Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

POLIP NASI

Disusun Oleh:
Anggi Fitria Kusumaningtyas (1513010007)
Ajikwa Ari Widianto (1513010049)

Dokter Pendidik Klinis:


dr. Wawan Siswadi, Sp.THT-KL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER PROGRAM


PROFESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
BAGIAN THT RSUD DOKTOR SOESELO SLAWI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Tujuan ............................................................................................... 2

1.3 Manfaat ............................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 3

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung .......................................................... 3

2.2 Sinusitis ............................................................................................. 10

2.3 Polip Nasi .......................................................................................... 14

BAB III KESIMPULAN .......... ....................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 24

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sumbatan hidung adalah salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan
pasien ke dokter pada pelayanan primer. Banyak faktor dan kondisi anatomi yang
dapat menyebabkan sumbatan hidung. Penyebab dari sumbatan hidung dapat berasal
dari struktur maupun sistemik. Yang disebabkan struktur termasuk perubahan
jaringan, trauma, dan gangguan congenital. Yang disebabkan sistemik terkait
dengan perubahan fisiologis dan patologis. Polip merupakan salah satu dari
penyebab rasa hidung tersumbat.1
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu
juga memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama
yang paling sering dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan
semakin lama semakin berat keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia
sampai anosmia. Bila menyumbat ostium sinus paranasalis mengakibatkan
terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan hidung berair.1,2
Polip nasi merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari
pembengkakan mukosa hidung atau sinus. Polip nasal adalah masa polipoidal
yang biasanya berasal dari membran mukosa dari hidung dan sinus paranasal.
Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning – kuningan atau kemerah
– merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal dari
mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang berasal
dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di
nasofaring dan disebut polip koanal.
Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan , dari usia
anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun,
harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel. Etiologi
dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini,
polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan patogenesis

1
dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk
dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan
pengelolaan yang tepat.1,2,3

1.2 TUJUAN
1. Dapat mengetahui dan memahami cara menegakkan diagnosis Polip Nasi.
2. Dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan Polip Nasi

1.3 MANFAAT
Referat ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi
penulis dan pembaca tentang diagnosis dan penatalaksanaan Polip Nasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG1,2,4

a. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian–bagiannya dari atas ke
bawah :
 Pangkal hidung (bridge)
 Dorsum nasi
 Puncak hidung
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar
dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks
(akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi.

Gambar 1. Bagian-bagian pembentuk hidung luar

Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh:
 Superior : os frontal, os nasal, os maksila
 Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
dan kartilago alaris minor

3
dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.
Bagian ini diperdarahi oleh:
 A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A>
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
 A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
 A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
 Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
 Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

b. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas – batas kavum nasi :
 Posterior : berhubungan dengan nasofaring
 Atap: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale
dan sebagian os vomer
 Lantai: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horizontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
 Medial: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari
septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars
membranosa = kolumna = kolumela.
 Lateral: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

4
Gambar 2. Septum nasi

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid
yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang-kadang konka nasalis suprema
dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale
anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus
yang terletak submukosa yang berjalan bersama-sama arteri.
Persarafan anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N.
Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh
serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina
kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

Gambar 3. Konka nasalis

5
c. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan
obat-obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

d. Sinus Paranasal5,6
Sinus paranasales adalah rongga yang terdapat dalam tulang-tulang
ethmoidalis, sphenoidalis, frontalis, dan maxillaris. Nama-nama sinus sesuai
dengan nama tulangnya. Sinus frontalis terletak diantara facies interna dan externa
ossis frontalis, posterior dari arcus superciliaris dan atap dari hidung. Dimensi
rata-rata sinus frontal orang dewasa adalah: tinggi 3,2 cm; lebar 2,6 cm;
kedalaman 1,8 cm. Masing-masing biasanya memiliki bagian depan yang
membentang ke atas di atas bagian medial alis, dan bagian orbit yang memanjang

6
kembali ke bagian medial atap orbit. Masing-masing sinus frontalis menuangkan
isinya ke dalam hiatus semilunaris dari meatus nasi medius. Sinus frontalis
mendapatkan innervasi dari nerus supra orbitalis (N. V1).4,5
Sinus ethmoidalis (cellulae) meliputi beberapa cavitas yang terletak di
lateral os ethmoidalis antara cavum nasi dan orbita. Cellulae ethomidalis anterior
menuangkan isinya ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum. Cellulae
ethmoidalis medius bermuara langsung ke meatus nasi medius. Sedangkan
cellulae ethmoidalis posterior, yang membentuk bulla ethmoidalis bermuara
langsung ke meatus nasi superior. Sinus ethmoidalis mendapatkan innervasi dari
rami ethmoidalis anterior dan posterior nervi nasociliaris (N. V1).4,

Gambar 4. Potongan Coronal Melalui Cavum Nasi (dilihat dari posterior)5

Sinus sphenoidalis, terbagi rata dan dipisahkan oleh septum tulang,


menempati corpus os sphenoidalis. Sinus ini terbentang sampai ke ala ossis
sphenoidalis pada usia lanjut. Hanya lempengan tulang tipis yang memisahkannya
dengan struktur-struktur penting yaitu: nervus opticus dan chiasma opticum,
kelenjar hipofisis, arteri carotid internus, dan sinus cavernosus. Sinus ini
mendapatkan innervasi dan vaskularisasi dari nervus dan arteri ethmoidalis
posterior.4,5
Sinus maxillaris adalah sinus paranasales yang paling besar. Cavitasnya
yang berbentuk piramid memenuhi corpus mandibula. Apex sinus maxillaris
terbentang ke lateral dan sering sampai ke ossis zygomaticus. Basis dari sinus

7
maxillaris membentuk pars inferior dari dinding lateral dari cavum nasi. Lantai
dari sinus maxillaris dibentuk oleh pars alveolaris ossis maxilla. Radix dari dentes
di ossis maxillaris, terutama molar I dan II menonjol ke dasar dari sinus
maxillaris. Masing-masing sinus maxillaris bermuara ke meatus nasi medius lewat
lubang ostium maxillaris melalui hiatus semilunaris.4,5

Gambar 5. Sinus Paranasales.7

Karena lubang muara dari sinus ini terletak di superior, maka tidak
mungkin terjadinya drainase dari sinus jika posisi kepala dalam keadaan tegak
kecuali sinus dalam kondisi penuh. Sinus maxillaris mendapatkan vaskularisasi
dari arteri alveolaris superior cabang dari arteri maxillaris, lantai dari sinus
divaskularisasi oleh arteri palatina major. Mukosa dari sinus ini mendapatkan
innervasi dari nervii alveolaris anterior, medius, dan posterior. 4

e. Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
etinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,

8
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama
seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan
cara:
 Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
 Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37oC.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

9
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.2 SINUSITIS
a. Definisi Sinusitis
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal atau radang pada sinus
paranasal. Bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai seluruhnya disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah
sinus maksila, kemudian sinus ethmoid, sinus frontal, dan sinus sphenoid. Hal ini
disebabkan karena sinus maksila adalah sinus yang terbesar, letak ostiumnya lebih
tinggi dari dasar, dasarnya adalah dasar akar gigi sehingga dapat berasal dari
infeksi gigi, dan ostiumnya terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris
yang sempit sehingga sering tersumbat.2

b. Klasifikasi Sinusitis
1. Berdasarkan perjalanan penyakitnya (menurut Adams)
a. Sinusitis akut
Bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu
b. Sinusitis subakut

10
Bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan
c. Sinusitis kronik
Bila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun (menurut
Cauwenberge, bila sudah lebih dari 3 bulan)
2. Berdasarkan tipe inflamasinya7
a. Sinusitis Infeksi
Disebabkan oleh infeksi virus yang tidak rumit. Pertumbuhan bakteri
penyebab infeksi sinus dan infeksi sinus jamur sangat jarang terjadi.
Bentuk sinus subakut sinus kronik biasanya merupakan hasil dari
pengobatan yang tidak adekuat dari infeksi sinus akut.
b. Sinusitis Noninfeksi
Disebabkan oleh iritasi dan kondisi alergi dan mengikuti garis waktu
yang sama untuk sinusitis akut, subakut dan kronik seperti sinusitis
infeksi.
3. Berdasarkan penyebabnya2
a. Sinusitis Dentogen
Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi
jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus
maksila, atau melalui pembuluh darah dan limfe.
b. Sinusitis Jamur
Infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak jarang
ditemukan. Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus
paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida.
4. Berdasarkan tempatnya8
a. Sinusitis Maksila
Menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit
kepala.
b. Sinusitis Ethmoid
Menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di
dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila
pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung
tersumbat.

11
c. Sinusitis Frontal
Menyebabkan sakit kepala di dahi
d. Sinusitis Sphenoid
Menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa
dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau
kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.

c. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearence) di dalam KOM. Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernapasan.
Organ-organ yang membentuk KOM (Kompleks Ostio Meatal) letaknya
berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak (diskenia) dan ostium tersumbat. Akibatnya
terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan
biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Gambar 6. Muara dari sinus paranasal5

12
Stagnasi mukosa pada sinus membentuk media yang kaya untuk
pertumbuhan berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering merupakan infeksi
virus yang umumnya berlangsung hingga 10 hari dan itu benar-benar sembuh
dalam 99% kasus. Namun, sejumlah kecil pasien dapat berkembang menjadi
infeksi bakteri akut sekunder yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik
(yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis). Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan hanya melibatkan satu jenis
bakteri aerobik. Dengan adanya infeksi yang persistensi, flora campuran dari
organisme dan kadang kala jamur berkontribusi terhadap patogenesis
rhinosinusitis kronis. Sebagian besar kasus sinusitis kronis disebabkan oleh
sinusitis akut yang tidak diobati atau tidak merespons pengobatan.9
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Lalu sekret menjadi
purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan
terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predesposisi),
inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa
makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai
akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembengkakan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan
operasi.1,2

Polusi bahan kimia

Silia
Alergi dan
Gangguan Perubahan defiseinsi
Obstruksi
drainase mukosa imunologik
mekanik

Infeksi kronik

Pengobatan infeksi
akut yang tidak
sempurna

13
2.3 POLIP NASI

a. Definisi Polip Nasi


Polip nasi adalah suatu pseudotumor bersifat edematosa yang merupakan
penonjolan keluar dari mukosa hidung atau sinus paranasalis, massa lunak,
bertangkai, bulat, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga
hidung2
Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke rongga
hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di dinding lateral
cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel eithmoidalis.
Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari ostium sinus
dan meluas ke belakang di daerah koana posterior (polip antrokoanal).10

b. Etiologi
Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih banyak
menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan
patogenesisnya. Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal : umur,
alergi, infeksi dan inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga dicurigai
sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi. Penyebab
lainnya diduga karena adanya intoleransi aspirin, perubahan polisakarida dan
ketidakseimbangan vasomotor.11

c. Faktor Predisposisi12
1. Alergi
Ada reaksi imun terhadap alergen tertentu (debu, serbuk sari, bulu
binatang peliharaan), makanan (seafood, kacang, produk susu). Reaksi
normal tubuh terhadap iritasi adalah untuk menghasilkan banyak lendir
untuk flush alergen keluar. Hal ini menyebabkan radang pada membran
lendir. Hay fever, rinitis alergi atau alergi musiman semua reaksi alergi
yang disebabkan oleh pohon yang berbeda dan serbuk sari tanaman.
Serbuk sari yang menyebabkan iritasi selaput lendir lalu membengkak dan
terasa gatal.
2. Kondisi keturunan

14
Cystic fibrosis menyebabkan kelenjar tertentu dalam membran lendir
untuk memproduksi lendir lengket dan banyak yang mengakibatkan
peradangan berkepanjangan membran tersebut.
3. Infeksi Sinus Kronis
Infeksi peradangan dalam waktu yang lama pada lapisan selaput lendir
ditemukan di rongga sinus dan bagian hidung.
4. Deviasi Septum
Sebuah deviasi septum terjadi ketika septum (tulang rawan yang
memisahkan kiri dan kanan lubang hidung) bengkok atau rusak. Hal ini
dapat disebabkan oleh trauma hidung (kontak olahraga atau kecelakaan)
atau mungkin karena cacat lahir (septum ini berkembang tidak semestinya,
ini dikenal sebagai kelainan pertumbuhan tulang rawan).

d. Patogenesis
Epitel mukosa hidung secara terus menerus terekspos lingkungan luar
melalui udara yang diinspirasi yang berpotensial menyebabkan kerusakan epitel
dan infeksi. Polip nasi terjadi karena adanya peradangan kronis pada membran
mukosa hidung dan sinus yang disebabkan oleh kerusakan epitel akibat paparan
iritan, virus atau bakteri.
Banyak faktor yang berperan dalam pembentukan polip nasi. Kerusakan
epitel terlibat dalam patogenesis polip. Sel epitel dapat mengalami aktivasi dalam
respon terhadap alergen, polutan maupun agen infeksius. Sel akan mengeluarkan
berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan pemulihannya, antara
lain neuropeptide-degrading enzym, endothelin, nitric oxide, asam arakidonat,
sitokin inflamasi yang mempengaruhi sel inflamasi. Faktor-faktor tersebut akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, adhesi leukosit, sekresi
mukus, stimulasi fibroblas dan kolagen.13
Beberapa faktor inflamasi telah dapat diisolasi dan dibuktikan dihasilkan
pada polip nasi. Faktor-faktor tersebut meliputi endothelial vascular cell
adhesion molecule (VCAM)-1, nitric oxide synthese, granulocyte-macrophage
colony–stimulating factor (GM-CSF), eosinophil survival enhancing activity
(ESEA), cys-leukotrienes (Cys-LT) dan sitokin lainnya.14

15
Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif yang kemungkinan
berperan juga dalam terjadinya polip. Radikal bebas dapat menyebabkan
kerusakan selular yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan
jaringan.Tubuh menghasilkan endogenous oxidants sebagai respon dari bocornya
elektron dari rantai transport elektron, sel fagosit dan sistem endogenous enzyme
(MAO, P450, dsb)
Epitel polip nasi terdapat hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus
yang kemungkinan besar berperan dalam menimbulkan obstruksi nasal dan
rinorrhea. Sintesis mukus dan hiperplasia sel globet diduga terjadi karena peranan
epidermal growth factors (EGF).14
Adanya proses peradangan kronis menyebabkan hiperplasia membran
mukosa rongga hidung, adanya cairan serous di celah-celah jaringan, tertimbun
dan menimbulkan edema, kemudian karena pengaruh gaya gravitasi. Akumulasi
cairan edema ini menyebabkan prolaps mukosa. Keadaan ini menyebabkan
terbentuknya tangkai polip, kemudian terdorong ke dalam rongga hidung oleh
gaya berat.4,15
Struktur stroma polip nasi dapat mempunyai vasodilatasi pembuluh darah
sedikit atau banyak, variasi kepadatan tipe sel yang berbeda, seperti eosinofil,
neutrofil, sel mast, plasma sel dan lain-lain. Eksudasi plasma mikrovaskular
berperan dalam perkembangan kronik edem pada polip nasi.
Gambaran histopatologi dari polip nasi bervariasi dari jaringan yang edem
dengan sedikit kelenjar sampai peningkatan kelenjar. Eosinofil dapat muncul,
menandakan komponen alergi. Hal ini menunjukkan adanya proses dinamis yang
nyata pada polip nasal yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti aliran udara,
faktor lain yang dapat mempengarui epitel polip dan proses regenerasinya,
perbedaan epitel dan ketebalannya, ukuran polip, infeksi dan alergi.
Beberapa buku menyebutkan alergi sebagai penyebab utama polip nasi. Hal
ini dibuktikan dengan adanya penimbunan eosinofil dalam jumlah besar dari
jaringan polip atau dalam sekret hidung. Polip hidung yang disebabkan oleh alergi
seringkali dialami penderita asma dan rinitis alergi.4

16
Infeksi virus dan bakteri juga dikatakan sebagai salah satu penyebab dari
polip nasi. Pada polip nasi yang disebabkan oleh infeksi ditemukan infiltrasi sel-
sel neutrofil, sedangkan sel eosinofil tidak ditemukan.
Menurut Ogawa dari hasil penelitiannya pada penderita polip hidung
disertai deviasi septum, polip lebih sering didapatkan pada rongga hidung dengan
septum yang cekung. Deviasi septum hidung akan menyebabkan aliran udara pada
bagian rongga hidung dengan septum yang cekung, akan lebih cepat dari bagian
cembung di rongga hidung sisi lain. Percepatan ini terjadi pada rongga hidung
bagian atas dan menimbulkan tekanan negatif. Tekanan negatif ini merupakan
rangsangan bagi mukosa hidung sehingga meradang dan terjadi edema.16
Pada intoleransi aspirin, terjadinya polip nasi disebabkan karena inhibisi
cyclooxygenase enzyme. Inhibisi tersebut menyebabkan pelepasan mediator
radang, yaitu cysteinyl leucotrienes.17

e. Gejala dan Tanda


Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan
cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama.dimana
dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang
tidak sembuh-sembuh, sengau, sakit kepala. Pada sumbatan yang hebat
didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok.10
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak,
bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian
vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada pemeriksaan rhinoskopi
posterior bila ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-abuan
mengkilat yang terlihat mengggantung di nasofaring.3

Gambar 7. Polip Nasi

17
f. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, lateral, Caldwell dan AP) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi sebenarnya kurang bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat
memberikan kesan positif palsu atau negative palsu dan tidak dapat memberikan
informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah
kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi computer sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada
proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal.
Pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika
ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama
bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan koronal,
sedangkan polip yang rekuren juga diperlukan potongan aksial. Pemeriksaan
Endoskopi nasal dan sinus untuk memastikan adanya polip nasal maupun sinus
serta untuk menentukan letak polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan
pemeriksaan CT-scan, tes alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi.
Gambar dibawah ini merupakan polip nasi yang tampak dengan endoskopi :

Gambar 8. Endoskopi Polip Nasi

18
Gambar 9. CT-Scan Polip Nasi
g. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari polip nasi adalah :
1. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan asal
tumor ini mempunyai tempat perlekatan spesifik di dinding posterolateral
atap rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh adanya keluhan sumbatan
pada hidung dan epistaksis berulang yang masif. Terjadi obstruksi hidung
sehingga timbul rhinorhea kronis yang diikuti gangguan penciuman.
Oklusi pada tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika
ada keluhan sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi posterior terlihat adanya
massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu
sampai merah muda, diliputi oleh selaput lendir keunguan. Mukosa
mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulcerasi. Pada
pemeriksaan penunjang radiologik konvensional akan terlihat gambaran

19
klasik disebut sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus
Pterigoideus ke belakang.
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak perluasan
tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Pemeriksaan arteriografi arteri
karotis interna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor. Pemeriksaan PA
tidak dilakukan karena merupakan kontra indikasi karena bisa terjadi
perdarahan. Angiofibroma Nasofaring Juvenil banyak terjadi pada anak
atau remaja laki-laki.4
2. Keganasan pada hidung
Etiologi belum diketahui, diduga karena adanya zat-zat kimia seperti
nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, dan lain-lain. Paling sering
terjadi pada laki-laki. Gejala klinis berupa obstruksi hidung, rhinorhea,
epistaksis, diplopia, proptosis, gangguan visus, penonjolan pada palatum,
nyeri pada pipi, sakit kepala hebat dan dapat disertai likuorhea.
Pemeriksaan CT scan memperlihatkan adanya pendesakan dari massa
tumor . Pemeriksaan PA didapatkan 85% tumor termasuk sel squamous
berkeratin.4
3. Konka Polipoid
Polip di diagnose bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri –
cirinya sebagai berikut :
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).

h. Tatalaksana
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Pengelolaan polip nasi seharusnya berdasarkan faktor penyebabnya, tetapi
sayangnya penyebab polip nasi belum diketahui secara pasti. Karena penyebab
yang mendasari terjadinya polip nasi adalah reaksi alergi, pengelolaanya adalah

20
mengatasi reaksi alergi yang terjadi. Polip yang masih kecil dapat diobati dengan
konservatif.

1. Terapi Konservatif14

a. Kortikosteroid sistemik
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip
nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid
sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun,
terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi.
b. Kortikosteroid spray
Dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif unutk polip
yang masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan
ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk
mencegah kekambuhan
c. Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase
yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator
inflamasi.
2. Terapi operatif
Terapi operasi dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip
yang sangat besar, sehingga tidak dapat diobati dengan terpi konservatif.
Tindakan operasi yang dapat dilakukan meliputi:15,18
a. Polipektomi intranasal
b. Antrostomi intranasal
c. Ethmoidektomi intranasal
d. Ethmoidektomi ekstranasal
e. Caldwell-Luc (CWL)
f. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

i. Komplikasi
Komplikasi yang terbanyak meliputi :
1. SSP – Kerusakan LCS , meningitis, perdarahan intrakranial, abses otak,
hernisasi otak

21
2. Mata - Kebutaan, trauma nervus opticus, orbital hematoma, trauma otot-
otot mata bisa menyebabkan diplopia, trauma yang mengenai duktus
lakrimalis dapat menyebabkan epiphora
3. Pembuluh darah – trauma pada pembuluh darah dapat menyebabkan
perdarahan.
4. Kematian

j. Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga
perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal
pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan
eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid
atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan
hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.19

22
BAB III
KESIMPULAN

1. Polip nasi adalah suatu pseudotumor yang merupakan penonjolan dari


mukosa hidung atau sinus paranasalis yang terdorong karena adanya gaya
berat.
2. Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Diduga karena adanya
reaksi alergi, infeksi, deviasi septum hidung, intoleransi aspirin, perubahan
polisakarida, dan ketidakseimbangan vasomotor.
3. Diagnosis polip nasi berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
4. Pengelolaan penderita polip nasi dengan cara operatif (polipektomi) atau
dengan non operatif (kortikosteroid).
5. Diagnosis dan penanganan yang tepat sangat diperlukan agar penderita
tidak jatuh ke dalam penyulit yang lebih berat.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta. 2000
2. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta.
2000
3. Van Der Baan. Epidemiology and natural history dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen: Munksgaard, 1997. 13-15
4. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia. 1989
5. Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. Essential Clinically
Oriented Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2015.
6. Susan S, Neil RB, Patricia C, et al. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of
Clinical Practice. Churchill Livingstone: Elsevier. 2008. P549- 559.
7. Davis CC. Medicinenet. Sinusitis Infections. In : Shiel WC. Available at :
http://www.medicinenet.com/sinusitis/article.htm . Accesed at April 15, 2010
8. Medicastore. Sinusitis. Available at :
http://medicastore.com/penyakit/55/Sinusitis.html . Accesed at April 15, 2010
9. Brook, I. Chronic Sinusitis. 2017. Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/232791-overview . Apr 21. 2017.
Accessed Jan. 16, 2018.
10. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis.
Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21
11. Drake Lee AB. Nasal polyps. In : Scott Brown`s Otolaryngology, Rrhinology.
5th ed. Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR edts). Butterworths. London. 1987 :
142-53.
12. Nasal Polyps. Available at : http://nasalpolypwars.com/NasalPolyps.asp .
Accesed at April 15, 2010
13. Calderon, Devalia, Davies. Biology of Nasal Epithelium dalam Nasal
Polyposis. Copenhagen:Munksgaard,1997. 31-41

24
14. Archer. Nasal Polyps, Non surgical Treatment. http:// emedicine.com
15. Tardy ME Jr, Kasterbauer ER. Operation on the Maxillary antrum. In : Head
and neck Surgery vol 1. face, nose and facial skull part two. Stuttgard- New
York : George Thiem Verlag, 1995 : 465-9
16. Nizar NW, Mangunkusumo E. Polip hidung. Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 4. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2000: 97-
99.
17. szczeklik. Intolerence to aspirin and other non-steroidal anti-inflammatory
drugs in airway disease dalam Nasal Polyposis. Copenhagen: Munksgaard,
1997. 105-106
18. Montgomery William. Surgery of the Ethmoid and Sphenoid sinuses in
Surgery of the Upper Respiratory System vol 1. Philadelphia : Lea &
febiger,1971 : 41-52
19. Mangunkusumo,Endang dan Retno S. Wardani. 2007. Polip Hidung. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher edisi VI.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal. 123-5.

25

Anda mungkin juga menyukai