TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke – 3 tertinggi di
dunia setelah China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di
China, India dan Indonesia berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan
591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di
Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. 1,2
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem
pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem
sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan
penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan
bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada golongan
penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke
subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun 2001 terdapat 50.443
penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan
penderita BTA positif). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 –
49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya
muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA) positif
pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki
urutan ke – 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China.4
4
5
2.1.3 Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer1,2,4
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan
atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar
kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1
– 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada
saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar
bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama
kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan
partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan
sekretnya.1,2,4
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Kemudian dapat terbawa masuk ke organ
tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan
berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang
primer atau afek primer atau sarang (focus) Ghon. Sarang primer
ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga
masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring
dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk
ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak,
ginjal, tulang. Bila masuk arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran
ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.1,2,4
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangits fokal), dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional).
Sarang primer limfangitis fokal dan limfadenitis regional akan
6
langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-
sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.1,2,4
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari
usia muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung
dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini
ini dapat menjadi:1,2,4
Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh
dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri
menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang
meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan
ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis,
menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula
berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi
jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi
kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas
adalah karena suatu hidrolisis protein lipid dan asam nukleat
oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag dan proses yang
berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkijuan lain yang
jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada
imunodefisiensi dan usia lanjut.
e. Kasus gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke – 5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan).
Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologi
positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke – 2 pengobatan
dan atau gambaran radiologi ulang hasilnya perburukan.3
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.3
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB
inaktif, terlebih gambaran radiologi serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang
adekuat akan lebih mendukung.3
11
2. Gejala sistemik1,2,3
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia,
berat badan menurun
b. Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan
penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex
lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara
lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.1,2,3
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik
tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi
ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.1,2,3
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar
getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan
metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.1,2,3
c. Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
14
Pemeriksaan mikroskopik:3
- Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl - Nielsen
pewarnaan Kinyoun Gabbett
16
d. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa
foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik,
oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).3
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif yaitu :3
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
e. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis
adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman
tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada
beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman
tuberkulosis secara lebih cepat. 3
1) Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu
masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. 3
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan
cara yang benar dan sesuai standar. 3
19
3) Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini
adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme
asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat
menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis. 3
6) Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah
(LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini
sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu
dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. 3
22
7) Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi
infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah.
Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,
pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari
uji yang didapat besar sekali atau bula. 3
Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif,
terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif
mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.3
Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan
hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog
dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target
organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu
yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam
yang bersangkutan (M.tuberculosis). 3
23
Gambar 2.1. Alur Diagnosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia3
24
2.1.6 Tatalaksana
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif
(2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang
digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.1,2,3
A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 1,2,3
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: 1,2,3
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
25
Dosis OAT
Rifampisin 10 mg/kgBB, maksimal 600 mg 2-3 x/minggu
BB > 60 kg : 600 mg, BB 40-60 kg : 450 mg, BB < 40 kg :
300 mg. Dosis intermiten 600 mg / kali.1,2,3
INH 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kgBB 3 x
seminggu, 15 mg/kgBB 2 x semingggu atau 300 mg/hari
untuk dewasa. lntermiten : 600 mg/kali.1,2,3
Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kgBB, 35 mg/kgBB 3 x
semingggu, 50 mg/kgBB 2 x semingggu atau BB > 60 kg :
1500 mg, BB 40-60 kg : 1000 mg, BB < 40 kg : 750 mg.1,2,3
Etambutol : fase intensif 20 mg/kgBB, fase lanjutan 15
mg/kgBB, 30mg/kgBB 3 x seminggu, 45 mg/kgBB 2 x
seminggu atau BB > 60 kg : 1500 mg, BB 40 -60 kg : 1000
mg, BB < 40 kg : 750 mg. Dosis intermiten 40
mg/kgBB/kali.1,2,3
26
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya
memerlukan pengobatan simtomatik ialah: 3
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri
tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu
makan, muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan
kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout,
hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. 3
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan
berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna
merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler
tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg
BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan
akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi. 3
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan
yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.
Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur
penderita.3
D. Terapi Pembedahan3
lndikasi operasi3
1. Indikasi mutlak
a. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi
dahak tetap positif
b. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif
c. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang
tidak dapat diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif3
a. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah
berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Kriteria Sembuh3
BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/
perbaikan
Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
E. Evaluasi Pengobatan3
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,
radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan
berobat. 3
Evaluasi klinik3
Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan
fisik.
bermutu dan sesuai standar. Penguatan jejaring layanan juga bertujuan untuk
memastikan bahwa semua pasien TB dapat ternotifikasi dimanapu pasien
memilih untuk berobat. Sesuai dengan Permenkes No.67/2016 semua kasus
TB yang ditemukan dan diobati di fasyankes wajib dilaporkan kepada
program nasional pengendalian TB.
Contoh:
- Fasyankes yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk pemeriksaan ke
fasyankes yang memiliki alat TCM.
- FKTP tidak mampu melakukan diagnosis kasus TB ekstra paru karena
keterbatasan sarana diagnosis akan merujuk ke FKRTL. Hasil diagnosis
dari FKRTL akan dikirim balik ke FKTP untuk tatalaksana selanjutnya.
- Penerapan sistem notifikasi wajib berupa aplikasi pelaporan berbasis
smartfone (WiFi TB) untuk Dokter Praktek Mandiri dan SITT untuk
Puskesmas, BP4 dan Rumah Sakit.
b. Kolaborasi layanan
Strategi peningkatan penemuan pasien TB melalui penguatan jejaring
internal antara unit-unit layanan yang mungkin akan menemukan terduga atau
pasien TB misalnya di poliklinik umum, poliklinik paru, poliklinik penyakit
dalam dan poliklinik anak. Kegiatan kolaborasi layanan juga bisa berupa
kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB dengan
penyelenggaraan layanan kesehatan selain TB yang tersedia di fasyankes,
terutama di unit layanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
kepada populasi kunci yang rentan untuk TB misalnya unit layanan HIV, DM
(Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik berhenti merokok, klinik KIA dan
ANC. Penguatan kolaborasi layanan TB secara manajerial juga bisa
dilaksanakan dengan penerapan sistem manajemen layanan kesehatan yang
terintegrasi di fasyankes misalnya dengan penerapan Pendekatan Praktis
Kesehatan Paru/PPKP (PAL = Practical Approach to Lung health),
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa
Sakit (MTDS).
40
TB, kegiatan ini akan sangat bermanfaat dalam rangka penyampaian edukasi
mengenai TB terhadap anggota keluarga dan masyarakat sehingga akan
terbentuk awareness tentang TB di kemudian hari.
g. Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif melalui skrining massal yang dilaksanakan
sekali setahun untuk meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang
penemuan kasusnya masih sangat rendah. Puskesmas bekerja sama dengan
aparat desa/ kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan
skrining gejala TB secara masif di masyarakat dan membawanya ke layanan
kesehatan luar gedung. Kegiatan ini juga lebih efektif apabila dipadukan
dengan kegiatan penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat.