Anda di halaman 1dari 14

Oleh : Duwi Pudji Astuti., S.Kep., Ns., M.

Kep

KONSEP KEBUTUHAN RASA AMAN NYAMAN

A. Konsep Rasa Aman


Kebutuhan akan keselamatan atau keamanan adalah kebutuhan untuk melindungi
diri dari bahaya fisik. Ancaman terhadap keselamatan seseorang dapat dikategorikan
sebagai ancaman mekanis, kimiawi, dan bakteriologis. Kebutuhan akan keamanan terkait
dengan konteks fisiologis dan hubungan interpersonal. Keamanan seringkali didefinisikan
sebagai keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis, adalah salah satu kebutuhan dasar
manusia yang harus dipenuhi. Lingkungan pelayanan pelayanan kesehatan dan komunitas
yang aman merupakan hal penting untuk kelangsungan hidup klien.
Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga

keadaan aman dan tentram (Potter& Perry, 2006). Perubahan kenyamanan adalah keadaan
di mana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dan berespons terhadap
suatu rangsangan yang berbahaya (Carpenito,Linda Jual, 2000).

Kebutuhan akan keselamatan atau keamanan adalah kebutuhan untuk melindungi


diri dari bahaya fisik. Ancaman terhadap keselamatan seseorang dapat dikategorikan
sebagai ancaman mekanis, kimiawi, retmal dan bakteriologis. Kebutuhan akan ke aman
terkait dengan konteks fisiologis dan hubungan interpersonal.
Keamanan fisiologis berkaitan dengan sesuatu yang mengancam tubuh dan
kehidupan seseorang. Ancaman itu bisa nyata atau hanya imajinasi (misalnya: penyakit,
nyeri, cemas, dan sebagainya). Dalam konteks hubungan interpersonal bergantung pada
banyak faktor, seperti kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengontrol masalah,
kemampuan memahami, tingkah laku yang konsisten dengan orang lain, serta kemampuan
memahami orang-orang di sekitarnya dan lingkungannya. Ketidaktahuan akan sesuatu
kadang membuat perasaan cemas dan tidak aman (Asmadi, 2005)
Klasifikasi kebutuhan keselamatan atau keamanan adalah :
1. Keselamatan Fisik
Mempertahankan keselamatan fisik melibatkan keadaan mengurangi atau
mengeluarkan ancaman pada tubuh atau kehidupan. Ancaman tersebut mungkin
penyakit, kecelakaan,bahaya,atau pemajanan pada lingkungan. Pada saat sakit, seorang
klien mungkin rentan terhadap komplikasi seperti infeksi, oleh karena itu bergantung
pada professional dalam sistem pelayanan kesehatan untuk perlindungan.
Memenuhi kebutuhan keselamatan fisik kadang mengambil prioritas lebih dahulu
di atas pemenuhan kebutuhan fisiologis. Misalnya,seorang perawat perlu melindungi
klien dari kemungkinan jatuh dari tempat tidur sebelum memberikan perawatan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi (Potter & Perry, 2005), di sini perawat memasang
pelindung klien.
2. Keselamatan psikologis
Selamat dan aman secara psikologi, seorang manusia harus memahami apa yang
diharapkan dari orang lain, termasuk anggota keluarga dan profesional pemberi
perawatan kesehatan. Seseorang harus mengetahui apa yang diharapkan dari prosedur,
pengalaman yang baru, dan hal-hal yang dijumpai dalam lingkungan. Setiap orang
merasakan beberapa ancaman keselamatan psikologis pada pengalaman yang baru dan
yang tidak dikenal (Potter & Perry, 2005).
Orang dewasa yang sehat secara umum mampu memenuhi kebutuhan keselamatan
fisik dan psikologis merekat tanpa bantuan dari profesional pemberi perawatan
kesehatan. Bagaimanapun, orang yang sakit atau cacat lebih rentan untuk terancam
kesejahteraan fisik dan emosinya, sehingga intervensi yang dilakukan perawat adalah
untuk membantu melindungi mereka dari bahaya (Potter & Perry, 2005). Keselamatan
psikologis justru lebih penting dilakukan oleh seorang perawat karena tidak tampak
nyata namun memberi dampak yang kurang baik bila tidak diperhatikan.
3. Lingkup kebutuhan keamanan dan keselamatan
Lingkungan Klien mencakup semua faktor fisik dan psikososial yang
mempengaruhi atau berakibat terhadap kehidupan dan kelangsungan hidup klien. Di
sini menyangkut kebutuhan fisiologis juga. Teman-teman pasti masih ingat kebutuhan
fisiologis kita, yang terdiri dari kebutuhan terhadap oksigen, kelembaban yang
optimum, nutrisi, dan suhu yang optimum akan mempengaruhi kemampuan seseorang.
Macam-macam bahaya / kecelakaan diantaranya : di rumah, di rumah sakit, cahaya,
kebisingan, cedera, kesalahan prosedur, peralatan medis, dll. Dalam mencegah dari
bahaya, hal yang bisa dilakukan oleh perawat adalah mengkaji tingkat kemampuan
pasien untuk melindungi diri, menjaga keselamatan pasien yang gelisah, mengunci roda
kereta dorong saat berhenti, penghalang sisi tempat tidur, bel yang mudah dijangkau,
meja yang mudah dijangkau, kereta dorong ada penghalangnya, kebersihan lantai,
prosedur tindakan.

A.1. Kehilangan dan berduka

Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang


sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung
akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.

Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan yang merupakan respon


emosional yang normal. Definisi lain menyebutkan bahwa berduka, dalam hal ini
dukacita adalah proses kompleks yang normal yang mencakup respon dan perilaku
emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika individu, keluarga, dan
komunitas menghadapi kehilangan aktual, kehilangan yang diantisipasi, atau
persepsi kehilangan ke dalam kehidupan pasien sehari-hari (NANDA, 2011)

Buglass (2010) menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan


empat jenis reaksi, meliputi:

1. Reaksi perasaan, misalnya kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, kecemasan,


menyalahkan diri sendiri, ketidakberdayaan, mati rasa, kerinduan.
2. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan cahaya,
mulut kering, kelemahan.
3. Reaksi kognisi, misalnya ketidakpercayaan, kebingungan, mudah lupa, tidak
sabar, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, ketidaktegasan.
4. Reaksi perilaku, misalnya, gangguan tidur, penurunan nafsu makan, penarikan
sosial, mimpi buruk, hiperaktif, menangis.
A.2. Penyakit Kronis
Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau
bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan.
Orang yang menderita penyakit kronis cenderung memiliki tingkat kecemasan
yang tinggi dan cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan
helplessness karena berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya
sembuh dari penyakit kronis (Sarafino, 2006). Rasa sakit yang diderita akan
mengganggu aktivitasnya sehari-hari, tujuan dalam hidup, dan kualitas tidurnya
(Affleck et al. dalam Sarafino, 2006).
A.2.1. Etiologi Penyakit Kronis
Penyakit kronis dapat diderita oleh semua kelompok usia, tingkat sosial
ekonomi, dan budaya. Penyakit kronis cenderung menyebabkan kerusakan
yang bersifat permanen yang memperlihatkan adanya penurunan atau
menghilangnya suatu kemampuan untuk menjalankan berbagai fungsi,
terutama muskuloskletal dan organ-organ pengindraan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penyakit kronis dapat menjadi
masalah kesehatan yang banyak ditemukan hampir di seluruh negara, di
antaranya kemajuan dalam bidang kedokteran modern yang telah
mengarah pada menurunnya angka kematian dari penyakit infeksi dan
kondisi serius lainnya, nutrisi yang membaik dan peraturan yang mengatur
keselamatan di tempat kerja yang telah memungkinkan orang hidup lebih
lama, dan gaya hidup yang berkaitan dengan masyarakat modern yang
telah meningkatkan insiden penyakit kronis (Smeltzer & Bare, 2010)

A.2.2. Fase Penyakit Kronis

Menurut Smeltzer & Bare (2010), ada sembilan fase dalam penyakit
kronis, yaitu :
a. Fase pra-trajectory adalah risiko terhadap penyakit kronis karena
faktor-faktor genetik atau perilaku yang meningkatkan ketahanan
seseorang terhadap penyakit kronis.
b. Fase trajectory adalah adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit
kronis. Fase ini sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan sering
dilakukan pemeriksaan diagnostik.
c. Fase stabil adalah tahap yang terjadi ketika gejala-gejala dan
perjalanan penyakit terkontrol. Aktivitas kehidupan sehari-hari
tertangani dalam keterbatasan penyakit.
d. Fase tidak stabil adalah periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala
tetap terkontrol atau reaktivasi penyakit. Terdapat gangguan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.
e. Fase akut adalah fase yang ditandai dengan gejala-gejala yang berat
dan tidak dapat pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit untuk penanganannya.
f. Fase krisis merupakan fase yang ditandai dengan situasi kritis atau
mengancam jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan
kedaruratan.
g. Fase pulih adalah keadaan pulih kembali pada cara hidup yang diterima
dalam batasan yang dibebani oleh penyakit kronis.
h. Fase penurunan adalah kejadian yang terjadi ketika perjalanan penyakit
berkembang disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan
kesulitan dalam mengatasi gejala-gejala.
i. Fase kematian adalah tahap terakhir yang ditandai dengan penurunan
bertahap atau cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.

A.2.3. Kategori Penyakit Kronis

Menurut Christensen et al. (2006) ada beberapa kategori penyakit kronis,


yaitu :

a. Lived with illnesses. Pada kategori ini individu diharuskan beradaptasi


dan mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup dan biasanya tidak
mengalami kehidupan yang mengancam. Penyakit yang termasuk
dalam kategori ini adalah diabetes, asma, arthritis, dan epilepsi.
b. Mortal illnesses. Pada kategori ini secara jelas kehidupan individu
terancam dan individu yang menderita penyakit ini hanya bisa
merasakan gejala-gejala penyakit dan ancaman kematian. Penyakit
dalam kategori ini adalah kanker dan penyakit kardiovaskuler.
c. At risk illnesses. Kategori penyakit ini sangat berbeda dari dua kategori
sebelumnya. Pada kategori ini tidak ditekankan pada penyakitnya,
tetapi pada risiko penyakitnya. Penyakit yang termasuk dalam kategori
ini adalah hipertensi dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas.

A.2.4. Tanda dan Gejala

Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya yang tidak pasti,


memiliki faktor risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama,
menyebabkan kerusakan fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat
disembuhkan secara sempurna (Smeltzer & Bare, 2010).

Tanda-tanda lain penyakit kronis adalah batuk dan demam yang


berlangsung lama, sakit pada bagian tubuh yang berbeda, diare
berkepanjangan, kesulitan dalam buang air kecil, dan warna kulit abnormal
(Heru, 2007).

A.3. Penyakit Terminal

Penyakit terminal adalah istilah medis untuk menggambarkan penyakit aktif


dan ganas. Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang
menuju ke arah kematian. Pasien terminal adalah pasien yang dalam keadaan
menderita penyakit dengan stadium lanjut yang penyakit utamanya tidak bisa
diobati kembali dan bersifat progresif (meningkat). Pengobatan yang diberikan
hanya bersifat menghilangkan gejala dan keluhan, memperbaiki kualitas hidup,
dan pengobatan penunjang lainnya. Penyakit terminal merupakan yang tidak dapat
disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak dapat dihindari dalam waktu
yang bervariasi.
Pasien penyakit terminal mengalami gangguan secara fisik, gangguan
psikososial dan spiritual yang kemudian mempengaruhi kualitas hidup mereka dan
keluarganya. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan seseorang dalam kondisi
terminal seperti penyakit kanker, stroke multiple sclerosis, akibat kecelakaan fatal
dan AIDS.

Bagi pasien terminal yang menghadapi penyakit kronis beranggapan bahwa


maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai
macam faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa
sakit, kecemasan, dan kegelisahan tidak akan berkumpul lagi dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya.

Pada stadium terminal, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya


mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan
spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Maka
kebutuhan pasien pada stadium terminal suatu penyakit tidak hanya pemenuhan
atau pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap
kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang dilakukan.

A.4. Kecemasan

1. Pengertian
Kecemasan merupakan reaktivitas emosional berlebihan, depresi yang tumpul,
atau konteks sensitif, respon emosional. Pendapat lain menyatakan bahwa
kecemasan merupakan perwujudan dari berbagai emosi yang terjadi karena
seseorang mengalami tekanan perasaan dan tekanan batin.
2. Klasifikasi
Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. ada
empat tingkatan yaitu :
a. Kecemasan Ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami seharihari. Individu masih
waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indera. Dapat
memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah
secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.
b. Kecemasan Sedang
Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya, terjadi
penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan
arahan orang lain.
c. Kecemasan Berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detil
yang kecil dan spesifik dan tidak dapat berfikir hal-hal lain. Seluruh
perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu banyak
perintah/arahan untuk terfokus pada area lain.
d. Panik
Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatian hilang. Karena
hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan
perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan
berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya
pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif. Biasanya disertai
dengan disorganisasi kepribadian.
3. Tanda dan Gejala Kecemasan
Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh
seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang dirasakan
oleh individu yang mengalami kecemasan.
 Gejala somatik : jari tangan terasa dingin dan lembab, detak jantung
makin cepat, berkeringat dingin, kepala pusing/sakit kepala, nafsu
makan berkurang, gangguan pencernaan, tidur tidak nyenyak, dada
sesak/sesak nafas, rasa sakit pada otot dan tulang, gangguan
perkemihan,
 Gejala psikologis : ketakutan merasa akan ditimpa bahaya, tidak dapat
memusatkan perhatian, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan,
pernyataan cemas/khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya
sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah,
mudah terkejut.
 Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan/mimpi buruk
 Gangguan konsentrasi daya ingat

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan


a. Factor predisposisi.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya kecemasan, adalah :
1. Menurut teori psikoanalitik, kecemasan timbul karena konflik antara
elemen kepribadian yaitu id (insting) dan super ego (nurani).
2. Teori interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap
tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal
3. Teori behavior, Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala
sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
4. Teori perspektif keluarga, Kecemasan dapat timbul karena pola
interaksi yang tidak adaptif dalam keluarga.
5. Teori perspektif biologi, Fungsi biologis menunjukan bahwa otak
mengandung reseptor khusus Benzodiapine. Reseptor ini mungkin
membantu mengatur kecemasan.
b. Faktor prespitasi
faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus kecemasan, adalah :
1. Ancaman terhadap integritas seseorang yang meliputi
ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kemampuan untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan
identitas harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi dari seseorang.

B. Konsep rasa Nyaman (bebas nyeri)


1. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang
disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak
menyenangkan bersifat sangat subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap
orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. Menurut beberapa ahli,
nyeri diartikan sebagai berikut.
a. Mc. Coffery (1979), mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut
pernah mengalaminya.
b. Wofl Weitzel Fuerst (1974), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan
menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan
ketegangan.
c. Arthur C Curton (1983), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme
produksi tubuh, timbul ketika jaringan sedang di rusak dan menyebabkan individu
tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri.
d. Scrumum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan
akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut saraf dalam tubuh ke otak
dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis dan emosional.
2. Fisiologi Nyeri
Terjadinya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor
nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas
yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin, yang tersebar pad akulit dan
mukosa, khususnya pada vicera, persendian, dinding arteri, hati dan kadung empedu.
Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan.
Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti bradikinin, histamin, prostaglandin,
dan macam-macam asam yang dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat
kekurangan oksigenasi. Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik atau mekanis.
3. Klasifikasi Nyeri
Secara umum nyeri dibedakan menjadi 2 yakni: nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri
akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak
melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis adalah
nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu yang
cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Yang termasuk dalam nyeri kronis ini adalah nyeri
terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Bila ditinjau dari sifat
terjadinya, nyeri dibagi menjadi nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.
4. Teori nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya nyeri, di antaranya:
a. Teori Pemisahan (Specificity Theory)
Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medula spinalis melalui kornu
dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur dan
menyilang di garis median ke sisi lainnya dan berakhir di korteks sensoris tempat
rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
b. Teori Pola (Pattern Theory)
Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medula spinalis dan
merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang
ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi menimbulkan
persepsi dan otot berkontraksi sehingga menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi
oleh modalitas dari reaksi sel T.
c. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)
Menurut teori ini nyeri bergantung dari kerja serat saraf besar dan kecil yang
keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat saraf besar
akan meningkatkan aktivitas substansia gelatinosa yang mengakibatkan
tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan
hantaran rangsangan ikut terhambat.
Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil
persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat eferen dan
reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serat kecil akan
menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme,
sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan
rangsangan nyeri.
d. Teori Transmisi dan Inhibisi
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls saraf,
sehingga transmisi impuls nyeri menjadi efektif oleh neurotransmiter yang spesifik.
Kemudian inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut-
serabut besar yang memblok impuls-impuls pada serabut lamban dan endogen
opiate sistem supresif.
5. Stimulus / Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Pengalaman nyeri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
a. Arti nyeri
Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian
arti nyeri merupakan arti yang negatif, seperti membahayakan, merusak, dan lain-
lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar
belakang sosial budaya, dan pengalaman.
b. Persepsi nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian yang sangat subyektif tempatnya pada
korteks (pada fungsi evaluatif kognitif). Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor yang
dapat memicu stimuli nociceptor.
c. Toleransi nyeri
Toleransi ini erat hubungannya dengan intensitas nyeri yang dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat
mempengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain: alkohol, obat-obatan,
hipnotis, dan lain-lain. Sedangkan faktor yang dapat menurunkan toleransi nyeri
antara lain: kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tidak kunjung hilang,
sakit, dan lain-lain.
d. Reaksi terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap nyeri,
seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan
bentuk responnyeri yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arti nyeri,
tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial,
kesehatan fisik dan mental, rasa takut, cemas, usia dan lain-lain.

6. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian pada masalah nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas
dan waktu serangan. Pengakajian dapat dilakukan dengan cara PQRST yaitu:
Quality : dari nyeri, seperti rasa tajam, tumpul atau tersayat
Region : yaitu daerah perjalanan nyeri
Severity : adalah keparahan atau intensitas nyeri
Time : lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut, kronis
2. Gangguan rasa nyaman

c. Intervensi Keperawatan

Dx.Keperawatan NOC NIC


Nyeri akut, kronis  Pain level Pain management
 Pain control  Lakukan pengkajian
 Comfort level nyeri secara
komprehensif
(PQRST)
 Observasi reaksi
nonverbal dan
ketidaknyamanan
 Control lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
 Kurangi faktor
presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
 Ajarkan tentang
tekhnik non
farmakologi
 Kolaborasi pemberian
analgetik
 Evaluasi keefektifan
control nyeri
 Tingkatkan istirahat
Gangguan rasa nyaman  Ansiety Anxiety reduction
 Fear leavel  Gunakan pendekatan
 Sleep deprivation yang menenangkan
 Comfort, readiness  Nyatakan dengan jelas
for harapan terhadap
 Enchaned pelaku pasien
 Jelaskan semua
prosedur dan apa yang
dirasakan selama
prosedur
 Dorong keluarga
untuk menemani
pasien
 Dengarkan dengan
penuh perhatian
 Bantu pasien
mengenal situasi yang
menimbulkan
kecemasan
 Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi
 Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
 Kolaborasi pemberian
obat mengurangi
kecemasan
Environment
management comfort
Pain management

Anda mungkin juga menyukai