Anda di halaman 1dari 19

TUBERKULOSIS PARU

E.1 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular /


Tidak Menular

Pembimbing:

dr. Erna Astuty

Oleh :

dr. Khrisnanto Nugroho

PUSKESMAS SUSUKAN I
BANJARNEGARA
2012

0
BAB I
PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Umur : 45 Tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Berta RT 03 / RW 03
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Tgl Periksa : 02-01-2012

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama : Batuk.
B. Keluhan tambahan : Keringat malam hari, berat badan menurun dan
tidak nafsu makan.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke BP Puskesmas Susukan dengan keluhan batuk yang
tidak sembuh-sembuh sejak ± 6 bulan yang lalu. Batuk dirasakan sering,
dan tidak ngikil, paling sering pada malam hari dan cuaca dingin, sehingga
pasien tidak bisa tidur di malam hari juga sering timbul bila pasien merasa
kelelahan. Pada awalnya batuk dirasa kering, yang lama kelamaan menjadi
batuk yang berdahak yang susah untuk dikeluarkan. Dahak berwarna putih
kekuningan, tidak disertai darah. Volume ± 1 sendok teh. Bila batuk
kadang-kadang disertai demam, dada terasa panas, keringat dingin dan
kadang terasa sesak. Batuk tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien juga terkadang merasakan sesak, rasa sesak seperti terasa
berat saat menarik nafas. Pasien lebih enak atau sesaknya berkurang bila
duduk daripada tidur terlentang, dan lebih enak jika beristirahat. Rasa
sesak tanpa disertai nyeri dada dan bunyi ngik-ngik.

1
Pasien juga merasakan badannya panas, sudah kurang lebih 3
minggu yang lalu. Timbulnya panas dirasakan tidak menentu, tapi lebih
sering dirasakan pada malam hari, suhunya tidak terlalu tinggi. Panas
dirasakan hampir tiap malam, kalau siang hari jarang dirasakan panas. Bila
terasa panas, kadang disertai menggigil dan keringat dingin sampai baju
pasien basah. Panas dirasakan lebih ringan apabila minum obat penurunan
panas.
Pasien juga mengeluhkan tidak nafsu makan sejak 1 bulan yang lalu.
Bila makan sedikit saja langsung terasa mual, tanpa muntah. Pasien makan
2-3 kali sehari, tiap makan hanya 4-5 sendok makan. Pasien juga
merasakan berat badannya turun. Pasien pernah menimbang berat
badannya sebelumnya 42 kg, namun setelah sering sakit-sakitan beratnya
menjadi 40 kg.
Pasien tidak sedang dalam pengobatan TB dan tidak ada riwayat
pernah diberikan pengobatan TB.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat batuk lama : tidak disangkal
- Riwayat TB : disangkal
- Riwayat minum OAT : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
- Riwayat sesak napas : tidak disangkal
- Riwayat sakit jantung : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat operasi : disangkal
- Riwayat mondok di RS : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama
dengan pasien.

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sedang.
Kesadaran : Compos mentis.
Vital sign : T : 110/80 mmHg.
N : 80 x/menit.
R : 22 x/menit.
S : 37,2 °C
Tinggi badan : 150 cm
Berat : 40 kg

Status Generalis
1. Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : Mesocephal, simetris.
- Rambut : Warna hitam keputih-putihan, distribusi merata,
tidak mudah dicabut, tidak mudah rontok

2. Pemeriksaan Mata
- Palpebra : Edema (-/-).
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor, diameter 3 mm

3. Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)

4. Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-)

5. Pemeriksaan Mulut : Bibir sianosis (-), bibir pucat, bibir kering (-),
lidah kotor (-), tepi hiperemis (-), tremor (-),
ikterik (-), tonsil : dbn
6. Pemeriksaan Leher
- Trakea : Deviasi trakea (-)
- Kelenjar lymphoid : Tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar Tyroid : Tidak membesar

3
- JVP : Tidak meningkat

7. Pemeriksaan Dada
Pulmo
Inspeksi : Dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : VF lobus superior kanan = kiri
VF lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar : Kanan vesikuler
Kiri vesikuler
Suara tambahan : Rbh (+/+),
Rbk (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC V 2 cm medial LMC
sinistra, kuat angkat (-).
Perkusi : Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kanan atas SIC II LPSD.
Batas jantung kiri bawah SIC V 2 cm medial
LMC sinistra.
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD.
Auskultasi : S1 > S2, reguler, bising (-).

8. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, nyeri tekan (-), defans muskuler (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Nyeri tekan (-).

4
Hepar dan lien tak teraba.
Palpasi : Timpani.

9. Pemeriksaan Extremitas
- Superior : Deformitas (-), jari tabuh (-), pucat (-), sianosis
(-), edema (-).
- Inferior : Edema (-/-), hiperemis jari (-/-).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium (21 Oktober 2003)
Sputum BTA
Sewaktu :+++
Pagi :++
Sewaktu :+++
B. Rontgen Thorak
 Usulan

V. DIAGNOSIS KERJA
TB Paru BTA Positif Kasus Baru

VI. DIAGNOSIS BANDING


- Bronkopneumoni
- Bronkiektasis

VII. USULAN PEMERIKSAAN


Rontgen Thorax

VIII. TERAPI
1. Farmakologis
 Pengobatan : Kategori 1 (2 RHZE / 4 H3R3).
Untuk 2 bulan pertama :

5
- INH 5 mg/kgBB/hr
- Rifampisin 10 mg/kgBB/hr
- Pirazinamid 25 mg/kgBB/hr
- Etambutol 15 mg/kgBB/hr
Untuk 4 bulan selanjutnya (intermiten) :
- INH 10 mg/kgBB/kali, 3 kali seminggu
- Rifampisin 10 mg/kgBB/kali, 3 kali seminggu
 “Pengobatan terbaru program pemerintah” = 4 FDC 1 x III
- Vit B Complex 3 x 1
2. Non Farmakologis
- Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
yang diderita pasien.
- Memberikan motivasi kepada pasien supaya minum obat sesuai aturan.
- Memberikan pengarahan kepada pasien dan keluarga untuk menjalani
pola hidup sehat.
- Pentingnya pengobatan yang kontinyu atau terus-menerus.
- Edukasi mengenai batuk yang beretika dan tidak meludah di sembarang
tempat atau menyediakan pot atau tempat untuk meludah yang telah
diberi antiseptik.
- Menjaga kebersihan rumah, ventilasi rumah dan pencahayaan yang
cukup.
- Motivasi kepada keluarga untuk menjadi PMO.

IX. PROGNOSIS
 Ad vitam : ad Bonam
 Ad fungsionam : ad Bonam
 Ad sanationam : ad Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi (4,5)

6
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari
Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang merupakan organisme
patogen maupun saprofit. Kuman ini dapat bersifat dormant, yaitu kuman dapat
bangkit kembali dan menjadi aktif kembali.
Sifat lain dari kuman ini ialah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman
lebih menyenangi jaringan yang kadar oksigennya tinggi. Tekanan oksigen pada
bagian apikal paru-paru lebih tinggi dibanding bagian yang lain, sehingga bagian
ini merupakan tempat predileksi dari infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula basil tahan asam (BTA).
Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

B. Patogenesis tuberculosis (2,3,4)


1. Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Bila partikel infeksi
ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau paru-
paru. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer
(fokus Ghon). Sarang primer ini dapat terjadi di bagian mana saja pada
jaringan paru.
Sarang primer ini bersama-sama dengan limfangitis lokal (peradangan
KGB hilus) akan membentuk komplek primer (kompleks Ghon). Komplek
primer ini selanjutnya dapat menjadi:
a). Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b). Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus atau kompleks (sarang Ghon).
c). Berkomplikasi dan menyebar secara : per kontinuitatum, bronkogen,
limfogen, dan hematogen.

7
2. Tuberkulosis Post Primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis
dewasa (tuberkulosis post primer). Tuberkulosis post primer ini dimulai
dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru-paru (bagian apikal
posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim
paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.(4)
Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas penderita,
sarang dini ini dapat menjadi.(4)
a). Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
b). Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih
keras, menimbulkan perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran.
c). Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang
menghancurkan jaringan sekitarnya, membentuk jaringan keju yang
jika dibatukkan keluar terjadilah kavitas.

C. Klasifikasi Tuberkulosis (4)


Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah :
1. TB Paru BTA Positif
Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1 spesimen dahak
SPS positif disertai pemeriksaan radiologi paru menunjukan gambaran TB
aktif.

2. TB Paru BTA Negatif


Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan
pemeriksaan radiologi dada menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru dengan
BTA (-) dan gambaran radiologi positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan,
bila menunjukan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.

8
3. TB Ekstra Paru
TB yang menyerang organ tubuh di luar paru, termasuk pleura yaitu yang
menyelimuti paru, serta organ lain seperti selaput otak, selaput jantung
pericaditis, kelenjar limpa, kulit, persendian ginjal, saluran kencing, dan lain-
lain.

D. Gejala Klinis (3,4,5)


1. Demam
Hilang timbulkan demam influenza (subfebril), sehingga penderita pernah
terbebas dari serangan demam tersebut.
2. Batuk
Sifat batuk mulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembuluh darah yang
pecah.
3. Sesak nafas
Sasak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, di mana infiltrasinya
sudah setengah bagian paru-paru.
4. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis.
5. Malaise
Gejala malaise sering ditemukan berupa : anoreksia, tidak ada nafsu makan,
badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam, dan lain-lain. Gejala ini makin lama makin berat dan terjadi
hilang timbul secara tidak teratur.
E. Pemeriksaan Fisik (3,4,5)
 Tempat kelainan yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara nafas brokial.

9
 Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah kasar dan
nyaring. Tetapi infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya
menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.
 Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal, dan terdapat tanda-tanda cor pulmonal
denga gagal jantung kanan : takipnea, takikardi, sianosis, right ventricular lift,
right atrial gallop, Graham-Steel murmur, bunyi jantung P2 yang mengeras,
tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.
 Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura dengan tanda-
tanda : paru yang sakit tertinggal dalam pernafasan, perkusi pekak, auskultasi
lemah sampai tidak terdengar.

F. Pemeriksaan Laboratorium (3,4,5)


1. Darah
Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif), akan diadapatkan leukositosis
dengan shift to the left, limfosit di bawah normal, LED meningkat.
Pemeriksaan serologis dengan reaksi Takahashi, jika positif titernya adalah
1/128.
2. Sputum
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan.
3. Tes Tuberkulin
Biasanya dipakai cara Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin
intrakutan. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi
berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi selular dan antigen tuberkulin. Biasanya
hampir seluruh penderita tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux yang
positif (99,8%).

10
G. Pemeriksaan Radiologis (3,4,5)
Radiograf dada merupakan alat yang penting untuk diagnosis dan evaluasi
tuberkulosis. Lesi primer yang telah menyembuh dapat meninggalkan nodul
perifer yang kecil yang dapat mengalami kalsifikasi bertahun-tahun. Kompleks
Ghon membentuk nodul perifer berkalsifikasi bersama dengan kelenjar limfe hilus
yang mengalami kalsifikasi.
Infiltrasi multinoduler pada segmen apikal posterior lobus atas dan segmen
superior lobus bawah merupakan lesi yang paling khas. Kavitasi sering ada dan
biasanya disertai dengan banyak infiltrasi di segmen paru yang sama. Ketika
tuberkulosis menjadi tidak aktif atau menyembuh, jaringan parut fibrotik menjadi
tampak pada foto thoraks.

H. Diagnosis
Menurut American Thoracic Society, diagnosis pasti tuberkulosis paru
adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum
atau jaringan paru secara biakan.
Dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,
status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapinya.

I. Pengobatan (2,4,5)
Jenis obat yang dipakai dalam pengobatan tuberkulosis adalah :
1. Obat primer (OAT tingkat satu)
Yang termasuk dalam golongan ini ialah : Isoniazid Hidrasid (INH),
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomicin.

1. Obat sekunder (OAT tingkat dua)


Yang termasuk dalam golongan ini ialah : Kanamisin, PAS (Paraamin
salicylic acid), Tiasetazon, Etionamid, Protionamid, Sikloserin, Viomisin,

11
Kapreomisin, Amikasin, Ofloksasin, Ciprofloksasin, Norfloksasin,
Klofazimin.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi tiga kategori :


1. Kategori 1 (2 HRZE/ 4H3R3)
Panduan ini terdiri atas : 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniasid
(H), Rimfampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) diminum setiap hari
diteruskan dengan fase lanjutan atau intermiten selama 4 bulan dengan
Isoniazid (H), dan Rifampicin (R), tiga kali dalam seminggu.
Kategori 1 diberikan untuk :
a. Penderita baru BTA positif
b. Penderita BTA negatif/ rontgen positif yang rasa sakit berat dan ekstra
berat (meningitis, tb disseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, tb usus
dan genitourinarius), yang belum pernah menelan OAT atau kalau pernah
kurang dari satu bulan.
2. Kategori 2 (2 HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Panduan ini terdiri atas : 2 bulan fase awal intensif dengan Isoniazid
(H), Rimfamicin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), diminum setiap hari,
dan setiap kali selesai minum obat langsung diberi suntikan streptomisin.
Kemudian satu bulan lagi dengan Isoniazid (H), Rifampicin (R), Pirazinamid
(Z), Etambutol (E) diminum setiap hari tanpa suntikan. Setelah itu diteruskan
dengan fase lanjutan atau intermiten selama 5 bulan dengan HRE diminum
secara intermiten atau selang sehari atau tiga kali dalam seminggu.
Yang termasuk penderita kategori 2 :
a. Kambuh (relapse) BTA positif.
b. Gagal (failure) BTA positif
c. Kasus DO (drop out)

3. Kategori 3 (2HRZ/ 4H3R3)

12
Paduan ini terdiri atas 2 bulan fase awal intensif dengan HRZ diminum
setiap hari kemudian diteruskan dengan fase lanjutan atau intermiten selama
4 bulan dengan HR diminum 3 kali seminggu.
Yang termasuk penderita kategori 3 :
a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
b. Kasus tuberkulosis ekstra paru selain yang disebut dalam kategori 1

Selain penatalaksanaan secara farmakologis, penatalaksanaan secara non


farmakologis (edukasi) ataupun operatif juga harus dilakukan sesuai dengan
kondisi pasien.
Edukasi pada pasien tuberkulosis antara lain :
- Berhenti merokok.
- Keteraturan dan kepatuhan memakan obat.
- Mengenal dan mengetahui hasil dan efek dari pengobatan.
- Mengenal bahaya penularan penyakit.

Sedangkan terapi operatif dilakukan bila terdapat indikasi sebagai berikut :


a. Indikasi mutlak :
- Pasien telah dapat OAT adekuat tapi sputum positif.
- Pasien batuk darah masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
- Pasien datang dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak
dapat diatasi secara konservatif.
b. Indikasi relatif, yaitu :
- Pasien dengan sputum BTA negatif dengan batuk darah berulang.
- Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan.
- Sisa kavitas yang menetap.

J. Farmakodinamik dan Farmakokinetik OAT (1,4,5)

13
1. Streptomisin
 Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap
kuman tuberkulosis.
 Kerja streptomisin in vitro ialah secara supresi, bukan eradikasi kuman
tuberkulosis.
 Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan
intra sel.
2. Isoniazid
 Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan
KHM ( Konsentrasi Hambatan Minimum) sekitar 0,025-0,05 g/ ml.
 Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif.
Mikroorganisme yang sedang istirahat mulai lagi dengan pembelahan
biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan.
 Aktivitas Isoniazid lebih kuat dibandingkan dengan streptomisin.
Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. Hanya kuman
peka yang menyerap obat ke dalam selnya dan ambilan ini merupakan
proses aktif.
3. Rifampisin
 Rifampicin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif
dan gram negatif.
 Rifampicin terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh.
 Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polimerase dari
mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula
terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesa RNA.
4. Etambutol
 Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel
terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang
bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.
 Hampir semua galur Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium
kansasii sensitif terhadap Etambutol. Etambutol ini tidak efektif untuk
kuman lain.

14
5. Pirazinamid
 Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamide menjadi
asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media
yang bersifat asam.

K. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (1,4,5)


Yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Biasanya pemakaian
obat dihentikan.
1. Isoniazid (H)
Sifat bakterisid. Dosis harian 5 mg/kg/BB. Efek samping berat berupa
hepatitis dan terjadi pada kira-kira 0,5% dari kasus. Bila diduga ada hepatitis
atau terlihat adanya penyakit kuning, pengobatan dihentikan. Jika
pemeriksaan faal hati kembali normal, pengobatan dapat dilaksanakan lagi.
Obat yang sama dapat diberikan tanpa terulangnya hepatitis.
2. Rifampicin (R)
Sifat bakterisid, dosis harian 10 mg/kg BB. Bila diberikan sesuai dosis
yang dianjurkan Rifampicin tidak sering menyebabkan efek samping,
terutama pada pemakaian terus menerus setiap hari. Salah satu efek samping
yang berat dari Rifampicin adalah hepatitis, walaupun ini sangat jarang
terjadi.
Alkoholisme, penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian obat-obat
hepatotoksis yang lain secara bersamaan, akan meningkatkan resiko. Bila
timbul penyakit kuning, pengobatan perlu dihentikan. Dan bila hepatitisnya
sudah sembuh/ hilang pemberian Rifampicin dapat diulang lagi.
Rifampisin dapat menyebabkan warna pada air seni, keringat, air mata,
air liur dan lain-lain. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar
jangan khawatir, karena warna merah itu terjadi karena proses metabolisme
obat, tidak berbahaya. Jika pengobatan sudah selesai warna ai seni kembali
normal.
3. Pirazinamid (Z)

15
Sifat bakterisid, dosis harian 25 mg/kg BB, intermiten 35-50 mg/kg BB.
Efek samping utama penggunaan pirazinamid adalah hepatitis. Dapat terjadi
nyeri sendi dan kadang-kadang serangan penyakit Gout yang kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi (pengeluaran) dan penimbunan asam urat.
4. Streptomisin (S)
Sifat bakterisid, dosis harian 15 mg/kg BB, intermiten 15 mg/kgBB.
Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan alat keseimbangan.
Resiko meningkat seiring dengan peningkatan dosis dan umur. Kerusakan
pada alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-
tanda telinga mendengung (tinnitus), pusing dan kehilangan kesimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25 g. Jika pengobatan diteruskan kerusakan alat keseimbangan makin parah
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Resiko ini terutama akan
menigkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Streptomicin dapat menembus barier placenta sehingga tidak boleh
diberikan pada wanita hamil.
5. Etambutol (E).
Sifat bakteristasik, dosis harian 15 mg/ kg BB, intermiten 30-45 mg/kg
BB. Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan, berkurangnya
ketajaman penglihatan, kabur dan buta warna untuk merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tergantung pada dosis dan jarang
terjadi
Setiap pasien menerima Etambutol harus diingatkan, bila terjadi gejala-
gejala penglihatan segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan
penglihatan ini akan kenbali normal bila obat dihentikan.

L. Evaluasi Pengobatan (2,4,5)


a. Klinis

16
Penderita melakukan kontrol setiap minggu selama 2 minggu,
selanjutnya setiap 2 minggu selama sebulan dan seterusnya sekali sebulan
sampai akhir pengobatan.
Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan dari keluhan-keluhan
penderita seperti : batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan
bertambah, berat badan meningkat, dll.
b. Bakteriologis
Setelah 2-3 minggu pengobatan, sputum BTA mulai menjadi negatif.
Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Sputum
BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap
selesai pengobatan atau sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent
bacterial shedding, dimana terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-
keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-kasus yang memperoleh
kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan
(3 bulan), berarti penderita mulai kambuh lagi tuberkulosisnya.
c. Radiologis
Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Jika
keluhan penderita tetap tidak berkurang, dengan pemeriksaan radiologis dapat
dilihat keadaan tuberkulosis parunya atau adakah penyakit lain yang
menyertainya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Farmakologi, Balai Penerbitan FKUI, Jakarta, 1995.

2. Pelatihan DOTS, Bagian Farmakologi FKUI, 2000.

3. Price, Sylvia A. (ed), Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit),


Edisi 4, EGC, Jakarta 1995.

4. Soeparman, Waspadji S., Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, FKUI, Jakarta, Cetak
Ulang 1998.

5. Isselbacher et al, Harrison, Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 2,


Edisi 13, EGC, Jakarta, 1995.

6. Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,


Cetakan ke-6. Depkes RI, Jakarta, 2001.

18

Anda mungkin juga menyukai