Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN KASUS

“TUMOR MATA”

Oleh:
Sriworo Noermalia Dewi

Pembimbing:
dr. Kartini Hidayati, Sp.M

Kepaniteraan Klinik SMF Mata


Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat laporan kasus ini yang berjudul “Tumor Mata” guna
melengkapi tugas kepaniteraan klinik Mata di RS Muhammadiyah Lamongan.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kapada para dokter spesialis
Mata terutama dr. Kartini Hidayati, Sp.M, yang telah membimbing dan
mengajarkan kami dalam ilmu–ilmu kesehatan mata guna memahami mata
beserta kelainan -kelainannya. Penulis menyadari bahwa ada kekurangan baik dari
segi isi maupun susunan dari referat ini. Oleh karena itu, kami memohon maaf
sebesar-besarnya dan membuka bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik kepada penulis sehingga penulis dapat memperbaiki referat ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga dari referat mata ini dapat
bermanfaat bagi rekan-rekan serta pembaca sehingga dapat memberikan inspirasi
dan pengetahuan terhadap pembaca.

Lamongan, Juli 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor mata disebut juga sebagai tumor orbita adalah tumor yang
menyerang rongga orbita (tempat bola mata) sehingga merusak jaringan lunak
mata, seperti otot mata, saraf mata, dan kelenjar air mata. Tumor Orbita jarang
ditemukan dan dapat berasal dari dinding orbita, isi orbita, sinus dan sekelilingnya
(Rahmadani dan Ovy, 2012)

Tumor orbita diklasifikasikan berdasarkan asal tumor menjadi: tumor orbita


primer, tumor orbita sekunder, dan tumor orbita metastatic. Klasifikasi tumor
orbita yang lain dapat berdasarkan asal jaringan/ lokasi anatominya; tumor
kelenjar lakrimalis, tumor jaringan limfoid, tumor retina, tumor tulang, tumor
selubung saraf optic, tumor saraf optic, tumor jaringan ikat dan tumor metastase
melalui darah.

Gejala dan tanda dari tumor orbita meliputi: nyeri orbital, proptosis
(penonjolan bola mata), pembengkakan kelopak mata, palpasi teraba massa, gerak
mata terbatas, ketajaman penglihatan terganggu. Untuk menegakkan diagnosis
tumor mata diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan
tambahan.

Penanganan tumor orbita dibedakan berdasarkan sifat tumor apakah tumor


bersifat jinak atau ganas. Bila tumor jinak maka memerlukan eksisi dan atau
pendekatan konservatif. Bila tumor orbita bersifat ganas maka memerlukan
tindakan biopsy dan redioterapi dan kemoterapi.

Tumor orbita bisa juga berasal dari tempat lain sehingga disebut sebagai
tumor sekunder. Kebanyakan tumor orbita sekunder berasal dari hidung dan sinus
paranasal. Prognosis atau angka keberhasilan kelangsungan hidup penderita tumor
orbita mencapai 80%, artinya masih ada harapan hidup yang cukup baik. Angka
kematian sangat dipengaruhi oleh stadium tumor itu sendiri. Tentu saja pada
stadium lanjut angka kelangsungan hidup lebih buruk.
BAB II
LAPORAN KASUS

2. 1 Identitas Pasien
Nama Pasien : Ny. S
Umur : 47 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama/suku : Islam/Jawa
Alamat : Lamongan
Tanggal periksa : 5 April 2019
2.2 Keluhan Utama
Ada benjolan hitam pada kelopak mata bawah kanan
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli mata RSML dengan keluhan kelopak mata kanan
bawah ada benjolan berwarna hitam. Keluhan muncul sejak kecil dan pernah
dioprasi 20 tahun lalu dan kembali tumbuh hingga sekarang. Ukuran benjolan
kurang lebih 1 cm,ukuran semakin membesar tetapi sangat lambat. Jumlah hanya
satu, tidak nyeri, gatal jika berkeringat.

2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat memakai kacamata (-)
 Riwayat operasi pengangkatan nevus ditempat yang sama 20 tahun
yang lalu
 Riwayat trauma disangkal
 Riwayat hipertensi (+), terkontrol
 Riwayat DM disangkal
2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang
sama seperti pasien
2.6 Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai Ibu rumah tangga
2.7 Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : Tidak tampak kesakitan
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
BB/TB :-
2.8 Vital Sign
Tekanan Darah : - mmHg
Nadi : -/menit
RR : 20x/menit
Suhu :-C
2.9 Status Oftalmologis
Oculi Dextra Oculi Sinistra
Kedudukan bola Orthophoria Orthophoria
mata
Gerak bola mata Dapat bergerak ke Dapat bergerak ke segala
segala arah arah
Palpebra Benjolan (+), warna dbn
hitam, diameter ±1 cm,
udem (-),
Hiperemis (-), Nyeri
tekan (-)
Konjungtiva dbn dbn

Kornea dbn dbn

COA dbn dbn

Iris dbn dbn


Pupil dbn dbn

Lensa Jernih Jernih

Vitreus humor dbn dbn

Visus 3/30 ph 3/15.6 3/20 ph 3/8.8

Tonometri
schiotz

2.4 Clue And Cue


- OD: benjolan hitam palpebra infierior, nyeri (-), ukuran ±1cm
- Benjolan sejak 20 tahun lalu post op, semakin membesar tapi sangat
lambat
2.5 Problem list
- Benjolan hitam di palpebrainferior dextra tanpa ada penurunan penglihatan
2.6 Initial Diagnosis
-Nevi melanositik Palpebra OD
2.7 Planning Diagnosis -
2.8 Planning Therapy
-Konsulkan pada Sp.M
2.9 Planning Monitoring
- Keluhan pasien dan keluhan lain
- Pemeriksaan oftalmologi (visus, lapang pandang, segmen anterior dan
posterior, TIO OD OS)
2.10Planning Education
- Menjelaskan mengenai diagnosis pasien
- Menjelaskan prognosis dan komplikasi penyakit
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Tumor mata disebut juga sebagai tumor orbita adalah tumor yang
menyerang rongga orbita (tempat bola mata) sehingga merusak jaringan lunak
mata, seperti otot mata, saraf mata, dan kelenjar air mata. Tumor Orbita jarang
ditemukan dan dapat berasal dari dinding orbita, isi orbita, sinus dan sekelilingnya
(Rahmadani dan Ovy, 2012)

3.2 Anatomi Orbita

Orbita berbentuk suatu rongga yang secara skematis digambarkan sebagai


piramida yang berkonvergensi ke arah belakang. Puncaknya adalah foramen
optikum, dan dasarnya menghadap ke depan luar dan terbuka disebut aditus
orbitae. Sedangkan dinding-dindingnya meliputi dinding medial, dinding lateral,
dinding atas (atap orbita), dan dinding bawah (dasar orbita). Orbita terletak di
kanan dan kiri basis nasi (pangkal hidung) (Rahmadani dan Ovy, 2012).

Tulang-tulang yang membentuk orbita berjumlah 7 buah, yaitu tulang


frontal, tulang zigoma, tulang sphenoid, tulang maksila, tulang etmoid, tulang
nasal, dan tulang lakrima.Antara dinding lateral (dinding temporal) dengan atap
orbita terdapat fissura orbitalis superior. Antara dinding lateral dengan dasar
orbita terdapat fissura orbitalis inferior. Antara dinding medial dengan atap orbita
terdapat foramen ethmoidalis anterius dan posterius. Antara dinding medial
dengan dasar orbita terdapat fossa sacci lacrimalis (Rahmadani dan Ovy, 2012).
Gambar 3.1. anatomi rongga orbita

Aditus orbitae berbentuk persegi empat dengan sudut-sudutnya


membulat. Sisi-sisinya dibedakan menjadi margo supraorbitalis, margo
infraorbitalis, margo marginalis, dan margo lateralis.Volume orbita dewasa kira-
kira 30 cc dan bola mata hanya menempati sekitar 1/5 bagian ruangannya. Lemak
dan otot menempati bagian terbesarnya (Rahmadani dan Ovy, 2012).

Di dalam orbita, selain bola mata, juga terdapat otot-otot ekstraokuler,


syaraf, pembuluh darah, jaringan ikat, dan jaringan lemak, yang kesemuanya ini
berguna untuk menyokong fungsi mata. Orbita merupakan pelindung bola mata
terhadap pengaruh dari dalam dan belakang, sedangkan dari depan bola mata
dilindungi oleh palpebra. Di sekitar orbita terdapat rongga-rongga di dalam
tulang-tulang tengkorak dan wajah, yang disebut sinus paranasalis (Rahmadani
dan Ovy, 2012).

Orbita berhubungan dengan sinus frontalis di atas, sinus maksilaris di


bawah, dan sinus ethmoidalis dan sphenoidalis di medial. Dasar orbita yang tipis
mudah rusak oleh trauma langsung terhadap bola mata, berakibat timbulnya
fraktur “blow out” dengan herniasi isi orbita ke dalam antrum maksilaris. Infeksi
dalam sinus sphenoidalis dan ethmoidalis dapat mengikis dinding medialnya yang
setipis kertas (lamina papyracea) dan mengenai isi orbita. Defek pada atapnya
(misal, neurofibromatosis) dapat berakibat terlihatnya pulsasi pada bola mata yang
berasal dari otak (Rahmadani dan Ovy, 2012).

3.3 Klasifikasi Tumor Intraorbita


Tumor bisa tumbuh dari struktur yang terletak di dalam atau sekitar orbita.Tumor
orbita dapat diklasifikasikan berdasarkan asal tumor (Rahmadani dan Ovy, 2012).
1. Tumor Orbita Primer
2. Tumor Orbita Sekunder
3. Tumor Orbita Metastatik
Tumor intraorbita bisa berasal dari struktur didalam atau di sekitar rongga orbita.
Berikut adalah klasifikasi tumor intraorbita berdasarkan asal jaringan :

Tabel 3.1 Pembagian Tumor Orbita Berdasarkan Asal Jaringan (Rahmadani dan
Ovy, 2012)

No Asal jaringan Jenis Tumor

1 Kelenjar lakrimal Adenoma pleomorfik

Karsinoma

2 Jaringan Limfoid Limfoma

3 Retina Retinoblastoma

Melanoma

4 Tulang Osteoma

Kista dermoid

Kista epidermoid

5 Selubung saraf optik Meningioma

6 Saraf optic Glioma

Neurofibroma

7 Jaringan Ikat Rhabdomiosarkoma

8 Metastasis melalui darah Dewasa:

Ca mammae
Ca bronchial

Anak-anak:

Neuroblastoma

Sarkoma Ewing

Leukemia

Tumor testikuler

Gejala dan Tanda Tumor Mata (Lita, 2005):

1. Nyeri Orbital : Jelas pada tumor ganas yang tumbuh cepat.


2. Proptosis : pergeseran bola mata ke depan adalah gambaran yang sering
dijumpai berjalan bertahap dan tidak nyeri (tumor jinak) atau cepat (lesi
ganas).
3. Pembengkakan kelopak mata (oedema palpebra) : mungkin jelas pada
pseudotumor
4. Palpasi : bisa menunjukkan massa yang menyebabkan distorsi kelopak
atau bola mata, terutama tumor kelenjar lakrimal atau dengan mukosel.
5. Gerak mata : sering terbatas oleh sebab mekanis
6. Ketajaman Penglihatan: mungkin terganggu langsung akibat terkenanya
saraf optic atau retina, atau tak langsung akibat kerusakan vaskuler.
3.4 TUMOR PALPEBRA

3.4.1 Tumor Jinak

A. Nevi Melanositik Palpebra

Klasifikasi Nevus Melanositik (Rahmadani dan Ovy, 2012).

a) Kongenital
 Nevus melanositik kongenital
 Bercak biru Mongolian
b) Didapat
 Nevus pada perbatasan (junctional
naevus/gabungan/intradermal)
 Sutton’s halo naevus
 Nevus displastik
 Nevus spitz
 Nevus biru
Definisi

Nevus melanositik adalah neoplasma jinak atau hamartoma yang


mengandung melanosit, yaitu sel – sel yang memproduksi pigmen yang secara
konstituen berkolonisasi membentuk epidermis. Melanosit merupakan derivate
dari neural crest dan bermigrasi sewaktu embriogenesis ke ectoderm target
(primer di kulit dan sistem susunan saraf pusat), serta pada mata dan telinga
(Rahmadani dan Ovy, 2012).

Etiologi

Etiologi dari nevus melanositik masih belum diketahui. Tidak ada data
akurat tentang pengaruh genetik atau lingkungan yang dapat mengkontribusi
terhadap perkembangan nevus kongenital. Faktor genetik spesifik yang
mengkontribusi terhadap perkembangan nevus melanositik didapat juga masih
belum diketahui. Walau bagaimanapun, data menunjukkan kecederungan
pemkembangan nevus dalam jumlah banyak, seperti nevus displastik multipel
mungkin dapat diturunkan secara autosomal dominan.
Insiden nevus melanositik pada masa anak – anak secara inversi
berhubungan dengan tingkat pigmentasi kulit dan tinggi pada anak – anak dengan
toleransi sinar matahari yang jelek. Mekanisme terjadinya induksi ini masih belum
diketahui, namun induksi tersebut dapat dijelaskan seperti gambaran promosi
tumor oleh sinar ultra violet (Rahmadani dan Ovy, 2012).

Epidemiologi

Nevus adalah lesi jinak ketiga terbanyak pada regio periokular setelah
papilloma dan kista inklusi epidermal. Nevus melanositik kongenital dapat terjadi
sewaktu baru lahir atau setelahnya dan nevus melanositik didapat terjadi bukan
sewaktu lahir dan insidennya meningkat pada tiga dekade pertama kehidupan.
Insiden puncak nevus melanositik adalah pada dekade 4 dan dekade 5 kehidupan,
dan insidennya berkurang dengan berkurangnya setiap dekade, dengan insiden
terendah pada orang lansia. Insiden nevus didapat meningkat sewaktu masa anak–
anak sehingga dewasa muda, dan secara perlahan mengalami involusi, dan
akhirnya menjadi sangat jarang pada usia lanjut.

Patofisiologi

Melanosit terdapat di lapisan basal epidermis dan menunjukkan area


perbatasan tertentu. Melanosit non – neoplastik secara tipikal menunjukkan
inhibisi kontak antara satu sama lain dan sel pigmen biasanya tidak ditemukan
sebagai sel penyambung. Namun dengan suatu bentuk stimulasi tertentu, seperti
radiasi sinar UV, densitas melanosit di dalam epithelium normal dapat meningkat.
Melanosit normal juga dapat melibatkan epithelium adneksal, yang paling mudah
terlihat adalah papilla folikular.

Gambar 3.2 Fase – fase Nevus Melanositik

Nevus berasal dari sel nevus yang merupakan diferensiasi inkomplit dari
melanosit di epidermis, dermis dan perbatasan antara epidermis dengan dermis.
Nevus sering ditemukan pada margin palpebrae, sering tumbuh menempel pada
permukaan okular. Nevus jinak yang asimptomatik tidak memerlukan terapi,
tetapi nevi compound dan nevi junctional bisa berubah menjadi ganas. Nevus
melanositik adalah proliferasi melanosit yang berkontak antara satu sama lain,
membentuk suatu kelompok sel yang dikenal sebagai nests. Nevus melanositik ini
biasanya terbentuk sewaktu masa anak – anak dan onsetnya dipercaya sebagai
respon terhadap matahari atau paparan sinar UV.

Nevus melanositik juga diteliti dapat berkembang atau meluas dengan


cepat setelah adanya luka bakar, severe sunburns, atau nekrolisis toksik epidermal
(TEN) atau pada orang dengan bula epidermolisis. Dalam hal ini, pembentukan
nevus melanositik eruptif ini dipropagasi oleh stimulus bersifat traumatik, dengan
penyebaran sel – sel nevus melanositik pada area yang mengalami trauma.
Hormon pertumbuhan, seperti fibroblast growth factor, dipercaya dapat juga
menyebabkan proliferasi keratinosit dan dapat mengkontribusi terhadap stimulasi
proliferasi melanosit. Secara garis besar, etiologi pasti dari pembentukan dan
perkembangan nevus melanositik ini adalah kompleks dan bersifat multifaktorial
dan tidak difahami sepenuhnya.

Nevus melanositik didapat dianggap sebagai neoplasma jinak, di mana


melanosit berasal dari neural crest, dan dapat ditemui distribusinya di dermis, di
sekitar dan di dalam dinding pembuluh darah, sekitar struktur adneksa, seperti
folikel rambut, di dalam subkutis dan kadang – kadang di dalam otot rangka, otot
polos, saraf dan gandula sebasea.

Nevus bisa menyebabkan gejala sekiranya nevus mengenai permukaan


okular atau mengalami pembesaran serta mengganggu penglihatan. Terapinya
berupa eksisi atau reseksi pada margin palpebrae.Nevus cenderung untuk berubah
dalam 3 tahap : junctional yaitu terletak di lapisan basal epidermis dermal,
compound yaitu perluasan dari zona transisi ke epidermis sampai ke dermis dan
dermal yaitu disebabkan oleh involusi komponen epidermis dan dermis.
Pada anak – anak, nevus diawali oleh junctional nevi, yang berbentuk datar
dengan makula berpigmen. Menjelang dekade kedua, kebanyakan nevus menjadi
nevi compound yang mana nevus tadi mengalami elevasi dengan papul
berpigmen. Kemudian, pigmentasi epidermis ini menghilang dan nevi compound
tadi menetap tetapi dengan pigmentasi yang minimal atau lesi amelanotik. Pada
usia 70 tahun, semua nevi menjadi dermal nevi dan pigmen menghilang.

Manifestasi klinis

a) Junction nevi
Secara umum tidak berambut, makulanya terang, sampai coklat
kehitaman, ukurannya bervariasi dari 1 mm sampai 1 cm (diameter),
permukaan halus dan rata. Lesi bisa berbentuk bulat, elips, ada yang
berbentuk kecil, irregular. Lokasi sering di telapak tangan, telapak kaki
dan genitalia. Jarang setelah lahir, biasanya berkembang setelah usia 2
tahun. Pembentukan aktif sel nevusnya hanya pada pertemuan
epidermis dan dermis.

b) Compound nevi
Hampir sama dengan junctional nevi, tetapi sedikit menonjol dan ada
yang berbentuk papillomatous. Warnanya seperti warna kulit sampai
warna coklat. Permukaannya halus, lokasi banyak di wajah dan
biasanya ditumbuhi rambut. Sel nevusnya berada pada epidermis dan
dermis.

c) Intradermal nevi
Bentuk papel (kubah), ukuran bervariasi dari beberapa mm sampai 1
cm atau lebih (diameter). Lokasinya di mana – mana tapi paling
banyak di kepala, leher, dan biasanya ditumbuhi rambut kasar,
berwarna coklat kehitaman. Sel nevusnya berada pada dermis.

Diagnosis

a. Anamnesis
- Lesi menjadi simptomatik seperti gatal, nyeri, iritasi atau perdarahan,
dapat menjadi indikator jika berpotensi menjadi maligna.
- Bukan semua perubahan nevi adalah maligna, terutama jika perubahan
disadari pada pasien usia kurang dari 40 tahun. Namun, perubahan lesi
yang disadari terjadi dalam waktu singkat juga merupakan indikator
berpotensi menjadi maligna dan memerlukan tindakan biopsi untuk
diagnosis pasti
- Nevus melanositik yang didapat biasanya kurang dari 1 cm (diameter)
dan biasanya berwarna.
- Nevus melanositik biasanya berwarna gelap dan kecoklatan, tapi
warnanya biasa bervariasi dari seperti warna kulit (tidak berpigmen)
sampai agak kehitaman.
- Nevus melanositik displastik disebut juga sebagai Clark nevi. Displastik
merujuk karena dipercaya lesi awalnya secara biologic tidak stabil dan
kemungkinan precursor melanoma. Nevus displastik mempunyai
tampilan rata, makula berpigmen dengan papul tipis dengan bagian
tengah papul di zona makula mempunyai pigmentasi yang lebih dalam.
- Spitz nevi atau dikenal sebagai "juvenile melanomas", tapi sekarang
telah dikenal secara mikroskopik adalah lesi jinak. Lesi kelihatan
seperti papul merah muda, namun dapat berwarna lebih gelap yang
dikenal sebagai "Reed nevi" atau "pigmented spindle cell nevi". Spitz
nevi dapat mempunyai tampilan seperti hemangioma.
- Blue nevi mempunyai distribusi dermal seluler dan spindled
cytomorphology di abwah mikroskop. Lesi hiperpigmentasi, dan tidak
semuanya berwarna biru, ada yang berwarna keabu – abuan, coklat dan
hitam, tergantung tingkat pigmentasi secara klinis. Namun lesi dapat
bersifat amelanotik. Blue nevi biasanya kecil dan simetris, namun dapat
juga menjadi besar dan bernodul.

b. Pemeriksaan Fisik
- Pada pemeriksaan fisik, inspeksi yang teliti terhadap lesi harus
dilakukan dengan baik. Dokumentasikan dimensi dan warna dari semua
lesi dan lokasinya. Ukuran nevus melanositik kongenital bervariasi dan
biasanya diklasifikasikan sebagai kecil (< 1 cm), intermediat (1-3 cm),
atau besar/giant (>3 cm).
- Nevus melanositik kongenital biasanya berpigmen, gelap dan coklat,
terutama pada lesi yang tipis. Sel dapat meluas dari tingkat epidermis ke
lemak subkutan. Lesi ini dapat memiliki banyak warna, dan kadang –
kadang sukar dibedakan dengan melanoma berdasarkan pemeriksaan
fisik sahaja
- Nevus melanositik kongenital seperti hamartoma, ia mengandung
predominan dari melanosit, dan dapat mempunyai penambahan folikel
rambut, adanya folikel dan pertambahan ukuran.
- Nevus melanositik didapat biasanya berdiameter kurang dari 1 cm dan
berpigmen merata. Namun beberapa tipe nevus melanositik seperti
Clark nevi mempunyai diameter lebih dari 1 cm.
- Junctional nevi berbentuk makula atau papular tipis, warnanya coklat
sampai dengan coklat kehitaman.
- Compound nevi dan intradermal nevi mempunyai tampilan dengan lesi
sedikit elevasi. Compound nevi biasanya lebih terang dari junctional
nevi dan bervariasi dari gelap sampai coklat terang. Beberapa
compound nevi mempunyai area pigmentasi gelap, lebih sering pada
lesi bekas

Gambar 3.3 Nevi pada palpebra superior sinistra

c. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium diindikasikan untuk evaluasi
nevus melanositik kongenital ataupun yang didapat. Teknik pencitraan
juga tidak dilakukan untuk evaluasi kebanyakan pasien dengan nevus
melanositik, namun dapat dipertimbangkan pada pasien nevus melanositik
kongenital multipel dengan kemungkinan melanosis neurokutaneus yang
melibatkan kulit di atas tulang belaang atau posterior dari kulit kepala
karena dapat dicurigakan risiko melanosis leptomeningeal.

Penatalaksanaan

Terapi medikamentosa tidak efektif dan tidak berperan dalam diagnosis


atau tatalaksana neoplasma jinak seperti nevus melanositik.

Nevus melanositik dapat diangkat dan dieksisi dengan operasi dengan


teknik biopsi eksisi, shave excision, electrodesiccation dan ektirpasi komplit,
dengan alasan kosmetik atau karena atas indikasi berdasarkan potensial biologik
lesi untuk menjadi maligna. Nevus melanositik yang diangkat karena alasan
kosmetik biasanya dilakukan eksisi shave atau tangensial, punch excision
dilakukan untuk lesi yang kecil, dan lesi yang besar mungkin memerlukan eksisi
komplit dengan penutupan sutura walaupun bersifat jinak karena lesi yang
melebihi diameter 1 cm sukar dilakukan dengan teknik shave excision.

Prognosis

Prognosis berhubungan dengan nevus melanositik tunggal adalah baik


karena lesi ini merupakan neoplasma jinak dengan tidak ada potensi mengalami
keganasan, kecuali evolusi menjadi melanoma terjadi. Pasien dengan nevus
melanositik multipel atau nevus yang berubah ukuran mempunyai potensi untuk
menjadi melanoma, dengan peningkatan risiko jika adanya perubahan ukuran atau
jumlah lesi.
Pasien harus diedukasi mengenai pemeriksaan sendiri terhadap nevus
melanositik tersebut dengan menggunakan pendekatan ABCDEF, di mana pasien
mengevaluasi asymmetry (asimetri bentuk lesi), border irregularity (batas/pinggir
lesi), colour (warna), diameter (diameter ukuran lesi), evolution (evolusi dari lesi)
dan funny looking, yang mengsugesti lesi berubah menjadi beda daripada lesi
lainnya. Nevus dapat berubah diameter, batas. Warna, dan dapat menjadi gatal
atau adanya perdarahan. Perubahan – perubahan ini memerlukan evaluasi untuk
mendeterminasi jika lesi berpotensi menjadi maligna.
Komplikasi

Tidak ada komplikasi yang diketahui dapat berhubungan langsung dengan


terjadinya nevus melanositik, namun intervensi bedah minor sewaktu biopsi atau
sewaktu eksisi nevus dapat menyebabkan komplikasi tertentu seperti infeksi atau
perdarahan.

B. Hemangioma Palpebra

Definisi

Hemangioma merupakan pertumbuhan hemartomatous yang terdiri dari sel-sel


endotel kapiler yang berproliferasi. Hemangioma ditemukan pada fase awal
pertumbuhan aktif pada bayi dengan periode selanjutnya berupa regresi dan
involusi (Skuta,2011).

Klasifikasi

Secara histologik hemangioma dibedakan berdasarkan besarnya pembuluh darah


yang terlibat menjadi 3 jenis yaitu: (Hamzah, 2005)

1. Hemangioma kapiler
hemangioma kapiler pada anak (nevus vaskulosus, strawberry nevus)

a. granuloma piogenik
b. cherry spot (ruby spot), angioma senilis
2. Hemangioma kavernosum
a. hemangioma kavernosum (matang)
b. hemangioma keratotik
c. hemartoma vaskuler
3. Teleangiektasis
a. nevus flameus
b. angiokeratoma
c. spider angioma
Dari segi praktisnya, para ahli memakai sistem pembagian sebagai berikut:
(Hamzah, 2005)

1) Hemangioma kapiler
2) Hemangioma kavernosum
3) Hemangioma campuran

Epidemiologi

Prevalensi hemangioma infantil ± 1-3% pada neonatus dan ± 10% pada bayi
sampai dengan umur 1 tahun. Lokasi tersering yaitu pada kepala dan leher (60%).
Faktor risiko yang telah teridentifikasi, terutama neonatus dengan berat badan
lahir di bawah 1.500 gram. Rasio kejadian perempuan dibanding laki-laki 3:1.
Hemangioma infantil lebih sering terjadi di ras Kaukasia daripada ras di Afrika
maupun Amerika.

Lesi hemangioma infantil tidak ada pada saat kelahiran. Seiring dengan
bertambahnya usia, risiko hemangioma infantil pada usia 5 bulan meningkat 50%,
pada usia 7 bulan meningkatkan 70%, dan 90% pada usia 9 bulan. Mereka
bermanifestasi pada bulan pertama kehidupan, menunjukkan fase proliferasi yang
cepat dan perlahan-lahan berinvolusi menuju bentuk lesi yang sempurna.

Etiologi dan Patofisiologi

Sampai saat ini, patogenesis terjadinya hemangioma masih belum


diketahui. Meskipun growth factor, hormonal, dan pengaruh mekanik
diperkirakan menjadi penyebab proliferasi abnormal pada jaringan hemangioma
tetapi penyebab utama yang menimbulkan defek pada hemangiogenesis masih
belum jelas dan belum terbukti sampai saat ini tentang pengaruh genetik.

Vaskularisasi kulit mulai terbentuk pada hari ke-35 gestasi, yang berlanjut sampai
beberapa bulan setelah lahir. Maturasi sistem vaskuler terjadi pada bulan ke-4
setelah lahir. Faktor angiogenik kemungkinan mempunyai peranan penting pada
fase proliferasi dan involusi hemangioma. Pertumbuhan endotel yang cepat pada
hemangioma mempunyai kemiripan dengan proliferasi kapiler pada tumor.

Proliferasi endotel dipengaruhi oleh agen angiogenik. Angiogenik bekerja melalui


2 cara yaitu:

1. Secara langsung mempengaruhi mitosis endotel pembuluh darah.


2. Secara tidak langsung mempengaruhi makrofag, sel mast, dan sel T helper.
Heparin yang dilepaskan makrofag menstimuli migrasi sel endotel dan
pertumbuhan kapiler. Di samping heparin sendiri berperan sebagai agen
angiogenesis. Efek angiogenesis ini dihambat oleh adanya protamin, kartilago,
dan kortikosteroid. Konsep inhibisi kortikosteroid ini diterapkan untuk terapi pada
beberapa jenis hemangioma pada fase involusi.

Angioplastin, fragmen internal plasminogen merupakan inhibitor poten


dan spesifik untuk proliferasi endotel. Makrofag menghasilkan stimulator ataupun
inhibitor angiogenesis. Pada fase proliferasi, jaringan hemangioma diinfiltrasi
oleh makrofag dan sel mast sedangkan pada fase involusi terdapat infiltrasi
monosit.

Diperkirakan infiltrasi makrofag dipengaruhi oleh monocyte chemo-


attractant protein-1 (MCP-1), suatu glikoprotein yang berperan sebagai
kemotaksis mediator. Zat ini dihasilkan oleh sel otot polos pembuluh darah pada
fase proliferasi tetapi tidak dihasilkan oleh hemangioma pada fase involusi
ataupun malformasi vaskuler. Keberadaan MCP-1 dapat di-down-regulasi oleh
deksametason dan interferon alfa. Interferon alfa terbukti menghambat migrasi
endotel yang disebabkan oleh stimulus kemotaksis. Hal ini memberikan efek
tambahan interferon alfa dalam menurunkan jumlah dan aktifitas makrofag.
Bukti-bukti di atas menjelaskan efek deksametason dan interferon alfa pada
hemangioma pada fase proliferasi.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis hemangioma berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Hemangioma


kapiler tampak beberapa hari sesudah lahir. Strawberry nevus terlihat sebagai
bercak merah yang makin lama makin besar. Warnanya menjadi merah menyala,
tegang, berbentuk lobuler, berbatas tegas, dan keras pada perabaan. Ukuran dan
dalamnya sangat bervariasi, ada yang superfisial berwarna merah terang dan ada
yang subkutan berwarna kebiru-biruan. Involusi spontan ditandai oleh
memucatnya warna di daerah sentral, lesi menjadi kurang tegang, dan lebih
mendatar (Mulliken,1997)

Hemangioma kavernosa tidak berbatas tegas, dapat berupa makula eritematosa


atau nodus yang berwarna merah sampai ungu. Biasanya merupakan tonjolan
yang timbul dari permukaan. Jika ditekan mengempis dan pucat lalu akan cepat
menggembung lagi jika dilepas dan kembali berwarna merah keunguan. Lesi
terdiri atas elemen vaskuler yang matang. Lesi ini jarang mengadakan involusi
spontan, kadang-kadang bersifat permanen (Mulliken, 1997).

Gambaran klinis hemangioma campuran merupakan gabungan dari jenis kapiler


dan kavernosum. Lesi berupa tumor yang lunak, berwarna merah kebiruan yang
pada perkembangannya dapat memberikan gambaran keratotik dan verukosa.
Sebagian besar ditemukan pada ekstremitas inferior dan biasanya unilateral
(Mulliken,1997).

Gambar 3.4 Hemangioma Kapiler (Mulliken, 1997).

Pemeriksaan Penunjang

Ketersediaan alat-alat canggih saat ini memungkinkan pencitraan massa


orbita untuk dibedakan secara non invasif dalam banyak kasus. Untuk evaluasi
diagnostik pada orbita, CT-Scan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap tulang
sedangkan MRI untuk jaringan lemak. USG juga dapat memberikan informasi
penting dalam diagnosis massa orbita (Skuta, 2011).

Jika diagnosis hemangioma belum jelas secara klinis, MRI sangat berguna
untuk membedakan hemangioma dari neurofibroma pleksiformis, malformasi
limfatik, dan rhabdomiosarkoma di mana masing-masing berhubungan dengan
pertumbuhan dan proliferasi cepat atau proptosis yang progresif. MRI atau USG
Doppler dapat menggambarkan perluasan tumor ke posterior jika tidak dapat
dipastikan secara klinis (Skuta, 2011).

Gambaran histopatologi tergantung stadium perkembangan hemangioma.


Lesi awal tampak banyak sel dengan sarang-sarang padat sel endotel dan selalu
berhubungan dengan pembentukan lumen vaskuler yang kecil. Lesi yang
terbentuk secara khas menunjukkan saluran kapiler yang berkembang dengan
baik, rata, dan mengandung endotel dengan konfigurasi lobuler. Lesi involusi
menunjukkan peningkatan fibrosis dan hialinisasi dinding kapiler dengan oklusi
lumen (Skuta, 2011).

Penatalaksanaan (Hamzah, 2005)

Terdapat 2 cara pengobatan pada hemangioma yaitu:

1. Terapi konservatif
Pada perjalanan alamiah lesi hemangioma akan mengalami pembesaran dalam
bulan-bulan pertama kemudian mencapai besar maksimum dan sesudah itu terjadi
regresi spontan sekitar umur 12 bulan. Lesi terus mengadakan regresi sampai
umur 5 tahun. Hemangioma strawberry sering tidak diterapi. Jika hemangioma ini
dibiarkan hilang sendiri, hasilnya kulit terlihat normal (Mulliken, 1997).

2. Terapi aktif
Hemangioma yang memerlukan terapi secara aktif antara lain adalah hemangioma
yang tumbuh pada organ vital (mata, telinga, tenggorokan), mengalami ulserasi,
perdarahan, infeksi, pertumbuhan cepat, dan deformitas jaringan (Hamzah, 2005).

a. Terapi kompresi
Terdapat 2 macam terapi kompresi yaitu continous compression
dengan menggunakan bebat elastik dan intermittent pneumatic compression
dengan menggunakan pompa Wright Linear. Diduga dengan penekanan yang
diberikan, akan terjadi pengosongan pembuluh darah yang menyebabkan
rusaknya sel-sel endotelial sehingga terjadi involusi dini dari hemangioma
(Hampton, 2008).

b. Terapi kortikosteroid
Steroid digunakan selama fase proliferatif tumor untuk menghentikan
pertumbuhan dan mempercepat involusi lesi. Steroid dapat digunakan secara
topikal, intralesi, atau sistemik. Krim clobetasol propionate 0,05% topikal
dapat digunakan pada lesi superfisial yang kecil. Injeksi intralesi kombinasi
antara steroid kerja panjang dan kerja singkat sering digunakan pada
hemangioma periorbita terlokalisir. Jika hemangioma difus atau meluas ke
posterior orbita, digunakan steroid sistemik dengan dosis anjuran prednison
atau prednisolon 2-5 mg/kg BB/hari. Terapi dengan kortikosteroid dalam dosis
besar kadang-kadang akan menimbulkan regresi pada lesi yang tumbuh cepat
(Skuta, 2011).

Steroid dihubungkan dengan banyak komplikasi sehingga perlu


dipertimbangkan. Supresi adrenal dan retardasi pertumbuhan dapat terjadi
pada semua cara penggunaan, termasuk krim topikal. Injeksi intralesi berisiko
menyebabkan emboli arteri retinalis bilateral, atrofi lemak subkutan linier, dan
depigmentasi palpebra. Imunisasi perlu ditunda pada anak-anak yang
mendapat terapi steroid dosis tinggi. Dianjurkan untuk berkonsultasi dengan
dokter spesialis anak (Skuta, 2012)

Kriteria pengobatan dengan kortikosteroid ialah:

- Jika melibatkan salah satu struktur yang vital.


- Tumbuh cepat dan mengadakan destruksi kosmetik.
- Secara mekanik mengadakan obstruksi orifisium.
- Banyak perdarahan dengan atau tanpa trombositopenia.
- Menyebabkan dekompensasio kardiovaskular (Hasan, 2000).
Hemangioma kavernosum yang tumbuh pada kelopak mata dan mengganggu
penglihatan umumnya diobati dengan steroid injeksi untuk mengurangi ukuran
lesi secara cepat sehingga penglihatan bisa pulih. Hemangioma kavernosum
atau campuran diobati jika steroid diberikan secara oral dan injeksi langsung
pada hemangioma. Penggunaan kortikosteroid peroral dalam waktu lama
dapat meningkatkan infeksi sistemik, tekanan darah, diabetes, iritasi lambung,
dan pertumbuhan terhambat.

c. Terapi pembedahan
Indikasi dilakukannya terapi pembedahan pada hemangioma adalah:

- Pertumbuhan terlalu cepat, misalnya dalam beberapa minggu lesi


menjadi 3-4 kali lebih besar.
- Hemangioma raksasa dengan trombositopenia.
- Tidak ada regresi spontan, misalnya tidak terjadi pengecilan sesudah
6-7 tahun (Oski, 1999).
Eksisi hemangioma periorbita dapat dilakukan dengan mudah pada
beberapa lesi yang terlokalisir dengan baik. Pada kasus lain, pembedahan
rekonstruksi dapat dilakukan bertahun-tahun setelah terapi medis.

Embolisasi sebelum pembedahan dapat sangat berguna jika


hemangioma yang akan dieksisi mempunyai ukuran yang besar dan lokasi
yang sulit dijangkau dengan pembedahan. Embolisasi akan mengecilkan
ukuran dan mengurangi risiko perdarahan pada saat pembedahan
(Hamzah,2005).

d. Terapi radiasi
Pengobatan radiasi pada tahun-tahun terakhir ini sudah banyak
ditinggalkan karena:

- Penyinaran berakibat kurang baik pada anak-anak yang pertumbuhan


tulangnya masih sangat aktif.
- Komplikasi berupa keganasan yang terjadi pada jangka panjang.
- Menimbulkan fibrosis pada kulit yang masih sehat yang akan
menyulitkan jika diperlukan suatu tindakan (Hamzah,2005).
e. Terapi sklerotik
Terapi ini diberikan dengan cara menyuntikan bahan sklerotik pada
lesi hemangioma, misalnya dengan namor rhocate 50%, HCl kinin 20%, Na-
salisilat 30%, atau larutan NaCl hipertonik. Namun, cara ini sering tidak
disukai karena rasa nyeri dan menimbulkan sikatrik (Hamzah,2005).

f. Terapi pembekuan
Aplikasi dingin dengan memakai nitrogen cair. Dianggap cukup efektif
diberikan pada hemangioma tipe superfisial tetapi ini jarang dilakukan karena
dilaporkan menyebakan sikatrik paska terapi.

g. Terapi embolisasi
Embolisasi merupakan teknik memposisikan bahan yang bersifat
trombus ke dalam lumen pembuluh darah melalui kateter arteri dengan
panduan fluoroskopi. Embolisasi dilakukan jika modalitas terapi yang lain
tidak dapat dilakukan atau sebagai persiapan pembedahan. Pembuntuan
pembuluh darah ini dapat bersifat permanen, semi permanen atau sementara,
tergantung jenis bahan yang digunakan. Banyak bahan embolisasi yang
digunakan, antara lain methacrylate spheres, cyanoacrylate, balon kateter,
silikon, wol, katun, spon gelatin, dan spon polyvinyl alcohol (Oski,1999).

h. Terapi laser
Penyinaran hemangioma dengan laser dapat dilakukan dengan
menggunakan pulsed dye laser (PDL) di mana jenis laser ini dianggap efektif
terutama untuk jenis Port-Wine stain. Pulsed-dye laser dapat digunakan untuk
mengobati hemangioma superfisial dengan beberapa komplikasi tetapi berefek
kecil terhadap komponen tumor yang lebih dalam. Jenis laser ini memiliki
keuntungan jika dibandingkan dengan jenis laser lain karena efek keloid yang
ditimbulkan minimal (Mulliken,1997).

i. Kemoterapi
Vinkristin merupakan terapi lini kedua lainnya yang dapat digunakan
pada anak-anak yang tidak berhasil diterapi dengan kortikosteroid dan efektif
pada anak-anak yang menderita sindrom Kassabach Merritt. Vinkristin
diberikan secara intravena dengan angka keberhasilan lebih dari 80%. Efek
samping dari terapi ini adalah neuropati perifer, konstipasi, dan rambut rontok.
Siklofosfamid jarang digunakan pada tumor vaskuler jinak karena mempunyai
efek toksisitas yang sangat besar (Mulliken, 1997).

Komplikasi

Morbiditas hemangioma palpebra sangat bergantung dari seberapa besar


ukurannya mengisi rongga mata. Komplikasi yang paling sering dari hemangioma
adalah ambliopia deprivasi pada mata yang terkena jika lesi cukup besar untuk
menghalangi aksis visual. Hal ini dapat ditemukan pada 43-60% pasien dengan
hemangioma palpebra. Jika lesi cukup besar untuk menyebabkan distorsi kornea
dan astigmatisma maka ambliopia anisometrik dapat terjadi.Selain itu, perdarahan
juga merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Penyebabnya ialah trauma
dari luar atau ruptur spontan dinding pembuluh darah karena tipisnya kulit di atas
permukaan hemangioma sedangkan pembuluh darah di bawahnya terus tumbuh
(Skuta, 2011).

Ulkus dapat menimbulkan rasa nyeri dan meningkatkan risiko infeksi,


perdarahan, dan sikatrik. Ulkus merupakan hasil dari nekrosis. Ulkus dapat juga
terjadi akibat rupture (Skuta, 2012).

C. Xanthelasma

Definisi

Xanthelasma adalah salah satu bentuk xantoma planum, merupakan jenis


yang paling sering dijumpai dari beberapa tipe klinis xantoma yang dikenal.
Selain itu xanthelasma diartikan pula sebagai kumpulan kolesterol di bawah kulit
dengan batas tegas berwarna kekuningan biasanya di permukaan anterior palpebra
sehingga sering disebut xanthelasma palpebra (Vaughan, 2010)

Epidemiologi
Secara global xanthelasma juga merupakan kasus jarang di populasi
umum. Pada studi kasus pasien dengan xanthomatosis, xanthelasma lebih sering
dijumpai pada wanita dengan 32% dan 17,4% pada laki-laki. Onset timbulnya
xanthelasma berkisar antara 15-73 tahun dengan puncak pada dekade 4-5.
Xanthelasma jarang ditemukan pada anak-anak dan remaja (Roy, 2008).

Manifestasi Klinis

Timbul plak iregular di kulit, warna kekuningan sering kali di sekitar


mata. Ukuran xanthelasma bervariasi berkisar antara 2-30 mm, ada kalanya
simetris, dan cenderung bersifat permanen. Pasien tidak mengeluh gatal, biasanya
mengeluh untuk alasan estetika. Xanthelasma palpebra biasanya terdapat di sisi
medial kelopak mata atas. Lesi berwarna kekuningan dan lembut berupa plak
berisi deposit lemak dengan batas tegas. Lesi akan bertambah besar dan
bertambah jumlahnya. Biasanya lesi-lesi ini tidak mempengaruhi fungsi kelopak
mata tetapi ptosis harus diperiksa jika ditemukan (Hampton R, 2012).

Gambar 3.5 Xanthelasma (Hampton Roy, 2012)

Patofisiologi

Setengah pasien xanthelasma mempunyai kelainan lipid. Erupsi xanthoma


dapat ditemui pada hiperlipidemia primer dan sekunder. Kelainan genetik primer
termasuk dislipoproteinemia, hipertrigliseridemia, dan defisiensi lipase lipoprotein
yang diturunkan. Diabetes yang tidak terkontrol juga menyebabkan hiperlipidemia
sekunder. Xanthelasma juga bisa terjadi pada pasien dengan lipid normal dalam
darah yang mempunyai HDL kolesterol rendah atau kelainan lain lipoprotein
(Hampton Roy, 2008).

Pemeriksaan Laboratorium

Karena 50% pasien dengan xanthelasma mempunyai gangguan lipid


disarankan untuk pemeriksaan plasma lipid juga HDL dan LDL. Xanthelasma
biasanya dapat didiagnosis dengan jelas secara klinis dan jarang kelainan lain
memberi gambaran klinis sama. Jika ragu, eksisi bedah dan analisis PA sebaiknya
dilakukan (Hampton Roy, 2008).

Pemeriksaan Histologi

Xanthelasma tersusun atas sel-sel xanthoma. Sel-sel ini merupakan


histiosit dengan deposit lemak intraseluler terutama dalam retikuler dermis atas.
Lipid utama yang disimpan pada hiperlipidemia dan xanthelasma normolipid
adalah kolesterol. Kebanyakan kolesterol ini adalah yang teresterifikasi (Hampton
Roy, 2008).

Tatalaksana

Pembatasan diet dan penggunaan obat-obatan penurun lipid serum hanya


memberikan respon pengobatan yang kecil terhadap xanthelasma. Terdapat
beberapa pilihan untuk menghilangkan xanthelasma palpebra yaitu eksisi bedah,
argon dan karbondioksida ablasi laser, kauterisasi kimia, elektrodesikasi, serta
krioterapi (Vaughan, 2010).

Eksisi bedah

1. Pada lesi liniar yang kecil, eksisi lebih disarankan karena skar akan
berbaur dengan jaringan sekitar.
2. Pada eksisi lebih tebal, kelopak mata bawah cenderung mudah terjadi
skar karena jaringan yang diambil juga lebih tebal. Eksisi sederhana
pada lesi yang lebih luas berisiko menyebabkan retraksi kelopak mata
dan ektropion sehingga butuh cara rekonstruksi lain. Pengangkatan
xanthelasma sudah menjadi bagian dari bedah kosmetik.
3. Pengangkatan dengan laser karbondioksida dan argon
4. Menambah hemostasis, memberikan visualisasi lebih baik, tanpa
penjahitan, dan lebih cepat. Namun, skar dan perubahan pigmen dapat
terjadi(Hampton Roy, 2012).
Kauterisasi kimia.

Penggunaan chloracetic acid efektif untuk menghilangkan xanthelasma.


Zat ini mengendapkan dan mengkoagulasikan protein dan lipid. Monochloroacetic
acid, dichloroacetic acid, dan trichloroacetic acid dilaporkan memberi hasil yang
baik. Haygood menggunakan kurang dari 0.01 ml dari 100% dichloracetic acid
dengan hasil sempurna dan skar minimal (Hampton Roy, 2012).

Elektrodesikasi dan krioterapi

Dapat menghancurkan xanthelasma superfisial tetapi butuh terapi


berulang. Krioterapi menyebabkan skar dan hipopigmentasi (Hampton Roy,
2012).

Prognosis

Kekambuhan sering terjadi. Pasien harus mengetahui bahwa dari


penelitian yang dilakukan pada eksisi bedah dapat terjadi kekambuhan pada 40%
pasien. Persentase ini lebih tinggi dengan eksisi sekunder. Kegagalan ini terjadi
pada tahun pertama dengan persentase 26% serta lebih sering terjadi pada pasien
dengan sindrom hiperlipidemia dan jika terjadi pada 4 kelopak mata sekaligus
(Hampton Roy, 2012).

3.1.2 Tumor Ganas Palpebra

A. Karsinoma Sel Basal Kelopak Mata

Definisi

Karsinoma Sel Basal (KSB) kelopak mata adalah kanker yang paling
sering terjadi pada kelopak mata (hampir 90%). Kejadian KSB paling sering
terdapat pada kelopak mata bawah (hampir 70%), tetapi masi bisa muncul pada
bagian tepi kelopak, sudut mata, kulit alis dan bagian-bagian lain yang berdekatan
pada wajah. Kanker jenis ini hampir tidak pernah menyebar ke organ tubuh lain,
namun dapat menyebabkan kerusakan jaringan sampai kecacatan akibat
pertumbuhan tumor ke jaringan sekitarnya.
Etiologi
 Paparan radiasi ultraviolet dari sinar matahari (sinar UVB)
 Paparan arsen melalui saluran perncernaan, terutama pada pengobatan
pasien asma dan psoriasis.
 Pasien yang sistem kekebalan tubuhnya menurun (imunosupressi), seperti
pada pasien penerima transplantasi organ dan pasien AIDS
 Xeroderma pigmentosum merupakan penyakit genetik yang menyebabkan
ketidakmampuan DNA untuk memperbaiki kerusakan genetik akibat sinar
UV
 Riwayat mengalami penyakit yang sama sebelumnya bisa meningkatkan
resiko terjadinya karsinoma sel basal ini (RSCM, 2012)

Manifestasi Klinis
- Tumor ini tumbh lambat, jarang mengenai jaringan yang lebih dalam
karena terdapat fasia yang bertindak sebagai barier. Pada keadaan yang
sangat lanjut dapat berkembang sampai ke orbita, sinus paranasalis, rongga
hidung dan rongga tengkorak.
- Tidak nyeri
- Epifora , dapat terjadi pada karsinoma sel basal yang terletak di kantus
internus dimana tumor menginfiltrasi pungtum dan duktus nasolakrimalis.
- Penurunan visus sampai terjadi kebutaaan, pada pertumbhan yang lanjut
tumor akan merusak kelopak mata bawah dan atas serta masuk ke rongga
orbita. Dalam hal ini akan terjadi keratitis eksposur karena kelopak mata
atas tidak berfungsi lagi, berlanjut menjadi ulkus kornea samapi
endoftalmitis (Djuanda, 2007).
Gambar 3.6 Karsinoma Sel Basal pada palpebral
inferior orbita sinistra (RSCM Kirana, 2012)

Diagnosis
- Inspeksi
Tidak terdapat gambaran yang khas pada karsinoma sel basal ini, tetapi
pada umumnya tampak sebagai tumor dengan pembesaran palpebr
mendatar dengan tepi yang agak meninggi serta berlilin. Di tengahnya
sering berbentuk ulkus dengan tepi bernodul yang disebut ulkus roden.

- Histopatologi
Pemeriksaan jaringan palpeb tumor merupakan pemeriksaan penentu
palpebra pasti (PDT, 2006).

Diagnosa Banding
Terdapatnya gambaran klinis karsinoma sel basal yang bervariasi, maka sukar
dibedakan dengan tumor ganas kelopak mata yang lain misalnya karsinoma
epidermoid, melanoma maligna dan adenokarsinoma kelenjar kelopak mata tanpa
pemeriksaan histopatologi jaringan tumor, oleh karena itu, untuk membedakan
secara pasti haruslah berdasarkan pemeriksaan histopatologi jaringan tumor
(PDT,2006)

Terapi
Terapi pembedahan merupakan terapi pilihan. Tumor yang terbatas dikelopak
mata, dilakukan eksisi luar diikuti dengan tindakan rekonstruksi. Eksisi dibuat 4-
5mm dari tepi tumor secara makroskopik. Tumor yang sudah mengadakan invasi
ke jaringan orbita dilakukan eksenterasi orbita.
Terapi radiasi diberikan pada tumor yang luas. Karena luasnya ini maka
tindakan rekonstruksi setelah eksisi sukar dikerjakan dan akan menyebabkan
gangguan dari fungsi kelopak mata. Kegunaan radiasi dalam hal ini ialah untuk
mengecilkan tumor sehingga memudahkan tindakan rekonstruksi dan tidak
menyebabkan gangguan fungsi kelopak mata (PDT, 2006)

B. Karsinoma Sel Skuamosa

Definisi
Karsinoma Sel Skuamosa (KSS) adalah suatu tumor ganas kulit non
melanotic yang berasal dari pertumbuhan Palpebral sel skuamosa epidermis .
Karsinoma sel skuamosa dibedakan dari neoplasia insitu, dimana pada karsinoma
sudah terjadi invasi melewati lapisan palpebra basal (AAO, 2008).

Epidemiologi
Insidensi KSS bervariasi berdasarkan geografis, ras, usia dan kaitannya
dengan HIV/AIDS. Secara internasional insidennya bervariasi secara geografis,
palpeb 0,03-3,5/100.000 penduduk/thn. Individu yang tinggal dekat garis ekuator
cenderung mengalami KSS pada usia yang lebih muda daripada yang tinggal jauh
dari garis ekuator. Karsinoma sel skuamosa lebih dominan mengenai ras kaukasia.
Karsinoma sel skuamosa konjungtiva lebih sering terjadi pada laki laki (75%)
dibandingkan wanita (25%) dan cenderung mengenai umur yang lebih tua, namun
dapat terjadi pada usia lebih muda pada pasien dengan xeroderma pigmentosum
dan pada daerah tropis. Pasien dengan AIDS mempunyai resiko l3x untuk
berkembangnya keganasan epitel ini (AAO, 2008).

Etiologi, Faktor Resiko, dan Patogenesis


Etiologi KSS belum diketahui, namun diduga bahwa terjadi maturasi
abnormal epitel konjungtiva akibat kombinasi dari beberapa faktor resiko, seperti :

- Paparan sinar ultra violet yang berlebihan.


- HPV tipe 16 dan l8, diketahui dapat menyebabkan dysplasia pada lapisan
skuamosa epitel.
- Individu dengan HIV positive dan pasien dengan Xeroderma
Pigmentosum.
- Pada xeroderma pigmentosum, terjadi gangguan kongenital dimana terjadi
kegagalan penyembuhan DNA akibat pengaruh UV.
- Faktor resiko lainnya diduga karena inflamasi yang lama, asap rokok dan
pemakaian lensa kontak yang lama (AAO, 2008).

Diagnosis
Pasien dengan karsinoma sel skuamosa (KSS) sering adanya massa di
mata, yang bertambah ukurannya dengan cepat. Sering pula ditemui keluhan
kemerahan atau iritasi. Tumor ini sering terdapat di daerah interpalpebral dekat
nasal atau temporal limbus, namun dapat juga mengenai konjungtiva atau kornea.

Gambaran klinis dari karsinoma sel basal bervariasi. Terdapat 3 tipe


gambaran klinis ; yaitu:

 Lesi Leukoplakic; tampak sebagai penebalan lapisan skuamosa dengan


lapisan plak hyperkeratosis berwarna putih.(A)
 Lesi papilomatous; tampak sebagai massa lunak dengan vaskularisasi yang
banyak.(B)
 Lesi gelatinosa; tampak sebagai penebalan lapisan gelatinosa dengan batas
tidak jelas, yang mana tidak sejelas lesi leukoplakic maupun lesi
papilomatous.

Gambar 3.7 Karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva


Pada palpebral, KSS mempunyai karakteristik klinis yang bervariasi dan juga
tidak memiliki tanda tanda patognomonik. Terdapat 3 bentuk KSS pada palpebra:

 KSS Nodular; mempunyai karakteristik berupa nodul hiperkeratotik yang


dapat berkembang menjadi erosi berkrusta dan fisura.
 KSS Ulcerative; mempunyai dasar kemerahan, dengan batas tegas.
Mempunyai pinggiran yang menonjol, namun pnggiran keperakkan jarang
ditemukan
 Cutaneus Horn; dengan KSS pada dasarnya.
Jika terdapat kecurigaan suatu keganasan sel skuamosa konjungtiva, biopsi
eksisional dan pemeriksaan histopatologi jaringan merupakan pemeriksaan baku
emas. Untuk lesi yang sangat besar, biopsi insisional dapat dilakukan, namun cara
yang tepat dan manipulasi minimal dari jaringan sekitarnya penting untuk
mencegah penyebaran tumor (AAO, 2008).

Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan pada Karsinoma sel skuamosa


konjungtiva. Pewarnaan Rose Bengal dapat membantu unhrk menentukan
perluasan lesi yang tepat. Pemeriksaan dengan slitlamp, gonioskopi dilakukan jika
curiga adanya keterlibatan intraokuler. Palpasi pembesaran kelenjar limfe
dilakukan untuk mencari metastase regional. CT Scan dan MRI dapat membantu
jika ada invasi ke orbita (AAO, 2008).

Penatalaksanaan

Terapi pilihan dari karsinoma sel skuamous konjungtiva adalah eksisi luas.
Dianjurkan untuk batas eksisi 2-3 mm dari tumor yang terlihat. Frozen section
dapat menilai batas lateral eksisi namun tidak dapat membantu menentukan batas
dalam. Setelah eksisi dapat dilakukan krioterapi pada batas konjungtiva yang
tinggal dan dasar lesi untuk menurunkan angka rekurensi. Krioterapi dapat
menghancurkan sel tumor melalui penghancuran oleh dingin sama seperti yang
diakibatkan oleh iskemia lokal.

Radiasi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant, pada lesi yang luas
dengan batas yang tidak jelas dan sebagai terapi paliatif pada kasus yang tidak
dapat ditoleransi dengan operasi. Enukleasi diindikasikan jika terdapat perluasan
ke intraokuler dan untuk kasus lanjut dengan keterlibatan orbit4 eksenterasi
adalah prosedur pilihan

Terapi dengan anti metabolit 5FU (5 Fluorouracil) dan Mytomicin C


(MMC) telah digunakan sebagai terapi adjuvant dalarn manajemen keganasan
konjungtiva. Obat ini diindikasikan pada lesi lesi rekuren setelah eksisi primer,
batas yang tidak bebas tumor pada pemeriksaan histopatologi dan lesi yang difus
(AAO, 2008).

Pencegahan

Untuk pencegahan KSS, dapat dilakukan melalui tindakan maupun dengan


obat obatan kemoprotektif. Secara tindakan yaitu dengan mengurangi paparan
terhadap UV, baik dengan penggunaan tabir surya ataupun dengan menggunakan
pelindung tubuh seperti pakaian berlengan panjang. Obat obatan kemoprotektif
berupa konsumsi asam retinoat (vitamin A) yang dapat menghambat pertumbuhan
KSS secara invitro, dan menurunkan angka kejadian KSS pada populasi beresiko
tinggi seperti pada penderita Xeroderma pigmentosum (AAO,2008).

Komplikasi

Komplikasi utama adalah rekurensi, yang umumnya terjadi dalam tahun


pertama setelah eksisi, tapi juga bisa terlambat sampai 5 tahun. Rekurensi jarang
terjadi pada eksisi yang komplit. Temuan histopatologi dan batas eksisi juga
mempengaruhi angka rekurensi. Dengan eksisi lengkap, angka rekurensi kurang
dari l0%. Selain itu, komplikasi paling sering adalah invasi intraokuler dan
metastase, umumnya melalui kelenjar getah bening preaurikuler dan servikal
(AAO, 2008)

Prognosis

Karsinoma sel skuamosa konjungtiva merupakan keganasan tipe low grade


malignancy. Prognosis umumnya baik, namun hal itu juga terganrung pada ukuran
lesi, temuan histopatologis,dan eksisi yang komplit (AAO, 2008).

3.5 TUMOR KELENJAR LAKRIMALIS


Lima puluh persen massa terdapat di kelenjar lakrimalis adalah tumor epitel;
separuh dari jumlah itu bersifat ganas.

Massa peradangan dan tumor limfoproliferatif merupakan penyebab 50% lainnya.

 . Pleomorphic adenoma (Benign mixed tumor)


o Merupakan tumor jinak biasa muncul pada usia 40-50 tahun.
Gambaran Klinis: Proptosis, displacement bola mata ke inferior
medial.
 Malignant mixed tumor
o Merupakan perkembangan lanjut dari benign mixed tumor atau
rekurensi dari benign mixed tumor yang pengangkatannya tidak
bersih
 Adenoid cystic carsinoma
o Merupakan tumor ganas yang terbanyak . Gejala klinis selain
proptosis juga nyeri karena invasi tumor perineural dan destruksi
tulang.
Tumor epitel yang paling sering adalah adenoma pleomorfik (tumor
campuran jinak).Tumor ganas pada kelenjar lakrimal ini harus dicurigai apabila
pasien datang dengan nyeri dan perubahan tulang destruktif tampak pada
pemeriksaan dengan sinar X (Lita, 2005).

Gambar 3.8 tumor kelenjar lakrimalis orbita dextra (Lita, 2005).

3.6 TUMOR MELANOSITIK INTRAOKULAR

3.6.1 Melanositoma
Melanositoma merupakan tumor yang jarang, memiliki karakteristik yang
luas, bentukan polyhedral, nucleus yang kecil; dan sitoplasmanya terisi granula-
granula melanin. Sel-sel dalam melanoma iris yang dapat berada di bilik mata
depan dapat menyebabkan glaucoma. Melanositoma dari korpus siliar biasanya
tidak dapat terlihat secara klinis karena lokasinya yang berada di perifer. Dalam
beberapa kasus, ekstensi dari tumor ke ekstra skleral menuju ke kanal
pembuangan dapat muncul sebagai pigmentasi gelap, dan dapat berupa massa
terfiksasi pada subkonjungtiva. Melanositoma pada koroid muncul sebagai
elevasi, tumor yang terpigmentasi, dan nevus atau melanoma (AAO, 2008).

3.6.2 Nevus Iris

Gambar 3.9 Nevus Iris, manifestasi klinis. Lesi ini hanya mengenai sedikit
permukaan iris dan lesi berwarna coklat homogeny (AAO, 2008)

Secara umum, nevus iris timbul sebagai lesi pigmentasi pada stroma iris
dengan distorsi susunan anatomi iris yang minimal. Insidensi nevi iris kadang
kurang menyakinkan karena banyak produksi lesi yang tidak menunjukkan tanda
dan gejala yang secara rutin dikenali melalui pemeriksaan oftalmologi. Bentuk
Nevi iris:

1. Circumscribed Iris Nevus: tipe nodular, termasuk bagian dari melanoma


iris yang berlainan.
2. Diffuse Iris Nevus: mungkin melibatkan seluruh sector dan walaupun
jarang bisa mengenai seluruh iris. Dalam beberapa kasus iris nevus
menyebabkan ektropion iris dan katarak sektoral. Insidensi kejadian nevus
iris lebih tinggi pada pasien dengan neurofibroma.
Nevus iris di evaluasi lebih baik dengan menggunakan
biomikroskopik slit-lamp digabungkan dengan penggunaan gonioskopi
untuk mengevaluasi sudut bilik mata. Perhatian secara spesifik seharusnya
diberikan bila ada lesi di dalam struktur sudut bilik mata untuk mendeteksi
awal adanya tumor pada corpus siliaris. Diagnosis banding yang mungkin
dari nevus iris adalah melanoma iris. Ketika pasien sudah didiagnosis
sebagai nevus iris maka diperlukan observasi rutin dan reevaluasi serial
diindikasikan. Evaluasi klinik dari nevus iris meliputi fotografi slitlamp
dan biomikroskopi ultrasonografi frekuensi tinggi. Nevi iris biasanya tidak
membutuhkan terapi apabila tidak ada tanda-tanda menuju keganasan,
tetapi jika tersangka keganasan maka perjalanan penyakit harus diikuti
dengan baik dan dievaluasi fotografi untuk mengevaluasi pertumbuhannya
(AAO, 2008)

3.6.3 Nevus Corpus Siliar Atau Koroid

Nevi pada corpus siliaris kadang-kadang secara tidak sengaja ditemukan


pada saat pemeriksaan histopatologi menyeluruh dari bola mata yang didapatkan
dari operasi enukleasi untuk penyakit atau alasan lain. Nevi koroid mungkin
timbul pada lebih dari 7% dari populasi. Dalam kasus yang lain, nevus ini tidak
memiliki tanda dan gejala klinik dan bisa dikenali melalui pemeriksaan
oftalmologi rutin. Nevus koroidal yang khas muncul sebagai lesi pigmentasi yang
datar atau menimbul sedikit (abu-abu hingga coklat) pada koroid dengan batas
yang tidak jelas. Beberapa nevus koroid tidak mengandung melanosit dan tampak
kurang nyata. Nevi koroid kemungkinan besar terjadi bersamaan dengan
gangguan pada RPE (Retinal Pigmen Epitelium), detasemen serous, drusen,
membrane neovaskularisasi koroid, dan pigmen oranye; dan nevus ini dapat
menimbulkan defek jaras visual (AAO, 2008).

Pada fluorescein angiografi. Nevi koroid akan muncul sebagai


hipofluoresce atau hiperfluoresce, tergantung dari penemuan berhubungan yang
ditemui. Melanositosis okular dan okulodermal merupakan factor predisposisi
terhadap keganasan uveal dengan estimasi yang lebih banyak berisiko adalah
populasi orang kulit putih. Nevi koroid dibedakan dari melanoma koroid dari
evaluasi koroid dan pemeriksaan penunjang yang lain. Tidak ada manifestasi
klinik tunggal yang patognomonik dalam membedakan apakah lesi melanositik
koroid ini jinak atau ganas. Diagnosis banding dari lesi pigmentasi intraocular
fundus yang umumnya dijumpai adalah sebagai berikut:

- Nevus koroid
- Melanoma maligna
- Skar disciformis atipikal berhubungan dengan Age-related macular
degeneration (AMD)
- Hemorragik suprakoroid
- Hiperplasia Retinal Pigmen Epitelium
- Congenital Hypertrophy of the Retinal Pigment Epithelium (CHRPE)
- Hemangioma koroidal dengan hiperpigmentasi RPE
- Melanositoma
- Karsinoma metastatic dengan hiperpigmentasi RPE
- Osteoma koroidal (AAO, 2008).
Sebenarnya, semua tumor melanositik koroid yang lebih tebal dari 3 mm
disebut melanoma, dan semua lesi melanositik yang tebalnya kurang dari 1 mm
disebut nevi. Banyak lesi yang tebalnya 1-2 mm (diameter apical) kemungkinan
jinak walaupun berisiko menjadi ganas. Sulit untuk mengklasifikasikan secara
tepat tumor dengan diameter 1-2 mm termasuk jinak atau ganas. Lesi datar
dengan diameter basal 10 mm atau kurang hampir selalu jinak. Resiko keganasan
meningkat untuk lesi yang memiliki diameter basal lebih dari 10 mm. Faktor
risiko klinik terhadap penyebaran lesi melanositik koroid telah di karakteristikan
dengan baik dan termasuk:

- Gejala klinis subjektif seperti: metamorfopsia, fotopsia, penurunan


lapang pandang
- Adanya pigmentasi koroid berwarna orange
- Diikuti dengan cairan subretinal
- Ukuran yang bertambah besar
- Lokasinya pada jukstapapilar
- Ketiadaan drusen atau perubahan RPE
- Pada fotografi fluorescein ditemukan titik hitam
- Pada USG ditemukan gambaran homogeny (AAO, 2008)
Jika pada pemeriksaan tersebut ditemukan penyebaran yang luas, maka
perubahan menuju keganasan harus dipikirkan.Penatalaksanaan yang
direkomendasikan untuk nevi koroid adalah dengan pemantauan secara rutin.

Gambar 3.10. A. Nevus koroid dengan penampakan drusen, di bawah arcus


retinovascular bagian temporal bawah. B. Nevus koroid ukuran sedang dengan
penampakan drusen, pada papil nervus optic sebelah superior (AAO, 2008)

3.7 TUMOR PADA RETINA

3.7.1 Retinoblastoma

Definisi

Retinoblastoma dalah keganasan intraokular primer yang paling sering pada bayi
dan anak dan merupakan tumor neuroblastik yang secara biologi mirip dengan
neuroblastoma dan medulloblastoma (AAO,2009).

Epidemiologi
Retinoblastoma adalah tumor intraokular yang paling sering pada bayi dan
anak yang berjumlah sekitar 3% dari seluruh tumor pada anak. Kasus
Retinoblastoma bilateral secara khas didiagnosis pada tahun pertama kehidupan
dalam keluarga dan pada kasus sporadik unilateral di diagnosis antara umur 1–3
tahun. Onset diatas 5 tahun jarang terjadi (AAO,2009).

Frekuensi Retinoblastoma 1:14.000 sampai 1:20.000 kelahiran hidup,


tergantung negara. Di Amerika Serikat diperkirakan 250-300 kasus baru
Retinoblastoma setiap tahun. Di Mexico dilaporkan 6-8 kasus per juta populasi
dibandingkan dengan Amerika Serikat sebanyak 4 kasus per juta populasi
(AAO,2009)..

Epidemiologi retinoblastoma

- Tumor intraokular paling sering pada anak


- Tumor intraokular ketiga paling sering dari seluruh tumor intraokular
setelah melanoma dan metastasis pada seluruh populasi
- Insiden 1:14.000 – 1:20.000 kelahiran hidup
- 90% dijumpai sebelum umur 3 tahun
- Terjadi sama pada laki-laki dan perempuan
- Terjadi sama pada mata kiri dan kanan
- Tidak ada predileksi ras
- 60%-70% unilateral (rata-rata umur saat diagnosis 24 bulan)
- 30%-40% bilateral (rata-rata umur saat diagnosis 14 bulan) (AAO, 2009).
Etiologi

Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen RB1, yang terletak pada


lengan panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB, yang
berfungsi sebagai supresor pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang
terikat pada DNA (Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada
transisi dari fase G1 sampai fase S. Jadi mengakibatkan perubahan keganasan dari
sel retina primitif sebelum diferensiasi berakhir (AAO,2009).
Retinoblastoma normal yang terdapat pada semua orang adalah suatu gen
supresor atau anti-onkogen. Individu dengan penyakit yang herediter memiliki
satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel
retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada
bentuk penyakit yang nonherediter, kedua alel gen Retinoblastoma normal di sel
retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh mutasi spontan (Yanoff, 2009).

Patofisiologi

Teori tentang histogenesis dari retinoblastoma yang paling banyak dipakai


umumnya berasal dari sel prekursor multipotensial (mutasi pada lengan panjang
kromosom pita 13, yaitu 13q14 yang dapat berkembang pada beberapa sel retina
dalam atau luar. Pada intraokular, tumor tersebut dapat memperlihatkan berbagai
pola pertumbuhan (Yanoff, 2009).

Pola Penyebaran Tumor

1. Pola pertumbuhan

Retinoblastoma intraokular dapat menampakkan sejumlah pola


pertumbuhan, pada pola pertumbuhan endofitik, ini tampak sebagai gambaran
massa putih sampai coklat muda yang menembus membran limitan interna.
Retinoblastoma endofitik kadang berhubungan dengan vitreus seeding. Sel-sel
dari retinoblastoma yang masih dapat hidup terlepas dalam vitreous dan ruang sub
retina dan biasanya dapat menimbulkan perluasan tumor melalui mata. Vitreous
seeding sebagian kecil meluas memberikan gambaran klinis mirip endoftalmitis,
vitreous seeding mungkin juga memasuki bilik mata depan, yang dapat berkumpul
di iris membentuk nodule atau menempati bagian inferior membentuk
pseudohipopion (AAO, 2009).

Tumor eksofitik biasanya kuning keputihan dan terjadi pada ruang


subretinal, yang mengenai pembuluh darah retina dan sering kali terjadi
peningkatan diameter pembuluh darah dengan warna lebih pekat. Pertumbuhan
retinoblastoma eksofitik sering dihubungkan dengan akumulasi cairan subretina
yang dapat mengaburkan tumor dan sangat mirip ablasio retina eksudatif yang
memberi kesan suatu Coats disease lanjut. Sel retinoblastoma mempunyai
kemampuan untuk implan dimana sebelumnya jaringan retina tidak terlibat dan
tumbuh. Dengan demikian membuat kesan multisentris pada mata dengan hanya
tumor primer tunggal.Sebagaimana tumor tumbuh, fokus kalsifikasi yang
berkembang memberikan gambar khas chalky white appearance (AAO, 2009).

2. Invasi saraf optikus

Penyebaran tumor sepanjang ruang sub araknoid ke otak. Sel retinoblastoma


paling sering keluar dari mata dengan menginvasi saraf optikus dan meluas
kedalam ruang sub aracnoid (AAO, 2009).

3. Diffuse infiltration retina

Retinoblastoma yang tumbuh menginfiltrasi luas yang biasanya unilateral,


nonherediter, dan ditemukan pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pada
tumor dijumpai adanya injeksi konjungtiva, anterior chamber seeding,
pseudohipopion, gumpalan besar sel vitreous dan tumor yang menginfiltrasi
retina, karena masa tumor yang dijumpai tidak jelas, diagnosis sering dikacaukan
dengan keadaan inflamasi seperti pada uveitis intermediat yang tidak diketahui
etiologinya. Glaukoma sekunder dan rubeosis iridis terjadi pada sekitar 50% kasus
(AAO, 2009).

4. Penyebaran metastasis ke kelenjar limfe regional, paru, otak dan tulang.

Sel tumor mungkin juga melewati kanal atau melalui sklera untuk masuk
ke orbita. Perluasan ekstraokular dapat mengakibatkan proptosis sebagaimana
tumor tumbuh dalam orbita. Pada bilik mata depan, sel tumor menginvasi
trabekular messwork, memberi jalan masuk ke limfatik konjungtiva. Kemudian
timbul kelenjar limfe preauricular dan servical yang dapat teraba (AAO, 2009).

Manifestasi klinis

Pasien umur < 5 tahun


Leukokoria (54%-62%), * Proptosis
Strabismus (18%-22%) * Katarak
Hipopion * Glaukoma
Hifema * Nistagmus
Heterokromia * Tearing
Spontaneous globe perforation * Anisokoria
Pasien umur > 5 tahun
Leukokoria (35%) * Inflamasi (2%-10%)
Penurunan visus (35%) * Floater (4%)
Strabismus (15%) * Pain (4% ) (AAO, 2009).

Gambar 3.11 retinoblastoma pada mata tampak leukokoria

Gambar 3.12 funduskopi pada penderita retinoblastoma (AAO, 2009).


Diagnosis

Diagnosis pasti retinoblastoma intraokuler hanya dapat ditegakkan dengan


pemeriksaan PA, karena tindakan biopsy merupakan kontra indikasi, maka dapat
dilakukan dengan pemeriksaan penunjang:
1. Pemriksaan fundus okuli ditemukan adanya masaa yang menonjol dari
retina disertai pembuluh darah pada permukaan maupun di dalam massa
tumor tersebut dan berbatas kabur.
2. Pemeriksaan x-rays, hamper 60-70% menunjukkan kalsifikasi. Bila tumor
mengadakan infiltrasi ke saraf optic foramen optikum melebar
3. USG, dengan pemeriksaan ini dapat mengetahui adanya massa intraokuler
meskipun media keruh.
4. Lactic acid dehydrogenase (LDH), dengan membandingkan kadar LDH
akuos humor dan serum darah. Bila rasio lebih besar dari 1.5 dicurigai
kemungkinan adanya retinoblastoma intraokuler (pada keadaan normal
rasio kurang dari 1 (PDT,2006).
Gambaran Histologi

Tumor terdiri dari sel basofilik kecil ( retinoblas), dengan nukleus


hiperkromotik besar dan sedikit sitoplasma. Kebanyakan retinoblastoma tidak
dapat dibedakan, tapi macam-macam derajat diferensiasi retinoblastoma ditandai
oleh pembentukan Rosettes, yang terdiri dari 3 tipe :
1. Flexner-wintersteiner Rosettes, yang terdiri dari lumen sentral yang dikelilingi
oleh sel kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari lumen.
2. Homer-Wright Rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan sel
terbentuk mengelilingi masa proses eosinofilik
3. Flerettes adalah fokus sel tumor, yang mana menunjukkan differensiasi
fotoreseptor, kelompok sel dengan proses pembentukan sitoplasma dan
tampak menyerupai karangan bunga (Kanski, 2007).

Gambar 3.13 Retinoblastoma (AAO, 2009).


Klasifikasi
Klasifikasi Reese-Ellsworth adalah metode penggolongan retinoblastoma
intraokular yang paling sering digunakan, tetapi klasifikasi ini tidak
menggolongkan Retinoblastoma ekstraokular. Klasifikasi diambil dari
perhitungan jumlah, ukuran, lokasi tumor dan dijumpai atau tidak dijumpai
adanya vitreous seeding.
Klasifikasi Reese-Ellsworth
• Group I
a. Tumor Soliter, ukuran kurang dari 4 diameter disc, pada atau dibelakang
equator
b. Tumor Multipel, ukuran tidak melebihi 4 diameter disc, semua pada atau
dibelakang equator
• Group II
a. Tumor Soliter, ukuran 4-10 diameter disc, pada atau dibelakang equator
b. Tumor Multipel, ukuran 4-10 diameter disc, dibelakang equator
• Group III
a. Ada lesi dianterior equator
b. Tumor Soliter lebih besar 10 diameter disc dibelakang equator.
• Group IV
a. Tumor Multipel, beberapa besarnya lebih besar dari 10 diameter disc
b. Ada lesi yang meluas ke anterior ora serrata
• Group V
a. Massive Seeding melibatkan lebih dari setengah retina
b. Vitreous seeding (AAO, 2009).
Diagnosa Banding

- Katarak
- Persistent hyperplastic primary vitreus
- Retinophaty of prematurity
- Ablasi retina
- Panoftalmitis (AAO, 2009).
Terapi
1. Enukleasi

Enukleasi dipertimbangkan sebagai intervensi yang tepat jika :

- Tumor melibatkan lebih dari 50% bola mata


- Dugaan terlibatnya orbita dan nervus optikus
- Melibatkan segmen anterior dengan atau tanpa glaukoma neovaskular
(AAO, 2009)..
2. Eksenterasi orbita

Dilakukan pada tumor yang sudah ekstensi ke jaringan orbita ialah dengan
mengangkat seluruh isi orbita dengan jaringan periostnya (AAO, 2009)..

3. Kemoterapi

Pemberian kemoterapi sistemik mengurangi ukuran tumor, berikutnya


dapat menggunakan gabungan fokal terapi dengan laser. Sekarang ini regimen
kombinasi bermacam-macam seperti Carboplatin, Vincristine, Etoposide dan
Cyclosporine. Anak-anak yang mendapat obat kemoterapi secara intravena setiap
3-4 minggu untuk 4-9 siklus kemoterapi. (AAO, 2009).

4. Photocoagulation dan Hyperthermia

Xenon dan Argon Laser (532 nm) secara tradisional digunakan untuk
terapi retinoblastoma yang tinggi apek kurang dari 3mm dengan dimensi basal
kurang dari 10 mm, 2-3 siklus putaran Photocoagulation merusak suplai darah
tumor, selanjutnya mengalami regresi. Laser yang lebih berat digunakan untuk
terapi langsung pada permukaan tumor. Laser diode (8-10mm) digunakan sebagai
hipertermia. Penggunaan langsung pada permukaan tumor menjadikan temperatur
tumor sampai 45-60 oC dan mempunyai pengaruh sitotoksik langsung yang dapat
bertambah dengan kemoterapi dan radioterapi. (AAO, 2009).

5. Krioterapi

Juga efektif untuk tumor dengan ukuran dimensi basal kurang dari 10mm
dan ketebalan apical 3mm. Krioterapi digunakan dengan visualisasi langsung
dengan Triple Freeze-Thaw Technique. Khususnya Laser Photoablation dipilih
untuk tumor pada lokasi posterior dan cryoablation untuk tumor yang terletak
lebih anterior.Terapi tumor yang berulang sering memerlukan kedua tekhnik
tersebut. Selanjut di follow up pertumbuhan tumor atau komplikasi terapi. (AAO,
2009).

Prognosis

Bila masih terbatas retina, kemungkinan hidup 95%

Bila metastase ke orbita retina, kemungkinan hidup 5%

Bila metastase ke tubuh, kemungkinan hidup 0% (PDT,2006)

3.8 TUMOR PADA KONJUNGTIVA

3.8.1 Karsinoma Sel Skuamosa pada Konjungtiva

Definisi

Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah satu jenis tumor ganas intra
epithelial yang bermanifestasi pada mata di daerah limbus dan margo palpebral,
yaitu daerah peralihan epitel (Sandra, 1992)..

Epidemiologi

Karsinoma sel skuamosa paling sering ditemukan pada laki-laki dengan


usia tua yang berkulit putih (76%). Rata-rata usia pasien yang terkena adalah 56
tahun. Tumor in mrupakan 14% dari semua tumor mata primer dan tumor orbital
terkait dengan paparan sinar matahari. Sinar matahari, terutama radiasi sinar
ultraviolet-B (UV-B) dapat menyebabkan kerusakan DNA, mutasi, dan sel
kanker. Meskipun human papillomavirus-16 telah ditemukan dalam spesimen
tumor konjungtiva, namun belum terbukti menyebabkan tumor ini (Sandra,
1992)..

Patogenesis
Lesi karsinoma sel skuamosa dimulai dengan timbulnya massa berukuran
kecil, 1-2 mm berwarna putih seperti gelatin, kemerahan disekitarnya akibat
bertambahnya vaskularisasi. Lesi akan tumbuh menjadi besar, kemudian timbul
erosi sampai akhirnya menjadi ulkus. Permukaan lesi tidak rata dan batasnya tidak
jelas. Lesi di limbus biasanya berada di daerah nasal atau temporal. Dalam
pertumbuhannya, lesi berkembang sangat lambat dan menimbulkan rasa sakit,
sehingga sering baru dikeluhkan oleh penderita setelah beberapa bulan (Sandra,
1992).

Gambaran Klinis

Selain dari adanya lesi pada permukaan okuler, terdapat gejala lain seperti
mata merah dan terdapatnya iritasi. Secara klinis agak sukar untuk membedakan
antara dysplasia epitel konjungtiva, karsinoma in situ dan karsinoma sel
skuamosa. Lesi-lesi ini sering muncul diantara fissure interpalpebral, sering pada
limbus walaupun ia juga bisa ditemukan pada bagian lain dari konjungtiva dan
kornea.

KSS bisa terlihat seperti agar-agar (gelatinous) dengan pembuluh darah superficial
atau dengan bentuk seperti papil atau leukoplakia dengan plak keratin yang
menutupinya (Sandra, 1992).

Gambar 3.14 karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva (Sumber: Finger, 2010)

Gambaran Histopatologi
Evaluasi secara histopatologi dari lesi yang dieksisi atau insisi yang bisa
membedakan antara lesi-lesi di dalam spekturm KSS. Lesi displastik
memperlihatkan atipia seluler yang ringan, sedang, atau berat yang bisa
melibatkan berbagai ketebalan epithelium bermula dari lapisan basal menuju
keluar. Biasanya lapisan yang paling superfisial yang tidak terkena. Perubahan
displastik yang berat adalah sama dengan karsinoma in situ. Karsinoma in situ
bisa memperlihatkan semua ciri bagi karsinoma sel skuamosa, tetapi masih tetap
terbatas pada epithelium. Invasi yang dalam dari kornea ataupun sklera dan
penyebaran intraocular merupakan komplikasi yang jarang. Gambaran
histopatologi menunjukkan infiltrasi yang masuk kedalam dasar membrane
epithelial yang menyebar pada stroma konjungtiva. Sel tumor dapat dibedakan
dengan baik atau well differentiated dan dapat dikenali dengan mudah sebagai
skuamosa, moderately differentiated ataupun poorly differentiated dan dapat sulit
dibedakan dari keganasan lain seperti karsinoma sebasea (Kloek, 2004).

Gambar 3.15 Gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva


(Kloek, 2004)

Klasifikasi Sistim TNM5

T (Tumor Primer)

Tx Tidak ditemukan tumor primer

T0 Tidak ada bukti tumor primer

Tis Karsinoma in situ


T1 Tumor 5 mm dengan dimensi yang lebih besar

T2 Tumor dengan ukuran > 5mm dengan dimensi yang lebih besar tanpa invasi ke

struktur yang berdekatan

T3 Tumor menginvasi struktur yang berdekatan (Tidak termasuk orbita)

T4 Tumor menginvasi orbita dengan atau tanpa perluasan yang lebih jauh

T4a Tumor menginvasi jaringan lunak orbita, tanpa invasi ke tulang

T4b Tumor menginvasi tulang

T4c Tumor menginvasi sinus paranasal yang berdekatan

T4d Tumor menginvasi otak

Kelenjar Limf Regional (N)

NX Kelenjar getah bening tidak ditemukan

N0 Tidak ada metastasis kelenjar getah bening regional

N1 Metastasis kelenjar getah bening regional

Metastasis Jauh

M0 Tidak ada metastasis jauh

M1 Metastasis Jauh

Diagnosis Banding

a. Pterigium

b. Melanoma tanpa pigmentasi

Terapi

Pemilihan jenis terapi pada karsinoma sel skuamosa pada konjungtiva


dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya ukuran lesi, lokasi, derajat invasi
dari lesi, keadaan mata yang satunya, usia, keadaan umum pasien.
1. Pembedahan

Pembedahan secara eksisi adalah metode tradisional bagi pengobatan lesi


KSS. Untuk mencegah dari terjadinya kekambuhan, direkomendasikan untuk
mengeksisi jaringan tumor dengan lebar margin sekitar 2mm ± 3mm. Apabila
lapisan kornea atau sklera yang lebih dalam terlibat, deep lamellar keratectomy
atau skelerektomi dilakukan (Oral, 2010).

Eksenterasi direkomendasikan apabila tumor konjungtiva telah menginvasi


ke anterior dari orbita. Exenterasi pada orbita meliputi membuang bola mata,
kelopak mata, dan berbagai isi dari rongga orbita. Pada keadaan yang lebih
ekstrim, juga termasuk di dalamnya membuang seluruh jaringan yang terdapat
pada rongga orbita, termasuk periorbita dan pada beberapa kasusmelakukan
reseksi pada tulangnya. Tindakan ini diindikasikan pada keadaan keganasan yang
dapat mengancam jiwa pasien atau ketika modalitas pengobatan secara
konservatif telah gagal atau tidak sesuai(Augsburger, 2004).

2. Krioterapi

Kombinasi dengan pembedahan secara eksisi dan cryosurgery untuk


mengurangkan kadar kekambuhan (Oral, 2010).

3. Kemoterapi topical

Disebabkan adanya kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan


eksisi, krioterapidan brakiterapi, penggunaan kemoterapi topical seperti tetes
mitomycin C, 5-fluorourasil,atau interferon alfa 2b telah dianjurkan. Efek
samping yang nyata adalah dari mitomycin c yang berupa hyperemia dan kadang
sebagian pasien bisa mengalami nyeri atauSensasi terbakar sakit dari toksisitas
pada epithelial kornea. Efek sampingtersebut akan hilang dalam waktu 2 minggu
selepas pemberian obat dihentikan (Oral, 2010)

Prognosis

Karsinoma sel skuamosa dengan kekambuhan lokal diasumsikan sebagai


keganasan tipe low-grade. Kekambuhan setelah operasi eksisi tergantung dari
margin pembedahan (5% pada margin yang bebas, dan 50% pada margin yang
terlibat). Invasi intraokuler sangat jarang terjadi, begitu juga metastasis. Area
metastasis diantaranya adalah kelenjar getah bening pada preaurikuler,
submandibular dan servikal, kelenjar parotis, paru dan tulang. Penyebab utama
dari metastasis adalah terlambat dalam mendiagnosa dan terapi (Oral, 2010).

3.9 TUMOR SARAF OPTIK

3.9.1 Meningioma

 Meningioma orbita primer biasanya berkembang dari araknoid selubung


nervus optikus.
 Tumor ini cenderung menyebabkan defek visual pada tahap awalnya.
 CT-scan dapat membedakan meningioma nervus optikus ( radiolusen di
bagian sentral) dari glioma nervus optikus ( hiperdens di bagian sentral ).
 Meningioma orbita primer dapat meluas ke bagian luar dari duramater
menuju jaringan lunak orbita.
 Meningioma nervus optikus biasanya lebih bersifat agresif dan letal pada
anak-anak dibanding dewasa.
 Pada kebanyakan kasus, meningioma nervus optikus dapat menyebabkan
kebutaan.
 Intervensi pembedahan, jika tumor tersebut tidak mengancam struktur
intrakranial dan jika penglihatannya dipertahankan.
 Tanda yang paling sering dijumpai adalah hilangnya penglihatan dan atrofi
optikus. Proptosis terjadi apabila tumor terletak di dalam orbita.
 Pengobatannya masih kontroversial. Belum terdapat statistik yang
meyakinkan untuk mengindikasikan bahwa pembedahan atau radiasi
memberi hasil yang efektif (Yuniarti, 2005)

3.9.2 Glioma Nervus Optikus

Definisi

Glioma adalah tumor yang berasal dari sel-sel glia saraf. Sel glia merupakan sel
yang berkaitan erat dengan neuron, yang berfungsi sebagai pendukung struktur
dan fungsi neuron, namun tidak terlibat dalam fungsi penjalaran impuls. Dalam
otak manusia, jumlah sel glia jauh lebih besar daripada jumlah neuron.
Perbandingan antara jumlah sel glia dan neuron ialah 10:1 (Yuniarti, 2005).

Epidemiologi

Glioma merupakan tumor saraf optik yang paling sering ditemukan terutama pada
anak-anak (usia < 20 tahun). Tumor neuroglia ini dapat tumbuh di dalam orbita,
intrakanalikular, atau bagian saraf intrakranium, seringkali melibatkan khiasma
optikum.

Secara histologis biasanya glioma optik merupakan lesi benigna. Pengaruh


merugikannya tergantung kepada lokasi dan pola pertumbuhan. Glioma ini jarang
menunjukkan tanda-tanda ganas. Glioma optik terjadi dengan frekuensi yang
meningkat pada penderita neurofibromatosis (Yuniarti, 2005).

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis glioma optik intraorbital adalah kehilangan penglihatan


unilateral, proptosis dan deviasi mata, dapat juga ditemukan atrofi optik atau
kongesti papil nervus optikus. Pada glioma khiasma sering ditemukan defek
lapangan pandang ( biasanya hemianopsia bilateral), kenaikan tekanan
intrakranial, edema papil atau atrofi optik, disfungsi hipothalamus, disfungsi
hipofisis, dan kadang-kadang nistagmus atau strabismus.Glioma optik terjadi
dengan frekuensi yang meningkat pada penderita neurofibromatosis (Yuniarti,
2005).

Gambaran radiologi

CT scan orbita
.
Gambar 3.16 CT scan menunjukkan massa solid fusiformis pada distribusi
persarafan, dengan low attenuation dan kalsifikasi pada area sentral.

Gambar 3.17 Optic nerve glioma appears as diffuse enlargement of the left optic
nerve (arrows) in an 8-year-old girl. Glioma saraf optik tampak sebagai
pembesaran difus pada nervup otik kiri (tanda panah).

Gambaran Magnetic Resonance Imaging


Gambar 3.18 MRI pada anak perempuan usia 7 tahun dengan riwayat
keluarga NF1 yang mengalami kebutaan sejak usia 18 bulan. MRI T2-
weighted transaxial menunjukkan glioma saraf optic bilateral (tanda
panah).

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan glioma optik meliputi pembedahan, radiasi dan kemoterapi). Bila


tumor ini terbatas intraorbital, intrakanalikular, atau bagian saraf prekhiasma,
reseksi sering dilakukan, terutama bila proptosis tidak terlalu tampak dengan
kehilangan penglihatan sempurna atau hampir sempurna di mata yang terkena.
Bila khiasma terlibat, tindakan bedah tidak dianjurkan, walaupun intervensi bedah
untuk mengendalikan hidrosefalus dan kenaikan tekanan intraakranium sekunder
atau bahan untuk biopsi mungkin diperlukan.. Radioterapi dapat mengubah
pertumbuhan tumor. Kemoterapi masih dalam tahap penelitian (Yuniarti, 2005).
BAB IV

PEMBAHASAN
Pasien datang ke poli mata RSML dengan keluhan benjolan hitam pada kelopak
mata bawah kanan. Keluhan muncul sejak kecil dan pernah dioprasi 20 tahun lalu
karena alasan kosmetik dan kembali tumbuh hingga sekarang. Ukuran benjolan
kurang lebih 1 cm, ukuran semakin membesar tetapi sangat lambat. Jumlah hanya
satu, tidak nyeri, gatal jika berkeringat. Dengan riwayat memakai kacamata (-),
riwayat operasi pengangkatan nevus ditempat yang sama 20 tahun yang lalu,
riwayat trauma disangkal, riwayat hipertensi (+), terkontrol, riwayat DM
disangkal. Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang
sama seperti pasien. Pasien bekerja sebagai Ibu rumah tangga. Dari hasil
pemeriksaan oftalmologi Benjolan (+), warna hitam, diameter ±1 cm,udem (-),
Hiperemis(-),Nyeritekan(-). Problem list benjolan hitam di palpebrainferior dextra
tanpa ada penurunan penglihatan. Initial diagnosis Nevi melanositik Palpebra OD
Planning Therapy Konsulkan pada Sp.M, Planning monitoring keluhan pasien
dan keluhan lain, Pemeriksaan oftalmologi (visus, lapang pandang, segmen
anterior dan posterior, TIO OD OS)
BAB V
KESIMPULAN

Tumor mata adalah tumor yang menyerang rongga orbita, sebagian merusak
jaringan lunak mata, saraf mata dan kelenjar air mata. Tumor mata jarang ditemukan
dan dapat berasal dari dinding orbita, isi orbita, sinus paranasalis, dan sekelilingnya.

Tumor orbita diklasifikasikan berdasarkan asal tumor menjadi: tumor orbita


primer, tumor orbita sekunder, dan tumor orbita metastatic. Klasifikasi tumor orbita
yang lain dapat berdasarkan asal jaringan/ lokasi anatominya; tumor kelenjar
lakrimalis, tumor jaringan limfoid, tumor retina, tumor tulang, tumor selubung saraf
optic, tumor saraf optic, tumor jaringan ikat dan tumor metastase melalui darah.

Gejala dan tanda dari tumor orbita meliputi: nyeri orbital, proptosis
(penonjolan bola mata), pembengkakan kelopak mata, palpasi teraba massa, gerak
mata terbatas, ketajaman penglihatan terganggu. Untuk menegakkan diagnosis tumor
mata diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan tambahan.

Penanganan tumor orbita dibedakan berdasarkan sifat tumor apakah tumor


bersifat jinak atau ganas. Bila tumor jinak maka memerlukan eksisi dan atau
pendekatan konservatif. Bila tumor orbita bersifat ganas maka memerlukan tindakan
biopsy dan redioterapi dan kemoterapi.

Tumor orbita bisa juga berasal dari tempat lain sehingga disebut sebagai
tumor sekunder. Kebanyakan tumor orbita sekunder berasal dari hidung dan sinus
paranasal. Prognosis atau angka keberhasilan kelangsungan hidup penderita tumor
orbita mencapai 80%, artinya masih ada harapan hidup yang cukup baik. Angka
kematian sangat dipengaruhi oleh stadium tumor itu sendiri. Tentu saja pada stadium
lanjut angka kelangsungan hidup lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophtalmology : Ophtalmic Pathology and Intraocular


Tumors, section 4, 2007-2008. Page 251-303.

America Academy of Ophthalmology. Pediatric Ophthalmology and Strabismus in


Basic and Clinical Science Course. Section 6. 2008-09 : 390-99

American Cancer Society. 2012. Retinoblastoma.

Augsburger JJ, Schneider S. 2004. Tumors of Conjunctiva and Cornea. In


Opthalmology. Mosby. Spain.

Brunner and Suddarth’s. 2008. Textbook of Medical-Surgical Nursing. Penerbit :


LWW, Philadelphia.

Classon, Marie and Ed Harlow. The Retinoblastoma Tumors Suppresor in


Development and Cancer. Nature Publishing Group USA : 2002. Vol 2 :
910-917.

Feri M dan Sagiran. 2000. Hemangioma Karya Ilmiah. Bagian Bedah FK UMY.
Yogyakarta.

Finger, PT. 2010. Squamous carcinoma and intraepithelial neoplasia of the


conjunctiva. Available from : http:// www.Eyecancer.com/Patient/
Condition.aspx?nID=38&Category=Conjunctival+Tumors&Condition=+Carc
inoma+and+Intraepithelial+Neoplasia+of+the + Conjunctiva
Hasan Q., Tan T.S, Gush J, Peters S, Davis P. Steroid Therapy of a Proliferating
Hemangioma: Histochemical and Molecular Changes. J Pediatr 2000; 105:
117-20.

Ilyas, S. 2006. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Buku
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ilyas S. 2003. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2.
Jakarta: Balai Penerbit Buku Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

James B, Chris C, Anthony B,. 2005. Lectures Note Oftalmologi Ed. 9. Penerbit
Erlangga. Jakarta. Hlm. 126-127.

Jay justin older. 2003. Eyelid Tumors clinical diagnosis & surgical treatment. Second
edition. hal : 38 – 40.

Kanski, J. Jack. Sixth Nerve in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. 6th


ed. 2007 : 542-50

Kloek C. Digital journal of oftalmology. Massachusetts Eye and Ear Infirmary. 2004.
Available from : http://www.djo.harvard.edu/site.php?url=/patients.

Mark R. Levine, MD, FACS. 2003. Malignant Melanoma of the Eyelids an


Increasing Threat.. http://www.osnsupersite.com/view.aspx?rid=6622.
Accessed 17 Agustus, 2012.

Metry, DW. MD. 2000. Hemangioma in Infancy, avaliabel dalam


http/www.dmetry.edu.http://www.umd.be/VHL/W_VHL/images/Retinal.gif.
Mounir Bashour, MD, CM, FRCS(C), PhD, FACS. 2008. Pigmented Lesions of the
Eyelid. http://emedicine.medscape.com/. Accessed 17 Agustus, 2012

Mulliken J.B. Vascular Anomalies. In: Aston S, Beasley R, Thorne C, Editors. Grabb
and Smith's Plastic Surgery. 5th ed. Philadelphia : Lippincot-Raven Publ;
1997. p. 191-200

Oral, D. Conjunctival squamous cell carcinoma. 2010. Available formhttp: //www.


Osnsupersite.com/view.aspx?rid=66118.

Oski F, Deangelis C, Feigen R. Hemangioma. In: Julia A. McMillan, Catherine D.


Deangelis, Ralph D, editors. Principle and Practice of Pediatrics. 2nd edition.
Philadelphia : WB Saunders Co; 1999. p.802-12

Rahmadani, A. dan Rizky, O. 2012. Referat Tumor Palpebra dan


Penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta.

Rosdiana, Nelly. Retinoblastoma Familial. 2009. Indonesia Journal of Cancer. Vol. 3


(1) : 33-36.

RSCM Kirana - Dept. Mata FKUI-RSCM. 2012. Tumor Kelopak, Karsinoma Sel
Basal.http://mata-fkui-rscm.org/v2/tumor-kelopak-karsinomaselbasal/?
doing_wp_cron=1358765081.9458808898925781250000

Sandra R, Moeloek NF, Usman TA. Virus sebagai etiologi karsinoma sel skuamosa
adneksa mata. Bagian ilmu penyakit mata fakultas kedokteran Indonesia.
Jakarta.1992. p 664-5 [gambarretinoblastoma]
http://radiographics.rsna.org/content/27/4/1159/F15.large.jpg
Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Dermal Neoplasms. In: Skuta GL, Cantor LB, Weiss
JS. Basic and Clinical Science Course: Ophthalmic Pathology and Intraocular
Tumors 2011-2012. Singapore: American Academy of Ophthalmology; 2011.
p. 219-20

Yanoff M, Fine BS. 2009. Chapter 18 Retinoblastoma and Pseudoglioma:


Retinoblastoma. Ocular Pathology: 686-98.

Vaughan & Asbury. 2010. Oftamologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai