DISUSUN OLEH :
Atika Rahmah G99172051
Satria Ardi G99181060
Nathasya Vania G991903044
Noor Iqmaliya R G991905048
Sakarias Christofer G991902051
PEMBIMBING :
dr. Udi Herunefi H, Sp.B, Sp.OT
C. Etiologi Fraktur2,3
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan) dan peristiwa patologis.
1. Peristiwa Trauma (kekerasan)
a) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil,
maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang
demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian
yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang
karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian
dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi
pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan
tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai
penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang
lengan bawah.
2. Repetitive stress
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang-
ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih
berat dari biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat
pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara
tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang.
3. Peristiwa Patologis
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu
tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya
osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang
yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
D. Klasifikasi Fraktur
Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar
dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika kulit
diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka
disebut fraktur terbuka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan berta ringannya patah tulang.4
Tabel 2. Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh
Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):2
Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping
atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.
Gambar 4. Jenis Fraktur. Fraktur komplet : (a) Transversal; (b) Segmental; (c) Spiral.
Fraktur inkomplete : (d) Buckle/torus/melengkung; (e,f) greenstick.3
Gambar 5. Jenis Fraktur: Kominuta, Greenstick, Impaksi, Fissura
Satu bentuk fraktur yang khusus pada anak adalah fraktur yang mengenai
cakram pertumbuhan. Fraktur yang mengenai cakram epifisis ini perlu mendapat
perhatian khusus karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Fraktur cakram
epifisis ini dibagi menjadi lima tipe. 8
Tabel 3. Klasifikasi Salter Harris pada patah tulang epifisis
Tipe 1 Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi periosteumnya
masih utuh
Tipe 2 Periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas
sama sekali dari metafisis
Tipe 3 Fraktur cakram epifisis yang melalui sendi
Tipe 4 Terdapat fragmen fraktur yang garis patahannya tegak lurus cakram
epifisis
Tipe 5 Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan
kematian dari sebagian cakram tersebut
E. Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :1,2,3
1. Fase Hematoma
Hematom terbentuk dari darah yang mengalir yang berasal dari pembuluh
darah yang robek
Hematom dibungkus jaringan lunak sekitar (periosteum & otot)
Terjadi sekitar 1-2 x 24 jam
5. Fase remodelling
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks fraktur
Tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklast
Pada anak-anak remodeling dapat sempurna, pada dewasa masih ada tanda
penebalan tulang.
Gambar 8. Fase Penyembuhan Tulang
F. Diagnosis Fraktur
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di
bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi
muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan
neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnose fraktur dapat
ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan.2,3
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat
cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang
dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.2,3
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi/look:
deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi / feel (nyeri
tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.
Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian
diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi.
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit,
pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan/move dinilai apakah adanya
keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur.3,5
Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis.
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan
menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan
circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.2,3
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi
darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa.
Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two: dua gambaran,
anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur,
memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak
terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah
tindakan.2,3,5
2. Komplikasi Lokal
a. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma
disebut komplikasi lanjut.
Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed
union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang
sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan
sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan
degenerasi.
Pada Jaringan lunak
1. Lepuh
Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena
edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan
melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus
Terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena
itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang
menonjol.
Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada
serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma
dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush
atau thrombus.
Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami
retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan
tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan
spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi
trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat
terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair
untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot
pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat
menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri),
Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis
Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan
identifikasi nervus.1
b. Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur.
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi.
Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)
Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
H. Penanganan Fraktur2,3,5
Penanganan Fraktur Tertutup
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali),
reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. Agar
penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada
jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakah
akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung.
Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula
(reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat
berfungsi kembali dengan maksimal. Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil
reposisi dengan fiksasi (imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan spasme otot pada
ekstremitas yang sakit sehingga terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat.
Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan anggota gerak yang sakit agar dapat
berfungsi kembali.
Fraktur greenstick adalah fraktur dimana salah satu sisi patah dan sisi lainnya
melengkung. Disebut fraktur greenstick karena bentuk patahannya sama dengan
patahan dahan hijau (pohon muda segar), dimana jika dahan hijau patah maka hanya
satu sisi saja yang patah sedangkan sisi yang lainnya melengkung tetapi masih intak.
Fraktur greenstick terjadi apabila ada robekan periosteum dan kortex pada daerah
konveks dari deformitas.Pada fraktur greenstick, ada bagian korteks yang masih intak.
Jadi pada fraktur greenstick, fraktur terjadi pada korteks yang terdapat pada sisi yang
berlawanan dari arah energi sedangkan korteks yang langsung mendapat energi masih
intak. Fraktur greenstick merupakan fraktur yang stabil karena sebagian dari tulang
tetap utuh dan tak terputus.
1 Anamnesa
Sering kali pasien datang sudah dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena
jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien. Sebaliknya juga mungkin, fraktur
tidak disadari oleh penderita dan mereka datang dengan keluhan keseleo, terutama
patah yang disertai dislokasi fragmen yang minimal. 12
Riwayat trauma tertentu, seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya
trauma tersebut. Pada pasien dengan riwayat trauma yang perlu ditanyakan adalah
waktu terjadinya, cara terjadinya, posisi penderita dan lokasi trauma. Pada fraktur
greenstick dapat terjadi karena jatuh (kompresi longitudinal) atau adanya pukulan pada
lengan bawah. 4,12,13
2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya fraktur terdiri atas tiga langkah yaitu
lihat (inspeksi/look), raba (palpasi/feel), dan gerakan (move). 12
a. Inspeksi / look
Terlihat adanya asimetris pada kontur atau postur, pembengkakan, dan perubahan
warna local. Pasien merasa kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang
patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok, terputar,
pemendekan, dan juga terdapat gerakan yang tidak normal. Pasien diinstruksikan untuk
menggerakkan bagian distal lesi, bandingkan dengan sisi yang sehat.
b. Palpasi / feel
Nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis, didapatkan juga secara
objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri
tekan sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang
patah searah dengan sumbunya.
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi
pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian di atas dan di
bawah cedera, status vaskuler di bagian distal lesi. Keadaan vaskuler ini dapat
diperoleh dengan memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur. Neurovaskularisasi
yang perlu diperhatikan pada bagian distal fraktur diantaranya, pulsasi arteri, warna
kulit, pengembalian cairan kapiler (capillary refill test), dan sensibilitas. 7,12
c. Gerakan / move
Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk dalam pemeriksaan rutin fraktur.
Adanya keterbatasan gerakan disertai nyeri dan deformitas menunjukkan adanya
fraktur. 12,15
3 Pemeriksaan penunjang
4 Diagnosa
Pada pemeriksaan fisik pada lengan bawah didapatkan deformitas (angulasi dan
rotasi), bengkak atau kebiruan, fungsio laesa, nyeri tekan, krepitasi serta nyeri bila
digerakkan, baik gerak aktif maupun pasif. 7,12
5. Penatalaksanaan
Pedoman terapi fraktur berdasarkan umur dari anak, lokasi fraktur dan derajat
displacement dan angulasi. Terapi yang digunakan adalah dengan reposisi tertutup dan
immobilisasi dengan gips. Reposisi fraktur dapat menggunakan semua teknik anestesi
secara umum, termasuk intramuscular, sedasi intravena, blok axilla atau anestesi
umum. Fraktur pada anak-anak jarang dibutuhkan tindakan bedah dibandingkan fraktur
pada dewasa. Fraktur sepertiga distal sampai sepertiga tengah dari lengan bawah dapat
diterapi dengan short-arm cast, long-arm cast dapat juga digunakan untuk mencegah
terjadinya late displacement atau angulasi. Displacement yang signifikan pada fraktur
lengan bawah dapat digunakan long-arm cast untuk mengontrol rotasi dan angulasi.
Karena pada fraktur greenstick terdapat rotasi dan angulasi maka sebaiknya
menggunakan long-arm cast dengan siku difleksikan 90 derajat. Angulasi pada fraktur
greenstick dapat direposisi dengan traksi dan kontertraksi. Pada fraktur greenstick
sering dilakukan pematahan pada korteks yang berlawanan untuk mencegah angulasi
berulang selama di dalam gips. 2,10,13
Derajat angulasi yang dapat diterima pada fraktur sepertiga tengah radius dan
ulna yaitu hingga 30 derajat pada bayi, sedangkan pada anak-anak hingga 15 derajat
tergantung umur. Pada anak-anak, jika angulasi kurang dari 10 derajat dengan umur
kurang dari 10 tahun maka tidak memerlukan koreksi angulasi. Sedangkan angulasi
yang dapat diterima pada fraktur sepertiga distal radius dan ulna yaitu hingga 30 derajat
pada bayi dan 15 derajat pada anak-anak. 17
0 – 2 tahun 2 – 3 minggu
2 – 5 tahun 3 – 4 minggu
6 – 10 tahun 5 – 6 minggu
D. Komplikasi
Dapat terjadi penjeratan neurovascular pada daerah lengan bawah. Selain itu dapat
terjadi deformitas berulang, re-angulasi lebih banyak terjadi pada fraktur greenstick
dengan angulasi ke ventral daripada dorsal. Dan banyak juga terjadi pada fraktur
greenstick pada radius sedangkan ulna masih intak.
DAFTAR PUSTAKA
Yarsif Watampone.