Anda di halaman 1dari 34

FATWA

KOMISI FATWA MUI


TERKAIT BIDANG KEDOKTERAN

ENDY M. ASTIWARA
(Anggota Komisi Fatwa MUI & DSN MUI)
Majelis Ulama Indonesia
( MUI )

Wadah musyawarah ulama,


zu’ama dan cendekiawan muslim
1. Pewaris Tugas Para Nabi
(waratsat al-anbiyaa)
2. Pemberi Fatwa (ifta)
PERAN 3. Pembimbing dan Pelayan
Umat (Ri’ayat wa Khadim UMAT
MUI al-Ummah) ISLAM
4. Perbaikan dan Pembaharuan
(Ishlah wa Tajdid)
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
FATWA – FATWA MUI

1. Keputusan atau Ketetapan Pimpinan MUI

2. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi fatwa se


Indonesia

3. Fatwa Komisi Fatwa MUI

4. Fatwa Dewan Syariah Nasional – MUI


Aqidah dan Aliran/Faham
Keagamaan

Ibadah

KOMISI
Sosial Budaya FATWA
FATWA- MUI
FATWA
MUI Pangan, Obat-obatan
dan Kosmetik

Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi

DEWAN SYARIAH
Ekonomi Syariah
NASIONAL MUI
FATWA KOMISI FATWA MUI

1975 sd 2018 berjumlah 187 Fatwa :


1. Masalah Aqidah dan Aliran Faham Keagamaan :
14
2. Masalah Ibadah : 37 Fatwa
3. Masalah Sosial Budaya : 51 Fatwa
4. Masalah Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetik
Halal : 20 Fatwa
5. Masalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi : 15
Fatwa
6. Fatwa Terbaru 2011-2018 : 50 Fatwa
FATWA DSN-MUI

Berjumlah 122 Fatwa :


1. Fatwa ttg Perbankan Syariah
2. Fatwa ttg Pasar Modal Syariah
3. Fatwa ttg IKNB Syariah
4. Fatwa ttg Lembaga Bisnis Syariah
FATWA KOMISI FATWA MUI
TERKAIT BIDANG KEDOKTERAN
Ada 44 Fatwa terkait Kedokteran.
Fatwa-Fatwa tersebut adalah :
1. Fatwa ttg Pil Anti Haid
2. Fatwa ttg Hukum Pelarangan Khitan Perempuan
3. Fatwa ttg Penanggulangan Penularan HIV/AIDS
4. Fatwa ttg Shalat bagi Penyandang Stoma (Ostomate)
5. Fatwa ttg Aborsi I
6. Fatwa ttg Aborsi II
7. Fatwa ttg Pakaian Kerja Bagi Tenaga Medis Perempuan
8. Fatwa ttg Otopsi Jenazah
9. Fatwa ttg Penggantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin
10. Fatwa ttg Penyalahgunaan Narkotik
11. Fatwa ttg Vasektomi Tubektomi
12. Fatwa ttg Wasiat Menghibahkan Kornea Mata
13. Fatwa ttg Kriteria Mashlahat
14. Fatwa ttg Bayi Tabung (Inseminasi Buatan)
15. Fatwa ttg Operasi Perubahan/ Penyempurnaan Alat Kelamin
16. Fatwa ttg Pengambilan dan Penggunaan Katup Jantung
17. Fatwa ttg Kloning
18. Fatwa ttg Penyakit Kusta
19. Fatwa ttg Penggunaan Ekstasi dan Zat-Zat Jenis lainnya
20. Fatwa ttg Penggunaan Organ Tubuh, Ari-Ari dan Air Seni Manusia
bagi Kepentingan Obat-Obatan dan Kosmetika
21. Fatwa ttg Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV)
22. Fatwa ttg Penggunaan Vaksin Polio Oral (OPV)
23. Fatwa ttg Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian
24. Fatwa ttg Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan Penelitian
25. Fatwa ttg Hukum Alkohol
26. Fatwa ttg Transfer Embrio ke Rahim Titipan
27. Fatwa ttg Pengobatan Alternatif
28. Fatwa ttg Vasektomi
29. Fatwa ttg Bank Mata dan Organ Tubuh Lain
30. Fatwa ttg Penggunaan Vaksin Meningitis untuk Jama’ah Haji dan Umroh (I)
31. Fatwa ttg Penggunaan Vaksin Meningitis untuk Jama’ah Haji dan Umroh (II)
32. Fatwa ttg Hukum Merokok
33. Fatwa ttg Penggunaan Plasenta Hewan Halal utk Bahan Kosmetika dan Obat
Luar
34. Fatwa ttg Penggunaan Plasenta Hewan Halal utk Bahan Obat
35. Fatwa ttg Seputar Masalah Donor ASI
36. Fatwa ttg Obat dan Pengobatan
37. Fatwa ttg Rekayasa Genetika dan Produknya
38. Fatwa ttg Imunisasi
39. Fatwa ttg Istitha’ah Kesehatan Haji
40. Fatwa ttg Safari Wukuf
41. Fatwa ttg Badal Melempar Jumrah
42. Fatwa ttg Penggunaan Alkohol/Etanol untuk Bahan Obat
43. Fatwa ttg Plasma Darah untuk Bahan Obat
44. Fatwa ttg Vaksin MR
45. Fatwa terkait Penggunaan Human Diploid Cell pada Pembuatan Vaksin
46. Fatwa terkait Tanam Benang, Botox, Operasi Plastik, Suntik Filler
Fatwa - Fatwa terkait Transplantasi
1. Fatwa ttg Otopsi Jenazah
2. Fatwa ttg Penggantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin
3. Fatwa ttg Wasiat Menghibahkan Kornea Mata
4. Fatwa ttg Operasi Perubahan/ Penyempurnaan Alat
Kelamin
5. Fatwa ttg Pengambilan dan Penggunaan Katup Jantung
6. Fatwa ttg Kloning
7. Fatwa ttg Penggunaan Organ Tubuh, Ari-Ari dan Air Seni
Manusia bagi Kepentingan Obat-Obatan dan Kosmetika
8. Fatwa ttg Pengawetan Jenazah untuk Kepentingan
Penelitian
9. Fatwa ttg Penggunaan Jenazah untuk Kepentingan
Penelitian
10. Fatwa ttg Rekayasa Genetika dan Produknya
11. Fatwa ttg Bank Mata dan Organ Tubuh Lain
Fatwa - Fatwa terkait Reproduksi
1. Fatwa ttg Pil Anti Haid
2. Fatwa ttg Hukum Pelarangan Khitan Perempuan
3. Fatwa ttg Penanggulangan Penularan HIV/AIDS
4. Fatwa ttg Aborsi I
5. Fatwa ttg Aborsi II
6. Fatwa ttg Penggantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin
7. Fatwa ttg Vasektomi Tubektomi
8. Fatwa ttg Bayi Tabung (Inseminasi Buatan)
9. Fatwa ttg Operasi Perubahan/ Penyempurnaan Alat Kelamin
10. Fatwa ttg Kloning
11. Fatwa ttg Transfer Embrio ke Rahim Titipan
12. Fatwa ttg Vasektomi
13. Fatwa ttg Seputar Masalah Donor ASI
14. Fatwa ttg Rekayasa Genetika dan Produknya
Fatwa - Fatwa terkait Obat-obatan
1. Fatwa ttg Pil Anti Haid
2. Fatwa ttg Penyalahgunaan Narkotik
3. Fatwa ttg Penggunaan Ekstasi dan Zat-Zat Jenis lainnya
4. Fatwa ttg Penggunaan Organ Tubuh, Ari-Ari dan Air Seni
Manusia bagi Kepentingan Obat-Obatan dan Kosmetika
5. Fatwa ttg Hukum Alkohol
6. Fatwa ttg Pengobatan Alternatif
7. Fatwa ttg Penggunaan Plasenta Hewan Halal utk Bahan
Kosmetika dan Obat Luar
8. Fatwa ttg Penggunaan Plasenta Hewan Halal utk Bahan
Obat
9. Fatwa ttg Obat dan Pengobatan
10. Fatwa ttg Rekayasa Genetika dan Produknya
11. Fatwa ttg Penggunaan Alkohol/Etanol untuk Bahan Obat
12. Fatwa ttg Plasma Darah untuk Bahan Obat
Fatwa - Fatwa terkait Imunisasi
1. Fatwa ttg Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV)
2. Fatwa ttg Penggunaan Vaksin Polio Oral (OPV)
3. Fatwa ttg Penggunaan Vaksin Meningitis untuk
Jama’ah Haji dan Umroh (I)
4. Fatwa ttg Penggunaan Vaksin Meningitis untuk
Jama’ah Haji dan Umroh (II)
5. Fatwa ttg Obat dan Pengobatan
6. Fatwa ttg Imunisasi
7. Fatwa ttg Penggunaan Alkohol/Etanol untuk Bahan
Obat
8. Fatwa ttg Plasma Darah untuk Bahan Obat
9. Fatwa ttg Vaksin MR
Fatwa Tentang Pil Haid
1. Penggunaan Pil Anti Haid untuk kesempatan ibadah
haji hukumnya mubah.
2. Penggunaan Pil Anti Haid dengan maksud agar dapat
mencukupi puasa Ramadhan sebelum penuh,
hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanita yang sukar
mengqada puasanya pada hari lain, hukumnya mubah.
3. Penggunaan Pil Anti Haid selain dari dua hal
tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya.
Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada
pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.
Fatwa Tentang Hukum Pelarangan
Khitan Perempuan
Pertama : Status Hukum Khitan Perempuan
1. Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk
fitrah (aturan) dan syiar Islam.
2. Khitan terhadap perempuan adalah makrumah,
pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang
dianjurkan.

Kedua : Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan


Pelarangan khitan terhadap perempuan adalah bertentangan
dengan ketentuan syari’ah karena khitan, baik bagi laki-laki
maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
Ketiga : Batas atau Cara Khitan Perempuan
Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap perempuan harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan
selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.
2. Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan,
seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang
mengakibatkan dlarar.

Keempat : Rekomendasi
1. Meminta kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk
menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan
peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan.
2. Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan
untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis
untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa
ini.
FatwaTentang Shalat bagi
Penyandang Stoma (Ostomate)
1. Shalat bagi penyandang stoma (ostomate) selama masih
bisa melepaskan atau membersihkan kantung stoma (stoma
bag) sebelum shalat, maka wajib baginya untuk
melepaskan atau membersihkannya.
2. Sedangkan apabila tidak dimungkinkan untuk
melaksanakan ketentuan pada nomor satu di atas, maka
baginya shalat dengan keadaan apa adanya, karena dalam
kondisi tersebut ia termasuk daim al-hadats (orang yang
hadatsnya tidak bisa disucikan), yakni dengan berwudhu
setiap akan melaksanakan shalat fardhu dan dilakukan setelah
masuk waktu shalat.
Fatwa Tentang Aborsi I
1. Mengukuhkan keputusan Munas Ulama Indonesia, tanggal 28
Oktober 1983 tentang kependudukan, kesehatan, dan
pembangunan.
2. Melakukan aborsi (pengguguran janin) sesudah nafkh al-ruh
hukumnya adalah haram, kecuali jika ada alasan medis, seperti
untuk menyelamatkan jiwa si ibu.
3. Melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun
sebelum nafkh al-ruh,hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan
medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syari’ah Islam.
4. Mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau
mengizinkan aborsi.
5. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
6. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak
untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Fatwa Tentang Aborsi II
Pertama : Ketentuan Umum
1. Darurat adalah Suatu keadaan di mana seseorang apabila
tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati
atau hampir mati
2. Al-Hajat adalah Suatu keadaan di mana seseorang apabila
tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan
mengalami kesulitan berat.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi
blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena ada uzur, baik bersifat darurat
ataupun hajat.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi
adalah:
1) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut,
TBC dengan caverna dan penyakitpenyakit fisik berat lainnya yang harus
ditetapkan oleh tim dokter.
2) Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawan si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi
adalah:
1) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak
sulit disembuhkan.
2) Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang
yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin
berusia 40 hari.
3. Aborsi yang dibolehkan karena uzur sebagaimana dimaksud pada angka 2 hanya boleh
dilaksanakan di fasilitas kesehatan yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
4. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.
5. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap muslim yang
memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan
fatwa ini
Fatwa Tentang Pakaian Kerja Bagi
Tenaga Medis Perempuan
Ketentuan Umum : Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1. Pakaian kerja adalah pakaian yang digunakan ketika tenaga medis
perempuan sedang bertugas di bagian klinis, yang berhubungan
langsung dengan pasien.
2. Tenaga medis perempuan adalah tenaga medis yang bertugas di bagian
klinis, yang berhubungan langsung dengan pasien, yang antara
lain dokter dan perawat; tidak termasuk tenaga medis non klinis yang
antara lain bagian administrasi.

Ketentuan Hukum :
1. Aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan
kedua telapak tangannya.
2. Tenaga medis perempuan dalam menjalankan tugasnya boleh
membuka aurat di bagian tangannya, sampai sebatas siku, jika ada
hajat (kebutuhan yang mendesak) terkait dengan masalah medis.
3. Pakaian kerja harus terbuat dari bahan tidak tembus pandang dan tidak
menunjukkan lekuk tubuh.
FATWA TENTANG OTOPSI JENAZAH
Ketentuan Umum :
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan otopsi meliputi dua macam otopsi, yaitu otopsi
forensik dan otopsi klinikal, yang dilakukan untuk tujuan medis legal seperti menentukan
penyebab kematian untuk tujuan pemeriksaan, penyelidikan, riset dan/atau pendidikan.
Ketentuan Hukum :
1. Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadaannya
dan tidak boleh dirusak.
2. Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang
punya kewenangan untuk itu.
3. Otopsi jenazah sebagaimana dimaksud angka 2 harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. Otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i
(seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian
kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga
yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya.
b. Otopsi merupakan jalan keluar satusatunya dalam memenuhi tujuan
sebagaimana dimaksud pada point a.
c. Jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan.’
d. Jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya
sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
FATWA TENTANG OBAT DAN PENGOBATAN

Pertama : Ketentuan Hukum


1. Islam mensyariatkan pengobatan karena ia bagian dari
perlindungan dan perawatan kesehatan yang merupakan bagian
dari menjaga Al-Dharuriyat AlKham.
2. Dalam ikhtiar mencari kesembuhan wajib menggunakan
metode pengobatan yang tidak melanggar syariat.
3. Obat yang digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib
menggunakan bahan yang suci dan halal.
4. Penggunaan bahan najis atau haram dalam obat-obatan hukumnya
haram.
5. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan
hukumnya haram kecuali memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu
kondisi keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan dapat
mengancam jiwa manusia, atau kondisi keterdesakan yang
setara dengan kondisi darurat (al-hajat allati tanzilu
manzilah al-dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan yang
apabila tidak dilakukan maka akan dapat mengancam eksistensi
jiwa manusia di kemudian hari;
b. Belum ditemukan bahan yang halal dan suci; dan
c. Adanya rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya
bahwa tidak ada obat yang halal.
6. Penggunaan obat yang berbahan najis atau haram untuk
pengobatan luar hukumnya boleh dengan syarat dilakukan
pensucian.
Kedua : Rekomendasi
1. Meminta kepada Pemerintah untuk menjamin
ketersediaan obat-obatan yang suci dan halal sebagai bentuk
perlindungan terhadap keyakinan keagamaan, di antaranya
dengan menyusun regulasi dengan menjadikan fatwa ini
sebagai pedoman.
2. Menghimbau kepada pelaku usaha dan pihak-pihak
terkait untuk memperhatikan unsur kehalalan obat dan
tidak serta-merta menganalogikan penggunaan obat sebagai
kondisi darurat.
3. LPPOM diminta untuk tidak mensertifikasi halal obat-
obatan yang berbahan haram dan najis.
4. Menghimbau kepada masyarakat agar dalam dalam
pengobatan senantiasa menggunakan obat yang suci dan
halal.
FATWA Tentang PRODUK MAKANAN DAN
MINUMAN YANG MENGANDUNG
ALKOHOL/ETANOL
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1. Khamr adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari
anggur maupun yang lainnya, baik dimasak maupun tidak.
2. Alkohol adalah etil alkohol atau etanol, suatu senyawa kimia
dengan rumus (C2H5OH).
3. Minuman beralkohol adalah:
a. Minuman yang mengandung etanol dan senyawa lainnya,
antara lain, metanol, asetaldehida, dan etil asetat yang dibuat secara
fermentasi dengan rekayasa dari berbagai jenis bahan baku nabati
yang mengandung karbohidrat, atau
b. Minuman yang ditambahkan etanol dan/atau metanol dengan
sengaja (oplosan).
FATWA Tentang PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN YANG
MENGANDUNG ALKOHOL/ETANOL \

Ketentuan Hukum
1. Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang
mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) lebih dari 0.5 %. Minuman
beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram,
sedikit atupun banyak.
2. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan
hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi
non khamr) untuk bahan produk makanan, hukumnya: mubah, apabila
secara medis tidak membahayakan.
3. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan
hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi
non khamr) untuk bahan produk minuman, hukumnya: mubah, apabila
secara medis tidak membahayakan dan selama kadar alkohol/etanol
(C2H5OH) pada produk akhir kurang dari 0.5%.
4. Penggunaan produk-antara (intermediate product) yang tidak dikonsumsi
langsung seperti flavour, yang mengandung alkohol/etanol non khamr
untuk bahan produk makanan, hukumnya: mubah, apabila secara medis
tidak membahayakan.
5. Penggunaan produk-antara (intermediate product) yang tidak dikonsumsi
langsung seperti flavour, yang mengandung alkohol/etanol non khamr
untuk bahan produk minuman, hukumnya: mubah, apabila secara medis
tidak membahayakan dan selama kadar alkohol/etanol (C2H5OH) pada
produk akhir kurang dari 0.5%.
FATWA Tentang PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN
YANG MENGANDUNG ALKOHOL/ETANOL

Ketiga : Ketentuan Terkait Produk Minuman yang


Mengandung Alkohol
1. Produk minuman yang mengandung khamr hukumnya Haram.
2. Produk minuman hasil fermentasi yang mengandung alkohol
lebih dari 0.5%, hukumnya haram.
3. Produk minuman hasil fermentasi yang mengandung alkohol
tidak lebih dari 0.5% hukumnya halal jika secara medis tidak
membahayakan.
4. Produk minuman non fermentasi yang mengandung etanol
tidak lebih dari 0.5% yang bukan berasal dari khamr dan tidak
disengaja ditambahkan, tetapi terbawa dalam salah satu
ingredientnya, hukumnya halal, apabila secara medis tidak
membahayakan, seperti minuman ringan yang ditambahkan
flavour yang mengandung etanol.
FATWA Tentang PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN YANG
MENGANDUNG ALKOHOL/ETANOL

Keempat : Ketentuan Terkait Produk Makanan yang


Mengandung Alkohol
1. Sayuran hasil fermentasi secara alamiah, hukumnya halal.
2. Vinegar/cuka hasil fermentasi tanaman adalah halal.
3. Vinegar yang dibuat dari khamr yang difermentasi lebih lanjut
menjadi cuka adalah halal dan suci.
4. Makanan hasil fermentasi tanaman sumber protein, adalah halal.
5. Makanan hasil fermentasi tanaman sumber protein dengan
penambahan etanol non khamr untuk tujuan menghentikan proses
fermentasi, adalah halal.
6. Produk makanan hasil fermentasi susu berbentuk pasta/padat yang
mengandung etanol dan tidak memabukkan, adalah halal.
7. Produk makanan yang ditambahkan khamr sebagai bumbu
masakan, adalah haram.
KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA VI
TAHUN 2018
PENGGUNAAN ALKOHOL/ETANOL UNTUK BAHAN OBAT

KETETAPAN HUKUM
1. Pada dasarnya berobat wajib menggunakan metode yang tidak melanggar syariat dan obat
yang digunakan wajib menggunakan obat yang suci dan halal.
2. Obat cair berbeda dengan minuman, baik secara kegunaan ataupun hukumnya. Obat
digunakan dalam kondisi sakit untuk pengobatan sedangkan minuman digunakan untuk
konsumsi.
3. Obat cair ataupun non cair yang mengandung alkohol/etanol yang berasal dari khamr,
hukumnya haram.
4. Penggunaan alkohol/etanol yang bukan berasal dari khamr (baik merupakan hasil sintesis
kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk bahan obat
cair ataupun non cair, hukumnya boleh dengan syarat:
a. Tidak membahayakan bagi kesehatan.
b. Tidak ada penyalahgunaan.
c. Aman dan sesuai dosis.
d. Tidak digunakan secara sengaja untuk membuat mabuk.
5. Untuk mengetahui secara pasti kehalalan obat harus melalui sertifikasi halal yang
terpercaya.
FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN MR
(MEASLES RUBELLA) PRODUK DARI SII (SERUM
INTITUTE OF INDIA) UNTUK IMUNISASI
Pertama : Ketentuan Hukum
1. Penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya
hukumnya haram.
2. Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) hukumnya haram
karena dalam proses produksinya memanfaatkan bahan yang berasal
dari babi.
3. Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII),
pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena :
a. Ada kondisi keterpaksaan (dlarurat syar’iyyah)
b. Belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci
c. Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang
bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya
vaksin yang halal.
4. Kebolehan penggunaan vaksin MR sebagaimana dimaksud pada angka
3 tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci.
FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN MR
(MEASLES RUBELLA) PRODUK DARI SII (SERUM
INTITUTE OF INDIA) UNTUK IMUNISASI

Kedua : Rekomendasi
1. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk
kepentingan imunisasi bagi masyarakat.
2. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang
halal dan mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan
sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan.
4. Pemerintah harus mengupayakan secara maksimal, serta
melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar
memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan
akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal.
barakallah fikum jami’an

Anda mungkin juga menyukai