I. Definisi
Merupakan sekelompok penyakit neoplastik didapat pada sel induk hemopoietik
multipoten yang ditandai oleh meningkatnya kegagalan sumsum tulang dengan kelainan
kuantitatif dan kualitatif di ketiga jalur sel mieloid. Ciri khasnya adalah hemopoiesis yang
infektif sehingga sitopenia seringkali menyertai sumsum tulang dengan selularitas yang
normal atau meningkat (apoptosis yang meningkat dalam sumsum)
II. Etiologi
Kelainan sitogenetik Blas >5% Blas 20-30% atau 5
lebih sering terdapat terdapat batang
pada mielodisplasia Auer
sekunder dibanding
primer dan paling
sering terdiri dari
hilangnya
kromosom 5, 7, atau
Y parsial atau total,
RAEB dalam
transformasi
(RAEB-t)
Leukimia Seperti salah satu Seperti salah satu 11
mielomonositik diatas dengan diatas dengan
kronik (CMML) monosit >1 x109/L promonosit
Klasifikasi menurut WHO(2008) didasarkan pada penemuan genetik meskipun asal sel dari
darah tepi, aspirasi sumsum dan biopsi sumsum
III. Patofisiologi
MDS disebabkan paparan lingkungan seperti radiasi dan benzene yang merupakan
faktor resikonya. MDS sekunder terjadi pada toksisitas lama akibat pengobatan kanker
biasanya dengan kombinasi radiasi dan radiomimetik alkylating agent seperti busulfan,
nitrosourea atau procarbazine ( dengan masa laten 5-7 tahun) atau DNA topoisomerase
inhibitor (2tahun). Baik anemia aplastik yang didapat yang diikuti dengan pengobatan
imunosupresif maupun anemia Fanconi’s dapat berubah menjadi MDS
MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada sel sumsum tulang yang multipoten tetapi
defek spesifiknya belum diketahui. Diferensiasi dari sel prekursor darah tidak seimbang
dan ada peningkatan aktivitas apoptosis sel di sumsum tulang. Ekspansi klonal dari sel
abnormal mengakibatkan sel yang telah kehilangan kemampuan untuk berdiferensiasi. Jika
keseluruhan persentasi dari blas sumsum berkembang melebii batas (20-30%) maka ia akan
bertransformasi menjadi AML. Pasien MDS akan menderita sitopenia pada umumnya
seperti anemia parah. Tetapi dalam beberapa tahun pasien akan menderita kelebihan besi.
Komplikasi yang berbahaya bagi mereka adalah pendarahan karena kurangnya trombosit
atau infeksi karena kurangnya leukosit.
Beberapa penlitian menyebutkan bahwa hilangnya ungsi mitokondria mengakibatkan
akumulasi dari mutasi DNA pada sel stem hematopoietik dan meningkatkan insiden MDS
pada pasien yang lebih tua. Dan adanya akumulasi dari besi mitokondria yang berupa cincin
sideroblas merupakan bukti dari disfungsi mitokondria pada MDS
V. Penegakan diagnosis
Umur pasien antara 60-75 tahun, beberapa pasien lebih muda dari 50 tahun dan jarang
didiagnosa pada anak-anak dan lebih banyak terjadi pada laki-laki. Adanya riwayat paparan
kemoterapi atau radiasi. Sign dan symptom tidak spesifik dan secara umum
berhubungan dengan sitopenia darah
1. Anemia : kelelahan kronik, sesak nafas, rasa mengigil, dan kadang nyeri dada
2. Neutropenia : meningkatnya resiko infeksi
3. Trombositopenia : mudah untuk berdarah dan ekimosis, semudah hemorrhagic
subkutaneus pada purpura atau petekie
Kebanyakan individu adalah asimptomatik dan sitopenia darah atau masalah lain yang
diidentifikasi sebagai bagian dari hitung darah rutin
Dengan adanya demam dan berat badan yang menurun perlu diwaspadai
mieloproliferatif daripada mielodisplasia. Anak dengan sindrom Down lebih cenderung
terkena MDS dan adanya riwayat keluarga dapat mengindikasikan adanya anemia
sideroblastik dan anemia Fanconi herediter. Apabila dari hasil lab yang sering ditemukan
pada MDS adalah sitopenia darah, hematopoiesis inefektif, diseritropoiesis,
disgranulopoiesis, dismegakaropoiesis, dan peningkatan mieloblast. Displasia dapat
mempengaruhi 3 jalur pembentukan pada sumsum. Cara terbaik mendiagnosa displasia
adalah dengan pewarnaan khusus dan morfologi(PAS) pada aspirasi sumsum dan darah
tepi. Displasia pada mieloid dapat ditunjukkan dengan :
1. Granulositik
a. Neutrofil hipersegmentasi ( dapat terlihat pada defisiensi folat atau vitamin
B12)
b. Neutrofil hiposegmentasi (Pseudo-Pelger Huet)
c. Neutrofil hipogranular atau granula besar pseudo Chediak Higashi
d. Batang Auer, secara otomatis termasuk RAEB II (jika blas <5% pada darah
tepi dan <10% pada aspirasi sumsum) dan batang Auer dapat terlihat juga
pada neutrofil matur pada AML dengan translokasi (8;21)
2. Eritroid
a. Prekursor eritroid inti ganda dan karryorhexis
b. Erythroid nuclear budding
c. Erythroid nuclear strings atau internuclear bridging (terlihat juga pada
anemia diseritropoietik)
d. Kehilangan E-cadherin dalam normoblas sebagai tanda adanya aberasi
e. PAS ( pewarnaan sitoplasmik difus atau globular dalam vakuola) dengan
prekursor eritrosit pada aspirasi sumsum. Hasil positif vakuola PAS dapat
terlihat dalam blas L1 dan L2
f. Cincin sideroblas terlihat pada pewarnaan iron blue Prussian ( 10 atau lebih
granula besi yang mengelilingi 1/3 nukleus atau lebih dan >15% cincin
sideroblas yang terdapat pada prekursor eritrosit)
3. Megakariositik
a. Inti hiposegmentasi pada platelet menjadi megakariosit (kurang berlobus)
b. Megakariosit hipersegmentasi (tampak osteoklas)
c. Penggelembungan dari platelet
2. Sumsum tulang
Selularitas biasanya meningkat. Sideroblas cincin dapat ditemukan pada kelima
tipe French-American-British (FAB) tetapi secara definisi mencakup >15%
normoblas pada anemia refrakter dengan sideroblas cincin. Ditemukan normoblas
berinti banyak dan gambaran diseritropoiesis lain. Prekursor granulosit
memperlihatkan adanya gangguan granulasi primer dan sekunder dan sering
ditemukan sel-sel yang sulit diidentifikasi apakah sebagai mielosit agranular,
monosit atau premonosit. Megakariosit abnormal dengan bentuk mikronuklear,
binuklear kecil, atau polinuklear. Biopsi sumsum tulang memperlihatkan fibrosis
pada 10% kasus.
VI. Penatalaksanaan
2.3.1 DEFINISI
Belum ada definisi yang memuaskan untuk menggambarkan tentang anemia pada
penyakit hati. Pada sirosis hati anemia dijumpai merupakan kombinasi dari hipervolemia, masa
hidup eritrosit yang memendek, perdarahan dan berkurangnya kemampuan sumsum tulang
untuk membentuk eritrosit (4).
2.3.2 ETIOLOGI/PATOGENESIS
b). Hipervolemia
Volume darah sering meningkat pada penderita sirosis hati, terutama dengan asites.
Volume darah rata-rata meningkat 15% lebih tinggi dari normal dan ini cenderung
memperbesar prevalensi dan derajat anemia. Hipervolemia ini bisa parsial dan kadang-kadang
total dihitung dari rendahnya Hb dan eritrosit pada darah tepi 5-7. Besarnya hipervolemia
dihubungkan dengan hipertensi portal, bukan berdasarkan ada atau tidaknya asites (8) .
e). Hipersplenisme
Pada sirosis hati dengan hipertensi portal, selalu terjadi splenomegali. Jandl. dkk menduga
limpa yang membesar memegang peranan yang penting dalam penangkapan dan
penghancuran eritrosit. Ini terbukti dengan lebih pendeknya masa hidup eritrosit pada penderita
dengan splenomegali dari pada yang tidak mengalami splenomegali. Dengan memakai 51Cr
red cell survival telah dibuktikan adanya penangkapan eritrosit yang berlebihan oleh limpa
pada beberapa penderita. Tetapi pada umumnya penangkapan oleh limpa adalah normal
walaupun masa hidup eritrosit memendek. Pada beberapa penderita, splenektomi akan diikuti
oleh perbaikan proses hemolitik, tetapi pada penderita yang lain, splenektomi hanya
memberikan efek yang sedikit. Ga mbaran darah tepi dari hipersplenisme bisa dijumpai salah
satu atau kombinasi anemia, lekopenia dan trombositopenia (4).
f). Hemolitik
Masa hidup eritrosit bervariasi antara 100-120 hari. Pada penyakit hati alkoholik,
masa hidup eritrosit cenderung lebih pendek. Alasan mengapa terjadi penurunan umur eritrosit
ini, belum sepenuhnya dimengerti. Penelitian telah membuktikan bahwa dijumpai perbaikan
masa hidup eritrosit, jika ditansfusikan ke orang normal, sehingga diduga faktor hemolitik
berada di ekstrakorpuskular. Walaupun unsur hemolitik ekstrakorpuskular berperanan pada
anemia oleh karena penyakit hati, tetapi gambaran klinis yang khas dan gambaran hematologis
dari anemia hemolitik tidak selalu dijumpai. Pada sirosis hati dijumpai perubahan yang khas
dari membran lipid eritrosit. Dimana rasio kolesterol dan fosfolipid (CP ratio) membran
eritrosit berubah dan sebagai akibatnya dijumpai berbagai kelainan morfologi eritrosit, seperti
makrosit tipis, target sel dan spur sel. Tidak ada bukti bahwa kelainan itu menyebabkan
pemendekan umur eritrosit. Pada kegagalan fungsi hati berat, penimbunan kolesterol dalam
membran eritrosit tanpa penimbunan lesitin, mengakibatkan terbentuknya spur sel. Spur sel
(akantosit) berhubungan dengan hemolisis, masa hidup eritrosit memendek dan menandakan
penyakit hati yang berat serta mempunyai prognosa yang buruk. Pada sirosis hati dengan
peningkatan asam empedu, dijumpai aktivitas enzim lesitin cholesterol acyl transferase
(LCAT) terganggu. Ini menyebabkan rasio kolesterol dan lesitin membran eritrosit berubah,
sehingga kekenyalan membran eritrosit menjadi kaku, mudah terjadi skuesterisasi di limpa dan
terjadi hemolisis (5).
Pada sirosis hati dapat dijumpai abnormalitas metabolisme eritrosit, yang
menyebabkan umur eritrosit lebih pendek. Stimulasi aktivitas pentosa fosfat menurun. Ini
menyebabkan glutation tidak stabil dan cenderung membentuk Heinz-bodies. Abnormalitas
metabolisme ini, membuat sel sensitif terhadap oksidasi hemolisa. Kelainan metabolisme
eritrosit lain yang dijumpai pada sirosis adalah hipofosfatemia dengan penurunan ATP eritrosit
dan sebagai akibat terjadi hemolisis (5) .
C. Serum transferin
Transferin adalah protein transport besi yang diukur serempak dengan besi = serum.
Transferin diukur secara tidak langsung dengan mengukur kapasitas total ikatan besi (TIBC).
Pada anemia defisiensi besi, nilai TIBC meninggi dan menurun pada peradangan akut, infeksi
kronis, penyakit renal dan keganasan. Serum transferin kurang dipengaruhi variasi diurnal.(11).
2.3.4 DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan dengan dijumpainya gejala-gejala dan tanda-tanda anemia,
disamping gejala dan tanda sirosis hati. Dengan pemeriksaan darah tepi, serum darah dan
sumsum tulang, maka dapat ditentukan jenis anemia yang didapat (4).
2.3.5 PENGOBATAN
Pada penyakit sirosis hati tanpa komplikasi dengan anemia yang ringan dan sedang,
pada dasarnya penatalaksanaannya adalah mempertahankan fungsi hati dengan memperbaiki
fungsi hati dan mencegah kerusakan sel-sel hati berlanjut, misalnya dengan memberhentikan
alkohol, memberi nutrisi yang baik dan sebagainya. Bila anemia diputuskan untuk dikoreksi,
maka jenis anemia perlu diketahui. Bila ditemukan defisiensi besi maka dapat disubsitusi
dengan preparat besi, begitu pula bila anemianya karena defisiensi asam folat, maka subsitusi
dengan asam folat dapat diberikan. Penderita dengan perdarahan sering memerlukan transfusi,
biasanya diberikan PRC. Bila diberikan darah segar dapat mencetuskan perdarahan baru oleh
karena kelebihan beban pada vena yang membesar yang sebelumnya sudah terjadi seperti
keadaan peninggian tekanan vena porta. Penderita sirosis hati dengan defek koagulasi, dapat
dianjurkan pemberian vitamin K, bila disertai perdarahan untuk mencukupi kebutuhan faktor
pembekuan dapat ditransfusikan darah plasma segar beku. Bila DIC merupakan penyebab
perdarahan, maka tindakan suportif dengan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada
kasus ini, bila memerlukan transfusi darah, maka pilihan adalah fresh whole blood oleh karena
adanya faktor-faktor pembekuan yang segar, dalam sediaan darah yang diberikan. Pemberian
antikoagulan heparin juga bermanfaat dengan catatan pemeriksaan masa bekuan atau APTT
untuk mengkontrol pemberian obat. (4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherlock S, Dooley J. Hepatic Cirrhosis.In : Diseases of the liver an billiary system.10th
ed. Blackwell Science Publication.1997; 371-84.
2. Ganong F. Function of liver. Review of medical physiology.2nd ed.Los Altos. Appleton &
Lange. 1991; 302-40.
3. Sherlock S, Dooley J.The haematology of liver disease. In : Disease of the liver and billiary
system.10th ed. 1997; 43-47.
4. Lee GR. The anemias associated with renal disease, liver disease, endocrine disease, and
pregnancy. In : Lee GR et al eds. Wintrobe’s clinical hematology.10thed. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 1999; 1503-6.
5. Firkin F, Penington D, Chesterman C, Rush B. Liver diseases. Anaemia in systemic
disorders; diagnosis in normochromic normocytic anaemias. In : de Gruchy?s clinical
haematology in medical practice.5th ed. Delhi, Oxford University Press. 1990; 110-12.
6. Sudoyo, aru et all. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid 1 dan 2. Jakarta
Pusat : Interna Publishing.
7. Tjikroprawito, askandar et all. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press.
8. Supandiman I. Anemia pada penyakit hati. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. edisi
ketiga.2001; 517-18.
9. Lee GR.Anemia : A diagnostic strategy. In : Lee GR et al eds. Wintrobe’s clinical
hematology.10th ed. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins 1999; 1908-34.
10. Lee GR.Anemis : general aspects. In : Lee GR et al eds. Wintrobe?s Clinical
hematology.10th ed. Philadelphia.Lippincott Williams and Wilkins. 1999; 897-905.
11. Lee GR. Microcytic anemia. In : Lee GR.et al eds. Wintrobe’s clinical hematology.10th
ed. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins. 1999; 1109-28.