Atas dasar pengertian ini St. Paus Yohanes Paulus II merumuskannya dengan lebih
sederhana, sebagaimana diajarkan dalam Konsili Vatikan II, yaitu evangelisasi itu berkenaan
dengan masuknya kita dalam misteri kasih Allah, yang mengundang setiap orang ke dalam
hubungan yang pribadi dengan Kristus.[3] Karena itu, evangelisasi bukan semata penerusan
ajaran, ataupun suatu pengetahuan tentang iman yang dipahami di kepala, tetapi lebih dalam
daripada itu. Evangelisasi menyangkut perubahan keseluruhan hidup kita, atau yang lebih
dikenal dengan istilah ‘pertobatan’. Perubahan itu terjadi karena perjumpaan kita dengan
Kristus, yang mengundang kita untuk masuk dalam kehidupan-Nya sendiri, ke dalam misteri
kasih-Nya yang tak terpahami, sebab dengan demikian kita menjadikan segala pemikiran dan
kehendak Kristus sebagai pemikiran dan kehendak kita sendiri. Dengan demikianlah, kita
kelak dapat menerima janji keselamatan kekal dalam Kerajaan Allah, sebagaimana
dijanjikan-Nya.
Ajaran serupa juga disampaikan oleh Paus Fransiskus. Ketika menjelaskan tentang terang
iman, Paus Fransiskus mengajarkan bahwa kebenaran yang diungkapkan iman adalah
kebenaran yang berpusat pada perjumpaan dengan Kristus, pada permenungan tentang hidup-
Nya dan pada kesadaran akan kehadiran-Nya.[4] Evangelisasi adalah yang merupakan
penyampaian Kabar Baik itu, mensyaratkan terlebih dahulu dari orang yang mewartakan,
sebuah perjumpaan pribadinya dengan Kristus yang mengubah seluruh hidupnya. Ibaratnya,
untuk membawa orang lain agar berjumpa dengan Kristus, seseorang harus terlebih dulu
berjumpa dengan Kristus.
‘Kecharitomene’ sendiri artinya adalah ‘engkau yang telah dan tetap dikaruniai rahmat
dengan sempurna, sepenuhnya’. Para Bapa Gereja, terutama mereka yang berbahasa Yunani,
seperti St. Gregorius Thaumaturgus (205-270), St. Yohanes Sang Teolog (400), dan St.
Theodotus dari Ancyra (awal abad 5), mengartikan kepenuhan rahmat Allah ini sebagai
kekudusan yang sempurna, sehingga tidak ada lagi ruang bagi dosa. St. Theodotus
mengajarkan: “Perawan yang tak berdosa, tidak bernoda, tanpa cacat, tanpa tersentuh, tanpa
cela, kudus dalam tubuh dan jiwa, seperti bunga lili yang mekar di antara semak duri ….
Bahkan sebelum kelahiran Kristus, ia telah dikuduskan bagi Allah … Murid yang kudus,
… bijaksana di dalam pikiranmu, bersatu dengan Tuhan di dalam hatimu, perkataanmu layak
dipuji, tetapi terlebih lagi perbuatanmu….”[5] Ajaran para Bapa Gereja dari Yunani ini,
menegaskan apa yang telah diajarkan oleh para Bapa Gereja pendahulu mereka, seperti St.
Irenaeus (180), St. Hippolytus (235), Origen (244), St. Ephraim (361), St. Athanasius (373),
St. Ambrosius (387), St. Gregorius (390), yang telah mengajarkan tentang kekudusan dan
ketaatan Bunda Maria. Bunda Maria disebut sebagai Hawa yang baru yang bekerjasama
dengan Kristus sebagai Adam yang baru, dan Tabut Perjanjian Baru yang mengandung
Kristus, sebagai penggenapan Perjanjian Lama.
Warta Kabar Gembira, yang disampaikan oleh malaikat kepada Bunda Maria, juga
menyatakan karya Allah Tritunggal dalam rencana-Nya untuk mengutus Kristus Putera-Nya
ke dunia. “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi
engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” (Luk
1:35) Dalam peristiwa Inkarnasi Kristus, Bunda Maria dinaungi oleh kuasa Allah Bapa; dan
ia menerima Roh Kudus yang turun atasnya; sehingga ia mengandung dan melahirkan Kristus
Sang Putera Allah. Dengan ketaatannya, Bunda Maria menerima Sang Putera Allah, yaitu
Sang Sabda sehingga Sabda itu dapat menjelma menjadi manusia. Karena ketaatan Maria
itulah, maka dapat dikatakan bahwa Bunda Maria pertama- tama menerima Sang Sabda itu di
dalam hatinya, sebelum ia mengandung Kristus di dalam rahimnya.
Maka, sungguh tak terkatakan persatuan yang erat antara Bunda Maria dengan Kristus.
Selama sembilan bulan Bunda Maria mengandung Kristus, yang didalamnya terkandung
kepenuhan ke-Allahan (Kol 2:9). Bunda Maria melahirkan Kristus, membesarkan-Nya, hidup
di bawah satu atap dengan-Nya selama sekitar 30 tahun. Bunda Maria menyertai Dia dalam
tiga tahun karya publik-Nya, sampai pada saat kematian Yesus di kayu salib. Bunda Maria
selalu ada dalam persekutuan dengan Puteranya sejak awal kehidupan-Nya sebagai manusia
di dunia ini, sampai saat wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga. Setelah itu,
Bunda Maria terus menyertai para rasul-Nya dan berdoa bersama-sama mereka, saat
menantikan turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta, yang menyatakan kelahiran Gereja.
Maka Bunda Maria, adalah anggota pertama Gereja, yang mengalami kepenuhan Kristus
dengan cara yang istimewa dan satu-satunya.
Pertanyaan bagi kita adalah: Sudahkah kita mengalami kehadiran Kristus di dalam hidup
kita? Melalui kejadian hidup sehari-hari, kita dapat mengalami kehadiran-Nya. Kehadiran
Tuhan Yesus yang paling nyata bagi kita umat Katolik adalah melalui Ekaristi kudus. Dengan
menerima Ekaristi kita juga mengalami kehadiran-Nya dalam tubuh dan jiwa kita. Dengan
demikian, kita dijadikan serupa -walau tentu tidak sama- dengan Bunda Maria, yang juga
bersatu dengan Kristus, dalam tubuh dan jiwa. Yesus juga hadir dalam doa-doa kita, dalam
permenungan Sabda-Nya dalam Kitab Suci dan dalam perjumpaan kita dengan sesama.
Karena itu, besarlah peran doa permenungan misteri kehidupan Kristus, seperti dalam doa-
doa Rosario, Jalan Salib, atau dalam doa-doa devosi lainnya. Doa-doa tersebut mengangkat
kita untuk masuk dalam kehidupan Kristus sendiri, dan dengan demikian mengalami kasih-
Nya dengan begitu nyata semasa kita hidup di dunia. St. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan
bahwa doa Rosario adalah “ringkasan Injil” yang merupakan salah satu doa yang diarahkan
untuk kontemplasi akan wajah Kristus. Pengalaman perjumpaan dengan Kristus ini, yang
sejatinya dialami dalam keheningan dan doa, kemudian menjadi dasar bagi perkembangan
kita untuk semakin mengenal Kristus, agar kita dapat hidup mengikuti kehendak-Nya dan
mewartakan kasih-Nya. [6]
Belajar dari teladan Bunda Maria, sudah saatnya kita bertanya kepada diri kita sendiri,
“Sudahkah aku setia mendengarkan sabda Tuhan dan melaksanakannya?” Setia
mendengarkan sabda Tuhan berawal dari hal kecil dan sederhana, yaitu, setia membaca Kitab
Suci setiap hari dan merenungkannya. Apakah hal ini sudah kita lakukan? Sebab untuk
melaksanakan sabda Tuhan, kita perlu untuk mengetahuinya terlebih dahulu, entah dengan
cara mendengarkan ataupun membaca sabda-Nya itu; dan kemudian meresapkannya, supaya
menjadi kesatuan dengan hati dan pikiran kita. Sungguh ini merupakan undangan dan
sekaligus tantangan bagi kita semua!
Sesungguhnya kitapun dipercaya oleh Allah untuk tugas ini, yaitu untuk menyampaikan
menyampaikan Kristus kepada dunia di sekitar kita. Pertanyaannya, sudahkah kita
melakukannya? Sudahkah kita ikut serta mengambil bagian dalam karya evangelisasi ke
seluruh dunia? Melalui doa dan karya kerasulan kita?
Bunda Maria juga menunjukkan kepekaannya akan kebutuhan sesamanya dalam peristiwa
perkawinan di Kana. Ia melihat kebutuhan tuan rumah yang mengundangnya: “Ketika
mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada-Nya: “Mereka kehabisan anggur.”
(Yoh 2:3) Bunda Maria senantiasa melihat setiap orang yang tersisih dan berkekurangan. Ia
bersegera menolong dan menyampaikan kebutuhan tersebut kepada Yesus Puteranya.
Bunda Maria memberikan teladan kepada kita, agar kita menemukan, adakah orang yang
tersisih dalam keluarga ataupun lingkungan kita? Apakah yang sudah kita lakukan untuk
mereka? Mari belajar dari Bunda Maria untuk menjadi orang yang peka akan kebutuhan
sesama dan bergegas pula menawarkan pertolongan, entah dengan tindakan, perkataan, atau
doa.
Apakah dalam setiap kehidupan sehari-hari: di rumah, di tempat kerja, di komunitas dan
paroki, kita telah menempatkan diri sebagai hamba Allah? Apakah kita sudah menjadi orang
yang rendah hati dan tidak sombong?
Menjadi pertanyaan bagi kita: Apakah kita menuntut keistimewaan ketika kita melayani?
Apakah kita mau mengikuti aturan yang berlaku dan menjalankannya dengan sukacita?
Apakah kita juga menyimpan di dalam hati dan merenungkan segala hal yang Tuhan izinkan
terjadi dalam hidup kita? Maukah kita menerima ajaran iman kita: belajar dan merenungkan
misteri iman Katolik dan mengambil bagian di dalamnya?
Mari kita merenungkan dalam keseharian kita, apakah kita sudah membawa sesama kita
kepada Kristus? Atau malah sebaliknya, kita sering mencari pujian dan perhatian kepada diri
kita sendiri? Apakah kita telah melayani Tuhan dengan motivasi untuk memuliakan Tuhan?
Penyerahan total Bunda Maria kepada rencana Allah, membuat kita memeriksa batin: “Tetap
setiakah aku kepada Kristus, terutama di saat-saat sulit dalam hidupku? Di saat segala sesuatu
yang terjadi tidak sesuai dengan harapanku, apakah aku tetap percaya akan janji Tuhan
bahwa ia akan memberikan yang terbaik kepadaku? Apakah aku telah mempersembahkan
diriku seluruhnya kepada Tuhan?”
Kita masing-masing pun dipanggil untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah
itu, yaitu agar kita mengalami Kristus, mengikuti Dia dan membagikan-Nya kepada sesama,
agar semakin bayak orang percaya, mengenal Kristus dan mengasihi Dia. Semoga Tuhan
Yesus membantu kita, agar kita dapat melakukannya dengan cara kita masing-masing.