10 Wasiat Untuk Menguatkan Hafalan Dan Mengobati Lupa

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

10 Wasiat untuk Menguatkan Hafalan dan Mengobati Lupa

(Kutaib ‘Asyru Washooya li Quwwatil Hifzh wa ‘Ilajih Nisyan)

Pendahuluan

Menghafal ilmu adalah perkara penting yang dituntut pada setiap penuntut ilmu. Ilmu akan terjaga
dengan menghafalnya. Allah swt sebutkan bahwa ayat-ayat al Quran yang ada dalam dada para
‘ulama adalah ayat-ayat yang bayyinah (jelas dan terang) dan kebenaran adalah ayat-ayat yang
bayyinah yang ada dalam dada orang-orang yang berilmu.

"Sebenarnya, al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi
ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dzhalim." [QS al-
Ankabut: 29]

Jadi, ilmu itu menjadi sesuatu yang bayyinah ketika berada dalam dada, dipahami, dan dihafal oleh
seorang hamba.

Para generasi sahabat terbiasa dengan menghafal ayat-ayat al Quran. Pembukuan Al Quran baru
dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq. Setelah terkumpul, diserahkan kepada
khalifah berikutnya, yaitu ‘Umar bin Khattab, lalu disimpan di rumah Hafshah binti ‘Umar, dan pada
masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan lebih dilengkapi kembali pembukuannya dan dikenal dengan
nama Mushaf Utsmani. Tujuan pembukuan Al Quran dalam bentuk mushaf agar mudah dibaca dan
dihafalkan.

Hafalan kita terhadap ilmu menjadi ukuran tingkatan kita dalam ilmu.

Dalam sebuah sya’ir, “Ilmuku selalu bersamaku. Pergi ke mana pun saya, dia selalu mengikutiku.
Perutku penjagaanku terhadap ilmu (maksudnya ilmu disimpan di dalam diri, bukan di buku). Jika
saya di rumah, ilmuku bersamaku. Jika saya di pasar, ilmuku juga berada di sana.”

Imam As-Shan’ani berkata, “Jika kamu mempunyai ilmu, tapi ilmu tersebut tidak menemanimu
sampai ke kamar mandi, maka jangan kamu anggap sebagai ilmu.” Maksudnya ilmu yang dihafal
akan menyertai dirinya dimana pun dia berada. Berbeda dengan kitab, tidak boleh sampai dibawa ke
kamar mandi.

Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Jami' li Akhlaq Al-Rawi wa Adab Al-Sami' menukil perkataan As-Salaf,
“Ilmu bukanlah yang tersimpan di dalam lemari, tapi ilmu tiada lain adalah yang terkandung di dalam
dada.” Ilmu yang tersimpan di dada memiliki kemuliaan, kebanggaan, perhiasan yang sangat
istimewa, dan kadar yang tinggi bagi pemiliknya.

Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat dan kitab, tapi
ilmu adalah mengikuti Al Quran dan As-Sunnah, walaupun sedikit.”

Hafalan yang terpuji adalah hafalan yang bermanfaat untuk dirinya. Termasuk perbuatan tercela
orang yang memiliki banyak hafalan, tapi menyelisihi perkara tauhid. Demikian pula, orang yang
menghafal, tapi tidak memahami apa yang dia hafalkan. Contoh: Hafal Al Quran, tapi tidak
memahami isinya. Pada sebagian negara banyak orang yang mampu menghafal Shahih Bukhary, tapi
mereka tidak memahami maknanya. Lalu, mereka keluar berfatwa dan fatwanya sendiri banyak
menyelisihi fatwa para ‘ulama.

Secara umum ada yang sudah lama duduk di majelis ilmu bertahun-tahun, tapi banyak ilmu yang
tidak melekat di dalam dirinya karena tidak dihafalkan. Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah berkata
bahwa banyak buku yang sudah kami baca, tapi tidak ada satu pun yang tersisa, kecuali apa yang
telah kami hafalkan.

Hafalan yang baik akan membantu menghindari lupa dan menguatkan hafalan.
Wasiat ke-1: “Selalu mengingat Allah, berdzikir, dan mengulangi hal tersebut”

Ini merupakan wasiat penting bagi para penghafal yang merupakan salah satu sebab yang sangat
kuat yang membawa seseorang memiliki hafalan yang kuat dan sedikit lupanya. Sekuat apa pun
hafalan seorang ‘ulama, tetap tidak ada seorang ‘ulama pun yang tidak pernah luput dari sifat lupa.

Ibnu Main berkata, “Barang siapa yang berkata bahwa ada rawi yang tidak pernah salah, maka
sungguh dia telah berdusta.” Demikian pula ragu dalam permasalahan lafadzh, seperti yang ada
dalam riwayat Syu’bah Ibnu Hajjaj. Imam Malik juga pernah dikritik dalam riwayat beliau sampai
Imam Daruquthni menulis riwayat dimana Imam Malik bersendirian dalam periwayatannya.
Kekeliruan dan kelupaan adalah tabiat manusia. Lupa juga merupakan penyakit yang tidak akan bisa
hilang. Mengobati lupa yang dimaksud disni adalah mengurangi hal-hal yang bisa membuat
seseorang cepat lupa sehingga tidak mengganggu hafalannya.

Berdzikir (mengingat) Allah dengan 2 hal, yaitu

1. Selalu memperbarui niatnya dan mengikhlaskan hanya untuk Allah semata.

Awal kali belajar, mungkin niatnya baik, tapi di pertengahan jalan bisa jadi dia mulai ditimpa
penyakit syubhat, syahwat, godaan dunia sehingga mulailah terjadi perubahan dalam niatnya,
seperti ingin terlihat lebih pandai, tidak ingin diremehkan, dan sebagainya. Hal tersebut
merupakan perkara yang menganggu niat seorang hamba dan hendaknya seorang hamba selalu
memperbaiki dan mengulangi natnya. Al-Khatib Baghdadi mengutip perkataan Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya masing-masing orang mampu menghafal sesuai dengan
kadar niatnya.” Ikhlas adalah bagian dari tauhid dan tauhid itu sendiri bagian dari keberkahan
seorang hamba.

2. Perhatikan dzikir-dzikir harian, baik yang sifatnya muthlaq (bisa dibaca kapan saja), maupun
muqayyadah (terikat dengan waktu).

"Dan, ingatlah Rabb-mu apabila kamu lupa." [QS al-Kahfi: 24].

Barang siapa yang lupa, hendaklah dia berdzikir kepada Allah. Termasuk di dalamnya
mengikhlaskan niat hanya karena Allah dan menjaga dzikir-dzikir hariannya, seperti dzikir setelah
sholat (dia jaga, dia pahami, dan bukan sekedar membaca, lalu lewat), dzikir pagi dan petang,
dzikir ketika akan tidur, setelah bangun tidur, saat keluar rumah, dan seterusnya dalam seluruh
aktivitasnya. Seorang hamba yang berusaha memperbanyak dzikir kepada Allah, maka hal itu
akan menjadi sebab Allah mengingat dirinya karena Al Jazaa’u min Jinsil ‘Aml (balasan sebanding
dengan amalan).

“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-
Ku, dan janganlah kalian berbuat kufur.” [QS al-Baqarah: 152].

Dalam hadits qudsi, Rasulullah saw bersabda, “Allah swt berfirman, ‘Aku ini sesuai dengan
prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-
Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya pula padanya dalam hati-Ku. Jika ia mengingat-
Ku di depan umum, maka Aku akan mengingatnya pula di depan khalayak yang lebih baik. Dan
seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku
padanya sehasta. Jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya
sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.’“
[HR. Bukhary, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi].

Seorang hamba yang mengingat Allah, maka Allah pun akan mengingatnya dan merupakan
sebab ia diberikan kekuatan untuk menghafal.

Para ‘ulama menyebutkan dzikir kepada Allah adalah sebab yang sangat kuat yang membantu
hafalan dilihat dari 3 sisi, yaitu:

1. Dari sisi hubungan hamba dengan Rabb-nya.

Semakin dekat hubungannya kepada Allah, maka akan semakin menambah kekuatannya,
memudahkan datangnya pertolongan Allah, menjauhkan dirinya dari gangguan syaithan, seperti
gangguan lupa dalam sholat, lupa berdzikir, lupa berbuat kebaikan, dan sebagainya.

Syaithan paling banyak menganggu anak Adam dalam hafalannya sebagaimanya kisahnya Nabi
Musa ketika beliau hendak menjumpai Nabi Khadir as. Nabi Musa membawa seorang pemuda
dan sekeranjang berisi ikan sebagai petunjuk. Apabila ikan tersebut melompat di tempat
bertemunya dua lautan, berarti beliau telah sampai ditempatnya Nabi Khidir. Akan tetapi, ketika
ikan tersebut melompat dan pemuda tersebut melihatnya, syaithan membuatnya lupa sehingga
pemuda tersebut baru menyadari ikan-ikan telah melompat ketika mereka telah berjalan jauh
meninggalkan tempat tersebut. Maka, pemuda itu pun berkata, “Ingatkah engkau ketika kita
berada di batu besar dan tidak ada yang membuat kita melupakannya, melainkan syaithan lah
yang melakukannya.”

Kisahnya Nabi Yusuf as yang dipenjara dalam kurun waktu sampai 9 tahun lamanya karena
seorang pelayan yang berhasil ia takwil mimpinya lupa untuk menyampaikan kabar tentang Nabi
Yusuf kepada Raja apabila si pelayan tersebut berhasil keluar dari penjara. Takwil mimpi adalah
ilmu yang seharusnya membekas di dalam hati pelayan itu karena mukjizat yang Allah berikan
kepada Nabi Yusuf. Tetapi, syaithan membuat pelayan tersebut lupa sehingga Nabi Yusuf tetap
di penjara bertahun-tahun lamanya.

“Syaithan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah. Mereka
itulah golongan syaithan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaithan itulah golongan
yang merugi.” [QS. Al-Mujadilah : 19]

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), kami
adakan baginya syaithan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya.” [QS. Az-Zukhruf : 43]

Oleh karena itu dzikir adalah sebab yang kuat yang membantu seorang hamba memiliki hafalan
yang baik. Hamba yang berakal akan menjaga kedekatannya kepada Allah. Dia akan menjaga
agar jangan sampai syaithan membuka peluang untuk memisahkan antara dirinya dengan jalan
Robb-Nya.
2. Dzikir adalah sebab utama yang membuat hati seorang hamba menjadi tenang dan sejuk
jiwanya.

Hafalan itu sendiri paling baik jika dilakukan dalam kondisi tenang. Contoh : menghafal diwaktu
shubuh tentu berbeda dengan menghafal di waktu siang.

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada
Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang." [QS. Ar-Ra’du : 28]

Hati yang tenang merupakan sebab utama kuatnya hafalan, sebab kokohnya ilmu tertanam di
jiwa. Berbeda dengan orang yang kondisi pikirannya bercabang, maka hafalan itu akan sulit dia
lakukan.

"Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya." [QS. Al Ahzaab : 4]

Sesibuk apa pun kita, tetap sempatkan untuk berdzikir karena berdzikir membuat hati kita
tenang dan mendatangkan kekuatan untuk menjalankan aktivitas kita.

3. Dzikir membantu seseorang memperoleh kekuatan badan dan hati yang diperlukan seorang
penuntut ilmu.

Seorang penuntut ilmu selayaknya memperbanyak dzikir.

“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu,
sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu
dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-
kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [QS. Nuh: 10-12]

Istighfar merupakan bentuk dzikir.

“Dan Allah menyukai orang yang berbuat baik dan orang-orang yang apabila berbuat kekejian
atau zalim kepada diri sendiri, maka ia segera ingat kepada Allah, dan beristighfar kepada
Allah atas dosa-dosanya. Dan siapakah yang lebih mengampuni dosa selain Allah? Kemudian,
dia tidak meneruskan perbuatannya, meskipun dia mengetahuinya.” [QS. Ali Imran : 134-135]

Maka, dzikir inilah yang memberi kekuatan, baik di hati maupun di badan. Kisahnya Fathimah ra
yang mendatangi Nabi saw untuk mengadukan tangannya yang melepuh karena banyak bekerja.
Beliau ra meminta kepada Nabi saw agar diberikan seorang khadim yang membantunya bekerja.
Maka, Nabi pun berkata, “Maukah kuberitahukan pada kalian sesuatu yang lebih baik daripada
apa yang kalian minta? Apabila kalian mulai berbaring di pembaringan kalian, bertakbirlah 33
kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali.” [Muttafaqun ‘alaih]

Sejak saat itu ‘Ali bin Abi Thalib ra dan Fathimah ra tidak pernah lagi mengeluhkan keadaan
mereka. Bahkan ‘Ali bin Abi Thalib ra dalam perang khaibar, beliau satu-satunya sahabat yang
mampu membuka benteng Khaibar dengan tangannya.

Dalam biografi Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim berkisah dalam Al-Wabil Ash-Shoyyib bahwa Ibnu
Taimiyah senantiasa berdzikir hingga matahari naik ke pertengahan. Ketika Ibnu Taimiyah
ditanya mengapa beliau melakukan hal itu, beliau berkata, “Ini adalah waktu pagiku, waktu
makanku. Jika aku tidak melakukannya, maka akan jatuh kekuatanku.” Kemudian, kata Ibnu
Qayyim, “Saya pernah melihat bagaimana Ibnu Taimiyah membela sunnah, beliau menakjubkan
dalam hal menulis, dalam 1 hari beliau mampu menulis kitab yang ditulis oleh penulis lain dalam
waktu 1 pekan, dan juga keistimewaan beliau dalam hal perangai. Itu semua merupakan
pengaruh dari dzikir-dzikir beliau.” Demikian pula para sahabat dalam perang Badar yang
menghadapi lebih dari 10.000 pasukan .

“Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertemu sekelompok pasukan musuh maka
tetaplah kamu ditempat itu dan banyaklah berdzikir supaya kalian menang.” [QS. Al Anfaal
:45]
Wasiat ke-2: “Menjauhi dosa dan maksiat”

- Ibnu Mas’ud rodhiyAllahu ‘anhu berkata dalam riwayat Baihaqi, “Saya menyangka seorang laki-laki
lupa terhadap ilmunya karena sebuah dosa yang dia lakukan.”

- Sebagian Salaf berkata, “Harom pada hati yang di dalamnya ada perkara yang dibenci Allah dan
harom pula cahaya ilmu untuk masuk ke dalamnya.”

- Sebagian guru pernah melihat sebgaian muridnya melakukan kemungkaran. Lalu, guru tersebut
menegurnya dan mengatakan, “Kamu akan merasakan akibatnya, walaupun suatu hari nanti.”
Ucapan guru tersebut diingat oleh muridnya hingga suatu hari ia mendapati dirinya lupa terhadap Al
Quran akibat besarnya dosa yang pernah ia lakukan.

- Bertaubat dan menjauhi dosa adalah hal yang penting bagi para penuntut ilmu.

- ”Bertaqwalah kepada Allah. Allah akan mengajari kalian.” [QS. Al-Baqoroh : 282]. Ayat ini didahului
dengan ketaqwaan. Ketaqwaan merupakan sebab yang kuat untuk menambah kekuatan. Dalam ayat
lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertaqwa
kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan untuk kalian furqon.” [QS. Al-Anfal : 29]. Kalau seorang
hamba diberikan furqon, maka hal itu merupakan modal yang sangat besar untuk menjaganya
hafalannya.

- Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah jadikan dalam perkaranya kemudahan,
termasuk menghafal. Hendaknya penuntut ilmu selalu menjaga dirinya diatas ketaqwaan. Makna
ketaqwaan itu luas dan perlu kita mencermati lebih jauh kandungan maknanya, Tapi, ketaqwaan
yang dimaksud di sini terkait menjauhi dosa dan maksiat.

- Penting untuk mempelajari bagaimana ketaqwaan para Nabi dan Rosul sebagai pelajaran bagi kita.
Nabi orang yang paling jauh dari dosa. Ada point penting disini bahwa para ‘ulama adalah pewaris
para nabi. Ilmu adalah warisan Rosululloh. Apabila kita ingin mendapat warisan para Nabi, maka
warisan itu hanya didapat oleh yang mempunyai hubungan darah / kekerabatan / pernikahan
dengan Nabi (terkait dengan hukum warisan itu sendiri). Oleh karena itu, kalau kita ingin
mendapatkan warisan para Nabi, ingin mendapatkan ilmu para Nabi, maka ikutilah jalan para Nabi
dan Rosul.

- Kalau seseorang jujur benar-benar ingin mencari ilmu, maka akan dia tinggalkan dosa dan maksiat.

- Syaikh Al-‘Utsaimin rohimahulloh berkata, “Dalil yang menunjukkan dosa dan maksiat dapat
membuat seseorang lupa dari ilmunya adalah firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 13, yaitu
tentang orang-orang Yahudi dimana mereka melanggar perjanjian mereka, maka Allah melaknat
mereka, menjadikan hati-hati mereka keras dan mereka pun lupa dari bagian ilmu yang sudah
mereka ingat sebagaimana Bisyr bin Harits berkata, “Apabila engkau ingin mendapatkan ilmu, maka
janganlah engkau berbuat maksiat.”

- Imam Syafi’i pernah mendatangi Waqi’ ibnu Jarroh. Waqi’ adalah seorang imam besar dan kuat
hafalannya. Imam Ahmad berkata sebagai bentuk kekaguman beliau kepada Waqi’. Kata beliau,
“Hafalannya Waqi’ memang sudah tabiat dia, adapun kita takalluf (harus dipaksa terlebih dahulu)
baru bisa menghafal.” Imam Syafi’i mengeluhkan hafalannya yang buruk. Kalau Imam Syafi’i saja
mengeluhkan buruknya hafalan beliau ditengah berbagai keutamaan yang beliau miliki, lalu
bagaimana dengan kita? Sedemikanian rupa beliau mengatakan jeleknya hafalan beliau. Dalam
sebuat riwayat Imam Malik beliau berkata, “Saya pernah duduk di depan Imam Syafi’i dan ketika itu
saya sedang membaca. Saya pun merasa kagum dengan dengan daya tangkap Imam Syafi’i.
Pemahamannya sangat lengkap. Maka, saya pun berkata kepadanya, ‘Saya melihat Allah telah
memberikan cahaya dihatimu, maka janganlah sekali-kali engkau padamkan dengan cahaya
maksiat.”
Wasiat ke-3: “Beramal dengan ilmu yang telah dia pelajari”

- Tampak dari dua sisi tentang pentingnya mengamalkan ilmu yang dia pelajari sehingga membantu
menguatkan hafalan, yaitu :

Sisi pertama : Allah akan menambah karunia-NYA untuk orang yang mengamalkan ilmu yang dia
ketahui dan juga Allah akan mengajarkan ilmu lain yang sebelumnya tidak dia ketahui.

Allah menambah keutamaan kepada seorang hamba dengan sifat pemurah-Nya dan kepada siapa
yang Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Sebagian Salaf berkata, “Barang siapa yang
mengamalkan ilmu yang dia pelajari, maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang sebelumnya
tidak ia ketahui.”

Ilmu adalah pohonnya, sedangkan amalan adalah buahnya. Ilmu dipelajari untuk diamalkan. Amalan
itu sendiri tidak akan sah tanpa adanya ilmu.

Orang yang pertama kali ditanyakan di akhirat dan dipanggang tubuh mereka di Neraka adalah orang
yang berilmu, tapi tidak diamalkan. ‘Alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka dia akan disiksa
sebelum para penyembah berhala disiksa sebagaimana dalam hadits orang semacam ini termasuk
satu di antara tiga orang yang pertama kali dijadikan sebagai bahan bakar untuk menyalakan api
neraka.

Dalam hadits Abu Barzah, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat
sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang
sudah diamalkannya.” [HR. Tirmidzi 2341]

Berindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ilmu yang hakikatnya tidak
memiliki manfaat untuk manusia (sihir dan semisalnya) dan ilmu yang tidak diamalkan.

Sisi kedua : Orang yang menghafal, lalu dia amalkan ilmu yang dia pelajari, maka hal itu menjadi
sebab kuat ilmu tersebut melekat di dalam dirinya.

“Jikalau mereka melakukan apa yang dinasehatkan kepada mereka (1), niscaya akan lebih baik bagi
mereka dan memperkokoh (iman mereka) (2). Dan kalau memang demikian, niscaya Aku
anugerahkan kepada mereka pahala yang agung (3) dan Aku tunjukkan mereka jalan yang lurus (4).”
[Q.S. An Nisa’ : 66-68]

Ada 2 manfaat yang diperoleh oleh orang yang mengamalkan ilmunya, yaitu Keteguhan dan
kekokohan ilmu è Dari sinilah letak derajat para ‘ulama.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Ilmu itu berbisik, berbicara, memanggil amalan. Kalau dia amalkan, maka
ilmu itu akan tetap bersamanya. Jika tidak, maka dia akan pergi meninggalkan.”

Waqi’ bin Jarroh berkata, “Saya tidak pernah melangkah di kehidupan dunia sejak 40 tahun lamanya.
Saya dengar hadits dan belum ada satu pun yang terlupakan. Tidaklah saya mendengar sesuatu,
kecuali saya amalkan.”

Sebagian salaf juga berkata, “Kami mengambil pertolongan menghafal hadits dengan
mengamalkannya.”
Orang yang belajar, yang jujur dalam belajarnya, ilmu yang dia pelajari akan tampak dalam
kehidupannya sebab ilmu dipelajari untuk diamalkan, diamalkan untuk membantunya menguatkan
hafalan, dan sebagai sebab yang mengantarnya kepada ilmu lain yang belum ia ketahui. Bisa dilihat
dari para ‘ulama dimana mereka mengamalkan ilmunya dan tampak dalam dakwahnya. Seiring
berjalannya waktu, semakin banyak kegiatan ilmiah yang mereka lakukan dan semakin luas pula
cabang ilmu yang mereka ajarkan.

Amalan bukti yang paling cukup untuk merekomendasikan seseorang. Dalam Al Quran, Allah Ta’ala
berfirman, “Beramalah kalian. Allah dan Rosul-NYA yang akan melihat.” Sebanyak apa pun
rekomendasi orang lain, hal itu tidak akan berguna ketika dirinya tidak menunjukkan "kebersihan"
ilmunya.
Wasiat ke-4 : Melatih Ingatan

- Bukan dengan cara-cara instan karena menghafal apalagi berkaitan dengan ilmu agama adalah
cahaya Allah.

- Kunci melatih hafalan adalah tidak terpaku pada apa yang dia tulis dan dia rekam sebab orang yang
ilmunya hanya mengandalkan rekaman atau tulisan, kemudian ada yang luput, maka dia akan
berpikir bahwa tidak masalah saya lupa karena saya telah merekamnya. Secara kejiwaan melatih
seseorang untuk malas menghafal.

- Dahulu para ‘ulama ada yang tidak mau mendengar hadits sampai dua kali sebab hal itu bisa
membuat hafalannya cengeng. Ada juga sebagian ‘ulama yang melatih muridnya dengan
mencukupkan membacakan hadist satu kali saja. Kata Imam Az-Zuhri, “Mengulangi hadits lebih berat
bagiku daripada memindahkan sebuah batu besar.”

- Melatih hafalan ada banyak metode. Secara umum, Allah memberikan ketentuan, “Jadilah kamu
seorang yang robbani, yaitu kamu mengajarkan Al Qur’an dan terus mempelajarinya.” [QS. Ali-Imron
: 79]. Robbani, yaitu mengajarkan ilmu yang kecil sebelum yang besar. Contoh : menghafal hadits 1
baris atau 1 halaman, maka yang benar diambil nash yang ringkas dahulu. Besoknya naik lagi hadits
yang sedang, terus demikian hingga akhirnya mampu menghafal teks yang panjang karena terbiasa.
Apalagi jika ditambah paham bahasa Arab.

- Syaikh Muqbil rohimahulloh sebelum memulai pelajaran, beliau biasa menunjuk murid-muridnya
mengulangi hadits yang telah dibaca kemarin. Ada sebagian murid yang awalnya merasa berat, tapi
lama-lama menjadi mudah karena terbiasa. Syaikh menunjuk murid-muridnya untuk menghafalkan
hadits lengkap matan dengan sanadnya. Ada murid yang belum menghafal, tapi karena dia sudah
terbiasa menghafal, begitu orang didekatnya diminta untuk membacakan hadits, maka cukup
dengan sekali dengar dia sudah bisa menghafal hadits tersebut.

- Orang yang beranggapan ilmu itu sulit, berarti dia sudah kalah sebelum belajar. Harusnya dia
mengganggap ilmu agama penuh keberkahan dan Allah akan memudahkan siapa pun yang hendak
memasukinya.

- Menghafal dengan panduan jam lebih cepat masuknya dan lebih konsentrasi.

- Lingkungan tempat tinggal yang dipenuhi dengan orang-orang yang menghafal berpengaruh
kepada hafalan seseorang karena dia akan malu apabila dirinya tidak bisa menghafal sedangkan
teman-teman lainnya bisa.
Wasiat ke-5 : Menulis Apa yang Dia Hafal

- Menulis berulang kali apa yang telah dihafalkan agar lebih kuat hafalannya.

- Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.”

- Ucapan indah dikalangan para ‘ulama, “Ilmu adalah hewan buruan.”

- Dahulu belum ada mesin fotocopy sehingga jika para ‘ulama ingin memilki buku, maka mereka
akan menyalinnya atau membelinya atau menyewa orang lain untuk menyalinnya. Ada pun dimasa
sekarang, seiring kemajuan zaman dan mudahnya fasilitas dalam belajar, nikmat yang begitu
berlimpah, tapi bersamaan dengan itu rasa malasnya juga berlimpah, lebih senang hal yang sia-sia,
atau senang yang ribut-ribut.

- Contoh semangatnya para ‘ulama dalam menulis disamping menghafalkan ilmu :

 Ada ‘ulama yang menulis Shohih Muslim sebanyak 7 kali ;


 Ibnu Marzuq Al-Haromi menulis Jami’ At-Tirmidzi sebanyak 6 kali ;
 Ibnu Qois menulis Bukhory-Muslim, Sunan Abu Dawud sebanyak 7 kali, dan Sunan Ibnu
Majah sebanyak 100 kali. Beliau juga pernah mengalami kencing darah 2 kali dalam
perjalanan menuntut ilmu, serta menulis buku dengan tangannya sebanyak seribu jilid ;
 Ibnu Taimiyah menulis Sunan Abu Dawud sebanyak 6 kali.

- Dahulu para ‘ulama disamping memiliki hafalan yang bagus, mereka juga tetap menulisnya. Dan
dahulu kemaksiatan belum sebanyak dimasa kini. Seharusnya kita yang memilki hafalan jauh
dibawah mereka lebih bersemangat dan lebih sadar lagi untuk menulis karena terbatasnya hafalan
kita.

- Kalau di Libya dan sekitarnya, para penghafal Al Quran ketika menghafal tidak diberikan mushaf
sebagai panduan. Caranya si penghafal diminta melihat mushaf 1 kali, lalu diberi papan untuk
menuliskannya, lalu dibacakan dihadapan gurunya berkali-kali sampai benar, kalau sudah mereka
diminta mengulang di suatu tempat berkali-kali, setelah itu mereka hapus tulisannya, dan tidak
diperkenankan melihat selama mereka masih belajar disana è metode ini tidak semua orang cocok.

- Ada yang melihat mushaf dan bagian ayat yang tidak dihafal ditutup kertas agar lebih focus.
Wasiat ke-6 : Mudzakaroh (Mengulangi Ilmu)

- "Dan berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang
beriman." [QS. Adz-Dzariyat : 55].

Mudzakaroh ada 3 cara, yaitu :

1.) Mudzakaroh dengan Diri Sendiri è Memberikan waktu khusus untuk mengulangi hafalannya dan
dia jadikan hal itu sebagai wirid khususnya dimana tidak boleh ada orang yang mengganggunya saat
itu.

2.) Mudzakaroh dengan Orang Lain è Dia mempunyai guru yang menagih hafalannya. Kalau tidak ada
bisa mencari kawan dekat atau orang lain, tapi harus terprogram. Dahulu para imam jika saling
berjumpa, maka mereka akan saling menanyakan apa yang telah kamu hafal hari ini dan mereka
saling membacakan hafalannya. Jadi, dimasa dulu mereka menghafalkan juga memahami fiqh.

3.) Mudzakaroh dengan membuat Majelis Tajdid. Ini tambahan metode dari para ‘ulama. Jadi, si
guru duduk di majelis ilmu, membacakan riwayat, lalu para murid menulis, dan diberi ijazah
periwayatan kepada siapa yang menghafalnya. Contohnya : Majelis Tajdid di Riyadh, ulama yang
memiliki sanad teringkas pada Shohih Bukhory, Shohih Muslim, dan Kutubus Sittah, yaitu Asy-Syaikh
Abdulloh ibn Abdul ‘Aziz Ibn Aqil rohimahulloh. Jadi, para murid membacakan riwayat beliau, lalu
dibetulkan beliau jika terjadi kesalahan dan setelah itu diberi ijazah periwayatan hadits

- Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, Ibnu Main mengetahui siapa yang memiliki hafalan yang baik karena
ketika guru duduk menyampaikan ilmu, murid telah menulisnya, menghafal, dan dari situ bisa
menilai guru itu hafalannya baik atau tidak.
Wasiat ke-7 : Menceritakan Apa yang Dia Hafal

- Muroja’ah adalah memperdengarkan hafalannya untuk diperiksa, tapi kalau ini dia bercerita ilmu
yang telah dia hafalkan. Misal : ketika berjumpa dengan temannya, dia berkata, “Apakah kamu
mengetahui ilmu tentang hadits ini? Aku menghafalnya (dan seterusnya).” Hal yang seperti ini baik
untuk dilakukan dikalangan penuntut ilmu.

- Syaikh Muqbil rohimahulloh ketika di jalan bertemu dengan muridnya, maka beliau sampaikan
hadits dan muridnya diminta untuk menjawab baru dibolehkan jalan. Ini cara bagus untuk
menguatkan hafalan dan bukan termasuk menyombongkan diri.

- Bertemu kawan di majelis bisa saling menyampaikan hadits, lalu menghafalnya. Berpisah sudah
memiliki hafalan baru.
Wasiat ke-8 : Pandai Mengikat Hafalannya dengan Sesuatu

- Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan ‘Ali bin Abi Tholib dalam riwayat Muslim sebuah
do’a, “Berdoalah engkau, ‘Ya Allah, berikan aku hidayah dan kelurusan (syadad) dan mintalah
bersamaan dengan petunjuk itu agar engkau ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Ketika engkau
diberi kelurusan, ingatlah lurusnya anak panah.” è Anak panah yang bengkok sedikit menjadi tidak
tepat sasaran. Disini Nabi mengajarkan untuk mengikat do’a itu dengan sesuatu agar mudah
mengingatnya.

- Dari Abu Hurairoh rodhiyAllah ‘anhu, “Suatu ketika Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam berjalan di
kota Makkah dan melewati sebuah gunung bernama Jamdan. Nabi pun berkata, “Berjalanlah! Itu
adalah gunung jamdan. Telah sampai lebih dahulu para Mufariddin.” Para Sahabat bertanya, “Wahai,
Rosululloh siapa mufariddin?”. Nabi menjawab, “Mufariddin adalah laki-laki dan wanita yang banyak
berdzikir kepada Allah.” [HR.Muslim] è Nabi ingin menerangkan bahwa orang-orang yang paling
depan adalah orang-orang yang paling banyak mengingat Allah dan untuk memudahkan para
sahabat mengingatnya, Nabi kaitkan dengan gunung Jamdan. Kalau suatu hari nanti sahabat
melewati gunung setelah Jamdan, maka mereka akan mengingat sabda Nabi ini.

- Kalau sudah terbiasa menghafalkan dengan metode tertentu, lalu dirubah, biasanya akan
mengacaukan hafalan.

- Dalam ilmu hadits, rowi yang bersendirian dalam meriwayatkan hadits, maka langsung didho’ifkan
haditsnya. Contoh : Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhuafa, Ibnu Adi dalam Al-Kamil, Al-Khotib dan Ibnu ‘Asakir
dalam tarikhnya, Musnad Al-Firdaus karya Ad-Dailamy è ustadz memberi cara menghafalkan
kelimanya dengan bait sya’ir
Wasiat ke-9 : Makanan yang Membantu Hafalan

- Contohnya : madu, kismis, luban (makanan di Tanah Harom), mencium bau harum, minum air zam-
zam, hijamah. Nabi menyebutkan susu juga bisa mewakili makan dan minum.
Wasiat ke-10 : Kepandaian dalam Mengatur Waktu

- Pengaturan waktu ini penting terutama bagi penuntut ilmu pemula sebab banyak buku yang harus
dia pelajari sehingga dia harus pandai mengatur waktunya. Contohnya : membagi Al Quran menjadi
7 bagian yang dikenal dengan metode Fami’ bi Syauqin (mulutku selalu rindu membacanya). Tiap 7
hari dia khatam membacanya.

Rinciannya :

Fa  Suroh Al-Fatihah  Hari ke-1 dari Al-Fatihah s.d Al-Maidah

Mim  Suroh Al-Maidah  Hari ke-2 dari Al-Maidah s.d Yunus

Ya  Suroh Yunus 

Ba  Suroh Al-Isro’

Sya  Suroh Asy-Syu’aro

Wa  Suroh Ash-Shoffat

Qof  Suroh Qof  Hari ke-7 dari Qof s.d An-Naas

Keterangan :

Dalam satu hari kurang lebih 4 juz. Lalu diperkirakan 1 juz mampu membaca berapa menit. Kalau
hafalannya sudah lancar, dimuroja’ah dengan ukuran jam.. Jangan dengan ukuran dalam sehari
mampu memuroja’ah berapa juz. Tapi, ddalam 1 jam saya mampu menghafal berapa juz.

- Hadits Arba’in è Kalau sudah hafal semuanya, diulang kembali misalnya sepekan sekali

- Butuh pengaturan metode menghafal supaya berhasil dan baik dalam hafalan.
Tanya Jawab

1.) Sering lupa dengan ayat Al Quran yang sudah dihafal è Sebab lupa karena tidak mengulangi
hafalannya. Harusnya dia baca dalam sholat sunnahnya. Misalnya sholat Sunnah rowatib yang
dilakukannya paling sedikit 8 roka’at. Dia bagi 1 juz menjadi 8. Jadi, muroja’ah bersama dengan
sholatnya. Kalau sudah menghafal, tapi lupa, insya Allah lebih mudah karena Al-Qur;an itu
dimudahkan bagi yang menghafalnya.

2.) Metode menghafal ayat-ayat mutasyabihat è ada buku khusus berupa mandzumah untuk metode
hafalan ayat-ayat yang mutasyabihat. Misalnya : buku karya Syaikh Abdul Muhsin, Mandzumah karya
Imam As-Shohawi. Contoh : Mesti memahami bahwa semua ayat lafazhnya ‘alimun hakim, kecuali
pada 5 tempat lafazhnya hakimun ‘alim.

[Faidah dari Al-Ustadz Dzulqornain hafizhohullohu dalam Pembahasan "10 Wasiat Menguatkan
Hafalan dan Mengobati Lupa", 2014]

Anda mungkin juga menyukai