Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2019


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

UNDESCENDED TESTIS

Disusun oleh :
MUSDALIFAH EKA PRATIWI
111 2017 2019

Dosen Pembimbing:
dr. A. Irwansyah Achmad, Sp.B

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Bedah
Universitas Muslim Indonesia
Makassar
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena kita masih

diberi limpahan rahmat dan hidayah sehingga bisa menyelesaikan laporan kasus

ini. Dan tak lupa shalawat dan taslim tertuju kepada Nabi Muhammad SAW., suri

tauladan umat di seluruh dunia.

Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang

terlibat secara langsung maupun tidak langsung pada pembuatan laporan kasus ini.

Tanpa bantuan dari semuanya, saya tidak akan dapat menyelesaikan laporan kasus

ini.

Saya pun memohon maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan dan

kekurangan yang ada pada laporan kasus ini. Saya menyadari bahwa laporan ini

masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun

tetap saya nantikan untuk menghasilkan laporan kasus yang lebih baik. Harapan

saya, semoga laporan kasus ini dapat berguna/bermanfaat bagi banyak orang

Demikian yang ingin saya sampaikan.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Maros, Juli 2019

Musdalifah Eka Pratiwi, S.Ked


LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda-tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Musdalifah Eka Pratiwi

Stambuk : 111 2017 2019

Judul Laporan kasus : Undescended Testis

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

Telah menyelesaikan tugas Laporan kasus dalam rangka Kepaniteraan Klinik pada

Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Maros, Juli 2019

Pembimbing,

dr. A. Irwansyah Achmad, Sp.B


BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


No. RM : 146584
Nama : An. AR
Tanggal lahir : 18 Januari 2001
Umur : 18 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Dusun Bonto Sunggu, Bantimurung

1.2. Anamnesis
Keluhan utama :
Nyeri perut kanan bawah + buah zakar kanan tidak teraba
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan bawah dialami
sejak 1 hari lalu sebelum MRS. Nyeri dirasakan hilang timbul, muncul
terutama saat beraktifitas. Pasien juga mengatakan perut bagian kanan bawah
teraba keras. Mual (+), muntah (+) frekuensi 2 kali dialami SMRS. Saat ini
muntah (-). Pasien juga mengeluhkan hanya teraba 1 buah zakar yakni pada
bagian kiri, sedangkan buah zakar bagian kanan tidak teraba sejak lahir. Buah
zakar kanan tidak pernah teraba hingga saat ini. Pasien lahir normal dengan
BB 3000 gram cukup bulan. Demam (-). Riwayat demam sebelumnya (+).
BAB : Biasa, lancar. BAK : Kuning, Lancar. Nyeri saat berkemih (-).
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat operasi pada pasien disangkal, riwayat alergi disangkal.
Riwayat pengobatan:
Riwayat berobat disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat penyakit yang serupa di keluarga tidak ada.
1.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5oC
Antropometri
Berat badan : 52 Kg
Tinggi badan : 160 cm
Status generalis
 Kepala : Normocephal, deformitas (-)
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
, reflex cahaya (+/+)
 Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-)
 Mulut : Mukosa oral basah, lidah kotor (-), tremor (-), faring
hiperemis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
 Pemeriksaan Thorax
 Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vokal Fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II murni reguler, murmur (-),
gallop (-)
 Pemeriksaan Abdomen
 Datar (+) , teraba massa pada regio inguinalis dextra, nyeri tekan
abdomen (+) regio inguinal dextra, tympani (+), bising usus (+)
dalam batas normal
 Ekstremitas
 Edema (-/-), turgor kulit baik, akral hangat, sianosis (-),CRT < 2
detik
 Status lokalis
Regio Genitalia eksterna:
Penis : OUE di tip glans penis, dalam batas normal
Skrotum : - Teraba 1 buah testis sebelah kiri (+)
- Tidak teraba testis kanan pada posisi berdiri dan frog leg

1.4. Pemeriksaan Penunjang


Parameter Hasil Nilai rujukan Satuan

Hb 13,8 13,2-17,3 g/dL

Hct 42,1 33-45 %

Leukosit 10,1 5.0-10.0 ribu/uL

Trombosit 137 150-440 ribu/uL

Eritrosit 5,16 4.40-5.90 juta/uL

URINALISA
Urobilinogen 0.2 <1
Albumin Negatif Negatif
Berat jenis 1.015 1.005 – 1.03
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
pH 6.5 4.8 – 7.4
Leukosit Negatif Negatif
Hb Negatif Negatif
Glukosa urin Negatif Negatif
Warna Kuning Kuning
kejernihan Jernih Jernih

Pemeriksaan Hasil Keterangan


USG Hepar: ukuran dan
Tanggal 05 echo parenkim dalam

Maret 2019 batas normal, tidak


tampak echo
massa/cyst
GB: ukuran dan echo
parenkim dalam
batas normal, tidak
tampak echo
massa/batu
Lien: ukuran dan
echo parenkim dalam
batas normal.
Ginjal kanan dan
kiri: ukuran dan
echo cortex dalam
batas normal
Tampak lesi
pseudokidney pada
hipokondrium
kanan ukuran
diameter 3,23 cm
Kesan:
meteorismus +
massa
hipokokndrium
kanan suspek
undescensus testis.

Foto hasil USG

1.5 Diagnosis Kerja


Undescended Testis Dextra

1.6 Diagnosis Banding


 Anorkismus
 Ektopik testis

1.7 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Paracetamol 1 vial/12 jam/iv
- Inj. Ranitidin 1 amp/12j/iv
- Inj. Cefuroxime 750mg/12j/iv
- Rencana Tindakan operatif (ochiopexy)
1.8 Resume
Pasien laki-laki, 18 tahun datang dengan keluhan nyeri pada perut
kanan bawah dialami sejak 1 hari lalu sebelum MRS. Nyeri dirasakan
hilang timbul, muncul terutama saat beraktifitas. Perut bagian kanan
bawah teraba keras (+) . Mual (+), muntah (+) frekuensi 2 kali dialami
SMRS. Pasien juga mengeluhkan hanya teraba 1 buah zakar yakni pada
bagian kiri, sedangkan buah zakar bagian kanan tidak teraba sejak lahir.
Pasien lahir normal dengan BB 3000 gram cukup bulan. Riwayat demam
sebelumnya (+).
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan abdomen teraba massa pada regio inguinalis dextra disertai
nyeri tekan (+). Status lokalis regio genitalia eksterna, pada skrotum teraba
1 buah testis sebelah kiri (+) dan tidak teraba testis kanan pada posisi
berdiri dan frog leg. Adapun pemeriksaan penunjang darah rutin dan
urinalisa dalam batas normal. Pada pemeriksaan USG abdomen tampak
lesi pseudokidney pada hipokondrium kanan ukuran diameter 3,23 cm.
Kesan: meteorismus + massa hipokokndrium kanan suspek undescensus
testis.
Adapun tindakan/pengobatan yang dilakukan adalah pemberian
antinyeri berupa Paracetamol 1gr/12 jam/iv, pemberian Ranitidin 1
amp/12j/iv dan antibiotic profilaksis Cefuroxime 750mg/12j/iv serta
rencana tindakan pembedahan (orchiopexy).

1.9 Prognosis
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam
Qua ad functionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Undescended testis (UDT) atau biasa disebut kriptorkismus adalah suatu
keadaan dimana setelah usia 1 tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam
kantung skrotum, tetapi masih berada di salah satu tempat sepanjang jalur
desensus normal.1,2,3.

Gambar 1. Diagram Undescended Testis1

Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi


dan orchis yang dalam bahasa latin disebut testis. Harus dijelaskan lagi apakah
yang dimaksud sebagai kriptorkismus murni, testis ektopik ataupun pseudo
kriptorkismus. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal disebut
sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi
dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila dilepaskan
dinamakan pseudokriptorkismus atau testis retraktil.4,5,6

2.2 Epidemiologi
UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki-
laki. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan.
Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan
dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur
menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama
dengan populasi dewasa.5,6,11
Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan sisanya UDT bilateral.
Dengan bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar 70-
77% biasanya pada usia 3 bulan, sehingga pada saat usia 1 tahun angka kejadian
UDT turun menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3,7%. Setelah usia 1 tahun, testis
yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami desensus testis secara
spontan.1,2,5,6

2.3 Embriologi5,7,8,
Pada minggu keenam umur kehamilan primordial germ cells mengalami
migrasi dari yolk sac kegenital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex deter mining
region Y) , maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yang
berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous
dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai
aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müller
ian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus
mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig .
Pada minggu ke-10 dan 11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin
yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi
testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi
epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis.
Faktor yang mempengaruhi penurunan testis adalah :
1)
Anti Mullerian Hormon
2)
Tekanan intraabdomen
3)
Faktor Hormon Androgen

Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10.Walaupun


mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa
terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik
(anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10
kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan
fase inguinoscrotal . Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang
berbeda.1,9,10,11
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan,
dimana testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal
ini terjadi karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah
pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculums (ligament
yang melekatkan bagian inferior testis ke segmen bawah skrotum) di bawah
pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari region abdominopelvic
maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3
kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke
arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7
kehamilan.1,2,10,11

Gambar 2. Skema penurunan testis menurut Hutson2,

Keterangan gambar : Antara minggu ke- 8±15 gubernaculum (G)


berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum
suspensorium cranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke
skrotum terjadi pada minggu ke- 28.

Gambar.3 Penurunan testis. 1. Posisi embrional. 2. Fase trans abdominal (minggu


ke-8-15) anchoring. 3. Fase inguinoskrotalis (minggu ke-25-35) migration. 4.
Elongasi cord (0-10thn)

Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai
dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari region
inguinal ke dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya
belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran
calcitonin generelated peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus
genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis
dari gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah
tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari
cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan
terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju
skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-
12 bulan.5,10,11
2.3 Etiologi
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor
(multifaktorial) yaitu
o Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus
spermatikus atau gubernaculum.
o Peningkatan tekanan abdomen.
o Faktor hormonal: testosteron, MIS, dan extrinsic estrogen.
o Perkembangan epididymis.
o Perlekatan gubernakular.
o Genito femoral nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP).
o Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan jaringan
ikat.5,6,7

UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada


o Gubernaculumtestis.
o Kelainan intrinsik testis.
o Defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus
testis.

Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kelompok bayi baru lahir yang


beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat alami dan faktor-faktor yang
mempengaruhi desensus setelah lahir. Penelitian ini menemukan bahwa UDT
secara signifikan lebih banyak ditemukan pada bayi prematur, kecil untuk masa
kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah, dan kembar.5,6
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated
anomaly), ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex,dan
kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti
hipospadia kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar
12 ± 25 %).5,9. Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang
isolated , di samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT.Sekitar
4,0 % anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2±9,8% mempunyai
saudara laki-laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kaliterjadi UDT pada
laki-laki yang mempunyai anggota keluarga UDT disbanding dengan populasi
umum.5,6,10

2.4 Klasifikasi
UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:
1. UDT sesungguhnya ( true undescended : testis mengalami penurunan
parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi
teraba (palpable) dan tidak teraba ( impalpable)
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis
inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.

Klasifikasi berdasarkan etio patogenesis :


1. Mekanis / anatomik (perleketan-perleketan, kelainan kanalis inguinalis
dll)
2. Endokrin / hormonal ( kelainan axis hipotalamus-hipofisis-testis)
3. Disgenetik (kelainan interseks multiple)
4. Herediter/ genetik

Klasifikasi berdasarkan lokasi :


1. Skrotal tinggi (supraskrotal) : 40 %
2. Intrakanalikuler ( inguinal ) : 20 %
3. Intraabdominal (abdominal) : 10%
4. Terobstruksi : 30 %
Gambar 4. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopiktestis.

2.5 Patofisiologi
Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-20C lebih tinggi daripada
suhu di dalam skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang
lebih tinggi daripada testis normal, hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel
germinal testis.1,5,6
Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah
mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal
yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis
menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormone androgen
tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat lain
yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada diskrotum adalah mudah
terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebihmudah mengalami degenerasi
maligna.5,8
2.6 Gejala Klinis
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak
menjumpai testis dikantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena
infertilitas yaitu belum mempunyai anak setelah kawin beberapa tahun. Kadang-
kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang disebabkan testis
maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau berubah menjadi tumor
testis.4
Inspeksi pada region skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak
pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung skrotum,
melainkan berada diinguinal atau di tempat lain. Pada saat melakukan palpasi,
untuk mencari keberadaan testis, jaritangan pemeriksa harus dalam keadaaan
hangat.4
Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan dengan
anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal antara lain hormone testosterone, kemudian dilakukan uji
dengan pemberian hormon hCG. Cara pemeriksaannya adalah sebagai berikut. 4
 Periksa kadar testosteron awal Injeksi hCG 2000U/hari selama 4 hari
 Apabila pada hari ke V: Kadar meningkat 10 kali lebih tinggi daripada
kadar semula, dapat disimpulkan bahwa testis memang ada.4

2.7 Penegakan Diagnosis1,5,10


Anamnesis
a. Tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum
b. Riwayat operasi daerah inguinal
c. Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi,
kehamilan kembar, prematuritas
d. Riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas, intersex, pubertas
prekoks
Pemeriksaan Fisik5,6,13,14
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat.
Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda
sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigu.
Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien harus dalam keadaan relaksasi dan
posisi seperti frog-leg atau crosslegged. Pada pasien yang terlalu gemuk, dapat
dilakukan dalam posisi sitting cross-legged atau baseball catcher’s. Tangan
pemeriksa harus dalam keadaan hangat untuk menghindari tertariknya testis ke
atas.
UDT dapat diklasifikasi berdasarkan lokasinya menjadi:
1. Skrotum atas
2. Intrakanalikuler (Inguinal)
3. IntraAbdomen
Untuk kepentingan klinis dan penatalaksanaan terapi, klasifikasi cukup
dibedakan menjadi teraba atau tidak.Pemeriksaan testis kontralateral juga perlu
dilakukan. Pemeriksaan fisik dimulai dari antero-superior iliacspine, meraba
daerah inguinal dari lateral ke medial dengan tangan yang tidak dominan. Jika
teraba testis, testis dipegang dengan tangan dominan dan ditarik ke arah skrorum.
Pemeriksaan skrotum untuk: hypoplastic, bifid, rugae,transposition, pigmentation.
Pemeriksaan fisik juga untuk menyingkirkan ektopik testis.
Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti
supraskrotal (20%), dan intraabdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang
baik dapat menentukan lokasi UDT tersebut.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis
dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis
kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17 hydroxy progesterone)
untuk menyingkirkan kemungkinan intersex.5,6,10
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT
bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH,dan
testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atautidak.
Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus
dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG ( human chorionic
gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosterone disertai
peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.5,6,10
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi.Respon
testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita.Pada bayi,
respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x.Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masapubertas,
dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatansetelah stimulasi
hCG hanya sekitar 2-3x.5,6,10

2. Pemeriksaan Radiologi
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama didaerah
inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengantangan.3
Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak terabatestis, USG
hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat
mendeteksi testis intraabdomen.5,11
Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang
digunakan.1,6,9 CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi
dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba
testis). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-
anak yang lebih besar (belasan tahun).7,8,9 MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan
risiko keganasan testis.9
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin
berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis
ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus
pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada
anorchia).5 Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang
lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad.5,10,13

3. Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak
teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup
aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang
lebihbesar dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis
diinguinal.5,9 Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah:
kondisi cincin inguinalis interna, processus vaginalis ( patent atau non-patent),
testis dan vaskularisasinya serta struktur wolfiannya.9 Tiga hal yang sering
dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang
mengindikasikan anorchia(44%), testis intraabdomen(36%), dan struktur cord
(vasa dan vasdeferens) yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna.5,10

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding meliputi testis letak ektopik dan seringkali dijumpai
testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba berada di daerah inguinal
dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan ini terjadi karena
reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau setelah
melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau kriptorkismus
fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu UDT perlu dibedakan
dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini bisa terjadi secara
congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang mengalami atrofi akibat
torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.2,5,6

2.9 Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah
memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan
reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal
ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy). Penatalaksanaan yang terlambat
pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di kemudian hari. Dengan asumsi
bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun,
sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna,
maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun. Pada
prinsipnya testis yang tidak berada diskrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik
dengan cara medikamentosa maupun pembedahan.6,10
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan
risikotumor sel germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia
5-7tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko
kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis.
Padaawal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus
intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel
geminal mencapai 41% dan 20%.5,6

Gambar 5. Penatalaksanaan kriptorkismus yang didapat.

Gambar 6. Penatalaksanaan kriptorkismus

Terapi Hormonal
Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG,gonadotropin releasing hormone (GnRH) atau LH-releasing
hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosterone dengan
menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapiini
berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan
androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibandingkan
GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan
terapi hormonal.5,6,9
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250IU/
kali pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anaklebih
dari 6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka
keberhasilannya 6 ± 55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif pada
beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau UDT
bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambut
pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat
menginduksi fusie piphyseal plate dan mengurangi pertumbuhan somatik.5,10.
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil
terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya
masih belum memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormone hCG
yang disemprotkan intranasal.9

Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus
UDT adalah orchidopexy . Keputusan untuk melakukan orchidopexy harus
mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis
anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda.. Tujuan operasi pada kriptorkismus
adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi
maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4) melakukan
koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri
karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu
meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantung sub
dartos.7
Prinsip dasar orchidopexy adalah :5,7
1. Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah
2. Ligasi kantong hernia
3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum
Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch skrotum.
Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2 tahun, bahkan
beberapa penelitian menyarankan padausia 6 – 12 bulan. Penelitian melaporkan
spermatogonia akan menurun setelah usia 2 tahun.
Indikasi absolut dilakukan operasi pembedahan primer adalah5,7
1. Kegagalan terapi hormonal
2. Testis ektopik
3. Terdapat kelainan lain seperti hernia dengan atau tanpaprosesus
vaginalis yang terbuka

Gambar 6. Orchidopexy
Keterangan gambar:
Orchidopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu
insisi dibuat pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat
padaskrotum (A). Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan
dari insisi abdomen menempel pada spermatic cord (C). Testis kemudian
dimasukkan turun ke dalam skrotum (D) dan dijahit (E).

Komplikasi Orchiopexy
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan
Orchiopexy antara lain:5,10
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang
tidakkomplit (10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5% kasus)
3. Trauma pada vas deferens ( 1±2% kasus)
4. Pasca-operasi torsio
5. Epididimoorkhitis
6. Pembengkakan skrotum

2.10 Komplikasi
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada
UDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis. Di
sampingitu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis.5,10
a. Risiko Keganasan
Terdapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi
lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko
menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.5,10,11
b. Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat
dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan
populasi normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih
besar dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral
dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral
berisiko hanya 2x lebih besar. 5,10,11
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada
UDT. Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya
penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan
dengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang
dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda
bermakna dengan testis yang normal. 5,10,11
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur
1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko
keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih
lanjut. 5,10,11

2.11 Prognosis 13,15


Prediksi mengenai fertilitas dan keganasan masih dalam kontroversi,
dikarenakan oleh perkembangan yang pesat dalam pemahaman dan penanganan
UDT dalam 25 tahun terakhir. Infertilitas mungkin terjadi pada 1 dari 4 laki-laki
dewasa dengan riwayat unilateral UDT dan pada 3 dari 4 laki-laki dewasa dengan
riwayat bilateral UDT. Resiko terjadinya keganasan meningkat sebanyak 5-10 kali
lebih tinggi pada laki-laki dengan riwayat unilateral UDT. Tidak diketahui apakah
prognosis akan membaik jika orchidopexy dilakukan saat anak berusia jauh lebih
muda daripada saat anak berusia lebih lanjut. Namun, suatu meta analisis
menunjukkan bahwa orchidopexy yang dilakukan saat anak berusia lebih dari 10
tahun memiliki resiko 6 kali lebih tinggi untuk mengalami keganasan, daripada
orchidopexy yang dilakukan saat anak berusia kurang dari 10 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

1. Moh. Adjie Pratignyo. 2011. Bedah Saluran Cerna Anak. Edisi 1. SAP
Publish Indonesia: Tangerang
2. Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta : EGC
3. Seymour, Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah Edisi 6.
Jakarta : EGC
4. Purnomo BB.Dasar -dasar urologi . Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto;
2012.h.228-32.
5. Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and
their surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbellµs Urology Vol 1.
8thedition. Philadelphia: WB Saunders Company. 2000.
6. Tanagho EA, Nguyen HT. Embriology of the Genitourinary System.
Dalam:Tanagho EA, McAninch JW.Smith¶s General Urology . Edisi 17.
California:The McGraw Hill companies; 2000. h.23-45.
7. Docimo, S. G., R. I. Silver, and W.Cromie.The Undescended
Testicle:Diagnosis and Management.American Family Physician,62
(November 1,2000): 2037±2044, 2047±2048.
8. Batubara JRL.Terapi hormonal pada kriptorkismus.Disampaikan
padaSimposium Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta
9. Kolon TF. Cryptorchidism. 2002. Diunduh
darihttp://www.emedicine.com/med/topic2707.html. ( diakses tanggal 14
Juni 2019)
10. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta:
PenerbitBuku Kedokteran EGC; 2000. h.280-310
11. Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism.
In:http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm ( diakses tanggal 14 Juni
2019)
12. Himawan S. Segi patologik kriptokismus. Disampaikan pada Simposium
Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismis, Jakarta
13. Kolon. TF, Patel RP, Huff DS, Cryptorchidism: diagnosis, treatment, and
long term prognosis. Urol Clin North Am 2004; 31:7- 18.
14. Riedmiller H, Androulakakis P, Beurton D, Kocvara R, Kohl U.
Guidelines on paediatric urology. European Association of Urology,2005.
15. Hutson JM, Hasthorpe S, Heyns CF. Anatomical and functional aspects of
testicular descent and cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997,18(2);
259-80.

Anda mungkin juga menyukai