Puji berserta syukur kita panjatkan kehazirat allah swt. yg mana oleh karunianya kita dapat
berkumpul di ruangan yg sederhana ini.shalawat beriringan salam taklupa pulak kita sanjung
sajikan kepangkuan alam nabi besar Muhammad saw yang mana 0leh beliau yg telah membawa
agama islam dari alam kegelapan himgga kealam yg terang menderang …..
baiklah mukadimah tidak saya perpanjangkan saya akan memasuki dalam sebuah kultum singkat
yang berjudul : MEMODERNISASI KADER MUHAMMADIYAH YANG PROFETIK
Dalam pengertian yang lebih luas, ikatan mahasiswa muhammadiyah ingin membentuk manusia
yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas ke-khalifahan-nya dan terus memperkaya diri
dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa batas serta menyadari pula betapa urgentnya ketaatan
kepada Allah SWT sebagai Sang Maha Mengetahui dan Maha Segalanya. Dalam Surat Al-
Baqarah disebutkan pada ayat: 269 yang artinya: ”Tidaklah berdzikir kecuali ulul albab”. Disini,
ada proposional antara dzikir dan fikr dalam sebuah cita-cita organisasi . Artinya, hakikat cita-
cita organisasi adalah melahirkan manusia-manusia beriman dan berilmu pengetahuan, yang
satu sama lainnya saling menunjang.
Jika kegagalan kaderisasi dalam rangka memaksimalkan peran profetiknya karena tidak dapat
menempatkan manusia sebagai subjek kader dalam setting teologis-filosofis. Jadi bukan sebagai
objek kader, yang menurut Paulo Freire dikatakan sebagai konsep bank. Oleh karena itu,
kaderisasi harus kembali pada missi profetik, yaitu memanusiakan manusia (Humanisasi),
berijtihad / pembebasan (liberasi), dan keimanan manusia .
KESIMPULAN
Kenyataan bahwa proses kaderisasi yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-
centered, top-down, mekanis, verbalis, kognitif dan misi kaderisasi telah misleading. Tidak heran
jika ada kesan bahwa praktek dan proses kaderisasi steril dari konteks realitas, sehingga tidak
mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. kaderisasi
(khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan memberikan kontribusi dalam
penyelesaian masalah. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan
interpretasi dan reorientasi, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek kaderisasi
yang selama ini berjalan.