Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kualitas hidup
1. Pengertian Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan ukuran konseptual atau operasional yang
sering digunakan dalam situasi penyakit kronik sebagai cara untuk
menilai dampak dari terapi pada pasien. Pengukuran konseptual ini
mencakup; kesejahtraan, kualitas kelangsungan hidup, kemampuan
seseorang untuk secara mandiri dalam melakukan kegiatan sehari-hari
Montazeri (1996 dalam Hartono 2009). Kreitler & Ben (2004)
mengungkapkan kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu
mengenai keberfungsian mereka di dalam bidang kehidupan. Lebih
spesifiknya adalah penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam
kehidupan, dalam konteks budaya dan system nilai dimana mereka hidup
dalam kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa yang
menjadi perhatian individu (Nofitri, 2009).

Kualitas hidup menjadi istilah yang umum untuk menyatakan setatus


kesehatan, kendati istilah ini juga memiliki makna khusus yang
memungkinkan penentuan rangking penduduk menurut aspek objektif
maupun subjektif pada status kesehatan.Kualitas hidup yang berkaitan
dengan kesehatan Health-related Quality of Life (HQL) mencakup
keterbatasan fungsional yang bersifat fisik maupun mental, dan ekspresi
positif kesejahtraan fisik, mental, serta spiritual. HQL dapat digunakan
sebagai sebuah ukuran integrative yang menyatukan mortalitas dan
morbidilitas, serta merupakan indeks berbagai unsur yang meliputi
kematian, morbidilitas, keterbatasan fungsional, serta keadaan sehat
sejahtra (well-being) (Micheal J.Gibney, 2009).
Kualitas hidup diartikan sebagai istilah yang merujuk pada emosional,
sosial dan kesejahteraan fisik seseorang serta kemampuan aktifitas dalam
kehidupan sehari-hari, kualitas hidup dapat dikategorikan atas; kualitas
hidup buruk dengan skor 0-50 dan kualitas hidup baik 51-100 (Donald,
2009).

2. Kualitas hidup terkait kesehatan


Kualitas hidup seringkali diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan
kepuasan terhadap kehidupan.Akan tetapi pengertian kualitas hidup
tersebut seringkali bermakna berbeda pada setiap orang karena
mempunyai banyak sekali faktor yang mempengaruhi seperti keuangan,
keamanan, atau kesehatan. Untuk itulah digunakan sebuah istilah kualitas
hidup terkait kesehatan dalam bidang kesehatan (Fayers & Machin,
2007).

Aktivitas pencegahan penyakit, kualitas hidup dijadikan sebagai aspek


untuk menggambarkan kondisi kesehatan (Wilson dkk dalam Larasati,
2012). Adapun menurut (Cohen & Lazarus, 1893 dalam Larasati, 2012)
kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan
seorang individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Kualitas
hidup individu tersebut biasanya dapat dinilai dari kondisi fisiknya,
psikologis, hubungan sosial dan lingkungannya (WHOQOL Group 1998
dalam Larasati, 2012).

Pengertian kualitas hidup terkait kesehatan juga sangat bervariasi antar


banyak peneliti. Definisi menurut WHO, sehat bukan hanya terbebas dari
penyakit, akan tetapi juga berarti sehat secara fisik, mental, maupun
sosial. Seseorang yang sehat akan mempunyai kualitas hidup yang baik,
begitu pula kualitas hidup yang baik tentu saja akan menunjang kesehatan
(Harmaini, 2006).
Menurut De Haan et al. (1993 dalam Rahmi, 2011) kualitas hidup terkait
kesehatan harus mencakup dimensi yang diantaranya sebagai berikut :
a. Dimensi fisik
Dimensi merujuk pada gejala-gejala yang terkait penyakit dan
pengobatan yang dijalani.
b. Dimensi fungsional
Dimensi ini terdiri dari perawatan diri, mobilitas, serta level aktivitas
fisik seperti kapasitas untuk dapat berperan dalam kehidupan keluarga
maupun pekerjaan.
c. Dimensi psikologis
Meliputi fungsi kognitif, status emosi, serta persepsi terhadap
kesehatan, kepuasan hidup, serta kebahagiaan.
d. Dimensi sosial
Meliputi penilaian aspek kontak dan interaksi sosial secara kualitatif
maupun kuantitatif.

3. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup


Berbagai penelitian mengenai kualitas hidup menemukan beberapa faktor-
faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup. Berikut beberapa faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup yaitu :
a. Usia
Seiring bertambahnya usia seseorang lebih rentan terhadap penyakit
jantung koroner, namun jarang menyebabkan penyakit serius sebelum
40 tahun dan meningkat 5 kalilipat pada usia 40 samapi 60 tahun
(Price & Wilson, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
terhadap 172 pasien penyakit hipertensi, dilaporkan bahwa 33,2%
pasien yang berusia lebih dari 75 tahun mempunyai kualitas hidup
buruk dibandingkan dengan pasien yang berusia lebih muda.
Pasien berusia 18-24 tahun, hanya 7,5% yang mempunyai kualitas
hidup buruk (Steigelman et al, 2006).
b. Jenis Kelamin
Moons, Marquet, Budst, dan De Gees (2004) mengatakan bahwa
gender adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup.
Bain, Gillian, Lamnon, Teunise (2003 dalam Nofitri, 2009)
menemukan adanya perbedaan antara kualitas hidup antara laki-laki
dan perempuan, dimana kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik
daripada kualitas hidup perempuan.Bertentangan dengan penemuan
Bain, Gillian, Lamnon, Teunise (2004) menemukan bahwa kualitas
hidup perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki.

c. Pendidikan
Moons, Marquet, Budst, dan De Gees (2004) mengatakan bahwa
tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas hidup subjektif. Penelitian yang dilakukan oleh Wahl, Astrid,
Rusteun, Hanested (2004) menemukan bahwa kualitas hidup akan
meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang
didapatkan oleh individu. Penelitian yang dilakukan oleh Noghani,
Asghapur, dan Safa (2007) dalam menemukan adanya pengaruh
positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup subjektif namun tidak
banyak.

d. Status pernikahan
Moons, Marquet, Budst, dan De Gees (2004) mengatakan bahwa
terdapat perbedaan kualitas hidup antara individu yang tidak menikah,
individu bercerai ataupun janda, dan individu yang menikah atau
kohabitasi. Penelitian empiris di Amerika secara umum menunjukkan
bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih
tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun
janda/duda akibat pasangan meninggal. Hal ini didukung oleh
penelitian kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner SF-36
terhadap 145 laki-laki dan wanita, dilaporkan bahwa laki-laki dan
perempuan yang sudah menikah memiliki kualitas hidup yang lebih
baik dibandingkan dengan yang belum menikah atau yang sudah
bercerai. Kualitas hidup yang baik pada laki-laki dan wanita yang
sudah menikah karena adanya dukungan sosial dari pasangannya
(Quan, Rong, Chan, Rong & Xiu, 2009).

e. Pekerjaan
Moons, Marquet, Budst, dan De Gees (2004) mengatakan bahwa
terdapat perbedaan kualitas hidup antara penduduk yang berstatus
sebagai pelajar, penduduk yang bekerja, penduduk yang tidak bekerja
(atau sedang mencari pekerjaan), dan penduduk yang tidak mampu
bekerja (atau memiliki disabiliti tertentu). Wahl, Astrid, Rusteun &
Hanested (2004) menemukan bahwa status pekerjaan berhubungan
dengan kualitas hidup baik pada pria maupun wanita.

f. Lama menderita hipertensi


Menurut WHO (2010) Kesehatan merupakan sebuah kondisi yang
setabil atau normal dalam system koordinasi jiwa dan raga manusia
maupun mahluk hidup yang lain. Kesetabilan pada koordinasi organ-
organ pada tubuh manusia atau mahluk hidup lainya dapat
berpengaruh pada kesehatan jasmaninya. Sementara itu kesehatan
rohani merupakan kesehatan jiwa pada manusia atau mahluk hidup
lainnya yang memiliki akal dan pikiran, agar dapat
mengkoordinasikan hati dan pikiran guna memperoleh rasa nyaman.
Saat ini hipertensi perlu diperhatiakan dalam kesehatan masyarakat,
karena lama menderita hipertensi dapat menyebabkan komplikasi
yang lebih berat apabila tidak segera ditangani.

g. Keteraturan berobat
Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent disease atau
pembunuh diam-diam, karena pada umumnya penderita tidak
mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan
tekanan darahnya. Kepatuhan menjalani pengobatan sangat diperlukan
untuk mengetahui tekanan darah serta mencegah terjadinya
komplikasi. Keteraturan berobat dikatakan teratur apabila dilakukan
berturut-turut dalam beberapa bulan terahir dan tidak teratur apabila
tidak dilakukan berturut-turut dalam beberapa bulan terahir (Annisa,
2013). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mubin (2010)
yang mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan tentang penyakit hipertensi seperti akibat dari penyakit
jika tidak minum obat atau kontrol tekanan darah secara rutin maka
akan mengakibatkan komplikasi penyakit, sehingga mereka
meluangkan waktu untuk kontrol tekanan darah.

h. Tekanan darah
Tekanan darah adalah kekuatan yang diperlukan agar darah dapat
mengalir dalam pembuluh darah dan beredar mencapai semua
jaringan tubuh manusia. Darah yang dengan lancar beredar ke seluruh
bagian tubuh berfungsi sangat penting sebagai media pengangkut
oksigen serta zat-zat lain yang diperlukan bagi kehidupan sel-sel
tubuh. Selain itu, darah juga berfungsi sebagai sarana pengangkut sisa
hasil metabolism yang tidak digunakan lagi oleh tubuh untuk
dikeluarkan (Gunawan, 2007).

4. Pengukuran Kualitas Hidup


Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan seseorang dapat
menggunakan kuesioner yang berisi faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup. Menurut Hermaini (2006), terdapat tiga alat ukur untuk
menentukan kualitas hidup seseorang, yaitu :
a. Alat ukur generik
Merupakan alat ukur yang digunakan untuk penyakit maupun usia.
Keuntungan alat ukur ini lebih luas dalam penggunaannya, kelemahan
alat ukur ini tidak dapat mencakup hal-hal khusus pada suatu penyakit
tertentu. Contoh alat ukur ini adalah SF-36, instrument yang
digunakan pada penelitian ini untuk mengukur faktor-faktor kualitas
hidup pada penderita hipertensi adalah SF-36, merupakan suatu isian
yang berisi 36 pertayaan yang disusun untuk mensurvey status
kesehatan pada penderita hipertensi yang meliputi :
1) Pembatasan aktifitas fisik karena masalah kesehatan yang ada
2) Pembatasan aktifitas sosial karena masalah fisik dan emosional
3) Pembatasan aktifitas sehari-hari karena masalah fisik, nyeri,
kesehatan mental secara umum
4) Pembatasan aktifitas sehari-hari karena masalah emosional,
vitalitas hidup, dan pandangan kesehatan secara umum
(Hermaini, 2006).

Instrument SF-36 terkait kualitas hidup terbagi atas delapan dimensi,


yang terdiri dari dimensi fisik ( 10 pertayaan), peran fisik ( 4
pertayaan), rasa nyeri (2 pertanyaan), peran emosional (3 pertanyaan),
dan kesehatan mental (5 pertayaan) serta ditambah 2 komponen
ringkasan fisik dan mental.

SF-36 adalah sebuah kuisioner yang digunakan untuk survey


kesehatan untuk menilai kualitas hidup, yang terdiri dari 36 pertayaan
yang menghasilkan 8 skala fungsional kesehatan dan skor
kesejahtraan yang berbasis psikometri kesehatan fisik dan psikis, serta
merupakan kumpulan dari langkah-langkah dan preferensi kesehatan
yang berbasis indeks. Skor penilaian kualitas hidup antara 0-100
dikatakan baik apabila skor kualitas hidup 51-100 dan dikatakan
buruk apabila skor kualitas hidup 0-50 (Hermain, 2006).
SF-36 merupakan instrumen pengukuran kualitas hidup yang
digunakan secara luas untuk berbagai macam penyakit. Kuisioner SF-
36 digunakan untuk mengukur 8 kriteria kesehatan, yang terdiri atas :
1) Pembatasan aktifitas fisik kareana masalah fisik yang ada
2) Pembatasan aktifitas sosial kareana masalah fisik dan emosional
3) Pembatasan aktifitas sehari-hari karena masalah fisik
4) Nyeri pada seluruh badan
5) Kesehatan mental secara umum
6) Pembatasan aktifitas sehari-hari karena masalah emosional
7) Vitalitas hidup
8) Pandangan kesehatan secara umum.

Dalam dimensi tersebut dapat digolongkan menjadi 2 komponen yaitu


komponen fisik dan komponen mental (Ware dkk., 1994 dalam Yani,
2010).

Gambar 2.1 Skala pengukuran komponen fisik dan mental


b. Alat ukur spesifik
Merupakan alat ukur yang spesifik untuk mengukur penyakit-penyakit
tertentu, biasanya berisi pertayaan-pertayaan khusus yang sering
terjadi pada penyakit yang diderita oleh klien. Kelebihan alat ukur ini
yaitu dapat memberikan hasil yang lebih tepat yang terkait keluhan
atau hal khususyang berperan dalam suatu penyakit tertentu.
Kelemahan pada alat ukur ini tidak dapat digunakan pada pengukuran
penyakit laian dan biasanya pertanyaan-pertanyaanya sulit untuk
dimengerti oleh kliyen. Contoh alat ukur ini Kidney Desease Quality
of Life – Short From (KDQOL-SF).

c. Alat ukur utility


Merupakan suatu pengembangan alat ukur, biasanya generik.
Pengembangan dari penilaian kualitas hidup menjadi parameter,
sehingga dapat memiliki manfaat yang berbeda. Contoh alat ukur ini
European Quality of Life – 5 Dimension (EQ-5D) yang telah
dikonfersi menjadi Time Trede – Off (TTO) yang dapat berguna dalam
bidang ekonomi, yaitu dapat digunakan untuk menganalisa biaya
kesehatan dan perencanaan keuangan kesehatan Negara.

B. Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan darah lebih dari 140/90
mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah 160/95
mmHg untuk usia ≥ 50 tahun. Pengukuran tekanan darah sebaiknya
dilakukan sebayak dua kali untuk memastikan keadaan tersebut (WHO,
2010).

Menurut Smelzer dan Bare, (2008) hipertensi dapat diartikan sebagai


tekanan darah persisten dimana tekanan darah 140/90 mmHg. Pada
manula hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolik 90 mmHg. Penulisan tekanan darah missal : 130/85
mmHg didasarkan pada dua fase dalam aktifitas jantung :
a. Sistolik (nilai yang lebih tinggi : 130), menunjukkan fase yang
dipompakan jantung ke seluruh tubuh.
b. Diastolik (nilai yang lebih rendah : 85), menunjukkan fase kembaliya
dari seluruh tubuh menuju jantung.

2. Epidemologi
Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan
tuberculosis, yakni mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua
umur di Indonesia. Hipertensi merupakan gagngguan system peredaran
darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal, yaitu
140/90 mmHg. Hasil Riset Kesehatan Dasar (2013), menunjukkan
prevelensi hipertensi secara nasional mencapai 36,8%, dan hanya terdapat
0,1% yang hanya mengkonsumsi obat hipertensi. Hal ini menunjukkan
bahwa 63,2% kasus hipertensi di masyarakat masih belum terdiagnosis.

3. Etiologi
Menurut Gunawan (2008), berdasarkan penyebabnya hipertensi
dibedakan atas :
a. Hipertensi essensial (hipertensi primer)
Hipertensi esensial atau primer adalah peningkatan darah persisten
dari tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidak teraturan mekanisme
homeostatik. Penyebab hipertensi primer belum diketahui secara pasti,
dan terjadi pada 90-95% dari kasus hipertensi. Hipertensi dapat terjadi
secara genetik yang dapat di turunkan dari orang tua penderita
hipertensi, hal menunjukkan faktor genetik berperan penting pada
pathogenesis pada hipertensi primer (Muchid, 2006).
Meskipun pada hipertensi primer belum diketahui penyebabnya,
namun dari data penelitian ditemukan beberapa faktor yang sering
menyebabkan hipertensi. Faktor tersebut meliputi :
1) Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang yang menderita
hipertensi disebabkan karena keluarga adalah penderita hipertensi.

2) Ciri perseorangan
Hal ini dapat mempengaruhi timbulnya hipertensi yaitu usia dari
indifidu (jika usia seseorang bertamabah hal ini akan
menyebabkan tekanan darah meningkat), jenis kelamin, ras (ras
kulit juga dapat berpengaruh terhadap tekanan darah).
3) Kebiasaan hidup
Konsumsi garam tinggi (≥ 30 gr/hari), obesitas, stres, dan
pengaruh lain seperti merokok, minum alkohol, obat-obatan
(ephedrine, prednisone, epineprin), hal ini juga dapat berpengaruh
terhadap tekanan darah pada penderita hipertensi.

b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyaki
lain, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular
renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing,
feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan, dan lain – lain.

4. Klasifikasi hipertensi
Klasifikasi hipertensi menurut Mansjoer (2008), di bagi menjadi tiga
yaitu:
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Merupakan hipertensi yang masih belum jelas diketahui penyebabnya,
hal ini juga sering disebut juga dengan hipertensi idiopatik. Terdapat
sekitar 95% kasus, hal ini dipengaruhi oleh faktor yang meliputi;
genetik, lingkungan, system rennin angiotensin, defek dalam sekresi
Na, hiper aktifitas system saraf simpatis, peningkatan Na, dan Ca intra
seluler. Juga faktor-faktor yang meningkatkan resiko seperti; obesitas,
konsumsi alkohol dan merokok.

b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal


Terdapat 5% kasus penyebabnya, spesifikasinya diketahui karena
penggunaan ekstrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal,
hiper adosteromine primer, dan sindrom cusing, serta hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan dan lain-lain.

c. Hipertensi maligna
Merupakan hipertensi yang sangat parah, yang apabila tidak diobati
akan menimbulkan kematian dalam waktu ± 3-6 bulan. Hipertensi ini
jarang terjadi, dikarenakan haya 1 dari 200 penderita hipertensi yang
mengidap hipertensi maligna.

5. Kriteria hipertensi
Untuk mengetahui tingkatan hipertensi, terdapat klasififikasi hipertensi
yang diklasifikasikan dalam tabel 1 dan 2, yaitu sebagai berikut :

Table 2.1.
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VIII
(Maulana, 2014)
Tekanan sistol Tekanan diastole
Normal < 120 < 80

Pre hipertensi 120 – 139 80 – 89


Hipertensi derajat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi derajat 2 > 160 > 100
Table 2.2.
Klasifikasi tekanan darah menurut WHO
(Maulana, 2014)
Kategori Tekanan sistol Tekanan diastole
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130 – 139 (< 140) 85 – 89 (< 90)
Hipertensi derjat 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Borderline 140 – 149 90 – 94
Hipertensi derajat 2 (sedang) 160 – 179 100 – 109
Hipertensi derajat 3 (berat) > 180 > 110
Hipertensi sistolik > 140 > 90

6. Faktor-faktor penyebab terjadinya hipertensi


Menurut Tandra (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada
individu :
a. Berat badan berlebih (obesitas)
Hal ini meningkatkan faktor resiko hipertensi, dikarenakan obesitas
merupakan salah satu dari bahaya kesehatan. Penyebabnya
dikarenakan terlalu banyak makan dan tidak berolahraga.
b. Metabolisme lemak abnormal
Lemak serum yang dikenal sebagai lipid, yang memasok energi dan
bahan pembangun.Lemak serum sebagian diperoleh dari makanan
yang dikonsumsi sehari-hari.
c. Merokok
Merupakan faktor resiko penyebab dalam penyakit kardiovaskuler.
d. Stress
Stress menjadi suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan segala
sesuatu, mulai dari sakit kepala ringan hingga gangguan serius.
e. Usia
Kondisi yang berkaitan dengan usia ini bukanlah hipertensi sejati
melainkan produk kausan arteriosklerosis dan arteri-arteri ini menjadi
semakin kaku, sehingga dpat menyebabkan arteri dan aorta kehilangan
penyesuaian diri. Penurunan elastisitas tidak dapat mengubah tekanan
darah yang keluar dari jantung menjadi alran darah yang encer.
7. Patofisiologi
Mekanisme pengontrol fase kontriksi dan relaksasi pembuluh darah di
pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula
jaras saraf simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medulla spinalis menuju ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus
yang bergerak kebawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis.
Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilokin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya norepineprin mengakibatkan kontraksi pembuluh
darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Pada
penderita hipertensi sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun
belum diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut dapat terjadi (Smaltzer
dan Bare, 2008).

Saat yang bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh


darah sebagai rangsang emosi, yang akan merangsang kelenjar adrenal
sehingga dapat menyebabkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medula
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah pada ginjal yang dapat
menyebabkan pelepasan renin. Renin akan merangsang pembentukan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, yang
memperkuat fasekonstriktor. Yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormone ini menyebabkan peningkatan
intravaskuler (Smaltzer dan Bare, 2008).
8. Manifestasi klinis
Berbagai tanda dan gejala pada pasien hipertensi meliputi; sakit kepala,
mual, muntah, penglihatan kabur, cara berjalan tidak mantap, nokturia
akibat peningkatan darah pada ginjal, edema dependen dan edema akibat
peningkatan tekanan kapiler. Tanda dan gejala tersebut dapat
mempengaruhi kualitas hidup pada seseorang dengan hipertensi (Corwin,
2009).

Pemeriksaan fisik mungkin tidak dijumpai pada penyakit hipertensi,


melainkan dijumpai tekanan darah yang tinggi, akan tetapi dapat
ditemukan juga perubahan pada retina, seperti; perdarahan, eksudat
(kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah. Dan pada kasus berat
dapat ditemukan edema pupil (edema pada diskus optikus). Individu yang
menderita hipertensi terkadang tidak menampakkan gejala sampai
bertahun-tahun. Gejala biasanya menunjukkan adanya kerusakan
vaskuler, dengan tanda gejala yang khas sesui sistem organ yang
divaskularisasi oleh pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2008).

Penyakit arteri koroner dengan angina adalah gejala yang paling


menyertai hipertensi. Hipertrofi ventrikel kiri terjadi sebagai respon akibat
peningkatan beban kerja vetrikel saat dipaksa berkontraksi melawan
tekanan sistemik yang meningkat. Apabila jantung tidak mampu lagi
menahan peningkatan beban kerja, maka dapat terjadi gagal jantung kiri.
Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia
(peningkatan nitrogen urea darah) dan kreatinin. Keterlibatan pembuluh
darah pada otak dapat mengakibatkan sroke atau serangan iskemik
transien yang bermanifestasi seabagai paralisis sementara pada salah satu
sisi (hemipelgia) atau gangguan tajam penglihatan (Smeltzer dan Bare,
2008).
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hipertensi ringan dan
sedang biasanya mengenai mata, ginjal, jantung, dan otak. Pada mata
berupa pendarahan retina, gangguan penglihatan hingga kebutaan. Gagal
jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada pasien dengan
hipertensi berat selain koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
pendarahan yang disebabkan karena pecahya mikroneorisma (penonjolan
dindig kapiler vena) yang dapat mengakibatkan kematian. Kelainan lain
yang dapat terjadi ialah proses tromboemboli dan serangan Transient
Iskemic Attack (TIA) sementara (Anggraini dan Waren, 2009)

Menurut Maksuk dan Apriliadi (2012) komplikasi dari hipertensi juga


dapat menyebabkan, diantaranya :
a. Stroke
Dapat terjadi karena akibat hemoregik tekanan darah tinggi diastolik
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh darah selain otak,
yang terpejan atau memiliki tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
penderita hipertensi kronis, apabila arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah yang
menuju otak berkurang.
b. Infark miokard
Dapat terjadi apabila arteri koroner yang mengalami aterosklerosis
tidak dapat menyupalai kebutuhan oksigen pada miokardium, atau
apabila terbentuk thrombus yang menghambat aliran darah melewati
pembuluh darah.
c. Gagal ginjal
Dapat terjadi karena kegagalan progresif akibat tekanan darah terlalu
tinggi pada kapiler glomerulus ginjal. Akibat kerusakan pada
glomerulus tersebut, aliran darah yang menuju unit fungsional ginjal
(nefron) terganggu yang lama-kelamaan dapat menyebabkan hipoksia
atau kematian jaringan.
d. Ensepalopati
Hal ini dapat terjadi pada penderita hipertensi maligna, yang
dikarenakan akibat tekanan darah yang sangat tinggi. Kelaianan ini
dapat menyebabkan disfungsional kapiler sehingga mendorong cairan
menuju ruang intertistial saraf pusat.

C. Hubungan hipertensi dengan kualitas hidup


Sony, et all (2010) mengemukakan dalam sebuah studi terhadap penduduk
Afrika dan Amerika selama 7 tahun, random control doubleblind, dengan
jumlah responden 1094 orang memiliki Mean Aterial Preasure (MAP) 102-
107 mmHg, mendapat terapi anti hipertensi. Setelah dilakukan pengukuran
kualitas hidup menggunakan SF-36 didapatkan adanya hasil adanya efek
negatif yang signifikan antara MAP dengan kualitas hidup. Menurut Corwin
(2009) tanda gejala yang muncul pada pasien hipertensi seperti sakit kepala,
mual, muntah, penglihatan kabur, cara berjalan tidak mantap, dan edema yang
dapat menurunkan fungsi fisik pasien akibat hipertensi. Oleh karena itu
hipertensi perlu dikendalikan dengan baik agar fungsi fisik, psikologi, sosial,
dan spiritual tetap optimal.
D. Kerangka teori

Kualitas hidup :
Faktor penyebab
hipertensi : 1. Dimensi fisik
2. Dimensi fungsional
1. Berat badan berlebih Hipertensi
3. Dimensi psikologis
(obesitas)
4. Dimensi sosial
2. Metabolism lemak
5. Dimensi lingkungan
abnormal
3. Merokok
4. Stress
5. Usia Faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup:

1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Status pernikahan
5. Pekerjaan
6. Lama menderita
hipertensi
7. Keteraturan berobat
8. Derajat hipertensi

Skema 2.1 Kerangka teori


Sumber :(De Haan Dkk, 2010, Amtzen Dkk, 2011, JNC VII, Guyat Dkk,
2003)
E. Kerangka konsep

Variabel independen Variabel dependen

Usia

Jenis kelamin

Pendidikan

Status pernikahan
Kualitas hidup

Pekerjaan

Lama menderita
hipertensi

Keteraturan berobat

Derajat hipertensi
F. Variabel penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,
pendidikan, status pernikahan, pekerjaan, lama menderita hipertensi,
keteraturan berobat, tekanan darah
2. Variabel terkait penelitian adalah kualitas hidup.

G. Hipotesis penelitian
1. Terdapat hubungan antara usia dengan kualitas hidup pada pasien
hipertensi di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang
2. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kualitas hidup pada
pasien hipertensi di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang
3. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan kualitas hidup pada pasien
hipertensi di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang
4. Terdapat hubungan antara status pernikahan dengan kualitas hidup pada
pasien hipertensi di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang
5. Terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kualitas hidup pada pasien
hipertensi di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang
6. Terdapat hubungan antara lama menderita hipertensi dengan kualitas
hidup pada pasien hipertensi di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang
7. Terdapat hubungan antara keteraturan berobat hipertensi dengan kualitas
hidup pada pasien hipertensi di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang
8. Terdapat hubungan antara derajat hipertensi dengan kualitas hidup pada
pasien hipertensi di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang.

Anda mungkin juga menyukai