Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH

KONSELING DAN VCT PADA PASIEN HIV/AIDS

MK : KEPERAWATAN HIV AIDS


DOSEN : Ns. M. Taufan Umasugi, S.Kep., M.Kes

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK II
1. CAROLINA SOURIPET
2. DESAMBRI HITIMALA
3. TRESYE BERNARD
4. WATI RAHAYAAN
5. YUNIARTI MAASILY

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


PRODI KEPERAWATAN
STIKES MALUKU HUSADA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas besar makalah yang berjudul
“Konseling dan VCT pada pasien HIV/AIDS” di mata kuliah Keperawatan
HIV/AIDS.Tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada dosen yang telah
memberikan materi selama kuliah berlangsung. Kami juga berterima kasih kepada
teman-teman yang memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung.
Tentunya kami berharap dapat memenuhi apa yang menjadi tugas kami
melalui tugas makalah ini, juga telah bermanfaat bagi diri kami sendiri karena
menambah ilmu kami. kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari
kata sempurna, maka dari itu kami berharap kritik dan saran yang membangun dari
dosen terkait, guna menyempurnakan tugas makalah yang kami buat ini.

Ambon, 28 Juli 2019


Penulis

Kelompok II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I. BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
II. BAB II PEMBAHASAN
A. Landasan Teori HIV AIDS
B. Konseling HIV/AIDS
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trend kejadian HIV/AIDS didunia cenderung meningkat setiap tahunnya.
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2014 di dunia didapatkan
36.900.000 orang terinfeksi HIV/AIDS. Di Indonesia menurut Dirjen PP dan PL
Kemenkes RI (2014),ada sekitar 150.285orang terinfeksi HIV/AIDS. Pemerintah
Indonesia telah mengupayakan penanggulangan HIV/AIDS dengan berbagai
macam cara. Menurut Permenkes RI (2013), penanggulangan HIV/AIDS
dilakukan melalui 5 (lima) kegiatan yaitu; 1) promosi kesehatan; 2) pencegahan
penularan HIV/AIDS; 3) pemeriksaan diagnosis HIV/AIDS; 4) pengobatan,
perawatan dan dukungan; serta 5) rehabilitasi. Menurut Kemenkes RI (2014),
layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS
diwujudkan melalui voluntary counseling and testing (VCT).Hal ini menunjukkan
bahwa VCT sebagai upaya untuk penanggulanggan HIV/AIDS. VCT berperan
dalam pencegahan dan pengobatan pada klien HIV/AIDS.
VCT termasuk layanan yang diterapkan secara global. Menurut WHO (2012),
layanan VCT mengacu kepada lima prinsip dasar penangganan HIV secara
globalyaitu; 1)informed consent; 2) confidentiality; 3) counseling; 4) correct test
result; dan 5) connections to care, treatment and prevention service.Prinsip
tersebut telah menjadi acuan Indonesia untuk dikembangkan secara nasional.
Tenaga kesehatan bertanggungjawab memberikan layanan VCT kepada klien.
Menurut Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia/PKVHI(2014), tenaga
kesehatan yang memberikan layanan VCT disebut konselor. Konselor adalah
orang yang memberi pelayanan konseling yang telah dilatih keterampilan
konseling HIV-AIDS dan dinyatakan mampu.Konselor VCT memiliki kompetensi
yang diantaranya berupa; tulus, empati, aktif mendengarkan, care, percaya, peka
akan budaya, sabar, jujur, mempunyai alternatif, menyadari keterbatasan diri,
mendukung ekspresi perasaan/pikiran, tidak menghakimi dan berpengetahuan
(Kemenkes RI, 2012).Berdasarkan kompetensi tersebut konselor dapat
memberikan layanan VCT dengan baik.
Pelaksanaan VCT tidak selalu berjalan dengan baik.Menurut Commonwealth
Regional Health Community Secretariat (2002), ada 3 (tiga) masalah serius dalam
pelaksanaan VCT yaitu 1) menciptakan kesadaran masyarakat;2) kekuatan dan
infrastruktur konselor VCT; dan 3) mempertahankan kualitas layanan VCT.
Sedangkan menurut Layer, et al.(2014), ada 3 (tiga) hambatan dalam pelaksanaan
VCT meliputi;1) individu; 2) fasilitas; dan 3) masyarakat dan struktural.Adapun
Menurut Dayaningsih (2009), ada 5 (lima) faktor hambatanpelaksanaaan VCT,
yaitu;1) faktor konselor;2) faktor klien; 3) faktor keluarga;4) faktor masyarakat;
dan 5) faktor fasilitas pelayanan VCT. Jadidapat disimpulkan bahwa faktor yang
sering menjadi hambatan pelaksanaan VCT adalah faktor konselor, klien,
keluarga,masyarakat dan fasilitas pelayanan.

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yakni apa itu konselor dan
VCT untuk pasien HIV/AIDS

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu konselor dan VCT untuk pasien HIV/AIDS
2. Mengetahui konseling pre dan post test HIV/AIDS
3. Mengetahui alas an dan tujuan konseling HIV/AIDS
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori HIV/AIDS


1. Pengertian HIV/AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang
menyerang sel-sel limposit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem kekebalan
tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune
Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tapi ditularkan
dari satu orang ke orang lainnya; “Immune” adalah sistem daya tangkal tubuh
terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan
“Syndrome” adalah kumpulan tanda atau gejala penyakit. Sehingga AIDS
dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang
ditandai dengan berkurangnya daya tahan tubuh atau defisiensi imun yang
berat.
AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV. Penyakit yang membuat
orang tak berdaya dan mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh HIV.
Penurunan daya tahan tubuh akibat kerusakan sistem imun oleh HIV samapai
pada tingkat timbulnya AIDS memerlukan waktu beberapa tahun. Orang yang
terinfeksi HIV dapat tetap sehat dan tidak menunjukkan gejala apapun untuk
jangka waktu cukup panjang bahkan hingga 10 tahun sehingga banyak orang
yang tidak menyadari atau mengetahui apakah dirinya sudah terinfeksi HIV
atau tidak. Namun pada saat itu, orang ini dapat dengan mudah menularkan
infeksinya kepada orang lain. Kepastian atas status HIV positif pada diri
seseorang hanya bisa dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium.
2. Penularan HIV/AIDS
HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seseorang yang telah
tertular, walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala
penyakit. HIV hanya bisa ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan
cairan tubuh atau darah. Dosis virus memegang peranan penting. Makin besar
jumlah virusnya makin besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang
banyak ada dalam darah, sperma, cairan vagina, serviks dan cairan otak.
Dalam saliva (air liur/ludah), air mata, urin, keringat dan air susu hanya
ditemukan sedikit sekali. (Wibowo, 2002 : 23).
Berdasarkan sifat dari virus HIV tersebut, HIV hanya dapat ditularkan
melalui :
a. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral maupun anal dengan seorang
pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, meliputi 80 – 90
% dari total kasus sedunia.
b. Kontak langsung dengan darah, produk darah, transplantasi organ dan
jaringan atau jarum suntik:
1) Tranfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat
tinggi, sampai lebih dari 90 %. Ditemukan sekitar 3 – 5 % dari total
kasus sedunia.
2) Pemakaian jarum suntik yang tidak steril atau pemakaian bersama
jarum suntik dan sempritnya pada para pecandu narkotika suntik.
Risikonya sekitar 0,5 – 1 % dan telah terdapat 5 – 10 % dari total kasus
sedunia.
3) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
Risikonya sekitar kurang dari 0,5 % dan telah terdapat kurang dari 0,1
% dari total kasus sedunia.
c. Secara vertikal dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan. Risiko sekitar 25 – 40 %,
terdapat < 0,1 % dari total kasus sedunia.
HIV tidak ditularkan melalui kontak sosial, seperti bersentuhan dengan
pengidap HIV, berjabat tangan, berciuman biasa, bersin dan batuk, melalui
makanan dan minuman, berenang dalam kolam yang sama, menggunakan WC
bersama pengidap HIV. Selain itu HIV juga tidak ditularkan melalui gigitan
nyamuk dan serangga lainnya.
Perilaku berisiko tinggi yang rentan terinfeksi HIV antara lain:
a. Wanita dan laki-laki yang berganti-ganti pasangan dalam melakukan
hubungan seksual, beserta pasangannya.
b. Wanita dan laki-laki tuna susila, beserta pelanggan mereka
c. Wanita dan laki-laki yang mempunyai pasangan dengan riwayat yang tidak
diketahui dan melakukan hubungan seksual yang tidak aman (hubungan
seksual tanpa menggunakan kondom)
d. Orang-orang yang melakukan hubungan seksual yang tidak wajar, seperti
hubungan seksual melalui dubur (anal) dan mulut (oral) misalnya pada
homoseksual dan biseksual
e. Menggunakan narkotika atau alkohol pada situasi yang memungkinkan
terjadinya hubungan seksual
f. Penyalahguna narkotika dengan suntikan, yang menggunakan jarum suntik
secara bersama (bergantian)

3. Pencegahan Penularan HIV/AIDS


Pencegahan untuk melindungi diri dari infeksi HIV/AIDS meliputi tiga
hal, yaitu :
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual
b. Pencegahan penularan melalui darah
c. Pencegahan penularan dari ibu ke anak
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS dan
berkembangnya HIV/AIDS lebih lanjut terangkum dalam istilah A B C D E
berikut ini.
A : Anda jauhi seks bebas atau tidak melakukan hubungan seksual sebelum
menikah (Abstinence). Hubungan seksual hanya dilakukan melalui pernikahan
yang sah.
B : Bersikap saling setia (Be faithful), yaitu hanya mengadakan hubungan
seksual dengan pasangan sendiri, yaitu suami atau istri sendiri.
C : Bila salah satu pasangan sudah terinfeksi HIV, maka dalam melakukan
hubungan seksual harus menggunakan kondom secara benar dan konsisten
(Condom).
D : Tidak menggunakan narkotika dan narkoba suntik (Do not use drugs)
E : Penyuluhan dan pendidikan mengenai HIV/AIDS secara benar kepada
masyarakat (Education)
Serta dengan mempertebal iman dan takwa agar tidak terjerumus melakukan
perilakuperilaku yang dilarang oleh Allah dan merugikan diri kita.

B. Konseling HIV/AIDS
1. Pengertian Konseling HIV/AIDS
Konseling HIV/AIDS merupakan komunikasi bersifat konfidensial
antara klien dan konselor yang bertujuan meningkatkan kemampuan
menghadapi stress dan mengambil keputusan berkaitan dengan HIV/AIDS.
Proses konseling termasuk evaluasi risiko personal penularan HIV, fasilitasi
pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi
hasil tes positif. (World Health Organization/WHO).
UNAIDS (2000) mendefinisikan konseling HIV/AIDS dialog rahasia
antara seseorang dan pemberi layanan yang bertujuan membuat orang tersebut
mampu menyesuaikan diri dengan stres dan membuat keputusan yang sesuai
berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk evaluasi risiko
personal tranmisi HIV dan memfasilitasi perilaku pencegahan.
Konseling HIV/AIDS perlu dilakukan karena diagnosis HIV atas diri
seseorang mempunyai banyak implikasi, baik secara psikologis, fisik, sosial
maupun spiritual. Selain itu HIV merupakan penyakit yang mengancam
kehidupan dan terapi terhadap penderitanya harus dilakukan seumur hidup.
Di lapangan, konseling HIV/AIDS disebut juga dengan Voluntary
Counseling and Testing (VCT) atau Tes dan Konseling Sukarela. Kata
‘sukarela’ di sini menekankan bahwa konseling harus berjalan tanpa paksaan
serta berdasarkan atas keinginan dan kesadaran dari klien itu sendiri. Selain itu
testing dan konseling HIV merupakan komponen utama dalam program
HIV/AIDS. Hubungan antara konseling dan tes HIV dapat digambarkan
sebagai berikut:

Bagan 2.1 Hubungan antara konseling dan testing HIV

VCT digunakan untuk melakukan setiap intervensi. Konseling ini


minimum terdiri atas konseling pre tes dan pasca tes HIV, juga menyediakan
konseling berkelanjutan jangka panjang, konseling dukungan, konseling
keluarga dan pasangan hingga konseling kematian.

2. Konseling Pra Tes HIV


Tes HIV senantiasa didahului oleh konseling pra tes. Konseling pra tes
individual dilaksanakan untuk membantu seseorang dalam membuat keputusan
yang baik tentang apakah akan menjalani tes HIV atau tidak. Konseling pra tes
HIV membantu klien menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah HIV,
memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV
dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV.
Konseling juga dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan yang benar dan
meluruskan pemahaman yang keliru tentang HIV/AIDS dan berbagai mitosnya.
Konseling pra tes menantang konselor untuk dapat membuat
keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon
kebutuhan emosi klien. Banyak orang takut melakukan tes HIV karena berbagai
alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat dan
keluarga. Karena itu layanan VCT senantiasa melindungi klien dengan menjaga
kerahasiaan. Peletakan kepercayaan klien pada konselor merupakan dasar
utama bagi terjaganya rahasia dan terbinanya hubungan yang baik. Penggunaan
keterampilan konseling mikro sangat penting untuk membina rapport dan
menunjukkan adanya layanan yang berfokus pada klien.

3. Konseling Pasca Tes HIV


Konseling pasca tes HIV membantu klien memahami dan menyesuaikan
diri dengan hasil tes, baik itu hasilnya positif atau negatif. Konselor
mempersiapkan klien untuk menerima hasil tes, memberitahukan hasil tesnya,
dan menyediakan informasi selanjutnya, atau bila perlu merujuk klien ke
fasilitas layanan lainnya. Selanjutnya konselor mengajak klien mendiskusikan
strategi untuk menurunkan transmisi HIV dan pengurangan risiko.
Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes. Jika hasil tes
positif, konselor menyampaikan hasil tes dengan cara yang dapat diterima
klien, secara halus dan manusiawi, serta memperhatikan kondisi individu klien
dan budaya setempat. Ketika hasil tes positif, konselor harus:
a. Memberitahu klien sejelas dan sehati-hati mungkin, dan dapat mengatasi
reaksi awal yang timbul.
b. Memberi mereka cukup waktu untuk memahami dan mendiskusikan hasil tes
tersebut.
c. Memberikan informasi dengan cara yang mudah dimengerti, memberikan
dukungan emosional, dan membantu mereka untuk mendiskusikan
bagaimana mereka akan menghadapi hal itu, termasuk mengidentifikasi
dukungan apa yang tersedia di rumah.
d. Merujuk klien ke layanan yang diperlukan, misalnya kelompok dukungan
masyarakat atau fasillitas kesehatan.
e. Menjelaskan bahwa hasil tes akan tetap dirahasiakan, sehingga tidak akan
ada orang lain yang tahu kecuali atas persetujuan klien.
f. Mendiskusikan siapa orang yang mungkin ingin diberitahu tentang hasil tes
itu dan bagaimana cara untuk melakukannya.
g. Menjelaskan bagaimana klien dapat menjaga kesehatannya termasuk
informasi tentang pola hidup, makanan, olah raga, istirahat, dan menghindari
infeksi.
h. Memberi tahu klien tentang layanan kesehatan dan terapi jika dibutuhkan.
i. Bila klien adalah wanita hamil, mendiskusikan cara menghindari penularan
terhadap bayinya, membantu mereka untuk membuat keputusan yang
mereka rasa paling baik dan merujuk untuk knseling lebih lanjut.
j. Mendiskusikan pencegahan cara penularan HIV kepada pasangan-pasangan
yang munngkin tidak terinfeksi dan memberikan informasi tentang
hubungan seks yang lebih aman.

Konseling tetap diperlukan walaupun hasil tes negatif. Di sini konselor


dan klien mendiskusikan perasaan yang timbul dari hasil tersebut dan
mendiskusikan pencegahan dari infeksi HIV. Meskipun orang akan merasa
lega mendapatkan hasil negatif, konselor harus menjelaskan bahwa karena
adanya masa jendela (window period), hasil negatif ini tidaklah sepenuhnya
menjamin bahwa orang ini tidak terinfeksi HIV. Konselor harus
menganjurkan untuk mempertimbangkan datang kembali dan tes ulang setelah
3-6 bulan. Selain itu, konselor dapat membantu klien dalam memformulasikan
strategi lain agar tetap dalam hasil tes yang negatif.
Dasar keberhasilan konseling pasca tes ditentukan oleh baiknya
konseling pra tes. Bila konseling pra tes berjalan baik, maka dapat terbina
rapport antara konselor dan klien. Dengan dasar ini, maka akan memudahkan
terjadinya perubahan perilaku di masa datang dan memungkinkan pendalaman
akan masalah klien. Mereka yang menunggu hasil tes HIV berada dalam
kecemasan, dan mereka yang menerima hasil tes HIV positif kemungkinan
akan mengalami distress. Karena itu disarankan agar konselor yang
melakukan konseling pasca tes adalah konselor yang sama dengan konselor
yang menjalankan konseling pra tes. Kerangka model dari prosedur kunci
layanan konseling HIV/AIDS atau VCT dapat digambarkan dalam bagan
berikut ini.
Gejala atau kecemasan yang membawa seseorang memutuskan untuk tes status HIV

Konseling pra tes mencakup penilaian kondisi perilaku berisiko individu dan
kondisi psikososial, penyediaan informasi faktual tertulis ataupun lisan

Beri waktu untuk berpikir

Penundaan pengambilan Pengambilan darah/testing HIV


darah/testing HIV

HIV Negatif HIV Positif


Mendorong mengubah perilaku ke arah Sampaikan berita dengan hati-
yang positif, hilangkan yang negative hati, menilai kemampuan
Mengatakan meski situasinya masih mengelola berita hasil tes,
berisiko rendah, tetap harus sediakan waktu untuk diskusi,
merawat diri untuk menghindari bantu agar bisa beradaptasi
infeksi dan kemungkinan penularan dengan
Sarankanuntuk
untukmelakukan
melakukanperiksa
periksa
Sarankan situasi dan buat rencana yang
ulang 12 minggu atau 3-6 bulan sesudah Berikan konseling
ulang 12 minggu atau 3-6 bulan tepat dan
tes berkelanjutan yang melibatkan
sesudah tes rasional
keluarga dan teman;
menggerakkan dukungan
keluarga dan masyarakat; cara
dukungan lainnya
(support group); tumbuhkan
perilaku
Berikan konseling berkelanjutan
bertanggung jawab
4. Alasan dan Tujuan Konseling HIV/AIDS
Masalah HIV/AIDS merupakan masalah sosial yang berdampak
besar pada masyarakat. Untuk itu diselenggarakan suatu layanan VCT yang
dimaksudkan sebagai usaha pencegahan dan perawatan HIV. Adapun alasan
diadakannya VCT adalah:
a. Pencegahan HIV
Konseling dan tes sukarela HIV berkualitas tinggi merupakan komponen
efektif (juga efektif dari sudut biaya) pendekatan prevensi, yang
mempromosikan perubahan perilaku seksual dan perilaku berisiko lainnya
dalam menurunkan penularan HIV. Dalam laporan mengenai efektivitas
VCT di Kenya, Tanzania, dan Trinidad pada tahun 2000, mereka yang
menggunakan jasa layanan VCT, di dalam dirinya ada perasaan yang kuat
tentang tata nilai, akivitas seksual, dan diagnosis (apakah positif atau
negatif) dan seringkali mereka betul-betul menurunkan perilaku
berisikonya. VCT menawarkan kepada para pasangan untuk mencari tahu
status HIV mereka dan perencanaan hidup mereka yang berkenaan dengan
hal tersebut.
b. Pintu masuk menuju terapi dan perawatan
VCT telah terbukti sangatlah berperan sebagai pintu gerbang menuju
pelayanan medic dan dukungan sesuai yang dibutuhkan. VCT sudah
mendesak untuk dipandang sebagai penghormatan atas hak asasi mereka
dari sisi kesehatan masyarakat, karena infeksi HIV merupakan hal serius
yang mempunyai dampak begitu besar bagi kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan
keluarga, kehidupan social dan produktivitas masyarakat dalam jangka
panjang. Konseling HIV/AIDS merupakan suatu proses dengan tiga tujuan
umum. Konseling HIV/AIDS bertujuan untuk :
1) Menyediakan dukungan psikologis, sosial dan spiritual seseorang yang
mengidap virus HIV.
2) Pencegahan penularan HIV/AIDS dengan menyediakan informasi
tentang perilaku berisiko dan membantu orang dalam mengembangkan
keterampilan pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku dan
negosiasi praktek yang lebih aman.
3) Memastikan efektivitas rujukan kesehatan, terapi, dan perawatan
melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat.
Konselor HIV/AIDS mencapai tujuan di atas melalui :
1) Memungkinkan orang untuk mengenali dan mengekspresikan
perasaannya.
2) Menggali opsi dan membantu klien membangun rencana tindakan
tentang isu atau permasalahan yang dihadapi.
3) Membangkitkan perubahan perilaku yang sesuai
4) Menyediakan informasi terkini tentang prevensi, terapi dan perawatan
HIV/AIDS
5) Memberikan informasi tentang sumber dan institusi (baik pemerintah
maupun non pemerintah) yang dapat membantu kesulitan sosial,
ekonomi, dan budaya yang timbul berkaitan dengan HIV.
6) Membantu klien memperoleh dukungan dari jejaring sosial, keluarga
dan lingkungan mereka.
7) Membantu klien menyesuaikan diri dengan keadaan yang terjadi saat ia
mengalami sakit, berduka dan kehilangan suami, isteri, pasangan,
kawan, atau penghasilan, rumah dan pekerjaan.
8) Mengambil peran advokasi, misalnya membantu klien mengatasi
diskriminasi dan mengingatkannya atas hak-haknya.
9) Membantu klien mengendalikan hidupnya dan menemukan arti
kehidupannya.
Konseling HIV/AIDS lebih terarah kepada kebutuhan fisik, sosial,
psikologis dan spiritual seseorang. Oleh karena itu seorang konselor
HIV/AIDS harus mempertimbangkan masalah infeksi dan penyakit, kematian
dan kesedihan, stigma dan diskriminasi sosial, seksualitas, gaya hidup, serta
pencegahan penularan. VCT merupakan komponen kunci dalam program HIV
di negara maju, tetapi sampai kini belum menjadi strategi besar di Negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, dari sisi kesehatan masyarakat VCT sduah mendesak
untuk dipandang sebagai penghormatan atas hak asasi manusia, karena
tingginya prevalensi infeksi HIV merupakan hal serius yang mempunyai
dampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat demikian luasnya,
termasuk kesehatan reproduktif, kehidupan seksual dan keluarga, kehidupan
sosial dan produktivitas di masyarakat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah suatu virus yang
menyerang sel-sel limposit T (CD4) yang berfungsi dalam sistem kekebalan
tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune
Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya tidak diturunkan, tapi ditularkan dari
satu orang ke orang lainnya; “Immune” adalah sistem daya tangkal tubuh
terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau kurang; dan
“Syndrome” adalah kumpulan tanda atau gejala penyakit. Sehingga AIDS dapat
didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit yang ditandai
dengan berkurangnya daya tahan tubuh atau defisiensi imun yang berat.
Konseling HIV/AIDS merupakan komunikasi bersifat konfidensial antara
klien dan konselor yang bertujuan meningkatkan kemampuan menghadapi stress
dan mengambil keputusan berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling
termasuk evaluasi risiko personal penularan HIV, fasilitasi pencegahan perilaku
dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil tes positif. (World
Health Organization/WHO).
UNAIDS (2000) mendefinisikan konseling HIV/AIDS dialog rahasia
antara seseorang dan pemberi layanan yang bertujuan membuat orang tersebut
mampu menyesuaikan diri dengan stres dan membuat keputusan yang sesuai
berkaitan dengan HIV/AIDS. Proses konseling termasuk evaluasi risiko personal
tranmisi HIV dan memfasilitasi perilaku pencegahan.
Konseling HIV/AIDS perlu dilakukan karena diagnosis HIV atas diri
seseorang mempunyai banyak implikasi, baik secara psikologis, fisik, sosial
maupun spiritual. Selain itu HIV merupakan penyakit yang mengancam
kehidupan dan terapi terhadap penderitanya harus dilakukan seumur hidup.
Di lapangan, konseling HIV/AIDS disebut juga dengan Voluntary
Counseling and Testing (VCT) atau Tes dan Konseling Sukarela. Kata ‘sukarela’
di sini menekankan bahwa konseling harus berjalan tanpa paksaan serta
berdasarkan atas keinginan dan kesadaran dari klien itu sendiri. Selain itu testing
dan konseling HIV merupakan komponen utama dalam program HIV/AIDS.

B. Saran
Untuk tenaga kesehatan yang menjadi petugas untuk melakukan konseling VCT
diharapkan dapat melakukan tindakan dengan baik, yang melihat setiap aspek
pada pasien HIV/AIDS

Anda mungkin juga menyukai