Anda di halaman 1dari 3

“Berpikirlah maka engkau akan laik”

Saya tertarik mengangkat tema ini diawali dari beberapa pemberitaan NU Online mengenai
“generasi millennial”. Kurang lebih ada dua pemberitaan, Pertama, cletukan dari Haidar
Bagir, kalau Rasulullah menghormati generasi millennial, dan Kedua, adu guyon antara Gus
Yaqut dan Tsamara Amany.

Rasa penasaran muncul, apa sih generasi millennial? Maklum, saya tidak begitu kekinian.
Saya hanya sering mendengar dan membaca konten-konten berita mengenai generasi
millennial (tapi belum begitu memahami arti dari millennial itu sendiri), setelah saya telusuri
lebih dalam—ternyata, generasi millennial adalah kajian dan wacana ilmiah cukup menarik
dipergunjingkan.

Mari kita bedah dulu apa dan siapa generasi millennial? Generasi Millennial sebagai
pengganti istilah “generasi Y”—lazim disebut millennials. Istilah millennial generation
peletak batu pertamanya adalah dua pakar sejarah dan penulis Amerika William Strauss dan
Neil Howe. Millennials juga dalam beberapa sumber ialah kelompok demografi setelah
generasi X (Gen X). Tidak ada batasan waktu awal dan akhir dari generasi ini. Peneliti
biasanya menggunakan ukuran dari kelahiran awal 1980-an sampai tahun 2000-an sebagai
akhir dari kelahiran kaum millennial ini. Artinya, generasi millennial rata-rata berusia 13 – 35
tahun. Apakah Anda termasuk?

William Strauss dan Neil Howe adalah peneliti sejarah Amerika Serikat, menurutnya, sejarah
Amerika merupakan rangkaian dari biografi generasi 1584, bisa dilihat dari karyanya bertajuk
Generations dan dikembangkan pada karya selanjutnya The Fourth Turning. Dalam hal ini,
kita tidak akan membahas masalah tersebut panjang lebar. Tidak sedikit juga peneliti
mengkritisi Strauss dan Howe, corak teorinya terlalu mengedepankan pandangan umum
(makro), tapi kecolongan pada peristiwa khusus (mikro). seperti; faktor keluarga, faktor
pendidikan non-formal, dan sejenisnya. Dua sejarawan itu sempat sukses dalam memprediksi
perilaku generasi millennial. Selain itu, Strauss dan Howe pun mempunyai keberhasilan
dalam meramalkan peta politik dan ekonomi di Amerika yang membuat teorinya menjadi
“tenar”.

Sekarang kita tinggalkan Strauss dan Howe. Di Indonesia istilah millennials sedang ngetrend.
Stempel generasi millennial biasanya disematkan kepada mereka yang terlalu sibuk dengan
“alam maya”, sekaligus dianggap sebagai generasi instan. Generasi yang ingin maju tapi
tidak mau bersusah payah. Tidak ada yang salah dengan tudingan itu. Internet, smartphone,
dan barang semacam gadget tidak bisa dipungkiri dewasa ini telah menjadi kebutuhan dasar.
Lumrah mereka gandrung dengan perkembangan teknologi. Hanya saja, meminjam istilahnya
Gus Nadirsyah Hosen, “Smartphone tidak lantas membuat kita menjadi pintar”. Kita kadang
terjebak. Kalau boleh saya tambahkan, kecerdasan atau kepintaran kita dikalahkan oleh
smartphone.

Sebagai buktinya, muncul istilah “yang dekat berasa jauh, dan yang jauh berasa dekat”.
Inilah, pergaulan sosial kita terbatasi oleh kepintaran gadget sehingga kita terlihat bodoh di
sekitar teman, saudara, bahkan keluarga kita sendiri.
Bagaimana kabar santri di tengah arus gelombang ini? Apa kabar? Kita sama-sama tahu, di
pesantren, santri tidak diperbolehkan membawa gadget (hp, tablet, dan sejenisnya), terkecuali
laptop (mungkin). Gerak aktivitas santri berselancar di dunia maya dibatasi oleh aturan-
aturan yang mengikat. Bagi santri kedapatan membawa handphone, handphone-nya akan
disita keamanan—baru akan dikembalikan ketika orang tuanya datang atau santri mau pulang
(mudik). Ada lagi pesantren yang memberikan aturan, boleh membawa seperangkat gadget
tapi hanya difungsikan pada saat hari libur, selebihnya dititipkan pengurus.

Aturan tersebut, bukan berarti pesantren dan santri menutup diri dari dunia luar, tidak! Santri
masih punya kesempatan berselancar, ketika sekolah, ketika di ruang komputer, ketika hari
libur menonton tv di kantin, atau ketika dia pulang ke rumah. Tujuannya untuk apa aturan
tersebut? Agar para santri fokus dalam belajar, mengaji, menghapal, dan mengikuti aktivitas
pondok.

Kita tahu sendiri, efek dari gadget cukup mengkhawatirkan walaupun di sisi lain mempunyai
manfaat tinggi. Namun, berbeda cerita ketika berada di lingkungan pesantren. Oleh kiai—kita
ditekankan untuk belajar istiqamah dan terlepas dari hal-hal yang membuat kita malas dan
tidak fokus. Kiai selalu berpesan, “belajar dulu saja yang rajin, nanti dunia akan ikut dengan
sendirinya.” Telah jelas, santri oleh kiai tidak disuruh untuk instan, melainkan harus ada
usaha yang sungguh-sungguh, berbeda dengan karakter generasi millennial yang
didefinisikan pada umumnya.

Dalam hal ini, santri termasuk generasi millennial (jika ditilik dari usianya), rata-rata usia
santri 13-20 tahun, darahnya masih darah muda. Di sinilah peran pesantren, mendidik
santrinya untuk menjadi “generasi millennial-vertikal”. Maksudnya, generasi yang selalu
berhubungan dengan Tuhannya (Hablum Minallah), menjauhi larangan-Nya dan menjalankan
perintah-Nya. Rasulullah berpesan, “Tiada sesuatu yang lebih disukai Allah daripada seorang
pemuda yang beratobat,” (HR Ad-Dailami).

Tidak hanya itu, santri juga di didik menjadi “generasi millennial-horizontal”, di mana dalam
pesantren kita diajarkan kebersamaan, persaudaraan, dan menghomati orang lain (Hablum
Minannas). Di pesantren kita selalu diingatkan, saudara yang bukan seiman adalah saudara
dalam kemanusiaan. Tidak pandang bulu, apapun madzhab, golongan, agama, budaya, dan
negaranya. Menghormati manusia jelas merupakan sebuah anjuran agama.

Sudah jelas sekarang, di sinilah letak kesalahan dari dua sejarawan di atas tadi, pergolakan
zaman tidak melulu berimbas pada seluruh generasi millennial. Faktor-faktor seperti
pesantren harus diperhatikan juga dalam menimbang sebuah wacana. Mungkin secara umum,
kita kena imbas dari zaman, namun secara prinsip terdasar, santri tetap sama tingkah dan
perilakunya. Kenapa? Perkembangan zaman hanya ngiming-ngimingi kita dalam hal
teknologi (itu yang paling dominan).

Sedangkan teknologi sendiri, dalam kajian budaya merupakan lapisan terluar dan paling
sedikit nilai budayanya. Teknologi hanya mengandung nilai kegunaan. Dengan itu, walaupun
teknologi masuk secara besar-besaran, tidak akan mengubah hakikat dari karakter tradisi kita.
Kita pasti bisa menilai mana nilai terluar dan mana nilai terdalam. Jadi, teknologi hanya
mengubah pola perilaku, kebiasaan hidup, dan cara berkomunikasi. Buktinya apa?
Buktinya, kita bisa lihat di pesantren, bagaimana santri beraktivitas. Sama sekali tidak
mencirikan generasi millennial (yang didefinisikan di pergaulan kita). Itulah bedanya,
generasi millennial tok dengan generasi millennial-vertikal (horizontal akan ikut dengan
sendirinya). Kenapa? “millennials-vertikal” berbanding lurus dengan “millennials-
horizontal”.

Oleh sebab itu, menghadirkan generasi millennial-vertikal harus terus digiatkan, tugas ini
tidak hanya dibebankan pada pesantren, melainkan seluruh elemen masyarakat, khususnya
orang tua, guru, dan tokoh masyarakat untuk terus mengingatkan kepada pemuda (anak/anak
didiknya), fungsikan segala sesuatunya dengan baik, gunakan pikiran sehat maka akan laik
(sehat spiritual, sehat sosial, sehat intelektual, dan sehat emosional). Yang penting jangan
terlibat “isu-isu murahan yang berharga mahal itu” (hoaks).

Rasulullah SAW bersabda, “Pergunakanlah yang lima sebelum datang masa yang lima; Masa
mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa
kayamu sebelum datang masa miskinmu, masa kosongmu sebelum datang masa sibukmu dan
masa hidupmu sebelum datang masa kematianmu,” (HR Hakim).

Anda mungkin juga menyukai