E.1 TBC Khrisna
E.1 TBC Khrisna
Pembimbing:
Oleh :
PUSKESMAS SUSUKAN I
BANJARNEGARA
2012
0
BAB I
PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Umur : 45 Tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Berta RT 03 / RW 03
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Tgl Periksa : 02-01-2012
II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama : Batuk.
B. Keluhan tambahan : Keringat malam hari, berat badan menurun dan
tidak nafsu makan.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke BP Puskesmas Susukan dengan keluhan batuk yang
tidak sembuh-sembuh sejak ± 6 bulan yang lalu. Batuk dirasakan sering,
dan tidak ngikil, paling sering pada malam hari dan cuaca dingin, sehingga
pasien tidak bisa tidur di malam hari juga sering timbul bila pasien merasa
kelelahan. Pada awalnya batuk dirasa kering, yang lama kelamaan menjadi
batuk yang berdahak yang susah untuk dikeluarkan. Dahak berwarna putih
kekuningan, tidak disertai darah. Volume ± 1 sendok teh. Bila batuk
kadang-kadang disertai demam, dada terasa panas, keringat dingin dan
kadang terasa sesak. Batuk tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien juga terkadang merasakan sesak, rasa sesak seperti terasa
berat saat menarik nafas. Pasien lebih enak atau sesaknya berkurang bila
duduk daripada tidur terlentang, dan lebih enak jika beristirahat. Rasa
sesak tanpa disertai nyeri dada dan bunyi ngik-ngik.
1
Pasien juga merasakan badannya panas, sudah kurang lebih 3
minggu yang lalu. Timbulnya panas dirasakan tidak menentu, tapi lebih
sering dirasakan pada malam hari, suhunya tidak terlalu tinggi. Panas
dirasakan hampir tiap malam, kalau siang hari jarang dirasakan panas. Bila
terasa panas, kadang disertai menggigil dan keringat dingin sampai baju
pasien basah. Panas dirasakan lebih ringan apabila minum obat penurunan
panas.
Pasien juga mengeluhkan tidak nafsu makan sejak 1 bulan yang lalu.
Bila makan sedikit saja langsung terasa mual, tanpa muntah. Pasien makan
2-3 kali sehari, tiap makan hanya 4-5 sendok makan. Pasien juga
merasakan berat badannya turun. Pasien pernah menimbang berat
badannya sebelumnya 42 kg, namun setelah sering sakit-sakitan beratnya
menjadi 40 kg.
Pasien tidak sedang dalam pengobatan TB dan tidak ada riwayat
pernah diberikan pengobatan TB.
2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sedang.
Kesadaran : Compos mentis.
Vital sign : T : 110/80 mmHg.
N : 80 x/menit.
R : 22 x/menit.
S : 37,2 °C
Tinggi badan : 150 cm
Berat : 40 kg
Status Generalis
1. Pemeriksaan Kepala
- Bentuk kepala : Mesocephal, simetris.
- Rambut : Warna hitam keputih-putihan, distribusi merata,
tidak mudah dicabut, tidak mudah rontok
2. Pemeriksaan Mata
- Palpebra : Edema (-/-).
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor, diameter 3 mm
5. Pemeriksaan Mulut : Bibir sianosis (-), bibir pucat, bibir kering (-),
lidah kotor (-), tepi hiperemis (-), tremor (-),
ikterik (-), tonsil : dbn
6. Pemeriksaan Leher
- Trakea : Deviasi trakea (-)
- Kelenjar lymphoid : Tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar Tyroid : Tidak membesar
3
- JVP : Tidak meningkat
7. Pemeriksaan Dada
Pulmo
Inspeksi : Dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : VF lobus superior kanan = kiri
VF lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar : Kanan vesikuler
Kiri vesikuler
Suara tambahan : Rbh (+/+),
Rbk (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC V 2 cm medial LMC
sinistra, kuat angkat (-).
Perkusi : Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kanan atas SIC II LPSD.
Batas jantung kiri bawah SIC V 2 cm medial
LMC sinistra.
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD.
Auskultasi : S1 > S2, reguler, bising (-).
8. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, nyeri tekan (-), defans muskuler (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Nyeri tekan (-).
4
Hepar dan lien tak teraba.
Palpasi : Timpani.
9. Pemeriksaan Extremitas
- Superior : Deformitas (-), jari tabuh (-), pucat (-), sianosis
(-), edema (-).
- Inferior : Edema (-/-), hiperemis jari (-/-).
V. DIAGNOSIS KERJA
TB Paru BTA Positif Kasus Baru
VIII. TERAPI
1. Farmakologis
Pengobatan : Kategori 1 (2 RHZE / 4 H3R3).
Untuk 2 bulan pertama :
5
- INH 5 mg/kgBB/hr
- Rifampisin 10 mg/kgBB/hr
- Pirazinamid 25 mg/kgBB/hr
- Etambutol 15 mg/kgBB/hr
Untuk 4 bulan selanjutnya (intermiten) :
- INH 10 mg/kgBB/kali, 3 kali seminggu
- Rifampisin 10 mg/kgBB/kali, 3 kali seminggu
“Pengobatan terbaru program pemerintah” = 4 FDC 1 x III
- Vit B Complex 3 x 1
2. Non Farmakologis
- Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
yang diderita pasien.
- Memberikan motivasi kepada pasien supaya minum obat sesuai aturan.
- Memberikan pengarahan kepada pasien dan keluarga untuk menjalani
pola hidup sehat.
- Pentingnya pengobatan yang kontinyu atau terus-menerus.
- Edukasi mengenai batuk yang beretika dan tidak meludah di sembarang
tempat atau menyediakan pot atau tempat untuk meludah yang telah
diberi antiseptik.
- Menjaga kebersihan rumah, ventilasi rumah dan pencahayaan yang
cukup.
- Motivasi kepada keluarga untuk menjadi PMO.
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : ad Bonam
Ad fungsionam : ad Bonam
Ad sanationam : ad Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi (4,5)
6
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari
Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang merupakan organisme
patogen maupun saprofit. Kuman ini dapat bersifat dormant, yaitu kuman dapat
bangkit kembali dan menjadi aktif kembali.
Sifat lain dari kuman ini ialah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman
lebih menyenangi jaringan yang kadar oksigennya tinggi. Tekanan oksigen pada
bagian apikal paru-paru lebih tinggi dibanding bagian yang lain, sehingga bagian
ini merupakan tempat predileksi dari infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula basil tahan asam (BTA).
Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
7
2. Tuberkulosis Post Primer
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis
dewasa (tuberkulosis post primer). Tuberkulosis post primer ini dimulai
dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru-paru (bagian apikal
posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim
paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.(4)
Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas penderita,
sarang dini ini dapat menjadi.(4)
a). Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
b). Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih
keras, menimbulkan perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran.
c). Sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang
menghancurkan jaringan sekitarnya, membentuk jaringan keju yang
jika dibatukkan keluar terjadilah kavitas.
8
3. TB Ekstra Paru
TB yang menyerang organ tubuh di luar paru, termasuk pleura yaitu yang
menyelimuti paru, serta organ lain seperti selaput otak, selaput jantung
pericaditis, kelenjar limpa, kulit, persendian ginjal, saluran kencing, dan lain-
lain.
9
Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah kasar dan
nyaring. Tetapi infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya
menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot interkostal, dan terdapat tanda-tanda cor pulmonal
denga gagal jantung kanan : takipnea, takikardi, sianosis, right ventricular lift,
right atrial gallop, Graham-Steel murmur, bunyi jantung P2 yang mengeras,
tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura dengan tanda-
tanda : paru yang sakit tertinggal dalam pernafasan, perkusi pekak, auskultasi
lemah sampai tidak terdengar.
10
G. Pemeriksaan Radiologis (3,4,5)
Radiograf dada merupakan alat yang penting untuk diagnosis dan evaluasi
tuberkulosis. Lesi primer yang telah menyembuh dapat meninggalkan nodul
perifer yang kecil yang dapat mengalami kalsifikasi bertahun-tahun. Kompleks
Ghon membentuk nodul perifer berkalsifikasi bersama dengan kelenjar limfe hilus
yang mengalami kalsifikasi.
Infiltrasi multinoduler pada segmen apikal posterior lobus atas dan segmen
superior lobus bawah merupakan lesi yang paling khas. Kavitasi sering ada dan
biasanya disertai dengan banyak infiltrasi di segmen paru yang sama. Ketika
tuberkulosis menjadi tidak aktif atau menyembuh, jaringan parut fibrotik menjadi
tampak pada foto thoraks.
H. Diagnosis
Menurut American Thoracic Society, diagnosis pasti tuberkulosis paru
adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum
atau jaringan paru secara biakan.
Dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,
status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapinya.
I. Pengobatan (2,4,5)
Jenis obat yang dipakai dalam pengobatan tuberkulosis adalah :
1. Obat primer (OAT tingkat satu)
Yang termasuk dalam golongan ini ialah : Isoniazid Hidrasid (INH),
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomicin.
11
Kapreomisin, Amikasin, Ofloksasin, Ciprofloksasin, Norfloksasin,
Klofazimin.
12
Paduan ini terdiri atas 2 bulan fase awal intensif dengan HRZ diminum
setiap hari kemudian diteruskan dengan fase lanjutan atau intermiten selama
4 bulan dengan HR diminum 3 kali seminggu.
Yang termasuk penderita kategori 3 :
a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
b. Kasus tuberkulosis ekstra paru selain yang disebut dalam kategori 1
13
1. Streptomisin
Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap
kuman tuberkulosis.
Kerja streptomisin in vitro ialah secara supresi, bukan eradikasi kuman
tuberkulosis.
Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan
intra sel.
2. Isoniazid
Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid dengan
KHM ( Konsentrasi Hambatan Minimum) sekitar 0,025-0,05 g/ ml.
Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif.
Mikroorganisme yang sedang istirahat mulai lagi dengan pembelahan
biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan.
Aktivitas Isoniazid lebih kuat dibandingkan dengan streptomisin.
Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. Hanya kuman
peka yang menyerap obat ke dalam selnya dan ambilan ini merupakan
proses aktif.
3. Rifampisin
Rifampicin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif
dan gram negatif.
Rifampicin terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh.
Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polimerase dari
mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula
terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesa RNA.
4. Etambutol
Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel
terhambat dan sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif terhadap sel yang
bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.
Hampir semua galur Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium
kansasii sensitif terhadap Etambutol. Etambutol ini tidak efektif untuk
kuman lain.
14
5. Pirazinamid
Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamide menjadi
asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media
yang bersifat asam.
15
Sifat bakterisid, dosis harian 25 mg/kg BB, intermiten 35-50 mg/kg BB.
Efek samping utama penggunaan pirazinamid adalah hepatitis. Dapat terjadi
nyeri sendi dan kadang-kadang serangan penyakit Gout yang kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi (pengeluaran) dan penimbunan asam urat.
4. Streptomisin (S)
Sifat bakterisid, dosis harian 15 mg/kg BB, intermiten 15 mg/kgBB.
Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan alat keseimbangan.
Resiko meningkat seiring dengan peningkatan dosis dan umur. Kerusakan
pada alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-
tanda telinga mendengung (tinnitus), pusing dan kehilangan kesimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25 g. Jika pengobatan diteruskan kerusakan alat keseimbangan makin parah
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Resiko ini terutama akan
menigkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Streptomicin dapat menembus barier placenta sehingga tidak boleh
diberikan pada wanita hamil.
5. Etambutol (E).
Sifat bakteristasik, dosis harian 15 mg/ kg BB, intermiten 30-45 mg/kg
BB. Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan, berkurangnya
ketajaman penglihatan, kabur dan buta warna untuk merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tergantung pada dosis dan jarang
terjadi
Setiap pasien menerima Etambutol harus diingatkan, bila terjadi gejala-
gejala penglihatan segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan
penglihatan ini akan kenbali normal bila obat dihentikan.
16
Penderita melakukan kontrol setiap minggu selama 2 minggu,
selanjutnya setiap 2 minggu selama sebulan dan seterusnya sekali sebulan
sampai akhir pengobatan.
Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan dari keluhan-keluhan
penderita seperti : batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan
bertambah, berat badan meningkat, dll.
b. Bakteriologis
Setelah 2-3 minggu pengobatan, sputum BTA mulai menjadi negatif.
Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Sputum
BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap
selesai pengobatan atau sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent
bacterial shedding, dimana terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-
keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-kasus yang memperoleh
kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan
(3 bulan), berarti penderita mulai kambuh lagi tuberkulosisnya.
c. Radiologis
Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Jika
keluhan penderita tetap tidak berkurang, dengan pemeriksaan radiologis dapat
dilihat keadaan tuberkulosis parunya atau adakah penyakit lain yang
menyertainya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan
bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.
17
DAFTAR PUSTAKA
4. Soeparman, Waspadji S., Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, FKUI, Jakarta, Cetak
Ulang 1998.
18