ENDY M. ASTIWARA
(Anggota Komisi Fatwa MUI & DSN MUI)
Majelis Ulama Indonesia
( MUI )
Ibadah
KOMISI
Sosial Budaya FATWA
FATWA- MUI
FATWA
MUI Pangan, Obat-obatan
dan Kosmetik
Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
DEWAN SYARIAH
Ekonomi Syariah
NASIONAL MUI
FATWA KOMISI FATWA MUI
Keempat : Rekomendasi
1. Meminta kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk
menjadikan fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan
peraturan/regulasi tentang masalah khitan perempuan.
2. Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan
untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis
untuk melakukan khitan perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa
ini.
FatwaTentang Shalat bagi
Penyandang Stoma (Ostomate)
1. Shalat bagi penyandang stoma (ostomate) selama masih
bisa melepaskan atau membersihkan kantung stoma (stoma
bag) sebelum shalat, maka wajib baginya untuk
melepaskan atau membersihkannya.
2. Sedangkan apabila tidak dimungkinkan untuk
melaksanakan ketentuan pada nomor satu di atas, maka
baginya shalat dengan keadaan apa adanya, karena dalam
kondisi tersebut ia termasuk daim al-hadats (orang yang
hadatsnya tidak bisa disucikan), yakni dengan berwudhu
setiap akan melaksanakan shalat fardhu dan dilakukan setelah
masuk waktu shalat.
Fatwa Tentang Aborsi I
1. Mengukuhkan keputusan Munas Ulama Indonesia, tanggal 28
Oktober 1983 tentang kependudukan, kesehatan, dan
pembangunan.
2. Melakukan aborsi (pengguguran janin) sesudah nafkh al-ruh
hukumnya adalah haram, kecuali jika ada alasan medis, seperti
untuk menyelamatkan jiwa si ibu.
3. Melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun
sebelum nafkh al-ruh,hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan
medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syari’ah Islam.
4. Mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau
mengizinkan aborsi.
5. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
6. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak
untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Fatwa Tentang Aborsi II
Pertama : Ketentuan Umum
1. Darurat adalah Suatu keadaan di mana seseorang apabila
tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati
atau hampir mati
2. Al-Hajat adalah Suatu keadaan di mana seseorang apabila
tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan
mengalami kesulitan berat.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi
blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena ada uzur, baik bersifat darurat
ataupun hajat.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi
adalah:
1) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut,
TBC dengan caverna dan penyakitpenyakit fisik berat lainnya yang harus
ditetapkan oleh tim dokter.
2) Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawan si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi
adalah:
1) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelak
sulit disembuhkan.
2) Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang
yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin
berusia 40 hari.
3. Aborsi yang dibolehkan karena uzur sebagaimana dimaksud pada angka 2 hanya boleh
dilaksanakan di fasilitas kesehatan yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
4. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.
5. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap muslim yang
memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan
fatwa ini
Fatwa Tentang Pakaian Kerja Bagi
Tenaga Medis Perempuan
Ketentuan Umum : Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1. Pakaian kerja adalah pakaian yang digunakan ketika tenaga medis
perempuan sedang bertugas di bagian klinis, yang berhubungan
langsung dengan pasien.
2. Tenaga medis perempuan adalah tenaga medis yang bertugas di bagian
klinis, yang berhubungan langsung dengan pasien, yang antara
lain dokter dan perawat; tidak termasuk tenaga medis non klinis yang
antara lain bagian administrasi.
Ketentuan Hukum :
1. Aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan
kedua telapak tangannya.
2. Tenaga medis perempuan dalam menjalankan tugasnya boleh
membuka aurat di bagian tangannya, sampai sebatas siku, jika ada
hajat (kebutuhan yang mendesak) terkait dengan masalah medis.
3. Pakaian kerja harus terbuat dari bahan tidak tembus pandang dan tidak
menunjukkan lekuk tubuh.
FATWA TENTANG OTOPSI JENAZAH
Ketentuan Umum :
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan otopsi meliputi dua macam otopsi, yaitu otopsi
forensik dan otopsi klinikal, yang dilakukan untuk tujuan medis legal seperti menentukan
penyebab kematian untuk tujuan pemeriksaan, penyelidikan, riset dan/atau pendidikan.
Ketentuan Hukum :
1. Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati keberadaannya
dan tidak boleh dirusak.
2. Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang
punya kewenangan untuk itu.
3. Otopsi jenazah sebagaimana dimaksud angka 2 harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. Otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i
(seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian
kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga
yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya.
b. Otopsi merupakan jalan keluar satusatunya dalam memenuhi tujuan
sebagaimana dimaksud pada point a.
c. Jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan.’
d. Jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya
sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
FATWA TENTANG OBAT DAN PENGOBATAN
Ketentuan Hukum
1. Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang
mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) lebih dari 0.5 %. Minuman
beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram,
sedikit atupun banyak.
2. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan
hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi
non khamr) untuk bahan produk makanan, hukumnya: mubah, apabila
secara medis tidak membahayakan.
3. Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan
hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi
non khamr) untuk bahan produk minuman, hukumnya: mubah, apabila
secara medis tidak membahayakan dan selama kadar alkohol/etanol
(C2H5OH) pada produk akhir kurang dari 0.5%.
4. Penggunaan produk-antara (intermediate product) yang tidak dikonsumsi
langsung seperti flavour, yang mengandung alkohol/etanol non khamr
untuk bahan produk makanan, hukumnya: mubah, apabila secara medis
tidak membahayakan.
5. Penggunaan produk-antara (intermediate product) yang tidak dikonsumsi
langsung seperti flavour, yang mengandung alkohol/etanol non khamr
untuk bahan produk minuman, hukumnya: mubah, apabila secara medis
tidak membahayakan dan selama kadar alkohol/etanol (C2H5OH) pada
produk akhir kurang dari 0.5%.
FATWA Tentang PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN
YANG MENGANDUNG ALKOHOL/ETANOL
KETETAPAN HUKUM
1. Pada dasarnya berobat wajib menggunakan metode yang tidak melanggar syariat dan obat
yang digunakan wajib menggunakan obat yang suci dan halal.
2. Obat cair berbeda dengan minuman, baik secara kegunaan ataupun hukumnya. Obat
digunakan dalam kondisi sakit untuk pengobatan sedangkan minuman digunakan untuk
konsumsi.
3. Obat cair ataupun non cair yang mengandung alkohol/etanol yang berasal dari khamr,
hukumnya haram.
4. Penggunaan alkohol/etanol yang bukan berasal dari khamr (baik merupakan hasil sintesis
kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk bahan obat
cair ataupun non cair, hukumnya boleh dengan syarat:
a. Tidak membahayakan bagi kesehatan.
b. Tidak ada penyalahgunaan.
c. Aman dan sesuai dosis.
d. Tidak digunakan secara sengaja untuk membuat mabuk.
5. Untuk mengetahui secara pasti kehalalan obat harus melalui sertifikasi halal yang
terpercaya.
FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN MR
(MEASLES RUBELLA) PRODUK DARI SII (SERUM
INTITUTE OF INDIA) UNTUK IMUNISASI
Pertama : Ketentuan Hukum
1. Penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya
hukumnya haram.
2. Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) hukumnya haram
karena dalam proses produksinya memanfaatkan bahan yang berasal
dari babi.
3. Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII),
pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena :
a. Ada kondisi keterpaksaan (dlarurat syar’iyyah)
b. Belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci
c. Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang
bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya
vaksin yang halal.
4. Kebolehan penggunaan vaksin MR sebagaimana dimaksud pada angka
3 tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci.
FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN MR
(MEASLES RUBELLA) PRODUK DARI SII (SERUM
INTITUTE OF INDIA) UNTUK IMUNISASI
Kedua : Rekomendasi
1. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk
kepentingan imunisasi bagi masyarakat.
2. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang
halal dan mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3. Pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan
sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan.
4. Pemerintah harus mengupayakan secara maksimal, serta
melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar
memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan
akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal.
barakallah fikum jami’an