DI SUSUN OLEH :
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara terkorup di
dunia. Menaggapi hasil penelitian tersebut, Negara Indonesia hanya menikmati alias tidak
melakukan gregat politik, tidak ada gerakan massif kebudayaan, tidak juga ada langkah
hukum yang gegap gempita tekad dan aksi yang tertata langkahnya, sebab korupsi telah
menjadi gerakan sistematik merata vertikal dan horizontal yang berujung kehancuran karena
telah menjadi gerakan sistemik. Banyak orang begitu bangga, gagah berani dan enjoy
menjarah uang rakyat dan mereka sangat menikmati hasil korupsinya. Koruptor ini terutama
adalah orang yang menduduki jabatan strategis dalam beragai institusi Negara dan
pemerintahan, mulai dari bawahan sampai atasan/pimpinan. Korupsi telah menjadi virus
ganas di tanah air yang menyebar begitu cepat dan sangat menakjubkan.
Kemampuan mereka dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi menjadi modal untuk
memuluskan perbuatan dan keinginannya menjarah uang rakyat. Para koruptor telah
mengidap krisis moral yang sangat kronis dan matinya hati nuranih dari mereka, sehingga
faktor agama tidak punya ruang dalam basis kesadaran mereka. Justru agama dijadikan kedok
untuk melakukan korupsi. Terbukti kementrian Agama adalah salah satu institusi pemerintah
yang tingkat korupsinya sangat tinggi, karena himbauan moral dan gerakan sosial tidak
mampu membendung laju korupsi, maka penegakan hukum secara tegas adalah salah satu
cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Hukum harus mampu memberikan efek jerah
pada para koruptor. Namun Kebijakan Hukum pidana (baik penal maupun non-penal policy)
yang diambil dalam pembentukan dan dalam usaha melahirkan perundangan tindak pidana
korupsi sebagaimana yang diyakini oleh sebahagian besar kalangan masyrakat bangsa ini
benar-benar belum menyentuh hakikat dari pembentukan hukum itu sendiri. Salah satu
masalahnya adalah ketidak jelasan dan ketidak tegasan mengenai pembuktian dan sanksi
hukuman yang kurang berat dan setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan
koruptor tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang
berhubungan dengan kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menanggulangi Tindak
C. Tujuan
Manfaat penelitian
kebijakan hukum pidana. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi dan
solusi konkrit bagi penegak hukum dan KPK dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) dan Tindak Pidana Korupsi
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).
Menurut Marc Ancel, pengertian kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu
ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak
hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik dogmatik. Disamping
pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan komprehensif dari berbagai
disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan social dan
Barda Nawawi mengemukakan pola hubungan antar kebijakan hukum pidana (penal
dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan denga pendekatan integral dan ada
keseimbanga antara penal dan non penal . Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan
sarana penal merupaka penal policy atau Penal law Enforcement policy, yang
fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan legislatif),
Istilah tindak pidana atau Starfbaarfeit berasal dari bahasa belanda dan bila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai tindak pidana. Pada
dasarnya istilah Starfbaarfeit secara harfiah terdiri dari tiga kata. Straf yang
diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kata Baar diterjemahkan dengan dapat dan
boleh. Kata Feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Jadi istilah Starfbaarfeit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum.3[3]
Dalam bahasa Indonesia istilah tindak pidana memiliki ragam pengertian antara lain,
perbuatan yang dapat dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana.
Perumusan tindak pidana ialah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang
diancam oleh hukuman. Memuat unsur-unsur, perbuatan manusia, perbuatan itu dilarang
dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dilakukan oleh seseorang yang
Korupsi berasal dari kata Corruptio atau Corruptus yang artinya kerusakan.
Secara harfiah korupsi berarti jahat atau busuk.4[4]oleh karena itu tindak pidana korupsi
berarti suatu delik akibat perbuatan jahat, buruk, busuk atau rusak. Menurut Andi
Hamzah secara harfiah kata korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat
disuap, tidak beremoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau menfitnah.5[5] Sedangkan dalam kamus hukum korupsi adalah suatu
bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri sendiri dengan melakukan penggelapan
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keungan perekonomian Negara,
perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau Negara.6[6]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat diartikan bahwa korupsi adalah perbuatan
yang menyimpang dari tugas dan wewenang pejabat Negara/pemerintah yang merugikan
rakyat. Untuk lebih jelasnya berikut ini dapat dilihat ciri khas dan unsur dari perbuatan
korupsi:
yang tinggi.
4) Perkara tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan jabatn atau
5) Perkara korupsi umumnya terungkap setelah berselang waktu yang relatif lama
undang No. 31 tahun 1999. Namun pada umunya unsur korupsi seperti Pada pasal 2 ayat (1)
meliputi: memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain dan korporasi dengan cara
Adapun bentuk atau jenis Tindak pidana Korupsi menurut J. Soewartojo yaitu
sebagai berikut:8[8]
1) Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari
2) Pungutan liar, jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit
bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin, kenaikan
3) Pungutan liar, jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh pemda.
Sedangkan menurut Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) ada 4 macam tipe
Sector)
Illicit Enrichment )
Influence)
Mengingat ciri khas tindak pidana korupsi yang multidimensional maka sebab atau
kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi juga sangat luas , baik dibidang
moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun kesenjangan sosial ekonomi dan kelemahan
birokrasi.
Dalam hal ini yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana korupsi
adalah sifat tamak, serakah dan rakus yang ada pada diri manusia tersebut. Berapa
pun kekayaan dan penghasilan yang sudah diperoleh seseorang tersebut apabila ada
2) Moral yang lemah dan ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar
melakukan tindak pidana korupsi. Godaan itu baik dari godaan dari dalam diri
seseorang maupun godaan dari orang lain yaitu, pimpinan, teman setingkat, dan
tidak sesuai kenyataan hidup yang dihadapi oleh para pelaku korupsi, mereka
memahami ajaran Agama yang dianutnya melarang korupsi namun di terapkan
Dalam hal ini adalah suatu keterpaksaan untuk mencari tambahan penghasilan.
mengadakan kegiatan yang tidak perlu dengan biaya yang tidak wajar. Dan akan
lebih parah lagi apabila orang tersebut mendapat kesempatan untuk melakukan
korupsi terhadap sumber daya yang lebih besar yang dimiliki instansi atau
lembaganya.
yang rendah semakin tidak mencukupi seingga ini akan mendorong seseorang
untuk melakukan segala hal termasuk melakukan korupsi agar kebutuhannya dapat
terpenuhi.
b. Aspek Organisasi/Institusi
Pimpinan yang baik akan menjadai panutan dari setiap anggotanya, apabila
berlaku adil terhadap anggotanya , maka para anggotanya pun akan cenderung
bergaya hidup yang sama. Namun teladan yang baik dari pimpinan juga tidak
menjamin seutuhnya bahwa korupsi tidak akan muncul di dalam suatu institusi
terutama pada kebiasaan, cara pandang dan sikapnya dalam menghadapi suatu
keadaan. Misalnya di suatu bagian dari institusi seringkali muncul budaya uang
pelican, “amplop” , hadiah, jual beli temuan, dan lain-lain yang mengarah ke akibat
yang tidak baik bagi institusi. Oleh nya itu perlu membentuk dan menjaga kultur
yang benar dengan membangun kultur institusi/organisasi yang resmi dan kode etik
pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Bahkan tingkat kehilangan
c. Aspek Masyarakat
Nilai-nilai yang berlaku di masyarkat ternyata sangat kondusif untuk terjadinya korupsi.
menghargai seseorang karena didasarkan pada kekayaan yang dimilki orang yang
bersangkutan. Sehingga hal inilah yang membuat seseorang begitu berambisi untuk
memperkaya diri meskipun dengan jalan korupsi. Selaian itu masyarakat kurang menyadari
bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat itu sendiri.
Karena bila negara mengalami kerugian maka masyarakat juga akan merasakan dampak dari
hal tersebut. Oleh karena itu masyarakat juga harusnya berperan aktif mambantu
dikarenakan pelaku tersebut adalah atasan atau bawahan pelaku, si penegak hukum
telah menerima bagian dari hasil korupsi si pelaku, atau pelaku adalah kolega dari
pimpinan instansi penegak hukum. Kedua, jika ada tindakan yang dilakukan oleh
kepentingan tertentu.
undangan akan lebih mudah, disamping itu evaluasi untuk menilai tingkat
3) Penerapan sanksi yang ringan dan tidak konsisten serta pandang bulu
Seseorang akan mudah melakukan tindak pidana korupsi karena sanksi yang
diberikan terlalu ringan, sehingga efek jerah yang ditimbulkan dari sanksi tersebut
tidak ada bahkan tidak setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari korupsi
tersebut, selain itu penerapan sanksi juga tidak kosisten dan pandang bulu karena
adanya pengaruh kedudukan atau pangkat orang yang melakukan korupsi tersebut,
e. Aspek politik
Terjadinya korupsi di bangsa ini bisa di sebabkan oleh faktor politk atau yang berkaitan
oleh Lord Acton yang hidup pada tahun 1834-1902 di Inggris. Beliau menyatakan bahwa “
Power tent to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”, yang berarti kekeuasaan
pula.10[10]
Secara umum, penyebab terjadinya korupsi adalah kesempatan dan jabatan/kekuasaan.
Selain itu lemahnya integritas moral juga turut menjadi factor penyebab terjadinya korupsi,
karena hanya orang yang tak bermorallah yang menginginkan kehancuran suatu bangsa
disamping itu aktor korupsi itu umumnya dilakukan oleh sekelompok orang dari kalangan
a. Sarana Penal
Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui sarana “penal”
dan “non penal”, Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) dalam
Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitik
atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari
usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi
dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi kepada
pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada
pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada pelaku sesuai dengan tujuan
pemidanaan.
Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam suatu kebijakan kriminal
bukan merupakan posisi strategis dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, namun
bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap
ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”. Karena permasalahannya tidak
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Faktor-faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi terdiri dari 5 (lima) aspek antara
lain, Aspek individual pelaku yaitu, adanya sifat tamak dan keserakahan, Moral yang lemah
dan ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar, Penghasilan yang tidak memadai dan
gaya hidup konsumtif. Aspek organisasi/institusi yaitu kurang adanya keteladanan dari
pimpinan, Tidak adanya kultur instistusi/ organisasi yang benar, Sistem akuntabilitas di
instansi pemerintah kurang memadai, adanya kelemahan sistem pengendalian manajemen dan
Aspek politik dan Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan yaitu lemahnya
2) Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) dan lebih
kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan
bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Sedangkan Sarana Non-Penal
(Preventif) merupakan upaya-upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi
B. Saran
1. Korupsi merupakan penyakit yang mudah menyerang siapa saja terutama para pemegang
kekuasaan, hal ini dikarenakan sikap manusia yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa
yang telah dimilikinya. Oleh karena itu memberantas tindak pidana korupsi harus dimulai
dari diri pribadi seseorang dengan menanamkan dalam hati bahwa korupsi adalah perbuatan
yang tidak dibenarkan dan dapat merugikan diri sendiri, keluarga maupun orang lain
2. Perlu diupayakan peningkatan kualitas aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa,
hingga hakim.
3. Sanksi hukum yang diberikan harus berat, tanpa diskriminasi dan pandang bulu.
DAFTAR PUSTAKA
Irfan, Nurul, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika Offset, Jakarta.
KPK,2006, Memahami untuk Membasmi, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi,
KPK, Jakarta
Mulyadi,Lilik, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan
Masalahnya, Alumni, Bandung.
Nawawi Arief, Barda, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group,
Jakarta.
Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi & Teknik Korupsi “Mengetahui Untuk Mencegah”
Sinar Grafika, Jakarta.
Yunara, Edy, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005,