Anda di halaman 1dari 1

KETIKA MORALITAS DI MARJINALKAN

Oleh: Halimy Asy Syibli

Merupakan rahasia umum, bahwa fenomena baru kita dapatkan dalam kehidupan kaum
sarungan sekarang, mereka mencampakkan identitas/ciri khas kesantriannya serta beralih
mengadopsi budaya-budaya barat yang jauh dari nilai-nilai religius, memang kita tidak
memvonis bahwa semua budaya barat buruk, karena realitas membuktikan masih ada segelintir
nilai budaya barat yang progresif dan patut di contoh, namun sayangnya santri lebih suka
mengadopsi budaya barat yang paradoks dengan ajaran moralitas islam. Sebagai santri kita
sangat menghawatirkan fenomena yang seperti ini. Kenapa tidak ?, bila moralitas tercabut maka
dampak yang ditimbulkan sengatlah bahaya bagi kehidupan pesantren.

Dampak tersebut adalah hilangnya rasa menghormati (takdzim). Dewasa ini budaya
saling menghormati antar sesama sudah memudar, padahal sudah diketahui bahwa seseorang
tidak bakal memperoleh apa yang dia inginkan secara sempurna kecuali dengan cara
menumbuhkan rasa saling menghormati pada dirinya. Bagaimana mungkin seseorang akan
memperoleh keridhaan dari orang lain bila orang tersebut meninggalkan hormat. Misalkan dalam
peroses belajar mengajar, seorang santri tidak akan memperoleh ilmu bila ia meninggalkan
takdzim ilmu dan ahli ilmu (guru). Bahkan dalam kitab ta’limul muta’allim respek/ hormat lebih
baik dari pada ta’at. Ilmu merupakan nur ilahi yang sifatnya sangat sensitif, maka salah satu cara
untuk mengekang ilmu adalah menghormati ahli ilmu sebab seseorang dimulyakan karna ada
sesuatu yang mulia pada dirinya. Namun ironisnya sifat takdzim sangat sedikit diaplikasikan
oleh santri dalam kehidupan sehari-hari, bila budaya tersebut tidak segera ditanggulangi maka
kelezatan ilmu tidak akan tercapai. Sampai kapan budaya seperti ini kita lestarikan ?

Selain itu dampaknya adalah, pengetahuan tentang ilmu agama semakin tidak berkualitas,
secara substansial ada korelasi-relevansi antara moralitas dengan ilmu agama, hal ini dampak
dalam kehidupan seseorang yang moralitasnya tinggi sedangkan menimba ilmu agama dengan
seseorang yang moralitasnya degradasif, karena orang tersebut sadar bahwa dalam proses
menuntut ilmu, moralitas harus diprioritaskan agar ilmu dapat di peroleh dengan mudah dan
barokah sebagaimana telah mafhum diketahui. Berjuta karya telah mereka terbitkan tanpa
tekhnologi. Khazanah intelektual telah berhasil mereka warisi, semangat mereka mampu
meruntuhkan gunung yang tinggi, sekarang kita bertanya, bagaimana mungkin semangat dan
cita-cita akan tumbuh bila jiwa tidak pernah bersahabat dengan ilmu agama. Bilapun ada, itu
hanya secuil dan tidak keberkatan dalam hidupnya.Wallahu A’lam

Orang kalau sudah rusak mentalnya, maka rusaklah semuanya


(K. Moh. Ali Fikri M.Pd.I)

Anda mungkin juga menyukai