social/Emotional Mean Normal Range


Social smile 5-6 weeks 1 to 3 months
Object permanence 9 months 6 to 12 months
Stranger anxiety 9 months 6 to 12 months
Affective sharing 10 months 9 to 18 months
Uses mother as secure base 12 months 9 to 18 months
Separation distress 12 months 9 to 24 months
Independence 18 months 12 to 36 months
Parallel play 24 months 12 to 30 months
Associative play 30 months 24 to 48 months
Cooperative play 36months
2.3.4 Periode Tumbuh Kembang Anak

Tumbuh kembang anak berlangsung secara teratur, saling berkaitan dan


berkesinambungan yang dimulai sejak konsepsi hingga dewasa. Tumbuh kembang
anak terbagi dalam beberapa periode. Periode tumbuh kembang anak adalah
sebagai berikut6,8:

1. Masa prenatal atau masa intra uterin


Masa ini dibagi menjadi 3 periode, yaitu:

 Masa zigot/mudigah, sejak saat konsepsi sampai umur kehamilan 2 minggu.


 Masa embrio, sejak umur kehamilan 2 minggu sampai 8/12 minggu. Ovum
yang telah dibuahi dengan cepat akan menjadi suatu organism, terjadi
diferensiasi yang berlangsung cepat, terbentuk sistem organ dalam tubuh.
 Masa janin/fetus, sejak umur kehamilan 9/12 minggu sampai akhir
kehamilan. Masa ini terdiri dari 2 periode, yaitu masa fetus dini, sejak umur
kehamilan 9 minggu sampai trimester ke-2 kehidupan intra uterin. Pada masa
ini terjadi percepatan pertumbuhan, pembentukan jasad manusia sempurna.
Alat tubuh telah terbentuk serta mulai berfungsi.
 Masa fetus lanjut, yaitu trimester akhir kehamilan. Pada masa ini
pertumbuhan berlangsung pesat disertai perkembangan fungsi-fungsi. Terjadi
transfer immunoglobulin G (IgG) dari darah ibu melalui plasenta. Akumulasi
asam lemak esensial seri Omega 3 (Docosa Hexanoic Acid) dan Omega 6
(Arachidonic Acid) pada otak dan retina.
2. Masa bayi (umur 0 – 11 bulan)
Masa ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu:

a. Masa neonatal (umur 0 – 28 hari)


Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan dan terjadi

b. Masa post (pasca) neonatal (umur 29 hari – 11 bulan)


Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang pesat dan proses pematangan
berlangsung secara terus menerus terutama meningkatnya fungsi sistem
saraf.

Pada masa ini, kebutuhan akan pemeliharaan kesehatan bayi, mendapat ASI
eksklusif selama 6 bulan penuh, diperkenalkan kepada makanan pendamping
ASI sesuai umurnya, diberikan imunisasi sesuai jadwal, mendapat pola asuh
yang sesuai. Masa bayi adalah masa dimana kontak erat antara ibu dan anak
terjalin, sehingga dalam masa ini pengaruh ibu dalam mendidik anak sangat
besar.

3. Masa anak dibawah lima tahun (umur 12 – 59 bulan)


Pada masa ini, kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan
dalam perkembangan motorik (motorik kasar dan motorik halus) serta fungsi
ekskresi. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah pada masa balita.
Setelah lahir, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, pertumbuhan dan
perkembangan sel-sel otak masih berlangsung dan terjadi pertumbuhan serabut-
serabut saraf dan cabang-cabangnya. Jumlah dan pengaturan hubungan-
hubungan antar sel saraf ini akan sangat mempengaruhi segala kinerja otak,
mulai dari kemampuan belajar, berjalan, mengenal huruf, hingga bersosialisasi.

Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian anak juga dibentuk pada


masa ini, sehingga setiap kelainan/penyimpangan sekecil apapun apabila tidak
dideteksi dan ditangani dengan baik, akan mengurangi kualitas sumber daya
manusia dikemudian hari.

4. Masa anak prasekolah (umur 60 – 72 bulan)


Pada masa ini, pertumbuhan berlangsung dengan stabil. Terjadi perkembangan
dengan aktivitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan dan
proses berpikir. Pada masa ini, selain lingkungan di dalam rumah maka
lingkungan di luar rumah mulai diperkenalkan. Pada masa ini juga anak
dipersiapkan untuk sekolah, untuk itu panca indra dan sistem reseptor penerima
rangsangan serta proses memori harus sudah siap sehingga anak mampu belajar
dengan baik. Perlu diperhatikan bahwa proses belajar pada masa ini adalah
dengan cara bermain.

2.4 Etiologi

KPG dapat merupakan manifestasi yang muncul dari berbagai kelainan


neurodevelopmental (mulai dari disabilitas belajar hingga kelainan neuromuskular.
Tabel berikut memberikan pendekatan beberapa etiologi KPG :

Tabel 1. Penyebab KPG menurut Forsyth dan Newton, 2007 (dikutip dari Walters
AV, 2010)8

Kategori Komentar

Genetik atau Sindromik  Sindrom yang mudah


diidentifikasi, misalnya Sindrom
Teridentifikasi dalam 20%
Down
dari mereka yang tanpa tanda-
 Penyebab genetik yang tidak
tanda neurologis, kelainan
terlalu jelas pada awal masa
dismorfik, atau riwayat
kanak-kanak, misalnya Sindrom
keluarga
Fragile X, Sindrom Velo-cardio-
facial (delesi 22q11),Sindrom
Angelman, Sindrom Soto,
Sindrom Rett, fenilketonuria
maternal, mukopolisakaridosis,
distrofi muskularis tipe
Duchenne, tuberus sklerosis,
neurofibromatosis tipe 1, dan
delesi subtelomerik.
Metabolik  Skrining universal secara nasional
neonatus untuk fenilketonuria
Teridentifikasi dalam 1% dari
(PKU) dan defisiensi acyl-Co A
mereka yang tanpa tanda-
Dehidrogenase rantai sedang.
tanda neurologis, kelainan  Misalnya, kelainan siklus/daur
dismorfik, atau riwayat urea
keluarga

Endokrin  Terdapat skrining universal


neonatus untuk hipotiroidisme
kongenital
Traumatik  Cedera otak yang didapat

Penyebab dari lingkungan  Anak-anak memerlukan


kebutuhan dasarnya seperti
makanan, pakaian, kehangatan,
cinta, dan stimulasi untuk dapat
berkembang secara normal
 Anak-anak tanpa perhatian,
diasuh dengan kekerasan, penuh
ketakutan, dibawah stimulasi
lingkungan mungkin tidak
menunjukkan perkembangan yang
normal
 Ini mungkin merupakan faktor
yang berkontribusi dan ada
bersamaan dengan patologi lain
dan merupakan kondisi yaitu
ketika kebutuhan anak diluar
kapasitas orangtua untuk dapat
menyediakan/memenuhinya
Malformasi serebral  Misalnya, kelainan migrasi
neuron
Palsi Serebral dan Kelainan  Kelainan motorik dapat
Perkembangan Koordinasi mengganggu perkembangan
(Dispraksia) secara umum

Infeksi  Perinatal, misalnya Rubella,


CMV, HIV
 Meningitis neonatal
Toksin  Fetus: Alkohol maternal atau
obat-obatan saat masa kehamilan
 Anak: Keracunan timbal

2.5 Deteksi Dini

Perkembangan setiap anak memiliki keunikan tersendiri dan kecepatan


pencapaian perkembangan tiap anak berbeda. Kisaran waktu pencapaian tiap tahap
perkembangan umumnya cukup besar, misalnya seorang anak dikatakan normal
jika ia dapat berjalan mulai usia 10 hingga 18 bulan, sehingga seringkali terjadi
perbedaan perkembangan di antara anak yang seusia. Untuk itu, orang tua perlu
mengenal tanda bahaya (red flag) perkembangan anak.9 Untuk mengetahui apakah
seorang anak mengalami keterlambatan perkembangan umum, perlu data / laporan
atau keluhan orang tua dan pemeriksaan deteksi dini atau skrining perkembangan
pada anak.

Deteksi dini merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara


komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui
serta mengenal faktor resiko pada anak usia dini. Melalui deteksi dini dapat
diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya
pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan
indikasi yang jelas pada masa proses tumbuh kembang. Penilaian pertumbuhan dan
perkembangan meliputi dua hal pokok, yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan
penilaian perkembangan.6,9
Secara umum, keterlambatan perkembangan umum pada anak dapat dilihat
dari beberapa tanda bahaya (red flags) perkembangan anak sederhana seperti yang
tercantum di bawah 9,10:

Tanda bahaya perkembangan motor kasar

1. Gerakan yang asimetris atau tidak seimbang misalnya antara anggota tubuh
bagian kiri dan kanan.
2. Menetapnya refleks primitif (refleks yang muncul saat bayi) hingga lebih dari
usia 6 bulan
3. Hiper / hipotonia atau gangguan tonus otot
4. Hiper / hiporefleksia atau gangguan refleks tubuh
5. Adanya gerakan yang tidak terkontrol
Tanda bahaya gangguan motor halus

1. Bayi masih menggenggam setelah usia 4 bulan


2. Adanya dominasi satu tangan (handedness) sebelum usia 1 tahun
3. Eksplorasi oral (seperti memasukkan mainan ke dalam mulut) masih sangat
dominan setelah usia 14 bulan
4. Perhatian penglihatan yang inkonsisten
Tanda bahaya bicara dan bahasa (ekspresif)

1. Kurangnya kemampuan menunjuk untuk memperlihatkan ketertarikan terhadap


suatu benda pada usia 20 bulan
2. Ketidakmampuan membuat frase yang bermakna setelah 24 bulan
3. Orang tua masih tidak mengerti perkataan anak pada usia 30 bulan
Tanda bahaya bicara dan bahasa (reseptif)

1. Perhatian atau respons yang tidak konsisten terhadap suara atau bunyi, misalnya
saat dipanggil tidak selalu member respons
2. Kurangnya join attention atau kemampuan berbagi perhatian atau ketertarikan
dengan orang lain pada usia 20 bulan
3. Sering mengulang ucapan orang lain (membeo) setelah usia 30 bulan
Tanda bahaya gangguan sosio-emosional
1. 6 bulan: jarang senyum atau ekspresi kesenangan lain
2. 9 bulan: kurang bersuara dan menunjukkan ekspresi wajah
3. 12 bulan: tidak merespon panggilan namanya
4. 15 bulan: belum ada kata
5. 18 bulan: tidak bisa bermain pura-pura
6. 24 bulan: belum ada gabungan 2 kata yang berarti
7. Segala usia: tidak adanya babbling, bicara dan kemampuan bersosialisasi /
interaksi
Tanda bahaya gangguan kognitif

1. 2 bulan: kurangnya fixation


2. 4 bulan: kurangnya kemampuan mata mengikuti gerak benda
3. 6 bulan: belum berespons atau mencari sumber suara
4. 9 bulan: belum babbling seperti ‘mama’, ‘baba’
5. 24 bulan: belum ada kata berarti
6. 36 bulan: belum dapat merangkai 3 kata
Berbagai metode skrining yang lebih mutakhir dan global untuk deteksi dini
gangguan bicara juga dikembangkan dengan menggunakan alat bantu atau panduan
skala khusus, misalnya: menggunakan DDST (Denver Developmental Screening
Test – II), Child Development Inventory untuk menilai kemampuan motorik kasar
dan motorik halus, Ages and Stages Questionnaire, Parent’s Evaluations of
Developmental Status.Serta dapat menggunakan alat-alat skrining yang lebih
Spesifik dan khusus yaitu ELMS (Early Language Milestone Scale) dan CLAMS
(Clinical Linguistic and Milestone Scale) yang dipakai untuk menilai kemampuan
bahasa ekspresif, reseptif, dan visual untuk anak di bawah 3 tahun.10,11

Denver II adalah salah satu dari metode skrining terhadap kelainan


perkembangan anak, tes ini bukanlah tes diagnostik atau tes IQ. Denver II
memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk metode skrining yan baik. Tes
ini mudah dan cepat (15−20 menit), dapat diandalkan dan menunjukkan validitas
yang tinggi. 6
Denver II lebih menyeluruh tapi ringkas, sederhana dan dapat diandalkan,
yang terbagi dalam 4 (empat) sektor, yakni : sektor personal sosial (kemandirian
bergaul), sector fine motor adaptive (gerakan-gerakan halus), sektor language
(bahasa), dan sektor cross motor (gerakangerakan kasar). Setiap tugas
perkembangan digambarkan dalam bentuk kotak bentuk kotak persegi Panjang
horizontal yang berurutan menurut umur dalam format Denver II. 6

Gambar 1. DDTS II 6
2.6 Gejala Klinis

Mengetahui adanya KPG memerlukan usaha karena memerlukan perhatian


dalam beberapa hal. Padahal beberapa pasien seringkali merasa tidak nyaman bila
di perhatikan. Akhirnya membuat orang tua sekaligus dokter untuk agar lebih jeli
dalam melihat gejala dan hal yang dilakukan oleh pasien tersebut. Skrining
prosedur yang dilakukan dokter, dapat membantu menggali gejala dan akan berbeda
jika skrining dilakukan dalam sekali kunjungan dengan skrining dengan beberapa
kali kunjungan karena data mengenai panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan
atas dan berat badan. Mengacu pada pengertian KPG yang berpatokan pada
kegagalan perkembangan dua atau lebih domain motorik kasar, motorik halus,
bicara, bahasa, kognitif, sosial, personal dan kebiasaan sehari-hari dimana belum
diketahui penyebab dari kegagalan perkembangan ini. Terdapat hal spesifik yang
dapat mengarahkan kepada diagnosa klinik KPG terkait ketidakmampuan anak
dalam perkembangan milestones yang seharusnya, yaitu10,11:

1. Anak tidak dapat duduk di lantai tanpa bantuan pada umur 8 bulan
2. Anak tidak dapat merangkak pada 12 bulan
3. Anak memiliki kemampuan bersosial yang buruk
4. Anak tidak dapat berguling pada umur 6 bulan
5. Anak memiliki masalah komunikasi
6. Anak memiliki masalah pada perkembangan motorik kasar dan halus

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Dokter memulai anamnesis dengan mendengarkan penjelasan orangtua secara


seksama tentang perkembangan anaknya. Orang tua dapat mencatat setiap
keterlambatan perkembangan, perubahan tubuh dan kurang responsifnya anak
tersebut, sehingga perlu perhatian khusus. Tiap orangtua tentunya memiliki daerah
perhatian yang berbeda. Penggalian anamnesis secara sistematis meliputi, resiko
biologi akibat dari gangguan prenatal atau perinatal, perubahan lingkungan akibat
salah asuh, dan akibat dari penyakit primer yang sudah secara jelas terdiagnosis saat
infant.

Tabel 2. Anamnesis Keterlambatan Perkembangan Global menurut First Lewis


dan Judith, 199410

Contoh, dari pandangan biologi, infant dengan berat badan lahir rendah
seringkali beresiko terhadap angka kejadian perdarahan intraventrikel, sepsis atau
meningitis, gangguan metabolik, dan defisit nutrisi yang dapat secara langsung
memengaruhi perkembangan otak. Anak dengan resiko lingkungan termasuk
didalamnya ibu yang masih muda dan tidak berpengalaman serta ibu yang tidak
sehat secara individu atau kekurangan finansial. Anak yang hidup dalam keluarga
bermasalah akibat obat-obatan terlarang, minuman keras dan kekerasan sering
menyebabkan hasil buruk. Anak dengan faktor resiko kondisi medis seperti
myelomeningocele, sensorineural deafness, atau trisomy 21 diketahui memiliki
hubungan dengan keterlambatan perkembangan anak. Perhatian saat ini sering pula
akibat dari infeksi virus HIV. Kurangnya motorik milestones, peubahan perilaku,
atau kognitif buruk serta perubahan fungsi serebelum dalam tahun pertama sering
dihubungkan dengan HIV.10,11

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Faktor risiko untuk keterlambatan dapat dideteksi dari pemeriksaan fisik.


Pengukuran lingkar kepala (yang mengindikasikan mikrosefali atau makrosefali)
adalah bagian penting dalam pemeriksaan fisik. Perubahan bentuk tubuh sering
dihubungkan dengan kelainan kromosom, atau faktor penyakit genetik lain sulit
dilihat dalam pemeriksaan yang cepat.10 Sebagai tambahan, pemeriksaan secara
terstruktur dari mata, yaitu fungsi penglihatan dapat dilakukan saat infant, dengan
menggunakan pemeriksaan sederhana seperti meminta mengikuti arah cahaya
lampu. Saat anak sudah memasuki usia pre-school, pemeriksaan yang lebih
mendalam diperlukan seperti visus, selain itu pemeriksaan saat mata istirahat
ditemukan adanya strabismus. Pada pendengaran, dapat pula dilakukan test dengan
menggunakan brain-stem evoked potentials pada infant. Saat umur memasuki 6
bulan, kemampuan pendengaran dapat dites dengan menggunakan peralatan
audiometri. Pada usia 3-4 tahun, pendengaran dapat diperiksa menggunakan
audiometer portable. Pemeriksaan telinga untuk mencari tanda dari infeksi otitis
media menjadi hal yang penting untuk dilakukan karena bila terjadi secara kontinyu
akan menyebabkan gangguan pendengaran ringan. Pemeriksaan kulit secara
menyeluruh dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyakit ektodermal seperti
tuberous sklerosis atau neurofibromatosis yang dihubungkan dengan delay.
Pemeriksaan fisik juga harus meliputi pemeriksaan neurologi yang berhubungan
dengan perkembangan seperti adanya primitive reflek, yaitu moro reflex, hipertonia
atau hipotonia, atau adanya gangguan tonus.10,11

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Secara umum, pemeriksaan laboratorium untuk anak dengan kemungkinan


gangguan perkembangan tidak dibedakan dengan tes skrining yang dilakukan pada
anak yang sehat. Hal ini penting dan dilakukan dengan periodik. Adapun beberapa
pemeriksaan penunjangnya antara lain11,12:
a. Skrining metabolik
Skrining metabolik meliputi pemeriksaan: serum asam amino, serum glukosa,
bikarbonat, laktat, piruvat, amonia, dan creatinin kinase. Skrining metabolik
rutin untuk bayi baru lahir dengan gangguan metabolisme tidak dianjurkan
sebagai evaluasi inisial pada KPG. Pemeriksaan metabolik dilakukan hanya bila
didapatkan riwayat dari anamnesis atau temuan pemeriksaan fisik yang
mengarah pada suatu etiologi yang spesifik. Sebagai contohnya, bila anak-anak
dicurigai memiliki masalah dengan gangguan motorik atau disabilitas kognitif,
pemeriksaan asam amino dan asam organik dapat dilakukan. Anak dengan
gangguan tonus otot harus diskrining dengan menggunakan kreatinin
phospokinase atau aldolase untuk melihat adanya kemungkin penyakit
muscular dystrophy.

b. Tes sitogenetik
Tes sitogenetik rutin dilakukan pada anak dengan KPG meskipun tidak
ditemukan dismorfik atau pada anak dengan gejala klinis yang menunjukkan
suatu sindrom yang spesifik. Uji mutasi Fragile X, dilakukan bila adanya
riwayat keluarga dengan KPG. Meskipun skrining untuk Fragile X lebih sering
dilakukan anak laki-laki karena insiden yang lebih tinggi dan severitas yang
lebih buruk, skrining pada wanita juga mungkin saja dilakukan bila terdapat
indikasi yang jelas. Diagnosis Rett syndrome perlu dipertimbangkan pada
wanita dengan retardasi mental sedang hingga berat yang tidak dapat dijelaskan.

c. Skrining tiroid
Pemeriksaan tiroid pada kondisi bayi baru lahir dengan hipotiroid kongenital
perlu dilakukan. Namun, skrining tiroid pada anak dengan KPG hanya
dilakukan bila terdapat klinis yang jelas mengarahkan pada disfungsi tiroid.

d. EEG
Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada anak dengan KPG yang memiliki
riwayat epilepsia tau sindrom epileptik yang spesifik (Landau-Kleffner). Belum
terdapat data yang cukup mengenai pemeriksaan ini sehingga belum dapat
digunakan sebagai rekomendasi pemeriksaan pada anak dengan KPG tanpa
riwayat epilepsi.

e. Imaging
Pemeriksaan imaging direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada KPG
(terlebih bila ada temuan fisik berupa mikrosefali). Bila tersedia MRI harus
lebih dipilih dibandingkan CT scan jika sudah ditegakkan diagnosis secara
klinis sebelumnya.

2.8 Diagnosis Banding

Etiologi dan penyebab dari KPG saat ini belum bisa memprediksi secara
spesifik, gangguan mana saja yang akan terlibat dalam penegakan KPG ini, terdapat
beberapa penyakit atau gangguan dengan gambaran serupa GDD, namun memiliki
beberapa perbedaan yaitu retardasi mental, palsi serebral, Attention deficit
hyperactivity disorder (ADHD), dan Autism Spectrum Disorder (ASD).12

2.8.1 Retardasi Mental

Suatu keadaan yang dimulai saat masa anak-anak yang ditandai dengan
keterbatasan dalam intelegensi dan kemampuan adaptasi. Menurut kriteria DSM-
IV, retardasi mental adalah fungsi intelektual yang di bawah rata-rata, terdapat
gangguan fungsi adaptasi, onset sebelum umur 18 tahun. Untuk mengetahui adanya
gangguan fungsi intelegensi, digunakan tes IQ (akurat diatas umur 5 tahun), dengan
klasifikasi hasil:

a. Ringan , yaitu IQ 50-70


b. Sedang, yaitu IQ 40-50
c. Berat, yaitu IQ 20-40
d. Sangat berat, yaitu IQ <20

2.8.2 Palsi Serebral atau Cerebral palsy (CP)

Membedakan antara CP dengan KPG, pada CP, ada tiga faktor resiko awal
yaitu bayi lahir prematur (semakin kecil usia, semakin tinggi faktor risiko), bayi
lahir dengan ensefalopati sedang hingga berat (semakin berat keluhan semakin
berat risiko), dan bayi yang lahir dengan faktor risiko paling ringan. Dua faktor
risiko awal tersebut harus ditunjang dengan MRI untuk melihat gambaran otak. Bila
terdapat gangguan bahasa, penglihatan, pendengaran dan epilepsi, dapat dicurigai
hal tersebut adalah suatu gambaran CP. Selain itu, diagnosis palsi serebral dapat
dilakukan berdasarkan kriteria Levine (dikutip dari Soetjiningsih, 19957), yaitu pola
gerak dan postur; pola gerak oral; strabismus; tonus otot; evolusi reaksi postural
dan kelainannya yang mudah dikenal; refleks tendon, primitif dan plantar.

2.8.3 Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

ADHD merupakan suatu gangguan yang terjadi sangat awal dari kelahiran
bayi, yang dinamis, serta tergantung dengan perkembangan korteks. Tanda ADHD
yaitu development delay, nilai akademik yang rendah, serta permasalahan sosial.
Penggunaan milestones pada tahun ke-3 mudah mengarahkan diagnosis ADHD.

2.8.4 Autism Spectrum Disorder (ASD)

Tanda awal untuk membedakan antara ASD dengan KPG. Beberapa kata
kunci adalah gangguan bersosial. Pada tahun pertama akan sulit membedakan
antara ASD dengan KPG, yaitu ciri tidak berespon ketika nama dipanggil, afek
kurang, berkurangnya interaksi sosial, dan sulit untuk tersenyum. Pada tahun kedua
dan ketiga, bahasa tubuh yamg tidak lazim dan sangat ekspresif. Perilaku lain yakni
motorik, sensorik dan beberapa domain lain.

2.9 Penatalaksanaan

Pengobatan bagi anak-anak dengan KPG hingga saat ini masih belum
ditemukan. Hal itu disebabkan oleh karakter anak-anak yang unik, dimana anak-
anak belajar dan berkembang dengan cara mereka sendiri berdasarkan kemampuan
dan kelemahan masing-masing. Sehingga penanganan KPG dilakukan sebagai
suatu intervensi awal disertai penanganan pada faktor-faktor yang beresiko
menyebabkannya. Intervensi yang dilakukan, antara lain6,9,12:

1. Speech and Language Therapy


Speech and Language Therapy dilakukan pada anak-anak dengan kondisi CP,
autism, kehilangan pendengaran, dan KPG. Terapi ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan berbicara, berbahasa dan oral motoric abilities.
Metode yang dilakukan bervariasi tergantung dengan kondisi dari anak tersebut.
Salah satunya, metode menggunakan jari, siulan, sedotan atau barang yang
dapat membantu anak-anak untuk belajar mengendalikan otot pada mulut, lidah
dan tenggorokan. Metode tersebut digunakan pada anak-anak dengan gangguan
pengucapan. Dalam terapi ini, terapis menggunakan alat-alat yang membuat
anak-anak tertarik untuk terus belajar dan mengikuti terapi tersebut.

2. Occupational Therapy
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak-anak untuk menjadi lebih mandiri
dalam menghadapi permasalahan tugasnya. Pada anak-anak, tugas mereka
antara bermain, belajar dan melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi,
memakai pakaian, makan, dan lain-lain. Sehingga anak-anak yang mengalami
kemunduran pada kemampuan kognitif, terapi ini dapat membantu mereka
meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi permasalahannya.

3. Physical Therapy
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar dan halus,
keseimbangan dan koordinasinya, kekuatan dan daya tahannya. Kemampuan
motorik kasar yakni kemampuan untuk menggunakan otot yang besar seperti
berguling, merangkak, berjalan, berlari, atau melompat. Kemampuan motorik
halus yakni menggunakan otot yang lebih kecil seperti kemampuan mengambil
barang. Dalam terapi, terapis akan memantau perkembangan dari anak dilihat
dari fungsi, kekuatan, daya tahan otot dan sendi, dan kemampuan motorik
oralnya. Pada pelaksanaannya, terapi ini dilakukan oleh terapi dan orang-orang
yang berada dekat dengan anak tersebut. Sehingga terapi ini dapat mencapai
tujuan yang diinginkan.

4. Behavioral Therapies
Anak-anak dengan delay development akan mengalami stress pada dirinya dan
memiliki efek kepada keluarganya. Anak-anak akan bersikap agresif atau buruk
seperti melempar barang-barang, menggigit, menarik rambut, dan lain-lain.
Behavioral therapy merupakan psikoterapi yang berfokus untuk mengurangi
masalah sikap dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Terapi ini
dapat dikombinasikan dengan terapi yang lain dalam pelaksanaanya. Namun,
terapi ini bertolak belakang dengan terapi kognitif. Hal itu terlihat pada terapi
kognitif yang lebih fokus terhadap pikiran dan emosional yang mempengaruhi
sikap tertentu, sedangkan behavioural therapy dilakukan dengan mengubah dan
mengurangi sikap-sikap yang tidak diinginkan. Beberapa terapis
mengkombinasikan kedua terapi tersebut, yang disebut cognitive-behavioural
therapy.

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada anak-anak dengan KPG, yakni


kemunduran perkembangan pada anak-anak yang makin memberat. Jika tidak
tertangani dengan baik, dapat mempengaruhi kemampuan yang lain, khususnya
aspek psikologi dari anak itu sendiri. Salah satunya, anak akan mengalami depresi
akibat ketidakmampuan dirinya dalam menghadapi permasalahannya. Sehingga
anak itu dapat bersikap negatif atau agresif.

2.11 Prognosis

Prognosis KPG pada anak-anak dipengaruhi oleh pemberian terapi dan


penegakkan diagnosis lebih dini (early identification and treatment). Dengan
pemberian terapi yang tepat, sebagian besar anak-anak memberikan respon yang
baik terhadap perkembangannya. Walau beberapa anak tetap menjalani terapi
hingga dewasa. Hal tersebut karena kemampuan anak itu sendiri dalam menanggapi
terapinya. Beberapa anak yang mengalami kondisi yang progresif (faktor-faktor
yang dapat merusak sistem saraf seiring berjalannya waktu), akan menunjukkan
perkembangan yang tidak berubah dari sebelumnya atau mengalami kemunduran.
Sehingga terapi yang dilakukan yakni meningkatkan kemampuan dari anak tersebut
untuk menjalani kesehariannya.6,9

Bronkhopneumonia

3.1 Definisi

Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang


disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh
penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat.21

3.2 Epidemiologi

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka kematian
bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit system
respiratori, terutama pneumonia.21,23

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak
di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di
bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara maju adalah
2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100
anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak
balita dinegara berkembang.23,24

3.3 Klasifikasi 21,24

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru


Pneumonia lobaris
Pneumonia interstitialis

Bronkopneumonia

2. Berdasarkan asal infeksi


Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia =
CAP)

Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab


Pneumonia bakteri

Pneumonia virus

Pneumonia mikoplasma

Pneumonia jamur

4. Berdasarkan karakteristik penyakit


Pneumonia tipikal

Pneumonia atipikal

5. Berdasarkan lama penyakit


Pneumonia akut

Pneumonia persisten

Tabel 3. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu

Tipe Klinis Epidemiologi

Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemic; muda atau orang tua

Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS

Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakit paru kronik


Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua

Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS

3.4 Etiologi

Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus


merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan.24,26 Hasil
penelitian  44-85% CAP disebabkan oleh bakteri dan virus, dan 25-40%
diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen. Patogen penyebab pneumonia pada
anak bervariasi tergantung :

- Usia
- Status lingkungan
- Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
- Status imunisasi
- Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)
Sebagian besar pneumonia bakteri didahului dulu oleh infeksi virus.

Etiologi menurut umur, dibagi menjadi :25,27

1. Bayi baru lahir (neonatus – 2 bulan)


Organisme saluran genital ibu : Streptokokus grup B, Escheria coli dan kuman
Gram negatif lain, Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis  tersering
, Sifilis kongenital  pneumonia alba.

Sumber infeksi lain : Pasase transplasental, aspirasi mekonium, CAP

2. Usia > 2 – 12 bulan


S. aureus dan Streptokokus grup A  tidak sering tetapi fatal. Pneumonia dapat
ditemukan pada 20% anak dengan pertusis

3. Usia 1 – 5 tahun
Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus 
tersering

Chlamydia pneumonia : banyak pada usia 5-14 th (disebut pneumonia atipikal)

4. Usia sekolah dan remaja


S. pneumonia, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumoniae (pneumonia
atipikal)terbanyak

3.5 Patogenesis

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim


paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan
awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas
yang diperantarai sel.22

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas,
dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi
mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. 27

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif


jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial.
Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh
darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil,
yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan
penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja
jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan
kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.
Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura
menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung
secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan.25,28

Gambar 2. Patofisiologi Pneumonia


Gambar 3. Algoritma Patofisiologi brokhopneomonia

3.6 Manifestasi Klinik

Gambaran klinik biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas akut bagian
atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil. Suhu tubuh
kadang-kadang melebihi 40 0c, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai
batuk dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah. 25

3.7 Pemeriksaan Fisik

Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal


sebagai berikut :21,25,27

a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah
retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping
hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan
intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi
jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada
dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula
dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat
apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat
pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah
dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan


fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat
dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini
terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak
beristirahat dengan kepala disangga tegak lurus dengan area suboksipital.
Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”,
adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya


distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas
dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan
mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.

b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.


Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi
paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.

c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan


d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi
ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi),
keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak
(tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari
mekanisme terjadinya).

Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret


jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

3.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung


leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil
yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta
peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari
paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan 21,26.
Pemeriksaan radiologi

Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen
toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia
hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi
lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
penegakkan diagnosis.

Gambar 4. Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,


peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris
atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut
sebagai round pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru
berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru
disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi
cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi
segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin
disebabkan oleh bakteri 22.

C-Reactive Protein (CRP)

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara
faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan
infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang
digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik 2.

Pemeriksaan Mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan


kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru 22,25.

3.9 Kriteria Diagnosis

Dari anamnesa didapatkan gejala non respiratorik dan gejala respiratorik. Dasar
diagnosis tergantung umur, beratnya penyakit dan jenis organisme penyebab. Pada
bayi/anak kecil (balita) pemeriksaan auskultasi sering tidak jelas, maka nafas cepat
dan retraksi/tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dipakai sebagai
parameter. Kriteria nafas cepat, yaitu :

 Umur < 2 bl : ≥ 60x/menit


 2 bl-< 12 bl : ≥ 50x/menit
 12 bl-5 th : ≥ 40x/menit
 ≥ 5 tahun : ≥ 30x/menit
Tabel 3. Klasifikasi Pneumonia pada anak

Klasifikasi Nafas cepat retraksi

< 2 bl Pneumonia berat + +

Bukan Pneumonia - -

2 bl-5 th Pneumonia + +
berat

Pneumonia + -

Bukan Pneumonia - -

Dapat juga dipakai kriteria paling sedikit 3 dari 5 gejala/tanda berikut

- Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding


dada
- Panas badan
- Ronki basah sedang nyaring pada bronkopneumonia atau suara
pernafasan bronkial (pada daerah yang dengan perkusi bernada
pekak) pada pneumonia lobaris
- Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat berupa bercak-bercak
(bronko) difus merata (lober) pada satu atau beberapa lobus
- Leukositosis Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil
dominan.
Kadar leukosit berdasarkan umur:

o Anak umur 1 bulan : 5000 – 19500


o Anak umur 1-3 tahun : 6000 – 17500
o Anak umur 4-7 tahun : 5500 – 15500
o Anak umur 8-13 tahun : 4500 - 13500
Pedoman diagnose dan tatalaksana yang lebih sederhana menurut WHO.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumoni dibedakan berdasarkan :

- Bronkopneumonia sangat berat :


Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak harus
dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

- Bronkopneumonia berat :
Bila di jumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka
anak harus dirawat di rumah sakit dan d beri antibiotic.

3.10 Diagnosis Banding

Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau kesulitan
bernafas.28,29

Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan

Bronkiolitis - episode pertama wheezing pada anak


umur < 2 tahun
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat
dijumpai kurang atau tidak ada respon
dengan bronkodilator
Tuberculosis (TB) - riwayat kontak positif dengan pasien TB
dewasa
- uji tuberculin positif (≥10 mm, pada
keadaan imunosupresi ≥ 5 mm)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat
badan menurun
- demam (≥ 2 minggu) tanpa sebaba yang
jelas
- batuk kronis (≥ 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher,
aksila, inguinal yang spesifik.
Pembengkakan tulang/sendi punggung,
panggul, lutut, falang.

Asma - riwayat wheezing berulang, kadang


tidak berhubungan dengan batuk dan
pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator

3.11 Penatalaksanaan 21,26,29

- Sebelum memberikan obat ditentukan dahulu : Berat ringannya


penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya dan respons terhadap
pengobatan tersebut, adanya penyakit yang mendasarinya
- Antibiotik awal (dalam 24-72 jam pertama) :
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
 ampicillin + aminoglikosid (gentamisin)
 amoksisillin-asam klavulanat
 amoksisillin + aminoglikosid
 sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

 beta laktam amoksisillin


 amoksisillin-amoksisillin klavulanat
 golongan sefalosporin
 kotrimoksazol
 makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
 amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin,
azitromisin)
 tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali
sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih
tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan
dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-
olah antibiotik tidak efektif)

- Penderita imunodefisiensi atau ditemukan penyakit lain yang mendasari


→ ampisilin + aminoglikosida (gentamisin), Hipersensitif dengan
penisilin/ampisilin : Eritromisin, sefalosporin (5-16% ada reaksi silang)
atau linkomisin/klindamisin
- Antibiotik selanjutnya ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap
respons klinis dalam 24-72 jam pengobatan antibiotik awal Kalau
penyakit menunjukkan perbaikan → antibiotik diteruskan sampai
dengan 3 hari klinis baik (Pneumokokus biasanya cukup 5-7 hari, bayi
< 2 bl biasanya 10-14 hari) Kalau penyakit bertambah berat atau tidak
menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 72 jam → antibiotik awal
dihentikan dan diganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat
(sebelumnya perlu diyakinkan dulu tidak adanya penyulit seperti
empiema, abses, dll, yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak
efektif).
 Antibiotik pengganti bergantung pada kuman penyebab
 Pneumokokus : 3-16% sudah resisten dengan penisilin
Diganti dengan sefuroksim, sefotaksim, linkomisin atau
vankomisin
 H. influenzae : Diganti dengan sefuroksim, sefazolin,
sefotaksim, eritromisin, linkomisin atau klindamisin
 S. aureus : Diganti dengan kloksasilin, dikloksasilin,
flukloksasilin, sefazolin, klindamisin atau linkomisin
 Batang Gram (-) : Aminoglikosida (gentamisin, amikasin,
dll)
 Mikoplasma : Eritomisin, tetrasiklin (untuk anak > 8 th)

- Simtomatik (untuk panas badan dan batuk) Sebaiknya tidak diberikan


terutama pada 72 jam pertama, karena dapat mengacaukan interpretasi
reaksi terhadap antibiotik awal
- Suportif O2 lembab 40% melalui kateter hidung diberikan sampai sesak
nafas hilang (analisis gas sampai dengan PaO2 ≥ 60 Torr)
- Cairan, nutrisi dan kalori yang memadai : Melalui oral, intragastrik, atau
infus. Jenis cairan infus disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit.
Bila elektrolit normal berikan larutan 1:4 (1 bagian NaCl fisiologis + 3
bagian dekstrosa 5%), Asidosis (pH < 7,30) diatasi dengan bikarbonat
i.v. Dosis awal : 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg) → mEq, Dosis
selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan pH dan kelebihan basa (base
excess ) 4-6 jam setelah dosis awal. Apabila pH dan kelebihan basa tidak
dapat diperiksa, berikan bikarbonat i.v. = 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg)
sebagai dosis awal, dosis selanjutnya tergantung gambaran klinis 6 jam
setelah dosis awal
- Fisioterapi
Tabel 4. Dosis Harian Antibiotik untuk Pneumonia

OBAT CARA DOSIS FREK. INDIKASI


PEMBERIA (jam)
N

Gol. PENISILIN i.v., i.m. 100-200 4-6 Pneumonia berat


disebabkan Gram (+),
Ampisilin p.o. 40-160 6
Gram (-) ; Bakteri anaerob
Amoksisilin p.o. 25-100 8
Fibrosis kistik (kombinasi
Tikarsilin i.v., i.m. 300-600 4-6 dengan aminoglikosida)

Azlosilin i.v. 300-600 4 Sama dengan tikarsilin

Neonatus <7 hr 50-150 12

Neonatus >7 hr 200 4-8

Mezlosilin i.v. 300 4 Sama dengan tikarsilin

Neonatus >2.000 g 75 6-12

Neonatus <2.000 g 75 8-12

Piperasilin i.v. 300 4 Sama dengan tikarsilin

Oksasilin i.v. 150 4-6 Pneumonia, abses paru,


empiema, trakeitis yang
Kloksasilin i.v. 50-100 4-6
disebabkan oleh S. aureus
Dikloksasilin i.v. 25-80 4-6

GOL. SEFALOSPORIN

Sefalotin i.v. 75-150 6 Pneumonia oleh S. aureus

(bila alergi penisilin)


Sefuroksim i.v. 100-150 6-8 Terapi awal infeksi oleh

Sefotaksim i.v. 50-200 6 patogen Gram (-) :

Seftriakson i.v., i.m. 50-100 12-24 K. pneumoniae, E. coli

Seftazidim i.v. 100-150 8 Diduga Pseudomonas


aeruginosa

GOL. AMINOGLIKOSIDA

Gentamisin i.v., i.m. 5 8 Terapi inisial untuk


Pneumonia dan abses paru
Tobramisin i.v., i.m. 8-10 8
karena bakteri Gram (-)

Amikasin i.v., i.m. 15-20 6-8 Patogen Gram (-) resisten


dengan gentamisin dan
tobramisin

Netilmisin i.v. 4-6 12 Gram (-) yang resisten


terhadap gentamisin

GOL. MAKROLID p.o. 30-50 6 M. pneumoniae, B.


pertussis, C. diphtheriae,
Eritromisin i.v. (infus 40-70 6
C. trachomatis, Legionella
lambat)
pneumophila
Roksitromisin p.o. 5-8 12

KLINDAMISIN i.v. 15-40 6 S. aureus, Streptokokus,


Pneumokokus yang alergi
p.o. 10-30 6
penisilin dan efalosporin
Abses paru karena bakteri
anaerob
KLORAMFENIKOL i.v. 75-100 6 Epiglotitis, abses paru,
pneumonia

Indikasi rawat

Kriteria rawat inap, yaitu :

Pada bayi

 saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis


 frekuensi napas > 60 x/menit
 distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting
 tidak mau minum / menetek
 keluarga tidak bisa merawat dirumah
Pada anak

 saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis


 frekuensi napas ≥ 50 x/menit
 distress pernapasan
 grunting
 terdapat tanda dehidrasi
 keluarga tidak bisa merawat dirumah
Kriteria pulang:

 Gejala dan tanda pneumonia menghilang


 Asupan peroral adekuat
 Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)
 Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
 Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah
3.12 Komplikasi

Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :

 Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak


sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya
mobilisasi atau refleks batuk hilang.
 Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah
dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga
pleura.
 Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang
meradang.
 Infeksi sitemik
- Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
- Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
-
3.13 Prognosis

Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi


didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.

Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif
yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri 26.

3.14 Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia ini.

Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan
tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat,
makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup,
rajin berolahraga dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi
kemungkinan terinfeksi antara lain.

 Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya
perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis
terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali.

 Vaksinasi H.Influenzae
Diberikan pada usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan

 Vaksinasi varisela
Yang di anjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah dapat diberikan
setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Bila
diberikan pada umur > 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu

 Vaksinasi influenza
Diberiikan pada umur > 6 bulan setiap tahun. Untuk imunisasi primer anak 6 bulan
- < 9 tahun di berikan 2 kali dengan interval minimal 4 minggu.

Hiperpireksia

4.1 Definisi
Demam adalah salah satu gejala yang dapat membedakan apakah seorang
itu sehat atau sakit. Demam adalah kenaikan suhu badan di atas 38oC. Hiperpireksia
adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu
rectal).31

Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang


dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada
pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).

Hiperpireksia adalah keadaan suhu tubuh di atas 41,10 C. Hiperpereksia


sangat berbahaya pada tubuh karena dapat menyebabkan berbagai perubahan
metabolisme, fisiologi dan akhirnya kerusakan susunan saraf pusat.3 Pada awalnya
anak tampak menjadi gelisah disertai nyeri kepala, pusing, kejang serta akhirnya
tidak sadar. Keadaan koma terjadi bila suhu >430 C dan kematian terjadi dalam
beberapa jam bila suhu 430 C sampai 450 C.14

4.2 Etiologi 31

Penyebab dari demam antara lain dimungkinkan oleh :


1. Infeksi
2. Toksemia
3. Keganasan
4. Pemakaian obat.
5. Gangguan pada pusat regulasi suhu tubuh, seperti pada heat stroke,
perdarahan otak, koma, atau gangguan sentral lainnya

Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan


hiperpireksia dapat dibagi sebagai berikut:

a. Set point hipotalamus meningkat


1) Pirogen endogen
 Infeksi
 Keganasan
 Alergi
 panas karena steroid
 penyakit kolagen
2) Penyakit atau zat
 kerusakan susunan saraf pusat
 keracunan DDT
 racun kalajengking
 penyinaran
 keracunan epinefrin
b. Set point hipotalamus normal
1) Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas
 hipertermia malignan
 hipertiroidisme
 Hipernatremia
 keracunan aspirin
2) Lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas
 mandi sauna berlebihan
 panas di pabrik
 pakaian berlebihan
3) Pengeluaran panas tidak baik (rusak)
 displasia ektoderm
 kombusio (terbakar)
 keracunan phenothiazine
 heat stroke
c. Rusaknya pusat pengatur suhu
1) Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus:
 ensefalitis/ meningitis
 trauma kepala
 perdarahan di kepala yang hebat
 penyinaran2
4.3 Manifestasi Klinis 31
tanda dan gejala demam antara lain :

1. suhu lebih tinggi dari 37,8 C – 40 C)

2. Kulit kemerahan

3. Hangat pada sentuhan

4. Peningkatan frekuensi pernapasan

5. Menggigil

6. Dehidrasi

7. Kehilangan nafsu makan

Banyak gejala yang menyertai demam termasuk gejala nyeri punggung,


anoreksia dan somlolen. Batasan mayornya yaitu suhu tubuh lebih tinggi dari 37,5
ºC-40ºC, kulit hangat, takichardi, sedangkan batasan karakteristik minor yang
muncul yaitu kulit kemerahan, peningkatan kedalaman pernapasan,
menggigil/merinding perasaan hangat dan dingin, nyeri dan sakit yang spesifik atau
umum (misal: sakit kepala verigo), keletihan, kelemahan, dan berkeringat. 30

4.4 Klasifikasi Demam 31

Demam dapat merupakan satu-satunya gejala yang ada pada pasien infeksi.
Panas dapat dibentuk secara berlebihan pada hipertiroid, intoksikasi aspirin atau
adanya gangguan pengeluaran panas, misalnya heatstroke. Klasifikasi dilakukan
berdasar pada tingkat kegawatan pasien, etiologi demam, dan umur. Klasifikasi
berdasarkan umur pasien dibagi menjadi kelompok umur kurang dari 2 bulan, 3-36
bulan dan lebih dari 36 bulan. Pasien berumur kurang dari 2 bulan, dengan atau
tanpa tanda SBI (serious bacterial infection). Infeksi seringkali terjadi tanpa disertai
demam. Pasien demam harus dinilai apakah juga menunjukkan gejala yang berat.
Menurut Yale Acute Illness Observation Scale atau Rochester Criteria, yang
menilai adakah infeksi yang menyebabkan kegawatan. Pemeriksaan darah (leukosit
dan hitung jenis) dapat merupakan petunjuk untuk perlunya perawatan dan
pemberian antibiotik empirik.

Klasifikasi berdasarkan lama demam pada anak, dibagi menjadi:

1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas,
diagnosis etiologik dapat ditegakkan secara anamnestik, pemeriksaan fisis,
dengan atau tanpa bantuan laboratorium, misalnya tonsilitis akut.
2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologik tidak dapat
ditegakkan dengan amannesis, pemeriksaan fisis, namun dapat ditelusuri
dengan tes laboratorium, misalnya demam tifoid.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sebagian terbesar adalah
sindrom virus.

Di samping klasifikasi tersebut di atas, masih ada klasifikasi lain yaitu


klasifikasi kombinasi yangmenggunakan tanda kegawatan dan umur sebagai entry,
dilanjutkan dengan tanda klinis, lama demam dan daerah paparan sebagai kriteria
penyebab, seperti terlihat pada algoritme di bawah ini.

4.5 Patofisiologi Pengaturan Suhu Tubuh 31

Manusia ialah makhluk yang homeotermal, artinya makhluk yang dapat


mempertahankan suhu tubuhnya walaupun suhu di sekitarnya berubah. Yang
dimaksud dengan suhu tubuh ialah suhu bagian dalam tubuh seperti viscera, hati,
otak. Suhu rectal merupakan penunjuk suhu yang baik. Suhu rectal diukur dengan
meletakkan thermometer sedalam 3 – 4 cm dalam anus selama 3 menit sebelum
dibaca. Suhu mulut hampir sama dengan suhu rectal. Suhu ketiak biasanya lebih
rendah daripada suhu rectal. Pengukuran suhu aural pada telinga bayi baru lahir
lebih susah dilakukan dan tidak praktis. Suhu tubuh manusia dalam keadaan
istirahat berkisar antara 36oC – 37oC, yang dapat dipertahankan karena tubuh
mampu mengatur keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas.
Panas dapat berasal dari luar tubuh seperti iklim atau suhu udara di
sekitarnya yang panas. Panas dapat berasal dari tubuh sendiri. Pembentukan panas
oleh tubuh (termogenesis) merupakan hasil metabolisme tubuh. Dalam keadaan
basal tubuh membentuk panas 1 kkal/ kg BB/ jam. Jumlah panas yang dibentuk alat
tubuh, seperti hati dan jantung relative tetap, sedangkan panas yang dibentuk otot
rangka berubah-ubah sesuai dengan aktifitas. Bila tidak ada mekanisme
pengeluaran panas, dalam keadaan basal suhu tubuh akan naik 1oC/ jam, sedang
dalam aktivitas normal suhu tubuh akan naik 2oC/ jam.

Pengeluaran panas terutama melalui paru dan kulit. Udara ekspirasi yang
dikeluarkan paru jenuh dengan uap air yang berasal dari selaput lendir jalan nafas.
Untuk menguapkan 1 ml air diperlukan panas sebanyak 0,58 kkal. Pengeluaran
panas melalui kulit dapat dengan dua cara yaitu:

a. Konduksi – konveksi : pengeluaran panas melalui cara ini bergantung kepada


perbedaan suhu kulit dan suhu udara sekitarnya.
b. Penguapan air : air keluar dari kulit terutama melalui kelenjar keringat. Dapat
juga melalui perspirasi insensibilitas, difusi air melalui epidermis.

Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit.
Hipotalamus karena berhubungan dengan talamus akan menerima seluruh impuls
eferen. Saraf eferen hipotalamus terdiri atas saraf somatik dan saraf otonom. Karena
itu hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar keringat, peredaran darah
dan ventilasi paru. Keterangan tentang suhu bagian dalam tubuh diterima oleh
reseptor di hipotalamus dari suhu darah yang memasuki otak. Keterangan tentang
suhu dari bagian luar tubuh diterima reseptor panas di kulit yang diteruskan melalui
sistem aferen ke hipotalamus. Keadaan suhu tubuh ini diolah oleh thermostat
hipotalamus yang akan mengatur set point hipotalamus untuk membentuk panas
atau untuk mengeluarkan panas.

Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur suhu yang bekerja bila


terdapat kenaikan suhu tubuh. Hipotalamus anterior akan mengeluarkan impuls
eferen sehingga akan terjadi vasodilatasi di kulit dan keringat akan dikeluarkan,
selanjutnya panas lebih banyak dapat dikeluarkan dari tubuh. Hipotalamus posterior
merupakan pusat pengatur suhu tubuh yang bekerja pada keadaan dimana terdapat
penurunan suhu tubuh. Hipotalamus posterior akan mengeluarkan impuls eferen
sehingga pembentukan panas ditingkatkan dengan meningkatnya metabolisme dan
aktifitas otot rangka dengan menggigil (shivering), serta pengeluaran panas akan
dikurangi dengan cara vasokonstriksi di kulit dan pengurangan keringat.

hipertermi

Gambar 5. Pathway demam


4.6 Komplikasi 32
a. Dehidrasi : demam ↑penguapan cairan tubuh
b. Kejang demam : jarang sekali terjadi (1 dari 30 anak demam). Sering terjadi
pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun. Serangan dalam 24 jam pertama
demam dan umumnya sebentar, tidak berulang. Kejang demam ini juga tidak
membahayan otak
4.7 Pemeriksaan penunjang 32

Sebelum meningkat ke pemeriksaan- pemeriksaan yang mutakhir, yang siap


tersedia untuk digunakan seperti ultrasonografi, endoskopi atu scanning, masih
pdapat diperiksa bebrapa uji coba darah, pembiakan kuman dari cairan tubuh/ lesi
permukaan atau sinar tembus rutin.

Dalam tahap berikutnya dapat dipikirkan untuk membuat diagnosis dengan


lebih pasti melalui biopsy pada tempat- tempat yang dicurigai. Juga dapat dilakukan
pemeriksaan seperti angiografi, aortografi, atau limfangiografi.

4.8 Penatalaksanaan pasien hiperpireksia 33


a. Monitoring tanda vital, asupan dan pengeluaran.
b. Berikan oksigen
c. Berikan anti konvulsan bila ada kejang
d. Berikan antipiretik. Asetaminofen dapat diberikan per oral atau rektal.
Tidak boleh memberikan derivat fenilbutazon seperti antalgin.
e. Berikan kompres
f. Bila timbul keadaan menggigil dapat diberikan chlorpromazine 0,5-1
mgr/kgBB (I.V).
g. Untuk menurunkan suhu organ dalam: berikan cairan NaCl 0,9% dingin
melalui nasogastric tube ke lambung. Dapat juga per enema.
h. Bila timbul hiperpireksia maligna dapat diberikan dantrolen (1 mgr/kgBB
I.V.), maksimal 10 mgr/kgBB.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alberto J Espay, MD. Hydrocephalus. Emedicine 2010 : 4 available


at www.emedicine.com di akses pada 26 November 2010
2. Price SA, Wilson LM. Vetrikel dan Cairan Cerebrospinalis, dalam
Patofiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 4, Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta, 1994, 915-6
3. Dan Stranding S. Ventricular System and Cerebrospinal Fluid, in Grays
Anatomy The Anatomical Basis of Clinical Practice, thirty nine edition,
Churchill Livingstone, New York : 2005, 287-94
4. Kahle, Leonhardt, Platzer. Sistem Saraf Dan Alat-Alat Sensoris, dalam
Atlas Berwarna & Teks Anatomi Manusia jilid 3, edisi 6,. Hipokrates, 2005,
262-271
5. R.Sjamsuhidat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC, Jakarta
: 2004, 809-810
6. Frankenburg WK, Dodds J, Archer P, Shapiro H, Bresnick B. Denver II: a
major revision of restandardization of Denver II developmental screening
test. Pediatrics 1992;89:91–7.
7. Ropper, Allan H. And Robert H. Brown. 2005. Adams And Victor’s
Principles Of Neurology: Eight Edition. USA.
8. Darsono dan Himpunan dokter spesialis saraf indonesia dengan UGM.
2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: UGM Press.
Rudolph AM, dkk. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 20. Volume 3.
Jakarta: EGC, 2006. Hal 2053-57
9. Shevell MI. The evaluation of the child with a global developmental delay.
Seminar Pediatric Neurology. 1998;5:21–26.
10. Fenichel GM. Psychomotor retardation and regression. Dalam: Clinical
Pediatric Neurology: A signs and symptoms approach. Edisi ke-
4.Philadelphia: WB Saunders; 2001.h.117–47.
11. Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirzt D, dkk. Practice
parameter: Evaluation of the quality standards subcommittee of the
American Academy of Neurology and the practice committee of the child
neurology society. Neurology 2003;60:67-80.
12. Suwarba IGN, Widodo DP, Handryastuti RAS. Profil klinis dan etiologi
pasien keterlambatan perkembangan global di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri 2008;10:255-61.
13. Melati D, Windiani IGAT, Soetjiningsih. Karakteristik Klinis
Keterlambatan Perkembangan Global Pada Pasien di Poliklinik Anak
RSUP Sanglah Denpasar. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana Bali
14. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Departemen
Kesehatan RI. 2005.
15. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Dalam: RanuhIGN, penyunting.
Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC; 1995. h. 1-32.
16. Walters AV. Development Delay: Causes and Identification. ACNR 2010;
10(2);32-4.
17. Mengenal Keterlambatan Perkembangan Umum pada Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Indonesia. [diunduh 19 Desember 2013]. [Available from]:
URL: http //idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/mengenal-
keterlambatan-perkembangan-umum-pada-anak.html.
18. First LR, Palrey JS. Current Concepts: The Infant or Young Child with
Developmental Delay. The New England Journal of Medicine 1994; 7478-
483.
19. Srour M, Mazer B, Shevell MI. Analysis of clinical features predicting
etiologic yield in the Assessment of global development delay. Pediatrics
2006;118:139-45.
20. Menkes JH. Textbook of Child Neurology. 4th. ed. Philadelphia: Lea
Febiger 1990; 306-311.
21. Correa Armando.G, Starke Jeffrey R. Kendig’s Disorder of the Respiratory
Tract in Children: “Bacterial Pneumoniasi”, Sixth Edition. WB. Saunders
Company Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo. 1998.
22. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta : 1997. Hal 633.
23. Konsensus Pneumonia. Bagian Pulmonologi FKUI/RSUP Persahabatan.
Jakarta : 2000.
24. O’Brodovich Hugh M, Haddad Gabriel G. Kendig’s Disorder of the
Respiratory Tract in Children: “The Functional Basis of Respiratory
Pathology and Disease”, Sixth Edition. WB. Saunders Company
Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo. 1998.
25. Pasterkamp Hans. Kendig’s Disorder of the Respiratory Tract in Children
:”The History and Physical Examination” , Sixth Edition. WB. Saunders
Company Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo. 1998.
26. Pedoman Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Unpad. Bandung : 2005.
27. Reinhard V. Putz, Reinhard Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2.
Edisi 21. Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2000. Hal 99.
28. Sectish Theodore C, Prober Charles G. Nelson Textbook of Pediatrics :
“Pneumonia”. Edisi ke-17. Saunders. 2004.
29. Rahajoe, Nastini.N.2008.Buku Ajar Respirologi,Edisi 1.Jakarta : IDAI
30. F. Keith Battan, MD, FAAP, Glenn Faries, MD. (2007). Chapter 11:
Emergencies & Injuries. Current Pediatric Diagnosis & Treatment,
Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by Appleton & Lange.
31. Hardiono D Pusponegoro. Penatalaksanaan demam pada anak.
32. Henretig FM. Fever. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook
of pediatric emergency medicine; edisi ke-3. Baltimore: Williams dan
Wilkins, 1993
33. Richard C. Dart, MD, PhD. (2007). Chapter 12: Poisoning. Current
Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth Edition, the McGraw-Hill
Companies; by Appleton & Lange.

Anda mungkin juga menyukai