Anda di halaman 1dari 3

Tidak sedikit orang beranggapan, ulama identik dengan dunia dakwah dan

tarbiyah, memberikan mauidhah kepada umat dan mengawal moral


masyarakat. Sehingga, sebagian orang menilai ulama tak sepatutnya terjun
ke dunia politik praktis, di mana pernah dalam masa perjalanan bangsa ini,
politik identik dengan ketidaksucian.

Padahal, sebagai pewaris Nabi, ulama semestinya mampu menjalankan


tugas apa pun. Termasuk terjun ke dunia politik praktis dengan satu
catatan penting, bulatnya tekad dan sucinya niat, semata-mata demi
menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran bagi rakyat demi
mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala.

Apatah lagi, UUD 45 dan Pancasila merupakan warisan nilai dan wujud
konkret pengorbanan para pendiri bangsa yang di antaranya juga terdiri
atas para ulama. Sisi yang menarik diulas adalah mengapa rekomendasi
ijtima ulama dan tokoh nasional mengarah pada dua sosok ulama yang
dinilai patut menjadi cawapres dari Prabowo Subianto. Tentu ada banyak
ide berkembang.

Setidaknya, ada tiga nilai strategis mengapa kini sosok ulama secara
terang-benderang direkomendasikan. Pertama, kapasitas intelektual.
Ulama adalah sosok pembelajar, yang tak pernah bosan mengkaji dan
mengamalkan ilmu, serta giat mengaktifkan majelis ilmu.

Bahkan, lebih jauh, ulama di dalam Alquran disebutkan tidak semata


memadai secara intelektual, tetapi juga memiliki self control yang kuat
dalam menjalani tugas keumatan, yakni takut kepada Allah Ta’ala (QS 35:
28).

ADVERTISEMENT

Dengan kata lain, ulama tak semata cerdas secara kognitif, tapi juga
sangat cerdas secara emosional dan spiritual, sehingga kecerdasan
intelektual yang dimiliki mampu mendorongnya berkiprah secara lebih baik,
lebih mengutamakan kepentingan rakyat daripada diri, keluarga, kelompok,
dan golongannya. Direkomendasikannya ulama dalam kontestasi politik
2019 merupakan sebuah harapan sekaligus jawaban untuk perubahan
Indonesia.

KH Hasyim Muzadi dalam sebuah paparannya pada acara 90 tahun


Gontor, pernah mengatakan, Indonesia ini tidak kurang orang pinter, yang
kurang adalah orang bener. Ulama adalah sosok manusia yang tidak
sekadar pintar tetapi juga benar.

Kedua, secara sosiologis, kesadaran umat Islam akan posisi strategis


ulama dalam menyelamatkan kedaulatan NKRI mulai membaik, bahkan
kesadaran itu dalam beberapa hal telah menjelma menjadi gerakan konkret
di tengah-tengah kehidupan umat Islam sendiri.

Dalam kalkulasi politik, situasi dan kondisi tersebut tentu saja sebuah faktor
utama yang patut diperhatikan. Terlebih kini para ulama tidak lagi sebatas
menjadi pelengkap demokrasi tetapi telah berubah menjadi penentu warna
dan arah demokrasi.

Peristiwa Aksi Super Damai 212 adalah bukti tak terbantahkan akan hal
tersebut. Seperti kita ketahui bersama, gerakan ulama dalam 212 telah
menjadikan negara mampu secara gagah berani menegakkan hukum
secara adil atas pelaku penistaan agama yang dilakukan oleh pejabat
negara di tengah situasi politik yang sangat “panas”.

Eksistensi ulama menjadi semakin disadari strategis di negeri ini seiring


dengan berbagai peristiwa yang mendiskreditkan ulama, baik secara
hukum maupun sosial. Publik telah dibuat sadar dengan beragam bentuk
penyerangan dan kriminalisasi terhadap ulama.

Media mungkin saja bisa mengaburkan esensi dari peristiwa yang terjadi
tetapi nalar kritis publik, tak mungkin dibungkam dengan narasi irasional
dan ganjil. Terlebih dalam sejarah kehidupan bangsa, ulama dan
masyarakat ibarat dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan, apalagi
dipertentangkan.

Terkait relasi ulama dan masyarakat, menarik apa yang disampaikan oleh
M Natsir dalam bukunya Capita Selecta.

“Bagi mereka (masyarakat), fatwa seorang alim yang mereka percayai


berarti satu 'kata-keputusan' yang tak dapat dan tak perlu dibanding lagi.
Sering kali telah terbukti, bagaimana susahnya bagi pemerintah negeri
menjalankan satu urusan, bilamana tidak disetujui oleh alim-ulama di
daerah yang bersangkutan. Sebaliknya pun begitu pula.

Beruntunglah salah satu masyarakat, bila mempunyai seorang alim,


sebagai pemimpin rohani yang tahu dan insaf akan tanggungannya
sebagai penganjur dan penunjuk jalan. Aman dan makmurlah salah satu
daerah bilamana pegawai-pegawai pemerintah di situ tahu menghargakan
kedudukan alim ulama yang ada di daerah itu.”

Penjelasan M Natsir tampaknya sedang terjadi saat ini seiring dengan


masifnya gerakan stigmatisasi terhadap Islam dan umat Islam, di mana tak
mungkin ada “juru bicara” yang mampu menyampaikan perihal Islam
secara komprehensif dalam segala sisi kehidupan, melainkan para ulama.

Jadi, kini saatnya ulama ikut “bertarung” dan menentukan arah politik umat.
Sudah bukan zamannya lagi, ulama sebatas dikunjungi untuk dimintai
dukungan. Itu telah berlalu. Masyarakat mulai sadar dan tampaknya akan
benar-benar all outmendukung.

Ketiga, persatuan ulama. Sisi yang sangat menentukan dalam dinamika


perpolitikan belakangan adalah bersatunya para ulama. Bersatunya ulama
ini tentu menjadi satu modal besar akan kepercayaan masyarakat terhadap
ulama dalam membenahi kehidupan bangsa dan negara.

Sebab, ulama yang direkomendasikan atau terjun di dalam ranah politik


praktis bukanlah sosok yang maju atas kemauan sendiri, tetapi hasil
musyawarah yang didukung oleh mayoritas ulama lainnya.

Kondisi tersebut diprediksi akan mampu menjadikan sosok ulama yang


maju akan mampu mempertahankan jati dirinya yang tidak pragmatis dan
hedonis. Sebab, ada banyak ulama dan tokoh masyarakat yang akan
mengoreksi, memberikan nasihat dan kritik tajam jika pada kemudian hari
sang ulama terlihat bengkok.

Dan, ini akan berjalan dengan secara sistemis, mengingat kesadaran untuk
membangun bangsa dan negara lebih baik dari sisi kedaulatan, terutama
secara teritorial dan ekonomi bukan semata menjadi kesadaran ulama.

Namun, hal ini merupakan tuntutan mayoritas negeri ini yang para elite
partai pun mulai sangat peka terhadap masalah ini, hingga mereka
bergerak pun dengan selalu memperhatikan rekomendasi dari ijtima ulama.

Anda mungkin juga menyukai