Anda di halaman 1dari 10

HUKUM PIDANA

UKD 1
(MATERI KULIAH SMT 2)

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA


Kalau menurut saya, Hokum pidana adalah hokum yang mengandung norma atau aturan
yang berisi sanksi pidana. Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana
adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan
perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Sedangkan pengertian secara umum hokum pidana adalah norma atau aturan hokum yang
didalamnya terdapat sanksi berupa pidana. Norma/aturan hokum ini ada yang bersifat
larangan, yakni orang tidak boleh melakukan suatu perbuatan tertentu, kalau melakukan
dapat diajtuhi sanksi pidana. Sebagai contoh, dilarang menghilangkan nyawa orang lain,dll.
Disamping bersifat larangan ada yang bersifat keharusan , yakni orang harus melakukan
perbuatan tertentu , kalau tidak melakukan dapat dijatuhi sanksi pidana. Sebagai contoh,
apabila dipanggil sebagai saksi di pengadilan, maka harus dating, apabila tdk dating diancam
dengan sanksi pidana.[1]
Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Sanksi pidana adalah hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang telah melakukan
pelanggaran terhadap norma atau aturan hokum.
Jenis-jenis sanksi pidana (pasal 10 kuhp ) :
a. Pidana pokok :
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
5. Pidana tutupan
b. Pidana tambahan :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

B. IUS POENALE & IUS POENENDI

- IUS POENALE (hokum pidana obyektif) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek
larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa
yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana obyektif memiliki arti yang sama
dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius
punali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah dan
keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya.
(hokum positif)
Ex :
a. Hukum Pidana Materiil ialah semua peraturan-peraturan yang menegaskan :
Ø Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
Ø Siapa yang dapat dihukum.
Ø Dengan hukuman apa menghukum seseorang.
Singkatnya Hukum Pidana Materiil mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat
dihukum. Jadi Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan hukum atau perundang-
undangan yang berisi penetapan mengenai perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang untuk
dilakukan (perbuatan yang berupa kejahatan/pelanggaran), siapa sajakah yang dapat
dihukum, hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan terhadap para pelaku
kejahatan/pelanggaran tersebut dan dalam hal apa sajakah terdapat pengecualian dalam
penerapan hukum ini sendiri dan sebagainya.

b. Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana ialah ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur bagaimana cara pelaksanaan/penerapan Hukum Pidana Materiil dalam
praktek hukum sehari-hari menyangkut segala hal yang berkenaan dengan suatu perkara
pidana, baik didalam maupun di luar acara sidang pengadilan (merupakan pelaksanaan dari
Hukum Pidana Materiil). Hukum Acara Pidana terkumpul atau diatur dalam Reglemen
Indonesia yang di baharui disingkat dahulu R.I.B. (Herziene Inlandsche Reglement = H.I.R.)
yang sekarang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tahun
1981.[2]

- Hukum Pidana Subyektif (ius puniendi)


Hukum pidana subyektif (ius puniendi) ialah hak dari negara atau alat-alat perlengkapannya
untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu. Hukum pidana
subyektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan dari hukum pidana obyektif terlebih
dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh negara yang berarti
bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak
pidana (perbuatan melanggar hukum = delik). Hukum pidana subyektif sebagai aspek
subyektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau
kewenangan negara :
a. Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
b. Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan
menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut.
c. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar
hukum pidana tadi.

C. SIFAT HUKUM PIDANA


- Bersifat public maupun privat
Dapat dikatakan public karena : negara secara aktif langsung terlibat , tanpa diminta oleh
pihak yang berurusan , Negara langsung ikut campur dalam hal penegakannya
Dapat dikatakan privat karena : keterlibatan Negara baru akan terjadi jika pihak-pihak
melapor/mengadukan dr kasus yang mereka hadapi (delik aduan pasal 284 kuhp)
- Ultimum remidium/ tahap formulasi (upaya terakhir)
Jadi dalam penerapannya, hokum pidana adalah upaya paling akhir . karena hokum pidana
bersifat mengikat dan memiliki sanksi yang tegas.

D. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA


1. Hukum pidana umum & hokum pidana khusus
Hukum Pidana Umum.
Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku
terhadap siapa pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan.Hukum pidana
umum secara definitif dapat diartikan sebagai perundang-undangan pidana yang berlaku
umum yang tercantum dalam KUHP serta perundangan-undangan yang merubah dan
menambah KUHP.

Hukum Pidana Khusus.


Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang
tertentu.Hukum pidana khusus sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki
sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus, diluar
KUHP baik perUU Pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana (ketentuan
yang menyimpang dari KUHP). Contoh:
a. Hukum Pidana Militer, berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang
dipersamakan dengan militer.
b. Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar pajak
(wajib pajak).
2. Hukum pidana materiil dan formil
3. hokum pidana nasional, local dan internasional
4. Hukum pidana kodifikasi dan tidak kodifikasi

E. SUMBER HUKUM PIDANA


a. Sumber hokum yang tertulis (kuhp)
(ps. 221,224,304, dst – menjadi saksi ) keharusan
(ps. 362- pencurian , 338 – pembunuhan) larangan
b. Sumber hokum tidak tertulis (hokum adat)
c. MVT

F. FUNGSI HUKUM PIDANA


- Umum
Mengatur /menyelenggarakan tata hokum /aturan dalam masyarakat agar tercipta keamanan,
ketentraman, dll
- Khusus
Melindungi kepentingan hak (nyawa, badan, harta benda, kehormatan)

G. SISTEMATIKA KUHP
Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
- Pasal 1-85 berlaku untuk buku 2 dan 3 kuhp & peraturan lain diluar kuhp sepanjang tidak
ditentukan khusus(ps.103) terdiri dari bab 1-8
- Pasal 86-102 berlaku untuk buku 2 & 3 (penjelasan istilah)
2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569)

H. ASAS LEGALITAS
Tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1
Ayat (1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan
Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi
terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
Tujuan asas legalitas :
1. Untuk kepastian hokum
2. Mencegah tindakan kesewenang-wenangan penguasa
Isi asas legalitas :
1. TP harus dirumuskan dalam UU
Konsekuensi :
- TP yang tidak dirumuskan dalam UU tidak dapat dipidana
- Larangan penafsiran secara analogi
2. Peraturan perundangan pidana harus sudah ada sebelum perbuatan dilakukan
Konsekuensi :
- UU tidak boleh berlaku surut / retroaktif
Bekaitan dengan asas legalitas terdapat asas TEMPORIS DELICTI : suatu tindak pidana
harus diperiksa berdasarkan peraturan hokum yang ada pada saat TP itu dilakukan.
Pasal 1 ayat 2 kuhp ini melemahkan :
1. Asas legalitas, karena memperbolehkan suatu aturan hokum pidana berlaku surut
2. Asas lex temporis delicti, karena memperbolehkan suatu TP diadili oleh peraturan H. yang
belum berlaku pada saat TP itu dilakukan.

MENURUT TEMPAT
1. Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa
pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik
Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung
kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing. (ps 2 & 3 kuhp)
2. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI
yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada (ps 5 & 6 kuhp)
3. Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak
pidana yang merugikan kepentingan negara Inonesia (ps 4,7,8 kuhp)
4. Asas universal, artinya asas yang berupa peraturan hokum pidana Indonesia yang berlaku u/
semua tindak pidana didalam / diluar wilayah Indonesia yang dilakukan oleh WNI maupun
WNA yang menyerang kepentingan Indonesia atau kepentingan asing. (ps. 4 kuhp, uu no.4
1976)

I. PENAFSIRAN UU
1. Penafsiran otentik
2. Penafsiran gramatikal
3. Penafsiran sistematis
4. Penafsiran teologis
5. Penafsiran historis
6. Penafsiran ekstensif
7. Penafsiran analogi

J. UU YANG MENGAMANDEMEN KUHP


1. uu no. 1 th 1976
2. uu no. 20 th 1946
3. uu no. 73 th 1958
4. uu no. 1 th 1960
5. uu no. 16 /prp/ 1960
6. dll
[1] Buku phi fakultas hokum uns
[2] http://titoanggapranata2.blogspot.com/2012/05/materi-kuliah-hukum-pidana.html

TINDAK PIDANA
BAHAN UKD 2
SEMESTER 2
A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Moeljatno[1], memberi arti terhadap tindak pidana adalah perbuatan pidana sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk
adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (ini merupakan syarat formil);
3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
Menurut pengertian umum TP adalah perbuatan yang dilarang UU yang diancam pidana oleh
orang yang mampu bertanggung jawab
Isi :
- Perbuatan manusia
Aktif -> pembunuhan
Pasif -> kelalaian
- Dirumuskan dalam UU
- SMH (sifat melawan hokum)
- Kesalahan (dolus/culpa)
Dolus : perbuatan yang dilakukan dengan unsure kesengajaan
Culpa : perbuatan yang dilakukan karena kelalaian (ketidaak hati-hatian)
- Mampu menanggungjawabkan
- Pidana (sanksi pasal 10 KUHP)
Jenis pidana:
1. Pidana pokok
TP yang wajib dipertanggungjawabkan oleh pelaku TP
2. Pidana tambhan
Suatu sanksi tambahan yang diberikan oleh pelaku TP

B. ALIRAN DALAM HUKUM PIDANA (TP)

a. Aliran monitis -> aliran yang perbuatan dan orangnya merupakan satu kesatuan
- Perbuatan orang atau korporasi
- Melawan aturan hokum
- Sifat melawan hokum
- Kesalahan
- Mempu bertanggungjawab
- Penganut : simons , van homel, wirjono p
Ex : melakukan TP dan terkena hukuman pidana

b. Aliran dualistis -> aliran yang perbuatan dan orangnya terpisah


- Criminal act / tindak pidana : perbuatan, melanggar hokum, sifat melawan hokum
- Criminal responsibility : kesalahan , & mampu bertanggung jawab
- Penganut : pompe, moelyanto
(KUHP menggunakan aliran dualistis : pasal 44,48,49,50, dan 51 KUHP)
Pasal 44 -> ttg hal-hal yang menghapuskan , mengurangi, atau memberatkan pidana
Pasal 48,49 -> ttg daya paksa , tidak dipidana
Pasal 50 -> melakukan tp karena melaksanakan ketentuan UU , tdk dipidana
Pasal 51 -> melaksanakan perintah jabatan

C. UNSUR DALAM TP

1. Unsur subyektif -> unsure yang berkaitan dengan pelaku


- Bentuk kesalahan (dolus / culpa)
- Niat (pasal 53 ayat 1 kuhp -> tentng percobaan / pogma)
- Perencanaan (pasal 340, 342 kuhp-> perencanaan menghilangkan nyawa org lain)
- Perasaan takut (pasal 308 KUHP)

2. Unsure obyektif -> unsure yag melekat pada TP


- SMH (sifat melawan hokum) -> formil atau materiil
- Kualitas pelaku (psl 341 -> seorang ibu dg sengaja membunuh anaknya yng baru lahir
karena malu)
- Hubungan kausalitas : hubungan antara sebab dan akibat terjadinya TP

D. CARA MERUMUSKAN TP
a. Menyebutkan unsure-unsur perbuatan
pasal 154-157 KUHP -> tentang kejahatan thd ketertiban umum
pasal 281 -> tentang kejahatan thd kesusilaan
pasal 305 -> meninggalkan orang yang perlu ditolong
b. Menyebutkan kualifikasi perbuatan
Pasal 284 -> tentang perkelahian tanding
Pasal 297 -> perdagangan wanita & anak dibawah umur
Pasal 351 -> tentang penganiayaan
c. Menyebutkan unsur2 dan kualifikasi perbuatan
Pasal 362 ->tentang pencurian
Pasal 338 -> ttg kejahatan terhadap nyawa
d. Pasal blanko -> pasal 112 (2) kuhp (mengumumkan surat2 berharga milik Negara)
Dalam pasal ini belum tercantumkan ttp sanksi sudah ada

E. JENIS-JENIS TP[2]
a. Kejahatan dan pelanggaran
Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran disebutkan oleh UU. Buku II : Kejahatan
buku III : Pelanggaran.

Ada dua pendapat :

1) Perbedaan secara Kualitatif


a) Rechtsdelict(en), artinya perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.
Pertentangan ini terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu per-UU-an atau tidak.
Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.
Misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut kejahatan (mala per se).
b) Wetsdelict(en), artinya perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak
pidana karena UU menyebutnya sebagai delik. Delik semacam ini disebut pelanggaran (mala
quia prohibita)

2) Perbedaan secara Kuantitatif


Perbedaan ini didasarkan pada aspek kriminologis, yaitu pelanggaran lebih ringan
dibandingkan dengan kejahatan. Pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran terdapat
pendapat yang menentang. Dalam RUU KUHP pembagian ini tidak dikenal lagi. Istilah yang
dipakai adalah ”Tindak Pidana”

b. Delik Formil dan Delik Materiil

Delik formil
Delik yang perumusannnya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang oleh UU.
Perwujudan delik ini dipandang selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti yang
tercantum dlam rumusan delik. Misalnya, Pasal 156, 209, 263 KUHP.

Delik Materiil
Delik yang perumusannnya dititikbertkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang).
Delik ini dikatakan selesai bila akibat yang tidak dikendaki itu telah terjadi. Bila belum, maka
paling banyak hanya ada percobaan, misalnya : Pasal-pasal 187, 388 atau 378 KUHP.

c. Delik Commissionis, Delik Ommissionis dan Delik Commissionis Per Ommissionem


Commissa

Delik Commissionis
Delik berupa pelanggaran terhadap larangan, misalnya berbuat sesuatu yang dilarang,
pencurian, penggelapan, penipuan.

Delik Ommissionis
Delik berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang
diperintahkan / diuharuskan. Misalnya, tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan (Pasal
522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (Pasal 531 KUHP).

Delik Commissionis Per Ommissionem Commissa

Delik pelanggaran larangan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misalnya :
seorang ibu yang membunuh bayinya dengan tidak menyusui (Pasal 338 atau 340 KUHP)

b. Delik dolus (Kesengajaan) dan delik culpa (kealpaan / kelalaian)

Delik dolus (Kesengajaan), misalnya Pasal 187, 197, 338 KUHP


Delik culpa (kealpaan / kelalaian), misalnya Pasal 195, 359, 360 KUHP.

c. Delik tunggal dan delik ganda

Delik tunggal adalah delik yang dilakukan satu kali. Delik ganda adalah delik yang dilakukan
berkali-kali, misalnya Pasal 481 KUHP (Penadahan).

d. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus

Delik yang berlangsung terus misalnya perampasan kemerdekaan seseorang (Pasal 33


KUHP)

e. Delik aduan dan bukan delik aduan


Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan bila ada pengaduan dari pihak
yang terkena, misalnya Penghinaan (Pasal 310 jo Pasal 319 KUHP), perzinahan (Pasal 284
KUHP), pemerasan (Pasal 335 ayat (1) sub 2 jo. Ayat (2) KUHP). Jo = juncto.

Delik aduan dibedakan :

1) Delik aduan absolut, delik yang dapat dituntut atas dasar pengaduan
2) Delik aduan relatif, dalam delik aduan ini ada hubungan istimewa antara pembuat dan
korban.

* Aduan dan laporan digunakan dalam hukum pidana. Sedangkan gugatan digunakan
dalam hukum perdata.

f. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatnya

g. Delok ekonomi dan delik bukan ekonomi.

h. Kejahatan ringan (Misal Pasal 364, 373, 375, dll)

F. TEMPUS DAN LOCUS DELICTI


Adalah waktu dan tempat terjadinya TP
a. Teori yang berhubungandengan tempus dan locus delicti
- Perbuatan material
Kewenangan PN dimana perbuatan itu dilakukan / dibuat
- Akibat
Locus delicti itu dimana tempat / akibat perbuatan itu timbul
- Alat/ instrument
Kewenangan Pn dimana alat itu berfungsi

b. Pentingnya tempus dn locus delicti


- Syarat materiil dalam surat dakwaan harus mencantumkan identitas pelaku
- Harus juga disebutkan pebuatan yang dilakukan
Dalam kedua hal itu tempus dan locus delicti harus disebutkan dengan jelas
- Dalam hal membuat pledoi (pembelaan) tempus dan locus delicti sangat penting bg terdakwa
- Untuk mengetahui hokum pidana mana yang bias ditempatkan kpd pelaku (pasal 2-8 kuhp)
- Tentang waktu dilakukannyaTP itu berhubungan dg asas legalitas (sebelum tempus delicti
dilakukan sudah ada UU) -> berlakunya asas retroaktif sepanjang terjadinya perubahan UU
yg menguntungkanagi pelaku
- Dalam hal pelakunya anak dibawah umur (berhubungan dengan pertanggungjawaban pidan)
- Berhubungan dengan daluwarsa penuntutan (pasal 78 kuhp)

G. KAUSALITAS [3]
a. Pengertian
- Hal sebab-akibat
- Hubungan logis antara sebab dan akibat
- Persoalan filsafat yang penting
- Setiap peristiwa selalu memiliki penyebab sekaligusmenjadi sebab peristiwa lain
- Sebab dan akibat membentuk rantai yang bermula disuatu masa lalu
- Yang menjadi fokus perhatian ahli hukum pidana (bukanmakna di atas), tetapi makna yang
dapat dilekatkanpada pengertian kausalitas agar mereka dapatmenjawab persoalan siapa yang
dapat dimintaipertanggungjawaban atas suatu akibat tertentu.

b. Kapankah kausalitas diperlukan


- Delik Materiil: perbuatan yang menyebabkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, dimana
perbuatan tersebut kadang tercakupdan kadang tidak tercakup sebagai unsur dalam
perumusan delik,mis. Ps. 338, Ps 359, Ps 360
- Delik Omisi tak murni/semu(delicta commissiva per omissionem/ Oneigenlijke
Omissiedelicten) : Pelaku tidak melakukan kewajibanyang dibebankan padanya dan dengan
itu menciptakan suatu akibatyang sebenarnya tidak boleh ia ciptakan. Ia sekaligus
melanggarsuatu larangan dan perintah; ia sesungguhnya harus menjaminbahwa suatu akibat
tertentu tidak timbul.
- Delik yang terkualifikasi/dikwalifisir: tindak pidana yang karenasituasi dan kondisi khusus
yang berkaitan dengan pelaksanaantindakan yang bersangkutan atau karena akibat-akibat
khusus yangdimunculkannya, diancam dengan sanksi pidana yang lebih beratketimbang
sanksi yang diancamkan pada delik pokok tersebut.(pengkualifikasian delik juga dapat
dilakukan atas dasar akibat yangmuncul setelah delik tertentu dilakukan, mis. Ps 351 (1) ->Ps
351(2) -> Ps 351 (3)

c. Ajaran kausalitas[4]
- Conditio Sine Qua Non/ Ekuivalensi (VonBuri)
 Semua faktor yaitu semua syarat, yangturut serta menyebabkan suatu akibat danyang tidak
dapat dihilangkan darirangkaian faktor-faktor ybs.
 Harusdianggap causa (sebab) akibat itu.
 Semua syarat nilainya sama (ekuivalensi)
 Ada beberapa sebab
 Syarat = sebab
- Teori-teori Individualisasi / Causa Proxima: Birkmeyer , Mulder
 Birkmeyer :Teori ini berpangkal dari teori Conditio Sine QuaNon . Di dalam rangkaian syarat-
syarat yangtidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat,lalu dicari syarat manakah yang
dalam keadaantertentu itu, yang paling banyak membantuuntuk terjadinya akibat.
 G.E Mulder :Sebab adalah syarat yang paling dekat dantidak dapat dilepaskan dari akibat.
- Teori-teori menggeneralisasi : teoriAdekuat (Von Kries, Simons, Pompe,Rumelink)
 Von Bar: teori ini tidak menyoal tindakanmana atau kejadian mana yang inconcreto
memberikan pengaruh(fisik/psikis) paling menentukan. Yangdipersoalkan adalah apakah satu
syaratyang secara umum dapat dipandangmengakibatkan terjadinya peristiwa sepertiyang
bersangkutan mungkin ditemukandalam rangkaian kausalitas yang ada
 Von Kries(Teori Adequat Subjectif) : Sebab adalah keseluruhanfaktor positif & negatif yang
tidak dapat dikesampingkan tanpasekaligus meniadakan akibat. Namun pembatasan
demikepentingan penetapan pertanggungjawaban pidana tidak dicaridalam nilai
kualitatif/kuantitatif atau berat/ringannya faktor dalamsituasi konkret, tetapi dinilai dari
makna semua itu secara umum,kemungkinan dari faktor-faktor tersebut untuk memunculkan
akibattertentu. Sebab = syarat-syarat yang dalam situasi dan kondisitertentu memiliki
kecenderungan untuk memunculkan akibattertentu, biasanya memunculkan akibat itu, atau
secara objectifmemperbesar kemungkinan munculnya akibat tersebut.
Apakah suatu tindakan memiliki kecenderungan memunculkanakibat tertentu hanya dapat
diselesaikan apabila kita memiliki 2bentuk pengetahuan :(a) hukum umum probabilitas dalam
peristiwa yg terjadi / pengetahuan Nomologis yg memadai(b) situasi faktual yg melingkupi
peristiwa yg terjadi/ pengetahuanOntologis/ pemahaman fakta (empirik)
 Rumelink(Teori Adequat Objectif) :Faktor yang ditinjau dari sudut objektif , harus (perlu) ada
untukterjadinya akibat. Ihwal probabilitas tidak berdasarkan pada apayang diketahui atau
mungkin diketahui pada waktu melakukantindakannya, melainkan pada fakta yang objektif
pada waktu itu ada,entah diketahuinya atau tidak – jadi pada apa yang kemudianterbukti
merupakan situasi dan kondisi yang melingkupi peristiwatersebut.
 Simons:Sebab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umumpengalaman manusia
dapat menimbulkan akibat
 Pompe:Sebab adalah hal yang mengandung kekuatan untuk dapatmenimbulkan akibat

Anda mungkin juga menyukai