Apatah lagi, UUD 45 dan Pancasila merupakan warisan nilai dan wujud
konkret pengorbanan para pendiri bangsa yang di antaranya juga terdiri
atas para ulama. Sisi yang menarik diulas adalah mengapa rekomendasi
ijtima ulama dan tokoh nasional mengarah pada dua sosok ulama yang
dinilai patut menjadi cawapres dari Prabowo Subianto. Tentu ada banyak
ide berkembang.
Setidaknya, ada tiga nilai strategis mengapa kini sosok ulama secara
terang-benderang direkomendasikan. Pertama, kapasitas intelektual.
Ulama adalah sosok pembelajar, yang tak pernah bosan mengkaji dan
mengamalkan ilmu, serta giat mengaktifkan majelis ilmu.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, ulama tak semata cerdas secara kognitif, tapi juga
sangat cerdas secara emosional dan spiritual, sehingga kecerdasan
intelektual yang dimiliki mampu mendorongnya berkiprah secara lebih baik,
lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada diri, keluarga, kelompok,
dan golongannya. Direkomendasikannya ulama dalam kontestasi politik
2019 merupakan sebuah harapan sekaligus jawaban untuk perubahan
Indonesia.
Dalam kalkulasi politik, situasi dan kondisi tersebut tentu saja sebuah faktor
utama yang patut diperhatikan. Terlebih kini para ulama tidak lagi sebatas
menjadi pelengkap demokrasi tetapi telah berubah menjadi penentu warna
dan arah demokrasi.
Peristiwa Aksi Super Damai 212 adalah bukti tak terbantahkan akan hal
tersebut. Seperti kita ketahui bersama, gerakan ulama dalam 212 telah
menjadikan negara mampu secara gagah berani menegakkan hukum
secara adil atas pelaku penistaan agama yang dilakukan oleh pejabat
negara di tengah situasi politik yang sangat “panas”.
Media mungkin saja bisa mengaburkan esensi dari peristiwa yang terjadi
tetapi nalar kritis publik, tak mungkin dibungkam dengan narasi irasional
dan ganjil. Terlebih dalam sejarah kehidupan bangsa, ulama dan
masyarakat ibarat dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan, apalagi
dipertentangkan.
Terkait relasi ulama dan masyarakat, menarik apa yang disampaikan oleh
M Natsir dalam bukunya Capita Selecta.
Jadi, kini saatnya ulama ikut “bertarung” dan menentukan arah politik umat.
Sudah bukan zamannya lagi, ulama sebatas dikunjungi untuk dimintai
dukungan. Itu telah berlalu. Masyarakat mulai sadar dan tampaknya akan
benar-benar all outmendukung.
Dan, ini akan berjalan dengan secara sistemis, mengingat kesadaran untuk
membangun bangsa dan negara lebih baik dari sisi kedaulatan, terutama
secara teritorial dan ekonomi bukan semata menjadi kesadaran ulama.
Namun, hal ini merupakan tuntutan mayoritas negeri ini yang para elite
partai pun mulai sangat peka terhadap masalah ini, hingga mereka
bergerak pun dengan selalu memperhatikan rekomendasi dari ijtima ulama.