SINO-ATRIAL
LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Blok
Sino-Atrial” untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen
pengampu Ns. Cipto Susilo, S. Pd,. M. Kep,.
Meskipun banyak hambatan yang penulis alami dalam proses
pengerjaannya, tetapi penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini tepat pada
waktunya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing
mata kuliah Keperawatan Kritis yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan Makalah yang disusun. Serta rekan-rekan mahasiswa yang telah
membantu mendukung terselesainya Makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam membuat Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna sempurnanya Makalah ini. Penulis berharap semoga
Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Mei, 2019
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Blok Sinoatrial memberikan aktivitas yang terintegritas dari sel – sel
pacemaker, merupakan bagian yang padat di antara atrium kanan dan vena
cava superior. Sel – sel perindorial yang biasa disebut sel transional atau sel
T, menghantrkan implus elektrik dari nodus SA ke atrium kanan. Masing –
masing tipe sel ini mempunyai ekspresi profil berbeda beda pada kanal ion.
( Yang Y, Batres Y, Rottman JN.2015)
5
depolarisasi ventrikel. SA blok dikategorikan menjadi tiga derajat
berdasarkan pada panjang keterlambatannya. Klasifikasi blok nodus SA:
a) Blok sinoatrial derajat pertama, terdapat keterlambatan antara waktu
aktif nodus SA dan depolarisasi atrium. Ritme ini tidak dikenali pada
gambaran EKG karena strip tidak menunjukkan ketika nodus SA
aktif. Hal ini dapat dideteksi hanya selama dengan elektrofisiologi
ketika kawat kecil ditempatkan terhadap SA dari dalam jantung dan
impuls listrik dapat dicatat pada saat meninggalkan gelombang p di
pusat node [melihat potensi alat pacu jantung], diikuti dengan
mengamati penundaan dalam timbulnya gelombang p di EKG.
Derajat kedua SA blok dibagi dalam dua subkategori seperti AV
blok yaitu: SA node derajat II type I, atau blok Wenckebach. Ritme
ini tidak teratur, dan interval R-R akan semakin kecil, sedangkan
interval P-R tetap konstan, sampai segmen QRS muncul. Hal ini
sangat berbeda dari Wenckebach blok AV, di mana interval PR akan
semakin panjang, sebelum segmen QRS muncul. Jeda dari derajat
kedua tipe 1 adalah kurang dari dua kali interval R-R terpendek dan
bukan kelipatan dari interval P-R. Penyebabnya adalah perpanjangan
bertahap waktu konduksi dari simpul SA untuk atrium. Gelombang
P di pusat node menghasilkan irama reguler, tapi konduksi mereka
di seluruh node menuju otot atrium mengalami perlambatan.
b) Derajat kedua type II, atau sinus exit blok, adalah irama teratur yang
mungkin normal atau lambat. Hal ini diikuti dengan jeda interval P-
R yang banyak. Konduksi di SA node saat itu normal sampai waktu
jeda ketika blok terjadi.
c) Derajat tiga blok sinoatrial node terlihat sangat mirip dengan sinus
arrest. Namun, sinus arrest disebabkan oleh kegagalan dalam
membentuk impuls. Pada blok SA derajat tiga disebabkan oleh
kegagalan untuk menghantarkan impuls. Ritme tidak teratur dan
normal atau dapat juga lambat. Hal ini diikuti dengan jeda panjang
yang bukan dari interval P-R. Jeda berakhir dengan gelombang P,
sebagai gantinya impuls akan berjalan seperti pada sinus arrest.
6
kulit pucat, sianosis, berkeringat, edema, haluaran urine menurun bila
curah jantung menurun berat.
b) Sinkop, pusing berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
c) Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat
d) Nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan, bunyi
nafas tambahan ( krekels, ronki, mengi ) mungkin ada menunjukkan
komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung ( edema paru ) atau
fenomena tromboembolitik pulmonal hemoptysis
e) Demam, kemerahan kulit ( reaksi obat ), inflamasi, eritema, edema
(thrombosis siperfisial), kehilangan tonus otot/kekuatan
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Blok Sino-Atrial
2.1.7 Penatalaksanaan Blok Sino-Atrial
Blok sinoatrial biasanya ditoleransi dengan baik oleh jantung. Blok ini
tidak seserius blok AV dan paling sering tidak memerlukan pengobatan.
Pada beberapa orang, blok pada SA dapat menyebabkan kehilangan
kesadaran (pingsan), perubahan status mental, nyeri dada, hipoperfusi, dan
tanda-tanda syok. Blok SA dapat pula menyebabkan penghentian node SA
dan disritmia lebih serius. Perawatan darurat, jika dianggap perlu, terdiri dari
pemberian atropin sulfat atau transkutan. Blok nodus SA biasanya tidak
memberi gejala dan menghilang setelah faktor presipitasi sembuh sehingga
tidak memerlukan pengobatan. Namun blok nodus SA yang memiliki pause
yang sangat panjang dan menimbulkan gejala, maka dapat diberikan atropin
atau isoprenalin (i.v) atau pemasangan pacu jantung tergantung berat
ringannya gejala.
Penanggulangan aritmia dapat secara farmakologik, kardioversi, ablasi,
pemasangan pacu jantung, atau dengan tindakan operasi.
Pengobatan aritmia dengan ekstrak kulit pohon cinchona telah dilakukan
oleh Jean-Baptise de Senac pada tahun 1749. Baru pada tahun 1914,
Wenckebach melaporkan kinin efektif mengobati fibrilasi atrium. Dan pada
tahun 1918, Frey menemukan bahwa sebenarnya bentuk disomer dari kinin,
yaitu kinidin yang memiliki efek antiaritmia.
Pada tahun 1975, Vaughan Williams membagi obat-obat anti-aritmia
menjadi 4 kelas, walaupun perkembangan elektrofisiologi telah
membuktikan bahwa sifat antara 4 kelas obat antiaritmia ini saling overlap,
namun pembagian Vaughan Williams ini menurut kami masih relevan dan
mudah untuk dipelajari.
7
Kelas 1. Semua obat-obat antiaritmia yang menstabilkan aktivitas
membran sel (predominan menghambat kanal Na+ ). Kelas ini dibagi
menjadi:
a. Menghambat penanjakan potensial aksi (fase O) dengan
meningkatkan nilai ambang eksitasi (fase 4). Jadi menghambat
kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter efektif. Obat-
obat yang termasuk di dalam golongan ini adalah sulfas kinidin,
prokainamid, diisopiramid dan ajmaline.
b. Menghambat penanjakan potensial aksi namun memperpendek durasi
potensial aksi. Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah: lignokain,
fenitoin, tokainid, dan meksiletin.
c. Memiliki sifat-sifat seperti golongan 1a dan 1b, namun hanya sedikit
mempengaruhi durasi potensial aksi. Walaupun demikian, obat-obat
golongan ini memperpanjang interval PR dan QRS. Yang termasuk
dalam golongan ini adalah: enkainid, flekainid, lorkainid, dan
propafenon.
Kelas 2. Obat-obat yang memperlambat konduksi dan masa refrakter di
nodus AV. Termasuk di dalam golongan ini adalah obat-obat B-blockers
seperti atenolol, metoprolol, bisoprolol, propanolol, dan lain-lain.
Kelas 3. Obat-obat yang memperpanjang durasi potensial aksi atau masa
refrakter efektif (menghambat kanal K+) sehingga memperpanjang interval
QT, namun tidak mempengaruhi penanjakan, amplitudo, dan potensial aksi
istirahat. Termasuk di dalam golongan ini adalah: amiodaron, drone-drone,
sotalol, defotilide dan ibutilide.
Kelas 4. Obat-obat ini memperpanjang konduksi dan masa refrakter
nodus AV sehingga memperpanjang interval PR. Termasuk di dalam
golongan ini adalah CCB non-dihidropiridin: verapamil dan diltiazem.
Konsep pengobatan aritmia secara farmakologik ialah mengubah
konduksi dan masa refrakter yang kacau di dalam lingkaran takikardia
menjadi seimbang, agar impuls tidak mampu mengadakan penetrasi ke
dalam jaringan yang refrakter.
Keberhasilan pengobatan sangat tergantung dari ketepatan memilih
obat-obat anti aritmia berdasarkan mekanisme dasar. Sebagai contoh,
takikardia ventrikel yang disebabkan oleh infark miokard sangat efektif
diobati dengan lignokain atau amiodaron, sedangkan yang disebabkan oleh
intoksikasi digitalis sangat efektif diobati dengan fenitoin atau kalium. Selain
8
itu, mengobati faktor penyebab dan faktor risiko juga memegang peranan
penting.
2.1.8 WOC Blok Sino-Atrial
9
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
10
DAFTAR PUSTAKA
Herman RB. Buku Ajar Anatomi dan Fisiologi Jantung, Jakarta : EGC, 2018
Yang Y, Batres Y, Rottman JN, Berger S, et al. Sinus Node Dysfungction. 2015
11
12