Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

Terapi Perkutaneus Abses Hati Piogenik Besar

AN JUDUL

Oleh :
Ni Made Suartiningsih (1702612105)
Jessica Raphaela Pranata (170262129)

Pembimbing
dr. Putu Patriawan, Sp.Rad (K) RI

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI DEPARTEMEN/KSM RADIOLOGI
RSUP SANGLAH/ FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019

1
The Egyptian Journal of Radiology and Nuclear Medicine

Terapi Perkutan Abses Hati Piogenik Besar


Mohammad Alaa Abusedera, Ashraf Mohammad El-Badry

ABSTRAK
Tindakan drainase dengan pembedahan merupakan terapi untuk abses hati
piogenik yang telah lama digunakan, namun digantikan dengan pemberian
antibiotik spektrum luas secara intravena dan drainase perkutaneus yang dipandu
oleh pencitraan, baik melalui aspirasi jarum atau drainase kateter perkutan (DKP).
Terdapat perdebatan mengenai pilihan terapi yang lebih baik, aspirasi jarum atau
DKP.
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan hasil antara DKP dengan
aspirasi jarum untuk abses hati piogenik serta membandingkan teknik single-step
Trocar dan teknik Seldinger yang dimodifikasi.
Pasien dan metode penelitian:88 pasien, 65 laki – laki dan 23 perempuan, rerata
usia 44,6 (18-73) tahun dengan abses hati piogenik. Pasien dikelompokkan
menjadi 2 kelompok secara acak; kelompok dengan percobaan aspirasi maksimal
3 dan kelompok DKP. Modalitas pencitraan yang digunakan adalah
Ultrasonografi (USG) atau Computed Tomography (CT).
Hasil: Aspirasi jarum berhasil dilakukan pada 60% kasus (36/43). DKP berhasil
dilakukan pada 98% (44/45). Sebanyak tiga pasien diberikan tatalaksana drainase
dengan pembedahan (dua pasien dari kelompok aspirasi dan satu dari kelompok
DKP) dengan hasil yang baik. Teknik Seldinger dan teknik single-step
Trocarsebanding dalam hasil dan nyeri terkait prosedur, namun durasi prosedur
trocar secara signifikan lebih singkat. Tidak ditemukan adanya komplikasi.
Kesimpulan: DKP lebih efisien daripada aspirasi menggunakan jarum. Aspirasi
dapat digunakan untuk abses yang kecil. Durasi teknik trocar lebih singkat
dibandingkan dengan teknik seldinger.

2
PENDAHULUAN
Abses hati piogenik merupakan penyakit yang mengancam nyawa, jarang
ditemukan, dan memiliki angka insiden yang meningkat di Amerika Serikat dan
Eropa. Tingginya angka kematian dan kesakitan terkait terapi abses hati piogenik
telah menjadi lebih baik secara signifikan sejak dikenalnya drainase perkutan
yang dipandu USG dan CT.
Tindakan drainase dengan pembedahan merupakan terapi yang telah lama
digunakan; namun tindakam tersebut dikaitkan dengan sangat tingginya angka
kesakitan dan kematian (10 – 47%). Terapi modern telah beralih pada pemberian
antibiotik spektrum luas secara intravena dan aspirasi perkutaneus dengan jarum
atau drainase kateter perkutan (DKP) yang dipandu pencitraan. Saat ini, indikasi
drainase dengan pembedahan meliputi tidak adanya akses atau abses multipel
yang tidak memungkinkannya dilakukan drainase secara perkutan maupun
drainase perkutaneus yang gagal. Terdapat perdebatan mengenai lini pertama dari
terapi untuk abses hati piogenik yang besar.
Aspirasi jarum perkutaneus dianggap sama efektifnya dengan DKP
terutama untuk abses sederhana berdiamter ≤50 milimeter. Banyak peneliti yang
mempercayai bahwa DKP lebih efektif daripada aspirasi jarum perkutaneus dalam
penanganan abses hati. Beberapa studi menunjukan bahwa terapi aspirasi jarum
lebih sederhana, terjangkau, dan memiliki efektivitas yang sama.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil klinis penanganan
abses hati piogenik antara DKP dipandu pencitraan dengan aspirasi jarum
intermiten serta membandingkan keamanan dan hasil klinis dari teknik single step
Trocar dengan teknik Seldinger yang dimodifikasi.

PASIEN DAN METODE PENELITIAN


Seluruh pasien dengan abses hati piogenik yang dirawat inap pada Rumah
Sakit peneliti dari Juli 2003 hingga Juni 2013 menjadi kandidat dari penelitian ini.
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah adanya satu atau lebih abses hati
piogenik dengan diameter >2 sentimeter yang bergejala dan telah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan USG atau CT pada pasien dewasa atau dewasa muda yang
kooperatif yang dapat menjalani prosedur dengan anestesi lokal. Anak – anak

3
dieksklusi dari penelitian karena tidak cukup kooperatif dan memerlukan anestesi
umum. Pasien yang memiliki penyakit penyerta koagulopati, keganasan hati atau
abses ameba atau abses yang telah mengalami perforasi dengan penyulit
peritonitis juga dieksklusi.
Persetujuan tertulis dari seluruh pasien telah diperoleh sebelum tindakan.
Persetujuan pasien untuk penelitian tidak diperoleh karena penelitian ini
merupakan studi retrospektif. Institusi komite etik telah memberikan persetujuan
untuk penelitian ini.
Profil koagulasi dievaluasi sebelum jadwal tindakan dan telah dilakukan
perbaikan. Infiltrasi anestesi lokal diberikan dengan Lidokain Hidoklorid 2%
sebanyak 6 – 8 mililiter. Akses untuk abses hati diperoleh dengan panduan USG
jika memungkinkan, menggunakan teknik freehand. Pemeriksaan USG dilakukan
dengan transduser konveks 3 – 5 MHz baik “Logic C5 premium (General Electric
Medical Systems, Milwaukee, WI)” atau “Sonoline 51-450 (Siemens Medical
Systems, Issaquah, WA)”. Pemeriksaan CT menggunakan “Light Speed General
Electric Medical Systems”. Pemilihan tindakan aspirasi atau DKP dilakukan
secara acak. Pada tindakan aspirasi jarum digunakan jarum Trocar ukuran 18G
yang dimasukkan ke kavitas abses dan dilakukan aspirasi hingga seluruh isi
kavitas terevakuasi, diikuti dengan irigasi kavitas abses menggunakan cairan
Normal Saline(NS); volume cairan yang digunakan kurang dari ½ volume pus
teraspirasi. Pada kelompok DKP dilakukan teknik single step trocar dipandu USG
atau teknik Seldinger dimodifikasi (Gambar 1). Penjelasan secara rinci mengenai
kedua teknik tersebut dipaparkan di bagian lain. Kateter yang digunakan adalah
kateter dengan bahan dasar plastik “Multipurpose Flexiema Catheter (Boston
scientific USA) atau kateter “Genoflex (Genesis Medical England)” dengan bahan
dasar polyurethane. Evakuasi seluruh isi kavitas abses dilakukan dan diikuti
dengan irigasi menggunakan cairan NS. Volume cairan yang digunakan kurang
dari ½ volume pus yang teraspirasi. Pembilasan dan aspirasi diulangi hingga
diperoleh isi yang jernih. Kateter disambungkan dengan alat pengumpul yang
menggunakan sistem tertutup dan perawatan kateter dilakukan secara rutin.
Pencatatan volume, warna, dan konsistensi dari cairan drainase dilakukan setiap
hari. Irigasi kateter dengan NS sebanyak 5 – 10 mililiter dilakukan satu kali setiap

4
hari untuk mencegah terbentuknya sumbatan pada kateter. Pus yang teraspirasi
diperiksa dan dilakukan uji mikrobiologi untuk menentukan organisme penyebab.
Kultur darah dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Antibiotik spektrum luas,
meliputi Cefazoline 1 gram tiap 12 jam dan Augmentin 1,2 gram tiap 8 jam
diberikan secara intravena serta diberikan Metronidazole (500 miligram secara
intravena atau 500 miligram intraoral tiga kali sehari). Setelah hasil laboratorium
ada, pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil uji sensitivitas. Antibiotik
spektrum luas dilanjutkan pada pasien dengan hasil kultur pus yang negatif.
Antibiotik dilanjutkan selama 10 hari (14 hari untuk metronidazole) setelah suhu
tubuh kembali normal. Seluruh pasien diikuti untuk meninjau waktu perbaikan
klinis, lama rawat inap, dan perkembangan komplikasi. Pemeriksaan USG secara
berkala dilakukan setiap tiga hari untuk menilai ukuran kavitas hingga pasien
pulang dari rumah sakit. Kateter dilepaskan ketika pasien menunjukan perbaikan
klinis (suhu tubuh kembali normal, gejala lokal hilang, dan hasil leukosit normal),
output kateter turun hingga kurang dari 10 mililiter tiap 24 jam selama 2 hari
berturut – turut, dan pemeriksaan USG berkala menunjukan residu kavitas kurang
dari 2 sentimeter.
Pasien pada kelompok aspirasi jarum yang tidak mengalami perbaikan
klinis setelah aspirasi pertama dengan leukositosis yang berlanjut atau
menunjukkan abses yang terisi kembali pada USG berkala, ditindaklanjuti dengan
aspirasi kedua dan ketiga. Tidak adanya perbaikan setelah aspirasi ketiga kali
dianggap sebagai kegagalan terapi aspirasi dan dilakukan pemasangan kateter
untuk drainase kontinu. Pasien tersebut tidak dimasukkan dalam kelompok DKP.
Setelah pulang, seluruh pasien diikuti secara berkala melalui kondisi klinis dan
pemerikaan USG untuk melihat adanya rekurensi serta mengamati ukuran kavitas
abses. Pasien diperiksa setiap minggu dalam satu bulan pertama, setiap bulan
selama 3 bulan berikutnya, dilanjutkan dengan tiap 2 bulan hingga terjadi resolusi
sempurna (Gambar 2 – 4). Terapi dianggap berhasil jika seluruh kriteria berikut
terpenuhi: adanya perbaikan klinis dari infeksi (suhu tubuh kembali normal, gejala
dan tanda lokal hilang, hitung leukosit normal), USG menunjukkan resolusi abses
(hilang atau penurunan ukuran diameter terpanjang sebelum terapi lebih dari
50%), dan pencitraan berkala menunjukan resolusi abses (Gambar 4) (resolusi

5
total atau berkurangnya ukuran menjadi <2 sentimeter) tanpa adanya bukti relaps
atau rekurensi selama pemeriksaan berkala.

Gambar 1 Pasien laki – laki 65 tahun dengan keluhan utama nyeri perut kanan
atas dan demam 38,7oC. Hasil hitung leukosit 18.000, dengan neutrofilia absolut,
pemeriksaan USG menunjukkan sebuah lesi kista besar berukuran sekitar 8 x 7 x
6 sentimeter pada lobus kanan hati, aspirasi diagnostik menunjukkan pus yang
dikirim untuk pemeriksaan gram-staining, kultur, dan uji sensitivitas, DKP
dipandu USG dilakukan menggunakan 10Fr dan kateter pig-tail dengan teknik
single step trocar ke dalam kavitas abses.

Durasi rawat inap dan durasi perbaikan klinis, penurunan ukuran 50% dari
kavitas abses, dan resolusi total atau hampir total dari abses setelah terapi
perkutaneus didokumentasikan.
Pasien yang gagal mendapatkan tindakan DKP ditindaklanjuti dengan
pembedahan menggunakan tabung drainase eksternal plastik lunak 28 French
yang ditinggalkan di lokasi tersebut.
Seluruh prosedur operasi dilakukan dengan anestesi umum dan pemberian
anti nyeri diberikan secara epidural. Disinfeksi seluruh area dari puting susu
hingga paha bagian atas dilakukan menggunakan povidone-iodine. Antibiotik

6
profilaksis (Cefazolin) diinjeksikan sesaat sebelum insisi. Kavitas peritoneum
diakses melalui insisi subkostal kanan, ligamen falciform dipisahkan, dan
dipasang self-retaining retractor. Untuk lesi yang terletak pada segmen VII
dan/atau VIII, lapang pandang maksimal diperoleh dengan pembagian segitiga
kanan dan bagian dari ligamen koronarium kanan, diikuti dengan rotasi lobus
kanan hati serta pemasangan handuk steril dibagian belakang. Abses superfisial
awalnya diaspirasi dengan jarum steril untuk pengambilan sampel pemeriksaan
sitologi dan bakteriologi serta untuk memastikan dinding abses lunak dan mudah
ditangani. Eksisi abses dilakukan dengan menginsisi dinding abses, drainase isi
abses, hingga akhinya dinding abses diseksisi. Spesimen yang diperoleh
dikirimkan untuk pemeriksaan histopatologi. Sebuah alat drainase plastik lembut
28 French diletakkan pada kavitas abses untuk drainase eksternal. Lapisan luka
kemudian ditutup. Untuk lesi pada bagian lateral kiri (segmen II dan III), ekstensi
subkostal kiri dari insisi awal pada pembagian ligamen segitiga dan koroner kiri.
Lesi yang terletak pada segmen IV, V, dan VII dieksisi sesuai deksripsi di atas
tanpa mobilisasi hati.

Gambar 2. Pemeriksaan USG pada pasien yang sama 6 hari setelah pemasangan
kateter dengan penurunan suhu tubuh menjadi normal serta ukuran abses yang
mengecil serta kolaps kavitas pada anak panah kateter

7
Gambar 3. Pemeriksaan USG pada pasien yang sama 6 minggu setelah pulang
rumah sakit menunjukkan lesi fokal ekogenik yang heterogenus.

Gambar 4. Pemeriksaan USG pada pasien yang sama 6 bulan kemudian


menunjukkan lesi ekogenik pada lokasi abses hati yang diterapi
Analisis statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak statistik (SPSS
10,0). Uji statistik deskriptif dan analitik dilakukan. Variabel kuantitatif

8
dibandingkan menggunakantwo-sample student’s T test untuk variabel
independen dengan dilakukan pengaturan jika diperlukan untuk varian yang tidak
sama atau dengan menggunakan uji Mann-Whitney untuk variabel yang tidak
berdistribusi normal. Variabel kategorikal dianalisis dengan menggunakan uji chi-
square. Seluruh uji statistik dilakukan dengan tingkat signifikan secara statistik
sebesar 95%.

HASIL
Sembilan puluh dua pasien awalnya terdaftar dalam penelitian ini. Empat
dikeluarkan karena dua pasien mengalami penyakit keganasan pada hati dan dua
pasien mengalami abses hati yang pecah dan peritonitis akut yang membutuhkan
laparotomi dan tindakan pembedahan segera. Dari 88 pasien yang tersisa, 65
adalah laki-laki dan 23 adalah perempuan, dengan usia rata-rata 44,6 (kisaran, 18–
73) tahun. Sebelum masuk rumah sakit , pasien mengalami gejala rata-rata selama
5,9 hari (rentang, 2–14 hari). Kelompok aspirasi dan kelompok drainase kateter
tidak berbeda secara signifikan dilihat dari data demografis, gambaran klinis, atau
nilai-nilai biokimia (Tabel 1). Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara
kedua kelompok terkait dengan kondisi patologis yang mendasari dan
karakteristik abses (Tabel 1). Etiologi abses hati tidak ditemukan pada 48 (55%)
dari 88 pasien, namun yang berasal dari empedu diidentifikasi 33 pasien (26%)
dan berasal dari portal 17 pasien (19%) (Tabel 1). Penyakit penyerta yang paling
sering ditemukan adalah diabetes 49 (56%) pasien. Mikroba patogen diisolasi
pada 20 (44%) pasien pada kelompok drainase kateter dan 17 (40%) pada
kelompok aspirasi jarum perkutaneus. Semua pasien yang hasil kultur darah dan
absesnya positif memiliki patogen yang identik. Bakteri yang dominan pada
kultur yang positif adalah bakteri gram negatif, Klebsiella pneumoniae adalah
spesies yang utama (Tabel 2).
Rincian tentang hasil prosedur ditunjukkan pada Tabel 2. Aspirasi berhasil
pada 60% kasus (26/43). Aspirasi tunggal berhasil pada 9% kasus (4/43). Aspirasi
ulang dicoba pada 22 pasien dari 43 pasien yang tidak memberikan respon
terhadap aspirasi pertama. Hanya 4 pasien dari 22 membaik dengan aspirasi kedua
dan hanya 1 pasien yang memberikan respon dari 18 pasien setelah dilakukan

9
percobaan aspirasi yang ketiga. Tiga upaya aspirasi gagal mengobati abses pada
40% kasus (17/43), 15 dari mereka berhasil sembuh setelah dilakukan drainase
kateter dan hanya dua yang memerlukann drainase pembedahan setelah gagal
dengan drainase kateter. Pasien-pasien itu tidak dimasukkan dalam kelompok
drainase kateter.
Pada kelompok aspirasi jarum perkutaneus, rata-rata diameter abses secara
signifikan lebih besar pada pasien yang tidak berhasil (10.5± 3.2 cm)
dibandingkan dengan pasien yang berhasil dengan aspirasi jarum (5.5 ± 3.5 mm)
dengan nilai (p =0.02). Volume rata-rata abses pada 17 pasien yang tidak berhasil
dengan aspirasi jarum perkutaneus adalah 360 ml secara signifikan (p = 0.03)
lebih besar dibandingkan dengan pasien yang berhasil (rata-rata volume abses
adalah 140 ml) yaitu 26 pasien yang berespon terhadap aspirasi 1 atau 2 atau 3.
Namun, karakteristik lain serupa dikelompok yang sukses dengan aspirasi dan
gagal aspirasi.
Aspirasi jarum intermiten berhasil pada semua pasien dengan diameter
abses terpanjang 5 cm atau lebih kecil. Namun, perlakuan ini tidak berhasil pada
7 pasien dengan abses multi septa yang komplek tanpa memperhatikan diameter
abses. Drainase kateter berhasil pada 98% kasus (44/45). Pada 4 dari 6 pasien
dengan abses multi septa, drainase kateter dilakukan dua kali karena drainase
pertama tidak berhasil dan ukuran kateter ditingkatkan dari 8 menjadi 12 french.

Tabel 1. Karakteristik Abses Hati Pada Kelompok Aspirasi dan Drainase Kateter
Parameter Aspirasi Drainase P value
Total 43 45
Umur 18-73 20-71 0,81
Jenis kelamin
Laki –laki 32 33
Perempuan 11 12
Nyeri 43 45 0.54
Demam 42 (98) 42 (93)
Leukositosis >10x103 40 (93) 41 (91)
Komorbid
DM 24 25 (55) 0.77
IHD 12 13 (29)
HTNS 19 18 (42)
Soliter 33 37 (82) 0.67
Multiple 10 8 (18)

10
Lobus kanan 26 27 (60)
Lobus kiri 13 13 (29)
Kedua lobus 4 5 (11)
Volume
Range 15-355 17-360 0.08
Mean 131 (91,2) 160 (106,2)
Size
Range 3-12 4-13 0.32
Mean 6,6 (2,1) 7,2 (3)
Penyebab bilier 11 (26) 12 (27) 0.59
Penyebab portal 9 (21) 8 (18)
Kriptogenik 23 (53) 25 (56)

Tabel 2. Hasil Tindakan Aspirasi dan Drainase Kateter


Drainase Aspirasi (43) P Value
Kateter (45)
Membaik 44 (98) 26 (60) 0.03
1x Tindakan 40 (89) 21 (49)
2x Tindakan 4 (9) 4 (9)
3x Tindakan 0 (0) 1 (2)
Lama demam 2–9 [4.4] 1–8 [5.6] 0.76
WBC<11 3–15 [8.5] 4–16 [7.8] 0.81
Brkurangnya ukuran > 50% 6–22 [11.5] 5–17 [10.4] 0.77
Organisme
K.pneumoniae 12 (27) 10 (23) 0.42
E.coli 7 (16) 8 (19)
Pseudomonas 5 (11) 4 (9)
Staphy 7 (16) 7 (16)
Poly 4 (9) 4 (9)
Negative 10 (22) 10 (23)
Lama rawat inap 7–33 [8.3] 3–22 [6.6] 0.88

Dilakukan teknik Seldinger atau Trocar yang dimodifikasi (Tabel 3).


Karakteristik abses secara statistik tidak berbeda pada subkelompok yang diobati
dengan teknik mana pun.
USG adalah modalitas imaging utama, digunakan pada 71% dari
kelompok drainase kateter (32/45) tetapi CT digunakan pada 29% (13/45).
Teknik Seldinger ini berhasil secara teknis 100% setelah upaya pertama dengan
teknik Trocar gagal menggunakan kateter berukuran 10 french yang berbasis
polietilen pada satu pasien, tetapi berhasil dalam upaya kedua menggunakan
kateter berbasis plastik. Pasien tersebut memiliki sirosis hati dan kapsul yang
keras. Hasil klinis tidak berbeda dalam kedua teknik. Waktu prosedur untuk

11
teknik Trocar secara signifikan lebih pendek dari teknik Seldinger; rata-rata 14
menit versus 20 menit (p = 0,001).
Drainase kateter tidak berhasil dalam 2% kasus (1/45) untuk mendrainase
abses multi septa dengan nanah yang tebal dan debris bahkan dengan ukuran
kateter yang ditingkatkan dari 8 menjadi 12 french. Pasien ini telah menjalani
drainase bedah dengan hasil yang baik. Total durasi drainase kateter untuk setiap
pasien di kelompok drainase berkisar antara 7 hingga 33 hari dengan rata-rata 8,3
± 6,4 hari. Di akhir perawatan, rongga abses telah menghilang sepenuhnya pada
35 dari 85 pasien yang berhasil diobati dan mengalami penurunan lebih dari 50%
pada 40 pasien lainnya. Pada pemeriksaan akhir 6 bulan setelah awal pengobatan,
abses tidak ada pada semua pasien yang berhasil diobati.
Tidak ada abses kambuh yang tercatat dari kelompok yang di follow up.
Rawat inap di rumah sakit tidak berbeda secara signifikan antara kelompok
aspirasi dan kelompok drainase kateter (Tes Mann-Whitney U; Z = 0,02; p = 0,98)
(Tabel 2). Tidak ada pasien yang mengalami komplikasi mayor terkait prosedur
seperti pendarahan dan septikemia. Tiga pasien dalam kelompok drainase kaeter
mengalami komplikasi minor dan pada kelompok aspirasi tidak ada yang
mengalami komplikasi minor. Pasien dapat mentoleransi teknik Seldinger Trocar
yang dimodifikasi tanpa perbedaan yang signifikan dalam skor nyeri analog.
Satu pasien dari kelompok teknik Seldinger mengeluh nyeri yang hebat di
tempat masuknya kateter yang membaik dengan analgesik oral. Kebocoran
perikateter terjadi pada dua pasien, satu di antaranya kelompok Trocar dan
kelompok teknik Seldinger. Pada satu pasien, kateter tersumbat oleh debris;
kebocoran berhenti setelah pembilasan kateter dengan normal saline. Itu alasan
kateter yang bengkok ditukar, sehingga tidak teradi kebocoran kateter lagi setelah
kateter ditukar.

DISKUSI
Abses hati piogenik jarang terjadi, meskipun terkait kematian jarang
terjadi, morbiditas dan rawat inap yang berkepanjangan itu sering. Intervensi
dengan panduan modalitas imaging dan terapi anti-mikroba adalah pengobatan
utama dan intervensi bedah terbuka jarang diperlukan. Beberapa penelitian telah

12
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dapat diobati dengan hasil yang sangat
baik dengan kombinasi antibiotik parenteral dan drainase perkutan dengan
panduan modalititas imaging.
Tiga studi acak dimana, penggunaan drainase kateter kontinyu
dibandingkan dengan aspirasi jarum berulang dalam pengelolaan abses hati.
Rekomendasi untuk pengobatan perkutaneus lini pertama berbeda. Yu et al.
melakukan studi acak yang melibatkan 64 pasien dengan abses hati piogenik. Para
peneliti menyimpulkan aspirasi jarum perkutaneus mungkin sama efektifnya
dengan drainase kateter yang kontinyu. Mereka merekomendasikan aspirasi
jarum perkutaneus sebagai pendekatan lini pertama karena prosedur yang
sederhana, kenyamanan pasien, dan harga yang lebih murah dan lama rawat inap
di rumah sakit yang lebih singkat. Rajak et al. membandingkan aspirasi jarum
perkutaneus dan drainase kateter dalam penelitian acak yang melibatkan 50 pasien
dengan abses hati. Para peneliti menyimpulkan bahwa drainase kateter lebih
efektif daripada aspirasi jarum perkutaneus. Dalam penelitian itu, kurangnya
respon terhadap aspirasi jarum perkutaneus yang kedua dianggap gagal dalam
pengobatan. Dalam studi Zerem dan Hazdic Aspirasi jarum perkutan berhasil
pada 20 (67%) dari 30 pasien setelah aspirasi pertama (n = 12), kedua (n = 7),
atau ketiga (n = 1) . Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian oleh Zerem
dan Hadzic pada tahun 2007, kami melakukan 3 kali upaya aspirasi yang berhasil
oleh aspirasi pertama (49%) dan hanya (9%) pada aspirasi kedua. Aspirasi ketiga
berhasil pada satu pasien dari 18. Ini menegaskan bahwa aspirasi jarum lebih
lanjut jarang berhasil. Aspirasi jarum perkutaneus pada semua abses
multiloculated gagal dan diperlukan drainase kateter. Penulis lain lebih suka
dengan drainase kateter yang kontinyu sebagai pendekatan yang andal dan efektif
untuk pengelolaan abses hati.
Tabel 3. Perbandingan Antara Teknik Seldinger dan Trocar
Seldinger 23 Trocar 22 P value
Us 32 12 20
CT 13 2 11
Ukuran lesi 9-11 8-12 0.77
Volume 250 230 0.64
Berhasil pertama 20 20 1.0
Berhasil kedua 2 2
Waktu tinndakan

13
Range 15-35 10-18 0.001
Mean 25 11
Skor prosedur APIN 3-6 4-5 0.66

Pada penelitian ini ditemukan drainase kateter berhasil pada 98% kasus
dan hanya satu pasien dari kelompok drainase kateter yang memerlukan drainase
bedah dan 2 pasien dari kelompok aspirasi yang gagal dengan drainase kateter
meskipun peningkatan ukuran kateter telah dicoba. Kegagalan terjadi mungkin
karena debris yang terlalu besar yang mengalir pada kateter. Pada penelitian
tersebut gas didalam abses merupakan prediktor lain gagalnya drainase kateter.
Satu kasus didalam abses terdapat gas yang kemungkinan iatrogenik yang
dihasilkan oleh mikroorganisme pembentuk gas yang mengesankan organisme
virulen pada pasien yang lemah.
Pada penelitian ini pasien dengan penyakit hati ganas dieksklusi yang
merupakan faktor prognostik yang buruk dan penyebab kematian utama di antara
pasien dengan abses hati piogenik. Dalam sebuah studi Lai et al. pada 2013,
ditemukan tingkat kegagalan drainase kateter sebesar 34% pada pasien dengan
abses hati piogenik yang memiliki keganasan bilier pankreas. Penyembuhan abses
dicapai pada 67% kasus dan 32% meninggal selama dirawat di rumah sakit .
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Zerem dan Hadzic 2007
, yang memiliki tingkat keberhasilan 100% dengan drainase kateter dan angka
kematian 0%. Pasien dengan keganasan yang berasal dari organ bilier juga
dieksklusi dari penelitian mereka. Dalam penelitian ini, kami menggunakan USG
dan CT untuk memandu penempatan kateter tanpa perbedaan dalam tingkat
keberhasilan atau komplikasi tetapi hasil ini berbeda dengan hasil penelitian oleh
Bergert et al. pada tahun 2004 yang menemukan bahwa drainase abses hati
piogenik yang dipandu dengan USG memberikan hasil yang lebih baik dan
tingkat kegagalan dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
menggunakan CT sebagai pemandu drainase.
Pada penelitian ini gelembung udara iatrogenic yang terlihat pada abses
hati menghalangi insersi kateter pig-tail dengan menggunakan panduan USG
sehingga digunakan CT scan.

14
Teknik Trocar dan modfikasi teknik Seldinger dapat digunakan untuk drainase
abses hati piogenik tetapi waktu tindakan dengan menggunakan teknik Trocar
lebih singkat. Kedua teknik tersebut dapat ditoleransi dengan baik. Keberhasilan
dicapai dengan satu tusukan pada 31 dari 32 kasus dan satu kasus diperlukan dua
tusukan ini sejalan dengan penelitian oleh Fan et al. pada tahun 2008 yang sukses
pada 91 dari 93 kasus dalam prosedur drainase kateter untuk drainase berbagai
tindakan di abdomen dan panggul. Mereka menggunakan kateter berukuran 7-8,3
french namun pada penelitian ini menggunakan kaeter berukuran 8-12 french.
Dalam penelitian ini, keduanya Teknik Trocar dan Seldinger yang dimodifikasi
berhasil untuk mengakses abses kecuali dalam satu kasus dengan teknik Trocar
menggunakan kateter berukuran 10 french yang berbasis poliuretan itu sulit untuk
melewati kapsul hati yang keras tetapi prosedurnya berhasil dengan menggunakan
kateter berukuran 10 frech yang berbasis plastik. Karena institusi kami merupakan
rumah sakit rujukan, sehingga banyak pasien yang telah diobati dengan antibiotik
sebelum dirujuk. Pada penelitian ini ditemukan persentase yang tinggi abses
dengan hasil kultur nanah yang negatif.. Hasil ini serupa dengan peneliti lain
yaitu ditemukan K. pneumoniae adalah mikroorganisme yang paling banyak
diisolasi dalam. K. pneumonia dapat menjadi sumber gas pada abses hati.
Diabetes mellitus sering berkaitan dengan morbiditas dan ini serupa
dengan hasil penelitian lain. Diabetes mellitus adalah faktor risiko untuk abses
hati piogenik. Thomsen et al. menemukan orang dengan diabetes memiliki risiko
3,6 kali lebih tinggi untuk mengalami abses hati piogenik, dibandingkan dengan
populasi pada subjek kontrol. (adjusted relative risk, 3.6; 95% confidence
interval, 2.9–4.5). Perawatan di rumah sakit , durasi perbaikan klinis dan waktu
yang diperlukan untuk penyembuhan abses dalam pengobatan pada pasien yang
berhasil tidak berbeda secara signifikan pada kelompok aspirasi dan kelompok
drainase kateter dan itu serupa dengan temuan peneliti lain.
Meskipun pengobatan abses hati terutama drainase perkutaneus, intervensi
operasi masih diindikasikan dan pembedahan tetap diperlukan setelah kegagalan
perawatan awal tetapi juga harus dipertimbangkan sebagai intervensi awal untuk
kasus dengan abses dengan pembentukan gas dan syok septik dan ketika
pengobatan untuk penyebab yang mendasarinya diperlukan segera. Pada

15
penelitian ini terdapat 3 kasus yang gagal dengan drainase kateter karena debris
yang tebal sehingga membutuhkan eksplorasi bedah dan drainase terbuka.
Drainase bedah berhasil tanpa kekambuhan atau komplikasi.
Kesimpulannya, drainase kateter lebih efisien dari aspirasi jarum
perkutaneus intermiten. Aspirasi jarum perkutaneus intermiten adalah alternatif
yang dapat digunakan dalam abses yang berukuran 50 mm atau kurang. Aspirasi
tidak efisien untuk abses hati multi septa. Kasus tersebut harus persiapkan untuk
dilakukan drainase kateter. Teknik Trocar atau Seldinger dapat digunakan untuk
penempatan kateter, namun teknik trocar lebih sederhana dan memerlukan waktu
yang lebih singkat dibandingkan dengan teknik modifiksi Seldinger. Studi acak
terkontrol diperlukan untuk mengeksplorasi kegunaan kateter yang berbeda untuk
teknik Trocar.

16

Anda mungkin juga menyukai