Anda di halaman 1dari 18

Diskusi Topik Khusus

Pneumonia Pada Balita di Puskesmas Kampung Bali

Disusun oleh :
Dita Meisy Wulandari
Febri Pranata Utama
Reva Adenapio

Pembimbing :
dr. Ahmad Azmi Nasution, M. Biomed

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2017

1
BAB 1 PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi pada saluran pernafasan akut bagian
bawah yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah
lima tahun terutama di negara yang sedang berkembang. Kematian balita di Indonesia
yang disebabkan penyakit respiratori terutama yaitu pneumonia1,2
WHO (World Health Organization) menyebutkan pneumonia merupakan pembunuh
utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan gabungan penyakit AIDS, malaria
dan campak. Persentasenya yaitu 19% dari semua penyebab kematian balita, kemudian
disusul diare 17%, sehingga pneumonia disebut sebagai the leading killer of children
worldwide. WHO juga memperkirakan kematian balita karena pneumonia di seluruh dunia
sebesar 15%, dan pada tahun 2015 diperkirakan akan ada 922.000 kematian balita yang
sebabkan oleh pneumonia3
Indonesia menempati urutan kedelapan sebagai negara dengan jumlah kasus pneumonia
yang tinggi pada balita,. Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menunjukkan
bahwa Period Prevalence Pneumonia pada balita meningkat dari 2,1% pada tahun 2007
menjadi 2,7% pada tahun 2013. Hal tersebut menunjukkan bahwa angka cakupan penemuan
pneumonia balita tidak mengalami perkembangan, berkisar antara 20-30% hingga tahun
2014. Beberapa tahun terakhir, cakupan penemuan pneumonia tidak pernah mencapai target
nasional, termasuk target tahun 2014 sebesar 80%. Angka kematian akibat pneumonia balita
sebesar 0,08%, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013 yang sebesar 1,19%. Pada
kelompok bayi, angka kematian lebih tinggi yaitu sebesar 0,11% dibandingkan pada
kelompok umur 1-4 tahun yang sebesar 0,06%.4
Ditjen P2P Kementrian Kesehatan tahun 2016 menyebutkan jumlah kasus pneumonia
di provinsi Bengkulu sebanyak 419 kasus (6,13%), dengan jumlah terbanyak pada usia 1-4
tahun sebanyak 260 kasus, dan usia kurang dari 1 tahun sebanyak 159 kasus5.
Kasus pneumonia pada balita dipuskesmas kampung bali pada tahun 2017 sebanyak 7
orang, sedangkan ditahun sebelumnya untuk kasus pneumonia sebanyak 11 orang.
Berdasarkan obesrvasi yang kami lakukan selama 3 minggu dipuskesmas Kampung Bali,
kami mendapatkan jika pasien balita yang datang dengan keluhan batuk, semua didiagnosis
dengan ISPA, tanpa diteliti lebih lanjut. Pasien yang datang ke puskesmas Kampung Bali
diperiksa oleh tenaga paramedis, dalam hal ini bidan dan perawat. Hal ini yang

2
menatarbelakangi penulis untuk mengkaji lebih lanjut tentang masalah Pneumonia pada balita
di puskesmas kampung Bali.

3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Balita
Balita adalah anak yang telah menginjak usia diatas satu tahun atau lebih popular dengan
pengertian usia anak dibawah lima tahun. Masa balita merupakan periode yang penting dalam
proses tumbuh kembang manusia, yang akan menentukan keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan diperiode selanjutnya. Masa tumbuh kembang diusia balita berlangsung cepat,
dan sering disebut juga sebagai golden age. Usia balita digolongkan sebagai tahapan
perkembangan anak yang cukup rentang terhadap serangan berbagai penyakit, salah satunya
ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas), pneumonia, dll6.

2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi
Pneumonia merupakan suatu peradangan parenkim paru ditandai dengan asinus terisi
oleh cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium.
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia dapat menimbulkan suatu
konsolidasi suatu jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk, sedangkan peradangan paru yang
disebabkan oleh penyebab non infeksi (bahan kimia, radiasi, obat-obatan) lazimnya disebut
pneumonitis.1,2,7,8
2.2.2 Etiologi
Pneumonia terjadi dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme : bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Community-acquired pneumonia atau pneumonia komuniti banyak
disebabkan oleh bakteri gram positif, sebaliknya pneumonia yang didapat di rumah sakit
hospital-aquired pneumonia atau pneumonia nosokomial banyak disebabkan oleh bakteri gram
negatif, sedang pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Meskipun
demikian, di Indonesia akhir-akhir ini sering dilaporkan dari beberapa rumah sakit
menunjukkan bahwa kuman yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri gram negatif 1,2,7

4
Tabel 1. Penyebab tersering Pneumonia yang didapat di masyarakat dan
nosokomial.2
LOKASI SUMBER PENYEBAB
Strepcoccus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophilus influenza
Masyarakat Legionella pneumophila
Chlamydia pneumoniae
Anaerob oral (aspirasi)
Adenovirus
Escherichia coli
Klebsiella pneumoniae
Rumah Sakit
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus

2.2.3 Klasifikasi
Pneumonia diklasifikasikan ke beberapa kelompok, diantaranya1,2,7,8:
1. Menurut penyakit bawaan
a) Pneumonia primer : radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunyai
faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu S. pneumoniae, Hemophilus
influenzae, juga virus penyebab infeksi pernapasan (Influenza, Parainfluenza,
RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (atypical) yaitu
mikoplasma, chlamydia, dan legionella.
b) Pneumonia sekunder : terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain
penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang
mempunyai penyakit menahun seperti diabetes melitus, HIV, kanker, dll.
2. Menurut tempat asal terjadinya infeksi
a) Community acquired pneumonia (CAP; pneumonia yang terjadi di “lingkungan
rumah”), juga termasuk Pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap
<48 jam. Kuman penyebab sama seperti pada pneumonia primer.
b) Nosokomial pneumonia atau hospital acquired pneumonia (HAP, pneumonia yang
terjadi di “rumah sakit”), infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit.
Kuman penyebab sangat beragam, yang sering Staphylococcus aureus atau bakteri
dengan gram negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri
penyebab HAP.

5
3. Menurut gambaran klinis
a) Typical pneumonia, infeksi radang paru dengan gejala yang khas. Gejala yang khas
(typical) dari pneumonia yaitu munculnya secara tiba-tiba diikuti dengan batuk
berdahak, demam dalam waktu singkat dan menggigil, dan sesak napas. Sekitar
30% hanya merasakan sakit dada yang hebat (pleura) sebagai gejala utama tanpa
di ikuti simptom khas pneumonia. Selain itu penderita cepat lelah, tidak nafsu
makan, berkeringat dan rasa mual.
b) Atypical pneumonia sebagai kebalikannya
4. Menurut predileksi infeksi
a) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bacterial, jarang pada bayi dan orang
tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder
disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau
adanya proses keganasan.
b) Bronkopneumonia. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua.
Jarang dihubungkan dnegan obstruksi bronkus.
c) Pneumonia interstitial.
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis dan terapi pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan pada riwayat
penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang diteliti dan pemeriksaan penunjang. Gejala-
gejala pneumonia meliputi : 2,8
Gejala Mayor: 1.batuk
2.sputum produktif
3.demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor: 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas
selama beberapa hari, kemudian diikuti batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi
produktif. Selanjutnya dapat terjadi sesak nafas, demam, sulit makan/minum. Anak
cenderung tampak lemah. Pada pemeriksaan fisik dilakukan penilaian terhadap keadaan
umum anak, frekuensi nafas, dan nadi yang harus dilakukan pada saat awal pemeriksaan,

6
sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan anak gelisah atau rewel. Pada
penilaian keadaan umum seperti kesadaran dan kemampuan makan / minum. Selain itu
gejala distress pernafasan harus diperhatikan juga seperti takipnea, retraksi subcostal,
batuk, krepitasi dan penurunan suara paru. Anak dibawah usia 5 tahun, mungkin tidak
menunjukkan gejala pneumonia yang klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut,
terdaapat gejala nyeri yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda, terdapat gejala
pernafasan yang tidak teratur dan hypopnea. 1,2,8

 Anamnesis
Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan
faktor infeksi 1,8:
a) Evaluasi faktor presdiposisi: PPOK (H. influenzae), penurunan imunitas
(Pneumocystic carinil, CMV, Legionella, jamur, Mycobacterium), kecanduan obat
bius (Staphylococcus)
b) Usia pasien: bayi (virus), muda (M. pneumoniae), dewasa (S.pneumoniae)
c) Awitan; cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae); perlahan
dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).

 Pemeriksaan fisis
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan gejala klinis
yang mengarah tipe kuman penyebab/patogenitas kuman dan tingkat berat penyakit:1,8
a) Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae, Streptococcus spp.
Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan
nonproduktif. Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua/imunitas menurun
misalnya: Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anerob, jamur.
b) Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berua demam, sesak
napas, tanda-tanda konsulidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara
pernapasan bronchial). Bentuk klasik pada PK primer berupa bronkopneumonia,
pneumonia lobaris atau pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas
dijumpai pada PK sekunder ataupun PN. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain
infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumotoraks.
c) Warna, konsistensi, dan jumlah spuum penting untuk diperhatikan.

7
 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit normal/rendah dapat
disebabkan oleh infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosi. Leukopenia
menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negatif
atau S. aereus pada pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati
mungkin terganggu1,8.
b. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi, jarum
transtokoral, torakkosentesis, bronkoskopi, atau biopsy. Untuk tujuan terapi empiris
dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, Quellung test dan Z. Nielsen. Kuman
yang predominan pada sputum yang disertai PMN yang kemungkinan merupakan
penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan
bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya1,2.
c. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain: 1,2,8
a) Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anatomis. Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
b) Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil. Tidak
tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
c) Silhouette sign (+) : untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi dengan jantung
hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius
kanan.
d) Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
e) Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir
terkena.
f) Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
g) Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign.

8
2.2.5 Tatalaksana
a. Tatalaksana umum

Gambar 1. Manajemen terpadu balita sakit dengan pneumonia9


b. Pemberian antibiotik1,2
- Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun,
karena efektif melawan sebagian besar pathogen yang menyebabkan pneumonia pada
anak, ditoleransi dengan baik dan murah. Alternatifnya adalah coamoxiclav, ceflacor,
ertitromisin, klaritomisin, dan azitromisin
- M. pneumonia lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua, maka antibiotic golongan
makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak ≥ 5 tahun.
- Makrolid diberikan jika M. pnneumoniae atau C. pneumonia sangat mungkin sebagai
penyebab
- Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi
flucloxacin dengan amoksisilin
- Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat
peroral (missal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat.
- Antibotik intravena yang dianjurkan adalah ampisilin dan klorampenikol,
Coamoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime.
- Pemberian antibiotic ooral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah
mendapat antibiotic intravena
- Antibiotik untuk community acquired pneumonia :
9
o Neonatus hingga usia 2 bulan : ampisilin + gentamisin
o > 2 bulan :
 Lini pertama ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
ditambahkanklorampenikol
 Lini kedua seftriakson
Bila klinis perbaikan, maka antibiotik intravena dapat diganti preparat oral dengan
antibiotic golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.

Gambar 2. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia1,2

c. Nutrisi1,2
- Pada anak dengan distress pernafasan berat, pemberian makanan peroral harus
dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena.
Tetapi harus diingat jika pemasangan NGT dapat menekan pernafasan, khususnya pada
bayi/anak dengan ukuran lubang hifung kecil. Jika memang dibutuhkkan, sebaiknya
menggunakan ukuran yang terkecil
- Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormone antidiuretik.

10
BAB III PEMBAHASAN

3.1 Masalah yang temukan


a. Penegakan diagnosis
Pada sebagian besar balita sakit yang datang berobat kepuskesmas, biasanya
datang tidak dengan satu keluhan. Pengamatan yang kami lakukan, pasien balita yang
datang dengan keluhan batuk, akan didiagnosis sebagai ISPA. Dalam menegakkan
suatu diagnosis tentu perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan bila perlu
pemeriksaan penunjang. Di Puskesmas Kampung Bali, pasien yang datang tersebut
tidak diperiksa oleh dokter, melainkan oleh tenaga non-medis dalam hal ini bidan dan
perawat. Jumlah dokter yang ada dipuskesmas hanya 1 orang, sehingga susah
mengakomodir jumlah pasien yang banyak. Sebenarnya pemerintah melalui
kementrian kesehatan sudah mengeluarkan suatu program MTBS (Manajemen Terpadu
Balita Sakit). MTBS merupakan suatu program yang bersifat terintegrasi dalam
menatalaksana balita yang sakit dengan berfokus pada kesehatan anak dengan usia 0-5
tahun (balita) secara menyeluruh9. Pada MTBS juga dijelaskan cara penanganan dari
awal pasien balita dengan keluhan batuk, berdasarkan algoritma balita dengan keluhan
batuk/sukar bernafas.
Petugas paramedis dalam melakukan diagnosis tidak melakukan tahap-tahap
yang ada pada algoritma batuk pada MTBS. Salah satu yang menyebabkan hal ini
terjadi, dikarenakan jumlah pasien yang banyak dan kurangnya mendapat pelatihan dari
pihak-pihak terkait, dalam hal ini dinas kesehatan kabupaten/kota. Pada prakteknya
MTBS memiliki 3 keuntungan jika dijalankan dengan baik dan benar, yaitu 9:
a. Meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana balita sakit
(petugas kesehatan non-dokter yang telah terlatih MTBS, dapat memeriksa dan
menangani pasien balita).
b. Memperbaiki system kesehatan (banyak program kesehatan yang bersifat
terintegrasi didalam pendekatan MTBS)
c. Memperbaiki praktek keluarga dan masyrakat dalam perawatan diruamh dan
upaya pencarian pertolongan balita sakit (berdampak akan menignkatkan
peemberdayaan masyrakat dalam pelayanan kesehatan).

Petugas non-medis di puskesmas Kampung Bali, dalam menangani pasien dengan


keluhan batuk, cenderung tidak melakukan fisik menyeluruh, seperti menghitung nafas
dalam 1 menit, melihat apakah ada tarikan dinding dada ketika bernafas, mendengar

11
terdapat wheezing atau tidak, dan menghitung kadar saturasi oksigen. Hal ini sangat
berperan penting dalam menegakkan atau menyingkirkan diagnosis pneumonia.

Solusi yang ditawarkan untuk masalah ini adalah dengan melakukan koordinasi
dengan pihak dinas kesehatan Kota Bengkulu untuk mengadakan pelatihan bagi
petugas MTBS, agar nantinya pasien – pasien balita yang datang dengan keluhan batuk,
dapat ditangani dan diobati dengan tepat tanpa harus adanya kesalahan diagnosis.
Kepala puskesmas sebaiknya melakukan audit internal dengan tujuan menilai
pencapaian kinerja program.

b. Jumlah dokter yang kurang


Dokter merupakan tempat kontak medis pertama dalam sebuah sistem
pelayanan kesehatan, membuka dan menyelengarakan akses tak terbatas kepada
penggunanya, menggarap semua masalah kesehatan, tanpa memandang golongan usia,
jenis kelamin, atau karakter individual yang dialayani. Dokter juga menangani
masalah kesehatan akut dan kronik setiap individu pasien, serta menangani penyakit
yang masih belum jelas dalam fase dini, yang mungkin memerlukan intervensi segera.12
Puskesmas Kampung Bali hanya memiliki 1 orang dokter. Hal ini tentu sangat
mempengaruhi kinerja pelayanan dipuskesmas. Sebaiknya 1 puskesmas bisa terdapat
dua sampai tiga dokter.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien, dengan kecurigaan
pneumonia dapat dilakukan dengan prosedur yang baik dan benar, mengingat dokter
telah memiliki standar kompetensi.
Solusi yang ditawarkan berupa, dilakukannya komunikasi dengan dinas
kesehatan untuk dilakukan penambahan tenaga dokter di puskesmas kampung Bali,
mengingat pentingnya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan mencegah
terjadinya kesalahan diagnosis.

3.2 Analisis Masalah Pneumonia Pada Balita di Puskesmas Kampung Bali


Analisis masalah dilakukan untuk menentukan penyebab dari kendala masalah pneumonia
pada balita di puskesmas Kampung Bali. Dari kendala di atas didapat beberapa masalah yang
berkaitan dengan timbulnya pneumonia pada balita di puskesmas Kampung Bali. Pada
komponen masukan (input) teridentifikasi beberapa masalah antara lain, pertama prosedur
penetapan diagnosis yang tidak mengacu pada MTBS, dan kedua kurangnya jumlah dokter.

12
Pada komponen proses, teridentifikasi beberapa masalah seperti tidak adanya SPO
pelaksanaan MTBS.
Pada Komponen lingkungan teridentifikasi masalah yaitu ketidakpahaman petugas
kesehatan puskesmas tentang MTBS, padahal dalam pelaksanaan seluruh petugas puskesmas
merupakan penunjang kesuksesan pelayanan dipuskesmas. Gambar 1 menunjukkan Diagram
Fish Bone identifikasi masalah pneumonia pada balita di puskesmas Kampung Bali.

Lingkungan Input
Petugas Non-dokter
kurang Terlatih
Ketidakpahaman
petugas non-
dokter tentang Kurangnya
MTBS jumlah dokter

Diagnosis
pneumonia dapat
lebih tepat

Peningkatan ketepatan
diagnosis

Petugas non-dokter SPO MTBS tidak


lebih terlatih ada

Feedback
Prosess

Gambar 3. Diagram Analisis pneumonia pada balita di puskesmas Kampung Bali

Dari analisis masalah di atas dilakukan penetapan prioritas penyebab masalah dengan
menilai 3 komponen yaitu:
1. C : Contribution, yaitu kontribusi dalam terjadinya masalah
2. T : Technical feasibility, yaitu kemudahan secara teknis
3. R : Resources availability, yaitu ketersediaan sumber daya
Setiap komponen diberi nilai antara 1 (paling tidak berperan) hingga 5 (paling berperan).
Nilai suatu penyebab masalah diukur dengan cara mengalikan C, T, dan R. Dasar pertimbangan
nilai yang dicantumkan pada tabel tersebut ialah sebagai berikut:
1. Contribution
a. Tidak adanya petugas Non-dokter yang terlatih MTBS (5): petugas terlatih
merupakan salah satu indikator dalam pelayanan dan penanganan balita dengan
pneumonia. Petugas terlatih ini penting dalam medeteksi adanya pneumonia pada
balita. Pelayanan dipuskesmas bersifat holistik dan komprehensif melibatkan
13
seluruh bagian dalam puskesmas. Ketidakpahaman petugas mengenai MTBS ini
merupakan salah satu sumber masalah.
b. Tidak Standar Prosedur Operasional MTBS (5): SPO merupakan aturan tertulis
yang dapat dipahami dan dilaksanakan bersama oleh seluruh petugas kesehatan.
c. Kurangnya jumlah dokter (5): dokter merupakan berperan sangat penting dalam
sebuah sistem pelayanan kesehatan, dan membuka serta menyelengarakan akses
tak terbatas kepada penggunanya, menggarap semua masalah kesehatan yang ada
pada pasien tersebut.

2. Technical feasibility
a. Tidak adanya petugas Non-dokter yang terlatih MTBS (3): pelatihan petugas MTBS
yang minimal dilaksanakan ditingkat kabupaten/kota, yang diselenggarakan oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota.
b. Tidak Standar Prosedur Operasional MTBS (5): pembuatan SPO MTBS secara
teknis dapat dilakukan oleh puskesmasdengan tersedianya akses informasi yang luas.
c. Kurangnya jumlah dokter (2) : pengajuan terhadap dinas kesehatan kabupaten/kota
untuk dilakukan penambahan tenaga dokter di puskesmas Kampung Bali.

3. Resources availability
a. Tidak adanya petugas Non-dokter yang terlatih MTBS (3): pelatihan petugas MTBS
memiliki standar, pencapaian dan evaluasi yang baku yang ditetapkan oleh
Kemenetrian Kesehatan. Oleh karena itu, kegiatan ini tidak dapat terlaksana tanpa
partisipasi aktif dinas kesehatan kota/kabupaten.
b. Tidak Standar Prosedur Operasional MTBS (5): pembuatan SPO MTBS dapat
dilakukan oleh petugas puskesmas dengan mengeksplorasi untuk selanjutnya
mengadaptasi SPO MTBS yang sudah ada di internet. Kegiatan ini tidak
membutuhkan biaya, namun perlu komitmen dari petugas penanggung jawab yang
diperlukan.
c. Kurangnya jumlah dokter (3): penambahan jumlah dokter dipuskesmas dapat
meningkatkan kualitas pelayanan dipuskesmas, serta dalam mendiagnosis dapat
lebih tepat lagi.
Berdasarkan penjabaran di atas, ada tiga masalah yang menjadi prioritas adalah tidak adanya
petugas non-dokter yang terlatih MTBS, tidak standar prosedur operasional, dan kurangnya
jumlah dokter. Masalah belum adanya petugas MTBS terlatih dan penambahan jumlah dokter,
14
masih menjadi masalah yang belum dapat diprioritaskan karena pelatihan sendiri tergantung
pada Dinas Kesehatan. Ringkasan prioritas masalah disajikan pada Tabel 2

Tabel 2. Prioritas penyebab masalah

No Masalah C T R CTR

1 Tidak adanya petugas Non-dokter yang 5 3 3 45


terlatih MTBS

2 Tidak Standar Prosedur Operasional 5 5 5 125


MTBS

3 Kurangnya jumlah dokter 5 3 3 45

3.3 Rencana Solusi Masalah Pneumonia di Puskesmas Kampung Bali


Sesuai dengan prioritas masalah yang telah disusun di atas, 3 masalah yang menjadi
prioritas tersebut secara teknis dapat dikategorikan menjadi dua bagian, pertama tidak adanya
SPO menjadi kelompok yang merupakan masalah yang terlebih dahulu diselesaikan. Kedua
mampu menyelesaikan masalah mengenai tidak adanya petugas non-dokter yang terlatih
MTBS, dan kurangnya jumlah dokter.
Kepala Puskesmas sebaiknya menyusun kelompok kerja untuk penyelesaian masalah
ini yang terdiri dari petugas puskesmas itu sendiri, kemudian dilakukan pengarahan, target
waktu penyelesaian serta pembagian tugas. Puskesmas memiliki sarana informasi yang
menunjang dalam penyelesaian masalah seperti adanya akses internet, perangkat komputer
yang memadai, serta alat tulis kantor yang tersedia. Komitmen dari petugas merupakan hal
yang penting dalam penyelesaian masalah tersebut.
Sosialisasi pembuatan SPO MTBS dapat dilaksanakan setelah semua masalah lain
diselesaikan. Sosialisasi bisa diadakan bersamaan dengan kegiatan internal puskesmas untuk
menekan biaya dan mengatasi masalah penentuan waktu. Sosialisasi yang baik dan menyeluruh
serta keikutsertaan dan atensi yang baik dari petugas lain merupakan poin untuk penyelesaian
masalah mengenai ketidakpahaman petugas kesehatan lainnya.
Belum adanya petugas MTBS yang telah mendapatkan pelatihan formal, ini masih
menjadi masalah yang harus dipikirkan. Pihak puskesmas dapat berkoordinasi dengan dengan
dinas terkait bahwa pelatihan petugas merupakan urgensi yang harus terlaksana, agar lebih
terpantau pasien balita yang benar-benar mengalami masalah seperti pneumonia ini.

15
Jumlah dokter yang hanya satu dipuskesmas menjadi suatu masalah, hal tersebut tidak
sebanding dengan jumlah pasien yang banyak. Dengan adanya penambahan jumlah dokter,
diharapkan dapat membantu dalam meangatisipasi terjadinya kesalahan diagnosis, karena
dokter umum telah memiliki standar kompetensi.

16
BAB IV SIMPULAN
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi pada saluran pernafasan akut bagian
bawah yang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima
tahun terutama di negara yang sedang berkembang. Kematian balita di Indonesia yang
disebabkan penyakit respiratori terutama yaitu pneumonia.
Dengan adanya pelatihan tenaga non-dokter tentang MTBS diharapkan dapat
membantu peningkatan dan keakuratan dalam mendiagnosis pasien, khususnya pasien balita
dengan pneumonia. Penambahan jumlah tenaga dokter dapat membantu pelayanan kesehatan
terhadap masyrakat lebih optimal lagi.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Said M. Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI);
2012. Jakarta
2. Wantania JM, Roni N, Audrey W. Infeksi respiratori akut. Dalam: Buku Ajar
Respirologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2012. Jakarta
3. WHO. Media Center: Pneumonia 2015 [29 januari 2017]. Available
from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/.
4. Patria MA. Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di Indonesia: Narative Review
Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat; 2016. Jakarta : Universitas
Indonesia
5. Sitohang V, Budijanto D, Hardhana B, Soenardi T. Profil kesehatan Indonesia; 2014.
Jakarta : Kementrian Kesehatan RI
6. Depkes RI. Info datin pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI [pdf]. Jakarta
: Depkes RI; 2015 [cited 2018 Feb 09]
7. Aru W, Bambang, Idrus A, Simadibrata M, Siti S, Setiyohadi B Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 6; 2014 Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD
RSCM.
8. Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2017.
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview.
9. Depkes RI. Manajemen terpadu balita sakit [pdf]. Jakarta : Depkes RI; 2015 [cited
2018 Feb 02]
10. Puskesmas kampung Bali. Laporan tahunan puskesmas kampung bali tahun 2016.
Bengkulu: Puskesmas kampung Bali
11. Puskesmas kampung Bali. Laporan tahunan puskesmas kampung bali tahun 2017.
Bengkulu: Puskesmas kampung Bali
12. Kurniawan K. dokter dilayan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga dalam
system pelayanan kesehatan keluarga; 2015. Banda Aceh : Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

18

Anda mungkin juga menyukai