Anda di halaman 1dari 8

PRINSIP KOMUNIKASI KONSELING PADA KLIEN DENGAN VCT

1. Definisi Voluntary Counseling and Testing(VCT)


Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan entry point untuk

memberikan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS.

Voluntary Counseling and Testing (VCT) dalam bahasa Indonesia disebut konseling

dan tes sukarela yaitu layanan yang diberikan kepada klien yang tidak hanya membuat

orang mempunyai akses terhadap berbagai layanan, tetapi juga efektif bagi pencegahan

terhadap HIV/AIDS. Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) juga dapat

digunakan untuk mengubah perilaku beresiko dan memberikan informasi tentang

pencegahan HIV (Modul Pelatihan Konselig dan Tes Sukarela HIV, Depkes RI: 2004).

2. Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT)

Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT) menurut SK Menkes

no.241 tahun 2006 adalah “kegiatan konseling yang menyediakan dukungan

psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS,

mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan

memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS”.

3. Tujuan Voluntary Counseling and Testing(VCT)

Tujuan umum adalah menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS melalui peningkatan

mutu pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dan mencegah penularan

HIV/AIDS.

Tujuan khusus adalah membuka pintu pertama bagi orang untuk mendapatkan

pelayanan dan perawatan HIV/AIDS dan terjadinya perubahan perilaku ke arah

yang positif, sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing


HIV/AIDS, menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumber daya dan manajemen

yang sesuai, dan memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan

konseling dan testing HIV/AIDS.

4. Prinsip -prinsip Voluntary Counseling and Testing(VCT)


Prinsip-prinsip dalam konseling harus berkenaan dengan sasaran pelayanan,

masalah individu, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan, dan

pelaksanaan pelayanan. Sedangan prinsip dasar dalam voluntary counseling and

testing ada 4, yaitu rahasia, sukarela, konseling dan persetujuan ( Dinas Kesehatan,

2008).

a. Rahasia.

Hasil pemeriksaan hanya boleh diketahui oleh yang bersangkutan dan konselor

yang menanganinya. Boleh dibukakan statusnya kepada orang lain, dengan melalui

persetujuan dari yang bersangkutan atau yang bersangkutan menyampaikan sendiri.

Layanan harus bersifat professional, menghargai hak dan martabat semua klien, semua

informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan

petugas kesehatan, tidak diperkenankan di diskusikan di luar konteks kunjungan klien.

Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh

mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin

klien , informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.

b. Sukarela.

Untuk tes HIV sifatnya sukarela (voluntary), tidak ada paksaan dari konselor.

Konselor hanya mengajaknya secara persuasif, terutama bagi klien yang memiliki

risiko tinggi untuk terpapar HIV. Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar
kerelaan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan tes

terletak ditangan klien. Tes dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT) bersifat

sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk tes wajib pada pasangan yang

menikah, pekerja seksual, rekrutmen pegawai/ tenaga kerja Indonesia, dan asuransi

kesehatan

c. Konseling.

Mempelajari pengalaman-pengalaman hidup klien, dalam mengatasi permasalahan

yang dapat menimbulkan stres atau depresi pada dirinya. Mempelajari latar belakang

perilaku berisiko klien termasuk diantaranya kemungkinan-kemungkinan melukai diri

sendiri atau melukai orang lain, seandainya hasilnya positif. Menilai pemahaman klien

mengenai HIV/AIDS, konseling, keuntungan-keuntungannya melakukan VCT, dll.

d. Persetujuan.

Klien harus mengisi formulir persetujuan untuk melakukan tes (inform concent),

yang kemudian akan ditandatangani oleh klien dan konselor.

Adapun prinsip-prinsip lain dalam konseling VCT tidak jauh berbeda dengan

prinsip-prinsip konseling pada umumnya, yaitu (Prayitno dan Amti, Erman. 2013) :

a. Mendengarkan.

Ini berbarti konselor harus diam beberapa saat dan biarkan percakapan mengalir

sehingga klien lebih banyak berbicara dibandingkan konselor. Kegiatan konseling

mendengarkan dilakukan dengan terlebih dahulu membuat klien merasa nyaman agar

klien dapat mengeluarkan semua keluhan-keluhan yang dialami. Mendengarkan dalam

hal ini yaitu ada dua :


1) Mendengarkan secara pasif yaitu dalam hal ini konselor memakai istilah “dancing

by client” atau mengikuti irama/suasana hati klien untuk menceritakan masalahnya,

namun bukan dalam artian mengikuti dan kemudian melupakan tujuan konseling.

Konselor berusaha menciptakan suasana yang mendukung bagi klien untuk

bercerita dan mengeluarkan uneg-unegnya secara leluasa tanpa mendapatkan

judgement.

2) Mendengarkan secara aktif terjadi saat adanya diskusi diantara keduanya. Klien

menceritakan pengakuan - pengakuan terkait perilaku - perilaku beresiko yang

pernah dilakukan. Tugas konselor sebatas mendengarkan sambil sesekali

memancing klien, agar klien berpikir mencari jawaban atas perilaku apa yang

menyebabkan dirinya tertular HIV. Ketika klien sudah menemukan jawabannya

sendiri, disinilah konselor berperan untuk memberikan masukkan guna mendorong

klien bangkit kesadaran dan bersedia merubah perilaku beresikonya.

Tujuan dari teknik mendengarkan yang dilakukan konselor yaitu :

1) Mencari tahu permasalahan yang dihadapi klien.

Ketika kepercayaan pada konselor tumbuh, klien sudah merasakan nyaman dan

mau membuka dirinya. Adanya trust yang terbangun memudahkan konselor dalam

mencari dan menggali informasiinformasi mengenai permasalahan yang dihadapi

klien. Dalam tahap tersebut konselor mencoba membangun hubungan antarpribadi

dengan klien. Konselor menggali informasi dari klien dengan melihat dan

mendengarkan penjelasan klien untuk mengetahui mengenai riwayat kenapa mereka

bisa menjadi ODHA. Apabila klien belum mau terbuka dan jujur terkait riwayat

perilaku beresikonya, konselor berusaha menyimpulkan dari ceritacerita yang


disampaikan klien. Pertanyaan dan pernyataan yang konselor lontarkan dalam

menggali informasi sifatnya netral dan tidak memvonis.

2) Sebagai bantuan ke klien.

Tujuan konseling yaitu membangkitkan kesadaran klien untuk pemeriksaan HIV

dan merubah perilaku yang bebas dari HIV. Dalam membantu klien memecahkan

masalahnya, konselor tidak boleh memberikan saran kepada klien, konselor harus

bersikap pasif dan klien dibuat untuk menemukan solusinya sendiri namun dengan

pengarahan konselor. Kesadaran untuk merubah perilaku beresiko harus tumbuh dari

diri klien sendiri bukan hasil intervensi orang lain. Perubahan perilaku yang dimaksud

yaitu ketika klien tidak bisa berhenti dari perilaku beresikonya, setidaknya

diminimalisir dengan cara yang aman agar tidak menularkan HIV kepada orang lain.

b. Tahap Hubungan Antarpribadi

Konselor membangun kedekatan sebatas untuk menggali informasi-informasi

masalah klien dan upaya pemberian bantuan psikologis tanpa ada maksud untuk

melanjutkan ke tahap selanjutnya yang lebih serius.

c. Self Disclosure

Proses pengungkapan informasi diri dalam konseling terjadi berkaitan dengan

hidden area klien. Klien yang datang pertama kali ke proses konseling berusaha

menutupi hal-hal berkaitan dengan riwayat perilaku beresikonya. Dengan pertemuan

yang berulang kali dan seiring dengan kepercayaan dan rasa nyaman yang tumbuh,

klien perlahan mau terbuka kepada konselor terkait latar belakangnya. Berhadapan

dengan klien yang memiliki latar belakang berbeda, tentu tingkat keterbukaan diri

seorang klien terhadap masalahnya akan berbeda pula. Klien yang sulit membagikan
hidden area-nya kepada konselor akan membuat proses konseling menjadi lambat.

Untuk menggali hidden area klien terkait latar belakang kenapa bisa terkena HIV,

setiap konselor memiliki caranya sendiri seperti menempatkan diri konselor sebagai

teman dan orang yang ramah, mengajak ngobrol yang bermanfaat nantinya klien akan

terbuka dengan sendirinya, mengarahkan klien ke orang terdekatnya, atau membiarkan

klien mengeluarkan semua unegunegnya dan setelah klien merasa tenang, konselor

akan memberikan bantuannya.

d. Bertanya dengan pertanyaan yang baik.

Ini merupakan suatu cara agar klien bisa melihat masalah dari sudut pandang yang

berbeda dan membantu konsleor untuk memahami situasi. Dalam hal ini konselor harus

mendengarkan setiap kata dan perasaan yang ada di balik kata-kata tersebut.

e. Memberikan informasi yang tepat.

Dalam hal ini konselor memberikan informasi yang benar dengan bahasa yang

mudah dipahami oleh klien, juga meluruskan informasi yang keliru, antara mitos dan

fakta.

f. Menjaga kepercayaan klien.

Konselor harus menjaga informasi tentang klien sehingga klien merasa bahwa

rahasianya tidak terbuka kepada pihak lain dan klien dapat secara bebas dan terbuka

menceritakan semua permasalahannya termasuk hal-hal yang pribadi sekalipun.

g. Perasaan tidak nyaman dan ketakutan.

Dalam situasi tertentu, konselor pun kadang-kadang merasa membutuhkan

pertolongan untuk mengatasi perasaannya dalam menghadapi klien. Misalnya ketika

menghadapi klien dengan karakteristik yang agak sulit atau terjadi keterlibatan emosi
yang terlalu dalam dengan klien. Hal-hal seperti dapat mengganggu proses konseling

dan terkadang konselor tidak bisa berfikir obyektif. Bila hal ini terjadi, konselor dapat

menghentikan proses konseling dan dilanjutkan di lain waktu atau dapat merujuk/

mereferal klien ke konselor yang lain.

h. Memilih tempat konseling yang cocok.

Di manapun konselor memberikan konseling, hendaknya memperhatikan hal-hal

seperti kenyamanan, aman dari gangguan fisik (bising, sempit, gelap), terjaga

privasinya, ada alat peraga dan media KIE lainnya, serta menyesuaikan dengan

keadaan ekonomi dan nilai budaya.


DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2011. Pedoman pelayanan konseling dan tes sukarela HIV
(Voluntary Counseling and Testing. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2011. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV (Vountary
Counseling dan Testing = VCT) untuk Konselor HIV Panduan
Peserta. Jakarta.
Prayitno dan Amti, Erman. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan Dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai