Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

DI SUSUN OLEH :

JURUSAN PENDIDIKANJASMANI KESEHATAN DAN REKREASI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUSAMUS MERAUKE

2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2004 lembaga Transparency Coruption mengeluarkan sebuah hasil

penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara terkorup di

dunia. Menaggapi hasil penelitian tersebut, Negara Indonesia hanya menikmati alias tidak

melakukan gregat politik, tidak ada gerakan massif kebudayaan, tidak juga ada langkah

hukum yang gegap gempita tekad dan aksi yang tertata langkahnya, sebab korupsi telah

menjadi gerakan sistematik merata vertikal dan horizontal yang berujung kehancuran karena

telah menjadi gerakan sistemik. Banyak orang begitu bangga, gagah berani dan enjoy

menjarah uang rakyat dan mereka sangat menikmati hasil korupsinya. Koruptor ini terutama

adalah orang yang menduduki jabatan strategis dalam beragai institusi Negara dan

pemerintahan, mulai dari bawahan sampai atasan/pimpinan. Korupsi telah menjadi virus

ganas di tanah air yang menyebar begitu cepat dan sangat menakjubkan.

Di negeri ini, korupsi telah di lakukan secara terbuka dan terang-terangan.

Kemampuan mereka dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi menjadi modal untuk

memuluskan perbuatan dan keinginannya menjarah uang rakyat. Para koruptor telah

mengidap krisis moral yang sangat kronis dan matinya hati nuranih dari mereka, sehingga

faktor agama tidak punya ruang dalam basis kesadaran mereka. Justru agama dijadikan kedok

untuk melakukan korupsi. Terbukti kementrian Agama adalah salah satu institusi pemerintah

yang tingkat korupsinya sangat tinggi, karena himbauan moral dan gerakan sosial tidak

mampu membendung laju korupsi, maka penegakan hukum secara tegas adalah salah satu

cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Hukum harus mampu memberikan efek jerah

pada para koruptor. Namun Kebijakan Hukum pidana (baik penal maupun non-penal policy)

yang diambil dalam pembentukan dan dalam usaha melahirkan perundangan tindak pidana
korupsi sebagaimana yang diyakini oleh sebahagian besar kalangan masyrakat bangsa ini

benar-benar belum menyentuh hakikat dari pembentukan hukum itu sendiri. Salah satu

masalahnya adalah ketidak jelasan dan ketidak tegasan mengenai pembuktian dan sanksi

hukuman yang kurang berat dan setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan

koruptor tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang

berhubungan dengan kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menanggulangi Tindak

pidana korupsi sebagai berikut:

1. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana Upaya penanggulangan tindak pidana korupsi melalui kebijakan hukum

dengan jalur Penal.

C. Tujuan

1. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi

2. Mengetahui upaya penanggulangan tindak pidana korupsi melalui kebijakan hukum

pidana dengan jalur penal.

Manfaat penelitian

Secara teoritis diharapkan dapat memberi sumbangsih ilmiah dalam pengembangan

kebijakan hukum pidana. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

solusi konkrit bagi penegak hukum dan KPK dalam penanggulangan tindak pidana

korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) dan Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Kebijakan Hukum pidana (Penal Policy)

Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).

Menurut Marc Ancel, pengertian kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu

ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan

peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak

hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan

undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.1[1]

Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah

kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan

yang dapat dilakukan secara yuridis normative dan sistematik dogmatik. Disamping

pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan komprehensif dari berbagai

disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan social dan

pembangunan nasional pada umumnya.2[2]

Barda Nawawi mengemukakan pola hubungan antar kebijakan hukum pidana (penal

policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengatakan bahwa pencegahan

dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan denga pendekatan integral dan ada

keseimbanga antara penal dan non penal . Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan

sarana penal merupaka penal policy atau Penal law Enforcement policy, yang
fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan legislatif),

Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan Eksekusi (kebijakan Administratif)

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah tindak pidana atau Starfbaarfeit berasal dari bahasa belanda dan bila

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai tindak pidana. Pada

dasarnya istilah Starfbaarfeit secara harfiah terdiri dari tiga kata. Straf yang

diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Kata Baar diterjemahkan dengan dapat dan

boleh. Kata Feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Jadi istilah Starfbaarfeit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum.3[3]

Dalam bahasa Indonesia istilah tindak pidana memiliki ragam pengertian antara lain,

perbuatan yang dapat dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, pelanggaran pidana.

Perumusan tindak pidana ialah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang

diancam oleh hukuman. Memuat unsur-unsur, perbuatan manusia, perbuatan itu dilarang

dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dilakukan oleh seseorang yang

dapat dipertanggung jawabkan.

Korupsi berasal dari kata Corruptio atau Corruptus yang artinya kerusakan.

Secara harfiah korupsi berarti jahat atau busuk.4[4]oleh karena itu tindak pidana korupsi

berarti suatu delik akibat perbuatan jahat, buruk, busuk atau rusak. Menurut Andi

Hamzah secara harfiah kata korupsi berarti kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat

disuap, tidak beremoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau menfitnah.5[5] Sedangkan dalam kamus hukum korupsi adalah suatu

bentuk tindak pidana dengan memperkaya diri sendiri dengan melakukan penggelapan

yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keungan perekonomian Negara,

perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau Negara.6[6]

Dari beberapa pengertian diatas, dapat diartikan bahwa korupsi adalah perbuatan

yang menyimpang dari tugas dan wewenang pejabat Negara/pemerintah yang merugikan

keuangan atau perekonomian Negara dan merugikan kepentingan dan kesejahteraan

rakyat. Untuk lebih jelasnya berikut ini dapat dilihat ciri khas dan unsur dari perbuatan

korupsi:

1) Dalam proyek pengadaan barang dan jasa.

2) Pada umumnya Pelaku tindak pidana korupsi memiliki tingkat pendidikan

yang tinggi.

3) Pada umumnya dilakukan oleh beberapa orang baik secara bersama-sama

maupun melalui perantara bawahannya.

4) Perkara tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan jabatn atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara.

5) Perkara korupsi umumnya terungkap setelah berselang waktu yang relatif lama

akibatnya sulit untuk mendapatkan alat dan barang bukti.


Selanjutnya unsur-unsur korupsi sebagaimana termaktub dalam pasal 2-13 Undang-

undang No. 31 tahun 1999. Namun pada umunya unsur korupsi seperti Pada pasal 2 ayat (1)

meliputi: memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain dan korporasi dengan cara

melawan hukum dan merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.7[7]

Adapun bentuk atau jenis Tindak pidana Korupsi menurut J. Soewartojo yaitu

sebagai berikut:8[8]

1) Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari

pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.

2) Pungutan liar, jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit

bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin, kenaikan

pangkat, pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan

di jalan, pelabuhan dan sebagainya.

3) Pungutan liar, jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh pemda.

4) Penyuapan dan Nepotisme

5) Pemerasan dan Pencurian

Sedangkan menurut Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) ada 4 macam tipe

tindak pidana korupsi yaitu:9[9]

1) Tindak pidana korupsi penyuapan pejabat-pejabat public nasional

2) ( Bribery of National Publik Officials)


3) Tindak pidana Korupsi penyuapan di Sektor Swasta ( Bribery in the Private

Sector)

4) Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan memperkaya secara tidak sah (

Illicit Enrichment )

5) Tindak Pidana Korupsi terhadap Memperdagangkan pengaruh ( Trading in

Influence)

2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi

Mengingat ciri khas tindak pidana korupsi yang multidimensional maka sebab atau

kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi juga sangat luas , baik dibidang

moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, maupun kesenjangan sosial ekonomi dan kelemahan

birokrasi.

secara singkat faktor penyebab korupsi meliputi 5 aspek yaitu:

a. Aspek individu Pelaku

1) Sifat tamak dan keserakahan

Dalam hal ini yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana korupsi

adalah sifat tamak, serakah dan rakus yang ada pada diri manusia tersebut. Berapa

pun kekayaan dan penghasilan yang sudah diperoleh seseorang tersebut apabila ada

kesempatan untuk melakukan korupsi maka akan tetap dilakukan juga.

2) Moral yang lemah dan ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar

Seseorang yang moralnya lemah cenderung lebih mudah untuk terdorong

melakukan tindak pidana korupsi. Godaan itu baik dari godaan dari dalam diri

seseorang maupun godaan dari orang lain yaitu, pimpinan, teman setingkat, dan

bawahan. Selain itu pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya

tidak sesuai kenyataan hidup yang dihadapi oleh para pelaku korupsi, mereka
memahami ajaran Agama yang dianutnya melarang korupsi namun di terapkan

hanya sekedar seremonial saja.

3) Penghasilan yang tidak memadai

Dalam hal ini adalah suatu keterpaksaan untuk mencari tambahan penghasilan.

Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut sudah merupakan bentuk

korupsi misalnya, menggelapkan peralatan kantor, perjalanan dinas fiktif, dan

mengadakan kegiatan yang tidak perlu dengan biaya yang tidak wajar. Dan akan

lebih parah lagi apabila orang tersebut mendapat kesempatan untuk melakukan

korupsi terhadap sumber daya yang lebih besar yang dimiliki instansi atau

lembaganya.

4) Gaya hidup konsumtif

Gaya hidup yang konsumtif terutama di kota-kota besar menjadikan penghasilan

yang rendah semakin tidak mencukupi seingga ini akan mendorong seseorang

untuk melakukan segala hal termasuk melakukan korupsi agar kebutuhannya dapat

terpenuhi.

b. Aspek Organisasi/Institusi

1) Kurang adanya keteladanan dari pimpinan

Pimpinan yang baik akan menjadai panutan dari setiap anggotanya, apabila

pimpinan mencontohkan gaya hidup kesederhanaan, kedisiplinan, kejujuran, dan

berlaku adil terhadap anggotanya , maka para anggotanya pun akan cenderung

bergaya hidup yang sama. Namun teladan yang baik dari pimpinan juga tidak

menjamin seutuhnya bahwa korupsi tidak akan muncul di dalam suatu institusi

karena masih banyak sebab lainnya.

2) Tidak adanya kultur instistusi/ organisasi yang benar


Kultur organisasi mempunyai pengaruh terhadap anggota institusi tersebut

terutama pada kebiasaan, cara pandang dan sikapnya dalam menghadapi suatu

keadaan. Misalnya di suatu bagian dari institusi seringkali muncul budaya uang

pelican, “amplop” , hadiah, jual beli temuan, dan lain-lain yang mengarah ke akibat

yang tidak baik bagi institusi. Oleh nya itu perlu membentuk dan menjaga kultur

yang benar dengan membangun kultur institusi/organisasi yang resmi dan kode etik

atau aturan perilaku yang secara resmi diberlakukan pada organisasi.

3) Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai

Akuntabilitas yang kurang memadai akan mengakibatkan kurangnya perhatian

pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Bahkan tingkat kehilangan

sumber daya yang dimilikinya juga kurang diperhatikan. Akibatnya, tingkat

perhatian atau tingkat ketertarikan dari manajemen di jajaran pemerintahan secara

perlahan namun pasti memberikan dorongan untuk terjadinya kebocoran sumber

daya yang dimiliki instansi pemerintah. Keadaan ini memunculkan situasi

organisasi yang kondusif untuk terjadi korupsi.

4) Kelemahan sistem pengendalian manajemen

Lemahnya sistem Pengendalian manajemen membuat banyak pegawai yang

melakukan korupsi. Dalam lingkungan APBN Sistem pengendalian manajemen ini

dikenal Waskat (Pengawasan Melekat). Adanya kolusi antara beberapa orang

pejabat yang terkait dalam suatu pelaksanaan kegiatan menyebabkan runtuhnya

pengendalian manajemen yang ada. Sehingga pegawai yang mengetahui sistem

pengendalian menejmennya lemah akan memberi peluang dan kesempatan baginya

untuk melakukan korupsi.

5) Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam institusi/organisasinya


Pada umumnya manajemen institusi/orgnisasi dimana terjadi korupsi enggan

membantu mengungkap korupsi tersebut walaupun korupsi tersebut tidak

melibatkan dirinya. Akibatnya jajaran manajemen cenderung untuk menutupi

korupsi yang ada, dan berusaha menyelesaikannya dengan cara-caranya sendiri

yang kemudian menimbulkan praktik korupsi yang lain.

c. Aspek Masyarakat

Nilai-nilai yang berlaku di masyarkat ternyata sangat kondusif untuk terjadinya korupsi.

Misalnya banyak anggota masyarakat yang dalam pergaulan sehari-harinya ternyata

menghargai seseorang karena didasarkan pada kekayaan yang dimilki orang yang

bersangkutan. Sehingga hal inilah yang membuat seseorang begitu berambisi untuk

memperkaya diri meskipun dengan jalan korupsi. Selaian itu masyarakat kurang menyadari

bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat itu sendiri.

Karena bila negara mengalami kerugian maka masyarakat juga akan merasakan dampak dari

hal tersebut. Oleh karena itu masyarakat juga harusnya berperan aktif mambantu

memberantas dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

d. Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan

1) Lemahnya penegakan hukum

Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi mencakup

beberapa aspek, pertama, tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku

dikarenakan pelaku tersebut adalah atasan atau bawahan pelaku, si penegak hukum

telah menerima bagian dari hasil korupsi si pelaku, atau pelaku adalah kolega dari

pimpinan instansi penegak hukum. Kedua, jika ada tindakan yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum maka penanganannya akan di ulur-ulur dan sanksinya

diperingan. Ketiga, tidak dilakukan pemidanaan sama sekali, karena sipelaku


mendapat beking (dorongan) dari jajaran tertentu atau korupsinya bermotifkan

kepentingan tertentu.

2) Kalitas peraturan perundang-undangan kurang memadai

Untuk dapat melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan yang baik, maka

di dalam peraturan perundang-undangan perlu dirumusakan dengan jelas latar

belakang dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut. Dengan rumusan yang

jelas maka penjabaran aturan-aturan di dalam batang tubuh peraturan perundang-

undangan akan lebih mudah, disamping itu evaluasi untuk menilai tingkat

efektivitasnya jelas lebih mudah.

3) Penerapan sanksi yang ringan dan tidak konsisten serta pandang bulu

Seseorang akan mudah melakukan tindak pidana korupsi karena sanksi yang

diberikan terlalu ringan, sehingga efek jerah yang ditimbulkan dari sanksi tersebut

tidak ada bahkan tidak setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari korupsi

tersebut, selain itu penerapan sanksi juga tidak kosisten dan pandang bulu karena

adanya pengaruh kedudukan atau pangkat orang yang melakukan korupsi tersebut,

sehingga ini akan mengurangi efektivitas peraturan tersebut.

e. Aspek politik

Terjadinya korupsi di bangsa ini bisa di sebabkan oleh faktor politk atau yang berkaitan

dengan kekuasaan. Rumusan penyelewengan penggunaan uang negara telah di populerkan

oleh Lord Acton yang hidup pada tahun 1834-1902 di Inggris. Beliau menyatakan bahwa “

Power tent to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”, yang berarti kekeuasaan

cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi berlebihan

pula.10[10]
Secara umum, penyebab terjadinya korupsi adalah kesempatan dan jabatan/kekuasaan.

Selain itu lemahnya integritas moral juga turut menjadi factor penyebab terjadinya korupsi,

karena hanya orang yang tak bermorallah yang menginginkan kehancuran suatu bangsa

disamping itu aktor korupsi itu umumnya dilakukan oleh sekelompok orang dari kalangan

yang berpendidikan tinggi, sehingga pemberantasannya sering mendapat hambatan.

3. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dengan Sarana “ Penal ”

a. Sarana Penal

Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui sarana “penal”

dan “non penal”, Upaya penanggulangan hukum pidana melalui sarana (penal) dalam

mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya merupakan wujud suatu

langkah kebijakan (policy).

Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitik

beratkan pada sifat “Represive” (Penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan

atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari

usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari

kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Dengan kata lain penanggulangan korupsi

dapat dilakukan dengan cara menyerahkan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi kepada

pihak penegak hukum dalam hal ini, polisi, jaksa, dan KPK untuk diproses sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku. Dimana hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada

pelaku diharapkan dapat memberikan efek jerah kepada pelaku sesuai dengan tujuan

pemidanaan.

Walaupun penggunaan sarana hukum pidana “penal” dalam suatu kebijakan kriminal

bukan merupakan posisi strategis dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, namun

bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa di sederhanakan dengan mengambil sikap
ekstrim untuk menghapuskan sarana hukum pidana “penal”. Karena permasalahannya tidak

terletak pada eksistensinya akan tetapi pada masalah kebijakan penggunaannya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1) Faktor-faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi terdiri dari 5 (lima) aspek antara

lain, Aspek individual pelaku yaitu, adanya sifat tamak dan keserakahan, Moral yang lemah

dan ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar, Penghasilan yang tidak memadai dan

gaya hidup konsumtif. Aspek organisasi/institusi yaitu kurang adanya keteladanan dari

pimpinan, Tidak adanya kultur instistusi/ organisasi yang benar, Sistem akuntabilitas di

instansi pemerintah kurang memadai, adanya kelemahan sistem pengendalian manajemen dan

Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam institusi/organisasinya. Aspek Masyarakat,

Aspek politik dan Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan yaitu lemahnya

penegakan hukum, Kulaitas peraturan perundang-undangan kurang memadai dan Penerapan

sanksi yang ringan dan tidak konsisten serta pandang bulu.

2) Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (sarana penal) dan lebih

menitikberatkan pada sifat “Represive” ( Penindasan / pemberantasan / penumpasa ) setelah

kejahatan atau tindak pidana terjadi. Selain itu pada hakikatnya sarana penal merupakan

bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena itu kebijakan hukum pidana merupakan

bagian dari kebijakan penegak hukum (Law Enforcement). Sedangkan Sarana Non-Penal

(Preventif) merupakan upaya-upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi

dengan cara menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di

laksanakan dalam beberapa cara misalnya cara Moralistik dan Abolisionik.

B. Saran

1. Korupsi merupakan penyakit yang mudah menyerang siapa saja terutama para pemegang

kekuasaan, hal ini dikarenakan sikap manusia yang serakah dan tidak pernah puas dengan apa
yang telah dimilikinya. Oleh karena itu memberantas tindak pidana korupsi harus dimulai

dari diri pribadi seseorang dengan menanamkan dalam hati bahwa korupsi adalah perbuatan

yang tidak dibenarkan dan dapat merugikan diri sendiri, keluarga maupun orang lain

teruatama kepentingan negara dan rakyat bangsa Indonesia.

2. Perlu diupayakan peningkatan kualitas aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa,

hingga hakim.

3. Sanksi hukum yang diberikan harus berat, tanpa diskriminasi dan pandang bulu.
DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 1984, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, PT.Gramedia,


Jakarta

Hartanti, Evi,2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.

Irfan, Nurul, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika Offset, Jakarta.

KPK,2006, Memahami untuk Membasmi, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana
Korupsi,
KPK, Jakarta

Marwan dan Jimmy,2009, Kamus Hukum “Dictionary Of Law Complete Edition”,Reality


Publisher, Surabaya.

M. Echols, John dan Hassan Shadily,1997, Kamus Inggris-Indonesia, PT.Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta.

Mulyadi,Lilik, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoretis, Praktik dan
Masalahnya, Alumni, Bandung.

Nawawi Arief, Barda, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group,
Jakarta.

Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi & Teknik Korupsi “Mengetahui Untuk Mencegah”
Sinar Grafika, Jakarta.

Yunara, Edy, 2005, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005,

Anda mungkin juga menyukai