Anda di halaman 1dari 19

Laporan Kasus Maret 2019

“MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS NON UNION


FRAKTUR FEMUR SINISTRA + IMPLANT FAILLURE MENGGUNAKAN
TEKNIK SPINAL ANESTESIA”

Disusun Oleh:
Menik Ayu Nurhayati
N 111 17 146

Pembimbing :
dr. Ferry Lumintang. Sp. An

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Menik Ayu Nurhayati


No. Stambuk : N 111 17 146
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Laporan Kasus : “Manajemen anastesi pada pasien dengan diagnosis non
union fraktur femur sinistra + implant failure
menggunakan teknik spinal anestesia”

Bagian Anestesiologi
RSUD UNDATA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Maret 2019

Mahasiswa Pembimbing Klinik

Menik Ayu Nurhayati dr. Ferry Lumintang. Sp. An


BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “An” yang berarti “tidak,
tanpa” dan “aesthesos” yang berarti “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.1

Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa
nyeri yang reversible akibat pemberian obat – obatan, serta menghilangkan rasa
sakit seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi regional adalah
anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.
Masing-masing anestesi memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi
akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya
tersebut.2

Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang


pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi
yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu
saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu
menghentikan impuls saraf di area itu.3
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu
terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi
atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.3

Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun,
oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang
dioperasi.3

Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi


spinal juga disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada
operasi tubuh bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun
abdomen bagian bawah. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik
anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan
keadaan hipovolemia.4

Fraktur adalah kehilangan atau terputusnya kontinuitas tulang, tulang


rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial.5,6
Fraktur terjadi ketika tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau
tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis. 7
Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma.6 Gambaran klasik fraktur adalah adanya
riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas
(angulasi, rotasi, diskrepansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi
muskuloskletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan
neurovaskular.8

Fraktur dapat diklasifikasikan menurut garis fraktur (transversal, spiral,


oblik, segmental, komunitif, kupu-kupu, simpel, kompresi), lokasi (diafise,
metafise, epifise) dan integritas dari kulit serta jaringan lunak yang mengelilingi
(terbuka atau compound dan tertutup).8,9 Fraktur terbuka merupakan suatu
keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi
risiko infeksi sebab fraktur tebuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi
hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga memungkinkan
masuknya kuman dari luar ke dalam luka sehingga timbul komplikasi berupa
infeksi.5,8
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas
Nama : Tn. R
Umur : 40 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 60 kg
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Damsol, Donggala
No. Rekam Medik : 01.00.22.38
Tanggal Operasi : 15 Maret 2019

2. Anamnesis
A. Keluhan Utama : Nyeri pada paha kiri
B. Riwayat penyakit sekarang : pasien laki-laki usia 40 tahun masuk rumah
sakit dengaan keluhan nyeri dan sakit pada paha sebelah kiri. Keluhan ini
dirasakan sejak pasien jatuh dari motor dan terbentur dengan keras.
Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat penyakit asma (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat penyakit berat lainnya(-)
 Riwayat anestesi (-)

3. Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)


A. B1 (Breath):Airway :
 RR : 20 x/menit
 SpO2 : 100%
 Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
 Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
 Perkusi : Sonor kiri sama dengan kanan
 Auskultasi :Bunyi napas vesikuler (+/+),Rhonki(-/-),
Wheezing(-/-)
B. B2 (Blood)
 TD : 110/70 mmHg
 Nadi : 84 x/menit
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi :Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
(S)
 Perkusi : Batas jantung normal
 Auskultasi : S1 dan S2 murni regular, bising (-)

C. B3 (Brain)
 Kesadaran : Composmentis
 Mata : Mata cekung (-/-), Conjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil isokor diameter ± 2.5 mm
 Telinga : Discharge (-)
 Hidung : Discharge (-), epistaksis (-)
 Mulut : Sianosis (-) bibir kering (+), mukosa membran kering (+),
pembesaran tonsil (-), skor Mallampati 1.
 Pemeriksaan leher : simetris, tidak ada deviasi trakea, pembesaran
kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).

D. B4 (Bladder): BAK via kateter (+), warna :kuning muda

E. B5 (Bowel)
 Inspeksi : Cembung, tidak terdapat jejas
 Auskultasi : bising usus (+)
 Perkusi : Timpani (+), Asites (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegaly (-)
F. B6 Back &Bone : terdapat batasan aktivitas.
 Ekstremitas atas: akral hangat, pucat (-), edema (-), turgor < 2
detik, CRT 2 detik
 Ekstremitas bawah: akral hangat, pucat (-), edema (-), turgor < 2
detik, CRT 2 detik.

4. Pemeriksaan Penunjang
 Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 15.3 L: 13-17, P: 11-15 g/dl
Leukosit 11.19 4.000-10.000 /mm3
Eritrosit 5.29 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul
Hematokrit 45.8 L: 40-54 P: 35-47 %
Trombosit 336 150.000-500.000 /mm3
Waktu
6,00 4-12 m.det
pembekuan
Waktu perdarahan 2,00 1-4 m.det

Hasil Laboratorium Kimia Darah


Hasil Rujukan Satuan
GDS 138.4 60-199 Mg/dL

Hasil Laboratorium Seroimmunologi


Hasil Rujukan
HBsAg Non-Reaktif Non-reaktif
Anti HIV Non reaktif Non reaktif

5. Diagnosis Kerja : Non Union Fraktur Femur Sinistra + Implant Faillure


6. Tindakan : Open reduction internal fixation
7. Assesment
 Status fisik ASA I
 Acc. Anestesi
 Diagnosis pra-bedah : non union fraktur femur sinistra + implant failure
8. Plan
 Jenis anestesi : Regional Anastesi
 Teknik anestesi : SAB (Subarachnoid Block)
 Jenis pembedahan : Open reduction internal fixation femur sinistra

9. Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : non union fracture femur sinistra + implant
faillure
b) Diagnosis post-bedah :-
c) Jenis pembedahan : Open reduction internal fixation
d) Jenis anastesi : Regional anastesi
e) Teknik anastesi : SAB (Sub Aracnoid Block)
f) Posisi : Lateral decubitus
g) Premedikasi anestesi : Emegran 1 mg
Sedacum 2 mg
h) Injeksi anastesi : Bupivacain 0,5% 12,5 mg
i) Medikasi tambahan : Dexamethasone 10 mg
Ketamin 20 mg
Ketorolac 30 mg
Efedrin 2 mg
j) Maintenance : O2 3,5 lpm. Efedrin saat TD <25%
(Hasil monitoring intraoperative terlampir)
k) Respirasi : Spontan
l) Anestesi mulai : 10.45 WITA
m) Operasi mulai : 11.05 WITA
n) Lama operasi : 3 jam
o) Lama anestesi : 3 jam 10 menit
Lampiran 1

Hasil Monitoring Intraoperatif

Pukul Tekanan Nadi Saturasi Terapi


(WITA) Darah (kali/menit) Oksigen
(mmHg) (SpO2)
10.40 130/78 90 100 % Emegran 1 mg
10.45 129/78 92 100 % Anestesi regional
SAB spinal
dengan
bupivacaine
Hyperbaric 0,5%
12,5mg
10.50 131/90 90 100 %
10.55 122/75 88 100 % Sedacum 2 mg
11.00 122/79 82 99 %
11.05 119/78 70 100 %
11.10 119/76 73 100 % Dexamethasone
10 mg
11.15 120/80 78 100 %
11.20 139/90 80 100 % Ketamine 20 mg
11.25 138/90 82 98 %
11.30 139/90 83 100 %
11.35 139/89 80 100 %
11.40 128/90 80 100 %
11.45 130/90 86 100 %
11.50 139/100 90 100 %
11.55 122/100 79 100 %
12.00 129/100 70 100 %
12.05 129/100 72 100 %
12.10 130/90 78 100 %
12.15 130/88 76 100 %
12.20 128/90 80 100 %
12.25 129/90 81 100 %
12.30 127/75 69 100%
12.35 128/78 70 100%
12.40 130/80 72 100%
12.45 128/78 70 99%
12.50 128/76 69 99%
12.55 130/78 70 99%
13.00 130/80 70 99%
13.05 128/87 89 99%
13.05 125/89 90 100%
13.10 126/90 92 100%
13.15 120/80 90 100%
13.20 118/80 92 100%
13.25 119/82 90 100%
13.30 100/69 70 99% Ketorolac 30 mg
13.35 110/69 70 99% Efedrin 2 mg
13.40 120/69 78 99%
13.45 125/70 70 99%
13.50 126/72 70 99%
13.55 128/70 71 100%
Terapi Cairan :
Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre - BB: 60 Kg Input:
Operasi - Kebutuhan cairan harian: 40 - 50 cc / KgBB / RL: 500 cc
hari RL : 250 cc
= 40 cc x 60 Kg = 2400 cc / hari -
50 cc x 60 Kg = 3000 cc / hari
- Kebutuhan cairan per jam:
= 2400 cc : 24 jam = 100 cc / jam -
3000 cc : 24 jam = 125 cc / jam
- Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 8 jam:
= 8 jam x (100-125 cc/jam)
= 800-1000 cc

Durante 1. Estimate Blood Volume (EBV): 65 cc / Input:


Operasi KgBB x BB = 65 cc/KgBB x 60 Kg = 3.900 - Gelofusin
cc : 600 cc
Estimate Blood Loss (EBL): - RL: 500
10 % = 390 cc cc
20% = 780 cc - RL: 500cc
30% = 1.170 cc
40% = 1.560 cc - Total
50% = 1.950 cc Perdaraha
n: ± 800
2. Penggantian kehilangan cairan selama cc
operasi: (Suction:
Operasi kecil : 4 – 6 ml x BB ± 1400 cc
Operasi sedang : 6 – 8 ml x BB dengan
Operasi besar : 8 – 10 ml x BB cairan
irigasi
Operasi sedang ±600cc)
6 x 60 = 360 cc hingga 8 x 60 = 480 cc

3. Selama 3 jam operasi cairan yang hilang


360 x 3 jam – 480 x 3 jam
1080-1440cc/ 3 jam

Total kehilangan cairan selama operasi


1080 + 800 = 1880

Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 16000 ml –
1880 = - 280 ml

Post Maintenance RL: 2000


Operasi 60 kg x 40-50cc/ 24 jam = 2400cc s/d 3000cc / cc/24 jam
24 jam
Kebutuhan cairan per jam 100 cc s/d 125 cc/ jam
BAB III
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang


meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
menentukan status fisik ASA serta ditentukan rencana jenis anastesi yang
dilakukan, yaitu regional anastesi dengan sub arachnoid block (SAB).
Berdasarkan hasil pre operatif tersebut, maka dapat disimpilkan status fisik
pasien pra anastesi American Society of Anestesiology (ASA) membuat
klasifikasi status fisik pra anastesi menjadi 5 kelas yaitu:
 ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
 ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa
 ASA 3 : pasien penyakit bedahdisertai dengan penyakit sistemik berat
yang disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa
 ASA 4 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik
berat yang secara langsung mengancam kehidupan
 ASA 5 : pasie penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat
yang tidak mungkin di tolong lagi di operasiataupun tidak selama 24 jam
pasien akan meninggal.
Pada pasien ini juga dilakukan persiapan sebelum operasi berupa
pemberian informasi kepada pasien dan keluarganya tentang tindakan yang akan
dilakukan, yaitu anestesi spinal, komplikasi dan resikonya (informed consent),
pemasangan kateter dan pemasangan infus RL.
Blok neuraxial dapat digunakan sendiri atau bersama dengan anestesi
umum untuk banyak prosedur di bawah leher. Sebagai anestesi primer, blok
neuraxial telah terbukti paling bermanfaat dan diindikasikan pada beberapa tindak
pembedahan, seperti perut bagian bawah, bagian inguinal, urogenital, rektal dan
operasi ekstremitas bawah. Juga dapat dilakukan pada operasi tulang belakang
lumbar. Regional anastesi dengan tehnik Subarachnoid atau Epidural Blok
setinggi level sensoris Thoracal 4.
Adapun kontraindikasi utama untuk anestesi neuraxial termasuk
kurangnya persetujuan (penolakan pasien), kelainan koagulasi, hipovolemia berat,
peningkatan tekanan intrakranial (terutama dengan massa intrakranial), dan
infeksi di tempat injeksi. Kontraindikasi relatif lainnya termasuk sepsis, pasien
yang tidak kooperatif, deficit neurologi, stenosis aorta atau mitral dan obstruksi
aliran keluar ventrikel kiri yang berat (obstruktif hipertrofik kardiomiopati);
Namun, dengan pengawasan ketat dan kontrol anestesi, anestesi neuraxial dapat
dilakukan dengan aman pada pasien dengan stenotik penyakit jantung valvular.
Pasien pada kasus ini dilakukan tindakan anastesi spinal, dimana terdapat
beberapa kentungan seperti penderita tetap sadar sehingga bahaya aspirasi
berkurang, relatif tidak diperlukan pengolaan jalan napas, dapat berkomunikasi
dengan pasien, teknik sederhana, alat yang diperlukan minimal dan relaksasi otot
yang optimal. Namun juga memiliki kekurangan yaitu penderita merasa takut
selama operasi tidak selalu efektif 100% dan dapat terjadi intoksikasi jika dosis
berlebihan.
Pada persiapan periopeatif, dilakukan juga puasa sebelum operasi. Puasa
preoperatif pada pasien pembedahan elektif bertujuan untuk mengurangi volume
lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi dehidrasi. Puasa preoperatif yang
disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk makanan padat dan 2 jam untuk air
putih. Puasa preoperatif yang lebih lama akan berdampak pada kondisi pasien
preoperatif serta pascaoperatif. Pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Anastesiologi disebutkan bahwa anjuran puasa untuk dewasa adalah selama 6-8
jam untuk makanan padat dan 2 jam untuk cairan. Pada pasien ini juga diminta
untuk berpuasa selama 8 jam sebelum operasi. Hal ini sudah sesuai teori dimana
anjuran puasa perioperative adalah selama 6-8 jam sebelum operasi.
Sebelum dilakukan operasi, dapat diberikan premedikasi sesuai kebutuhan,
antara lain obat golongan sedative-transquilizer, anallgetic opioid, anti emetic dan
H-2 agonis dengan tujuan agar pasien tenang, rasa takut berkurang, mengurangi
nyeri/sakit saat anestesi dan pembedahan. Pada pasien ini diberikan premedikasi
berupa obat golongan H-2 antagonis (Emegran 1 mg) dan benzodiazepin
(Sedacum 2 mg).
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan lengkap untuk
monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal
dan obat anestesi spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata
dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 32G, pada
pasien ini digunakan ukuran 25 G. Obat anestesi lokal yang digunakan adalah
prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestesi lokal
mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal
jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),
obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Beberapa Jenis Obat Anestesi Lokal yang dipakai pada Anestesi Spinal
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain

hyperbaric 0,5% dengan dosis 12,5 mg. Bupivakain bekerja menstabilkan


membran neuron dengan cara menginhibisi perubahan ionik secara terus menerus
yang diperlukan dalam memulai dan menghantarkan impuls.
Obat bupivakain segera setelah penyuntikan subarakhnoid akan
mengalami penurunan konsentrasi dengan secara bertahap karena terjadinya:
dilusi dan pencampuran di liquor serebro spinalis, difusi dan distribusi oleh
jaringan saraf, uptake dan fiksasi oleh jaringan saraf, absorbsi dan eliminasi oleh
pembuluh darah. Didalam ruang subarakhnoid obat akan kontak dengan struktur
jaringan saraf dan obat ini akan memblokade transmisi impuls serabut-serabut
saraf. Aktivitas anestesi lokal dalam ruang subarakhnoid yang penting di akar-
akar saraf di medula spinalis (primer), ganglia dorsalis dan sinap-sinap di kornu
anterior dan posterior (sekunder) dan traktus asenden dan desenden parenkim di
medula spinalis.
Sesaat sebelum operasi selesai, pasien dapat diberikan obat golongan
NSAID (Non steroidal anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis
prostaglandin untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi, dengan
durasi kerja 8 jam. Pada pasien ini golongan NSAID yang diberikan adalah
ketorolac 30 mg diberikan secara inravena. Tanda vital yang terdapat pada
monitor setiap 5 menit dicatat dalam kertas lembaran anastesi agar kondisi pasien
terpantau.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Gelofusin juga diberikan untuk
mempertahankan circulating blood volume. Dimana cairan pengganti puasa yang
dibutuhkan pasien sebanyak 800 cc – 1000 cc untuk memenuhi keebutuhan
selama puasa 8 jam namun yang masuk hanya sebanyak 750 cc. Jadi kebutuhan
cairan pre operatif pasien belum terpenuhi. Dalam dursi operasi, estimasi
kehilangan cairan termasuk perdarahan yang dialami pasien yaitu sebanyak 1880
cc dengan cairan intra operatif yang masuk sebanyak 1600 cc RL dan Gellofusin.
Jadi keseimbangan cairan pasien juga belum terpenuhi. Sebelum selesai
pembedahan, pasien diberikan injeksi ketorolac 30mg sebagai obat analgesic post
operasi.
Lama operasi berlangsung 3 jam, anastesi berlangsung selama 3 jam 10
menit, setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room dan observasi
tanda vitalnya.
KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat


disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


pasien didiagnosis open fraktur femur dextra. Klasifikasi status penderita
digolongkan dalam PS. ASA I pasien penyakit bedah tanpa disertai
penyakit sistemik
2. Pada kasus ini dilakukan tindakan operasi internal fiksasi dan jenis
anestesi regional berupa Sub Arachnoid Block (SAB). Berdasarkan
indikasi anestesi blok subaraknoid digunakan pada, bedah ekstremitas
bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum perineum, bedah obstetrik-
ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, pada bedah abdomen
atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan anesthesia
umum ringan menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah
respon stres lebih sempurna.
3. Pada pasien digunakan obat anestesi golongan amide yaitu bupivakain
HCL karena bupivakain lebih kuat dan lama kerjanya 2 – 3 x lebih lama
dan onset anestesinya juga lebih lambat dibanding lidokain atau
mepivakain.
4. Resusitasi dan terapi cairan perioperatif kurang lebih telah memenuhi
kebutuhan cairan perioperatif pada pasien ini, terbukti dengan stabilnya
hemodinamik durante dan post operatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
2. Gwinnutt CL. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta.
2014.
3. Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi
III hal.261-264. 2000. Jakarta.
4. Rasjad C. 2012. Struktur dan Fungsi Tulang. Dalam : Ilmu Bedah Ortopedi.
Bintang Lamumpatue : Makassar.
5. Sylvia, A. Loraine., Michael A. 2005. Anatomi dan Fisiologi Tulang dan
Sendi. Dalam : Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: 6.
EGC: Jakarta.
6. Dobridnjov, I., etc. Clonidine Combined With Small-Dose Bupivacaine
During Spinal Anesthesia For Inguinal Herniorrhaphy: A Randomized
Double-Blind Study. Anesth Analg 2003;96:1496-1503.
7. Braden, H. 2002. Anesthesia and Resuscitation. MCCQE. 2002: hal 6-18.
8. Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi
dan Terapi edisi 5 hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta.
9. Katzung, B.G., S.B. Masters, dan A.J. Trevor. 2009. Basic & Clinical
Pharmacology 11th edition. San Fransisco: McGraw-Hill Companies
10. Grace P., Borley. 2002. Surgery at A Glance. Ed : 2. Blackwell Publishing
Company : British.
11. Sylvia, A. Loraine., Michael A. 2005. Fraktur dan Dislokasi. Dalam :
Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: 6. EGC: Jakarta.
12. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta
13. Peter F Dunn. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts
General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217

Anda mungkin juga menyukai