PENDAHULUAN
Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan
bayi dan anak juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap menjadi
penyebab utama kematian yang prematur, dan perbaikan kecil dalam usaha
penyelamatannya akan menjadi ribuan nyawa yang dapat diselamatkan setiap
tahun. (1,2)
1
saat pertama kali menemukan pasien atau korban adalah melakukan penilaian
dini. Jika dalam penilaian ditemukan :
1. Tersumbatnya jalan nafas
2. Tidak ditemukan adanya nafas
3. Tidak ada nadi
Maka lakukan tindakan BHD segera.
Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan
mempunyai hubungan erat dengan resusitasi jantung paru, karena penderita
yang diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup
kembali. RJP yang digunakan dirujuk kepada pedoman dari AHA yaitu 2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular care. Ini merupakan adaptasi daripada buku
ABC of resuscitation yang ditulis oleh Peter Safar pertama kali pada tahun
1957.
Terdapat beberapa pembaharuan pada pedoman pada tahun 2010 dan
yang dahulu yaitu pada tahun 2005. Pada tahun 2010, terdapat pembaharuan
yang besar di mana kompresi didahului sebelum ventilasi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk
mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian klinis)
ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Kematian klinis
ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis,
terhentinya denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan
terjadinya penurunan atau kehilangan kesadaran. Mati klinis dapat
reversible.Pasien /korban mempunyai kesempatan waktu selama 4-6 menit
untuk dilakukan resusitasi, sehingga memberikan kesempatan kedua
sistem tersebut berfungsi kembali. Kematian biologis dimana kerusakan
otak tak dapat diperbaiki lagi/irreversible, dapat terjadi dalam 4 menit
setelah kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau tidaknya tindakan
RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang
dilakukan.3
II.2 INDIKASI
A. Henti Napas
3
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,
inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat
listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis,
tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya(4).
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba
nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup
sampai beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan
segera maka pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau
terlambat akan berakibat henti jantung(3,4).
B. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan
curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ
vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan
tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan
otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis
tentu tidak termasuk henti jantung(3,4).
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel
atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel
asistol (+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua
jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat
gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena
koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba
(karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat
sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi
pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar(3,4).
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan.
Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek
serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung
berdenyut kembali(3,4).
4
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase(3). Pembagian fase ini
dimaksudkan agar memudahkan dalam latihan dan mengingat tahap yang
harus dilakukan. Perlu diperhatikan juga kesiapan penolong, apakah
mampu atau tidak, dan lingkungan sekitar, perlu tidaknya menjauhkan
pasien atau penderita dalam lingkungan yang berbahaya.
A. FASE I :
Basic Life Support (BLS), yaitu prosedure pertolongan darurat dalam
mengatasi obstruksi jalan nafas, henti jantung, dan bagaimana
melakukan RJP secara benar. Dalam fase ini terdiri dari langkah yang
di A (airway), B (breathing), C (circulation).
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi
jantung paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
B. FASE II :
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan
hidup dasar ditambah dengan D (drug) dan E (EKG).
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk
mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal
ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi
ventrikel.
C. FASE III :
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support). G (gauge),
H (head), I (Intensive care).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring
penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan
kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan
sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti
5
jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic
yang permanen.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan
ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus,
sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan
tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.(3)
6
Gambar II.4.1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi
7
Tengadahkan kepala dan tahan/tekan dahi pasien/korban
secara bersamaan sampai kepala pasien/korban pada posisi
ekstensi.
Cara melakukan tehnik jaw thrust manuver
Letakkan kedua siku penolong sejajar dengan posisi
pasien/korban
Kedua tangan memegang sisi kepala pasien/korban
Penolong memegang kedua sisi rahang
Kedua tangan penolong menggerakkan rahang keposisi
depan secara perlahan
Pertahankan posisi mulut pasien/korban tetap terbuka
(a) (b)
Gambar II.4.2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan
tehnik jaw thrust manuver (b)
8
Gambar II.4.3. Cek pernafasan
9
Gambar II.4.4. Pemberian nafas dari mulut ke mulut
Mulut ke hidung
Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak
memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus
atau luka berat.Penolong sebaiknya menutup mulut
pasien/korban pada saat memberikan bantuan nafas.
10
Terdiri dari 2 tahap :
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban
Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher
pasien/korban dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba
pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian digeser ke arah
penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 – 10 detik.
Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada
nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas
pertahankan airway pasien/korban.
2. Memberikan bantuan sirkulasi
Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi
atau kompresi jantung luar dengan cara:
Tiga jari penolong (telunjuk,tengan dan manis) menelusuri
tulang iga pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong
sehingga bertemu tulang dada (sternum).
Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah
tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.
Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk
satu telapak tangan diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-
jari menyentuh didnding dada pasien/korban.
Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada
pasien/korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur
sebanyak 30 kali dengan kedalaman penekanan 1,5 – 2 inchi (
3,8 – 5 cm).
Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali
kompresi.Waktu penekanan dan melepaskan kompresi harus
sama ( 50% duty cycle).
Tangan tidak boleh berubah posisi.
Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu
penolong maupun dua penolng.Kecepatan kompresi adalah 100
kali permenit. Dilakukan selama 4 siklus.
Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik
60 – 80 mmHg dan diastolik yang sangat rendah.Selang waktu
11
mulai dari menemukan pasien/korban sampai dilakukan tindakan
bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30 detik.
PENILAIAN ULANG
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban
dievaluasi kembali :
Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas
dengan ratio 30 : 2
Jika ada nafas dan denyut jantung teraba letakkan korban pada posisi
sisi mantap
Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas
sebanyak 12 kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.
12
6. Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7. Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care
providers.
8. Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
9. Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali
chest compression, airway management,rescue breathing, rhythm
detection dan shock.
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini dapat
meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti jantung VF (ventricle
fibrillation) hingga 50%. Pada sebagian besar sistem gawat darurat angkanya
masih lebih rendah, menandakan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan
dengan evaluasi ulang dari jalur ini.
13
Penyelamat dapat memiliki berbagai pengalaman, pelatihan dan
kemampuan. Begitu pula dengan status korban dan keadaan sekitar kejadian.
Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan RJP yang lebih dini dan lebih
efektif bagi setiap korban.
Chain of survival(1,2,5,6)
Penyelamat
Setiap orang dapat menjadi penyelamat bagi korban henti jantung.
Kemampuan RJP dan penerapannya tergantung dari hasil pelatihan,
pengalaman dan kepercayaan diri si penyelamat.
Kompresi dada adalah dasar RJP. Setiap penyelamat, tanpa
memandang hasil pelatihan, harus melakukan kompresi dada pada
semua korban henti jantung. Karena pentingnya, kompresi dada harus
menjadi tindakan RJP yang pertama kali dilakukan terhadap semua
korban tanpa memandang usianya. Penyelamat yang memiliki
kemampuan sebaiknya juga melakukan ventilasi. Beberapa penyelamat
yang sangat terlatih harus saling berkoordinasi dan melakukan kompresi
dada serta nafas buatan secara tim.
Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong
sesuai dengan keadaannya, yaitu: untuk penolong non petugas kesehatan
yang tidak terlatih, mereka dapat melakukan strategi “Hands only CPR”
(hanya kompresi dada). Kompresi dada sebaiknya dilakukan hingga
petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.
14
Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih,
mereka dapat melakukan strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan
dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. RJP sebaiknya dilakukan
hingga petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.
Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada
sebanyak satu siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan
perbandingan 30 : 2.
Korban
Sebagian besar henti jantung dialami orang dewasa secara tiba-
tiba setelah suatu sebab primer; karenanya sirkulasi yang dihasilkan dari
kompresi dada menjadi yang terpenting. Sebaliknya, henti jantung pada
anak-anak sebagian besar karena asfiksia yang memerlukan baik ventilasi
dan kompresi untuk hasil yang optimal. Karenanya, bantuan nafas lebih
penting bagi anak-anak dibandingkan orang dewasa.
Simple Algorithma
15
Gambar II.5.1. Algoritma RJP sederhana
Ketika menemui korban henti jantung dewasa yang bersifat
mendadak, seorang penolong pertama kali harus mengenali henti jantung
itu dari unresponsiveness dan tidak adanya pernafasan normal. Setelah
mengenali, penolong harus segera mengaktifkan sistem respons gawat
darurat, mengambil defibrilator/AED, jika ada, dan memulai RJP dengan
kompresi dada. Jika AED tidak tersedia, penolong harus memulai RJP
langsung. Jika ada penolong lain, penolong pertama harus memerintahkan
16
dia untuk mengaktifkan sistem respons gawat darurat dan mengambil
AED/defibrilator sambil dia langsung memulai RJP.
Ketika AED/defibrilator datang, pasang pad, jika memungkinkan,
tanpa memotong kompresi dada yang sedang dilakukan, dan nyalakan
AED. AED akan menganalisis ritme dan menunjukkan apakah akan
melakukan kejutan (defibrilasi) atau melanjutkan RJP.
Jika AED/defibrilator tidak tersedia, lanjutkan RJP tanpa interupsi
hingga ditangani oleh penolong yang lebih berpengalaman/ahli.
Kompresi dada
Memulai dengan segera kompresi dada adalah aspek mendasar
dalam resusitasi. RJP memperbaiki kesempatan korban untuk hidup
dengan menyediakan sirkulasi bagi jantung dan otak. Penolong harus
melakukan kompresi dada untuk semua korban henti jantung, tanpa
memandang tingkat kemampuannya, karakteristik korban dan lingkungan
sekitar. Penolong harus fokus pada memberikan RJP yang berkualitas
baik:
17
Menunggu dada mengembang sempurna setelah setiap kompresi
Meminimalisir interupsi selama kompresi
Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Jika ada lebih dari satu penolong, mereka harus bergantian melakukan
kompresi setiap 2 menit.
Defibrilasi
Kesempatan korban untuk selamat menurun seiring jeda waktu
antara henti jantung dan defibrilasi. Karenanya defibrilasi tetap menjadi
dasar tatalaksana untuk fibrilasi ventrikel (VF ventricular fibrillation)
dan pulseless ventricular tachycardia. Strategi bersama antara masyarakat
dan rumah sakit harus ditujukan untuk mengurangi jeda waktu ini.
Satu penentu defibrilasi yang berhasil adalah efektifitas kompresi
dada. Defiibrilasi lebih berhasil jika interupsi pada kompresi dada sedikit.
Untuk penolong yang terlatih atau petugas kesehatan
Lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang
dilanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Lakukan hal
tersebut hingga advanced airway tersedia, kemudian lakukan kompresi
dada tanpa terputus sebanyak 100 kali/menit dan ventilasi setiap 6-8
detik/kali (8-10 nafas/menit). Untuk petugas kesehatan penting untuk
18
mengadaptasi urutan langkah sesuai dengan penyebab paling mungkin
yang terjadi pada saat itu. Contohnya, jika melihat seseorang yang
tiba-tiba jatuh, maka petugas kesehatan dapat berasumsi bahwa korban
mengalami fibrilasi ventrikel, setelah petugas kesehatan
mengkonfirmasi bahwa korban tidak merespon dan tidak bernapas atau
hanya sesak terengah-engah, maka petugas sebaiknya mengaktifasi
sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, mencari dan
menggunakan AED (Automated External Defibrilator), dan melakukan
RJP. Namun jika petugas menemukan korban tenggelam atau henti
nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C)
sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem
respon darurat. Sama halnya dalam bayi baru lahir, penyebab
arrestkebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya
dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung
yang diketahui. , Berikut algoritmanya:
19
Gambar II.5.2. Algoritma RJP khusus
20
Korban yang tidak responsif serta tidak ada nafas atau hanya terengah-
engah maka petugas kesehatan dapat mengasumsi bahwa korban
mengalami henti jantung.
Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini ada dua hal
yang tidak dianjurkan setelah memeriksa korban tidak responsif yaitu :
21
Resusitasi Jantung Paru dini
22
Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust.
23
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien
bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas
kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk
pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
Posisi mantap
24
Ringkasan komponen BLS (basic life support) bagi dewasa, anak-anak dan bayi
25
Defibrilasi Gunakan AED Gunakan AED Gunakan AED
sesegera sesegera sesegera
mungkin, mungkin, mungkin,
minimalisir minimalisir minimalisir
interupsi interupsi interupsi
kompresi, kompresi, kompresi,
lanjutkan lanjutkan lanjutkan
kompresi setelah kompresi setelah kompresi setelah
setiap kejutan setiap kejutan setiap kejutan
26
dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60
/menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok
atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek
antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik
dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak
ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan
arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama
efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya
fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif
mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan
episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv
sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat
dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak
lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 %
larutan (1 mg/ml) (3).
2. Berguna:
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan
segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia
diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-
10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur
untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60
kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang
tidak berhasil diatasi dengan Atropine(3).
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti
aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi
ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana
ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis
umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg,
dengan pengawasan yang ketat(3).
c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis
(5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1
mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok
kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada
27
kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg
methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan
menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia
post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap
6 jam(3).
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik
tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.
Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu
obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi. Tindakan defibrilasi untuk
mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri papila
mamae sinistra dan di sebelah kanan sternum atas.
28
II.7 BANTUAN HIDUP TERUS-MENERUS (3)
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-
menerus terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
29
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
30
BAB III
KESIMPULAN
Peran RJP ini sangatlah besar, seperti pada orang-orang yang mengalami henti
jantung tiba-tiba. Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa
negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan
sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan
Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat
henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan
resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak
dilakukannya resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam
dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesihatan. Ini bermaksud bahwa RJP
boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami serta
mampu melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan RJP yang
dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Amerikan Heart Assosiation.
Amerikan Heart Assosiation merevisi pedoman RJP setiap lima tahun, dengan
revisi terbaru pada tahun 2010. AHA merevisi dari A-B-C ke C-A-B, dan
memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple algoritma untuk
masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah dipahami dan algoritma
khusus untuk petugas kesehatan.
31
DAFTAR PUSTAKA
5. Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation2010;122;S685-S705.
32
33