Judul Jurnal : “Early breastfeeding initiation and incidence of severe neonatal jaundice
in Chipinge district Zimbabwe” (“Inisiasi menyusui dini dengan kejadian
ikterus neonatal berat di distrik Chipinge, Zimbabwe”)
International Journal of Contemporary Pediatrics Mugadza G et al. Int J
Contemp Pediatr. 2017 Nov;4(6):1922-1926 http://www.ijpediatrics.com
Latar : Ikterus pada neonatal adalah kondisi yang paling umum
Belakang mempengaruhi bayi yang baru lahir terutama selama minggu pertama
kehidupan. Sekitar 50-60% bayi yang baru lahir mendapatkan terkena
ikterus pada minggu pertama kehidupan. Ikterus pada neonatal
merupakan hasil dari akumulasi bilirubin yang zat kuning dari sel darah
merah yang rusak. Selama kehidupan intra uterus, plasenta memainkan
peran penting dalam mengeluarkan bilirubin dan limbah lainnya. Setelah
kelahiran, bayi baru lahir mengambil alih peran bilirubin dari sistemnya.
Ini juga penting untuk diperhatikan bahwa ikterus neonatal dapat
merupakan akibat dari suatu zat terkandung dalam ASI yang menghambat
konjugasi dan pembersihan bilirubin, namun jenis ikterus ini terjadi
setelah satu minggu kehidupan dan bertahan selama 1 hingga 3 bulan.
Adanya ikterus neonatal ditandai dengan perubahan warna kuning
pada sklera, kulit, selaput lendir dan itu sering berkembang dari wajah,
hingga dada, ekstremitas. Dalam keadaan normal, ikterus neonatal tidak
memerlukan perawatan medis dan itu sering disebut sebagai ikterus
fisiologis. Bilirubin serum harus berkisar antara 5-6 mg / dl. Namun, jika
kadar bilirubin melebihi 255 μm / l, perawatan medis akan diperlukan
dalam bentuk fototerapi. Secara global, sebanyak 14,1 juta bayi yang baru
lahir membutuhkan fototerapi untuk perawatan ikterus. Pendeteksian
level abnormal akan sering terjadi sehingga menimbulkan tantangan
ketika penilaian klinis ikterus neonatal menjadi praktik yang berkembang
dinegara seperti beberapa bayi dengan penyakit kuning parah mungkin
terjawab.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan
kejadian ikterus neonatal berat di distrik Chipinge, Zimbabwe.
Metodologi : kohort prospektif dilakukan pada 200 bayi baru lahir (100 inisiator
awal dan 100 inisiator akhir) pada neonatus yang sehat dan skrining
penyakit kuning dilakukan pada hari ke 3 dan hari ke 7 menggunakan
bilirubinometri transkutan (JM 120). Inisiasi menyusui dini didefinisikan
sebagai pemberian ASI pertama dalam satu jam setelah kelahiran dan apa
pun yang melebihi satu jam dianggap terlambat (WHO, 2010). Penyakit
kuning dinilai dari ringan (<10mg / dl), sedang (> 10 <14mg / dl) hingga
parah (15mg / dl atau lebih).
Hasil : Semua bayi yang baru lahir yang terdaftar dalam penelitian adalah
sehat pada saat lahir dan telah dilahirkan secara normal dengan skor
Apgar> 8 dan berat lahir 2500 gram dan di atas. Proporsi bayi perempuan
dengan bayi laki-laki adalah 49 hingga 51% di antara penggagas awal dan
56-44 di antara penggagas yang terlambat. Proporsi penggagas awal
hingga akhir adalah 50%.
Sebanyak 200 neonatus sehat yang ditindaklanjuti pada hari ke 3 dan
7 pasca persalinan dan diskrining untuk ikterus neonatal berat pada
minggu pertama kehidupan menggunakan bilirubinometri transkutan.
Penyakit ikterus berat yang lebih tinggi tercatat di antara para inisiator
akhir dibandingkan dengan para inisiator awal. Sebanyak 79 (79%)
ikterus berat dibandingkan para inisiator yang akhir dengan 7 (7%) di
antara para inisiator awal.
Insiden kumulatif ikterus neonatal berat adalah 43% untuk total bayi
yang baru lahir yang ditindaklanjuti selama 1 minggu masa tindak lanjut.
Rasio risiko adalah 1:10 di antara inisiator awal dan inisiator akhir.
Perbedaan risiko adalah 0,72 dan persentase risiko yang dapat
distribusikan adalah 0,9% yang berarti ada perbedaan 72% dalam
kejadian ikterus di antara inisiator akhir sampai awal. Sekitar 90% dari
ikterus yang terjadi pada kelompok yang terpapar adalah hasil dari inisiasi
menyusui yang terlambat.
Inisiasi menyusui dini memiliki hubungan kuat dengan ikterus
neonatal berat, signifikan 2-tailed (P = 0,01) pada 95% CI dan signifikan
2-tailed (P = 0,01) pada 95% CI yang memulai inisiasi menyusui dan
ikterus neonatal berat.
Kesimpulan : Inisiasi menyusui dini memiliki hubungan kuat dengan ikterus neonatal
berat, signifikan 2-tailed (P =0,01) pada 95% CI dan signifikan 2-tailed (P
= 0,01) pada 95% CI menunda inisiasi menyusui dini dan ikterus neonatal
berat. Ada kebutuhan untuk menilai ikterus neonatal secara obyektif
seperti penilaian klinis melalui pengamatan mata keterbatasan dalam
memilih bayi berisiko.
Kelebihan : 1. Memberikaan informasi tentang ikterus neonatal.
2. Memberikan informasi tentang keterkaitan inisiasi menyusu dini
dengan kejadian ikterus neonatal.
3. Penelitian menggunakan studi kohort sehingga ada perbandingan
antara kelompok yang beresiko dengan yang tidak.
Kekurangan : 1. Adanya perlakuan yang berbeda terhadap sampel. Yaitu satu sisi
sampel dilakukan IMD dengan baik, sedangkan satu sisi tidak. Yang
mengakibatkan terjadinya ikterus pada neonatal.
Format Resume Jurnal II
Latar : Sekitar 60% bayi lahir normal menjadi kuningminggu pertama kelahiran.
Belakang Insiden penyakit kuning di Nusa Tenggara Barat rumah sakit dalam 3
tahun kemudian (2012-2014) ada 1166 kasus. Fototerapi dari total serum
bilirubin (TSB) meningkat. Uji klinis telah memvalidasi fototerapi
kemanjuran dalam mengurangi berlebihan tak terkonjugasi
iperbilirubinemia, dan implementasinya telah dibatasi secara drastis
penggunaan transfusi pertukaran (Bhutani, 2011).
Tujuan : Tujuan dari
Penelitian ini adalah untuk menentukan tingkat penyakit kuning sebelum
dan sesudah fototerapi, serta menganalisis pengaruh fototerapi sebelum
dan
setelah tingkat penyakit kuning pada bayi baru lahir.