a. CT scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke hemoragik.
Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk menegakan diagnosis stroke.
(Rahmawati, 2009)
dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat adanya iskemik pada
jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non hemoragik. MRI juga digunakan
pada kelainan medulla spinalis. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya
emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan fraktur. Kelemahan lainnya adalah tidak
bisa memeriksa pasien yang menggunakan protese logam dalam tubuhnya, preosedur
pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal
(Notosiswoyo, 2004).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah, elektrolit, analisa gas darah,
hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung, prothrombin time (PT) dan
activated partial thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk
mendeteksi hipoglikemi maupun hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat
gangguan elektrolit baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat maupun magnesium
(Rahajuningsih, 2009)
Pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis metabolik.
koagulasi serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan hematologi lengkap dapat diperoleh
data tentang kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit
serta morfologi sel darah. Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan trombositemia esensial
adalah kelainan sel darah yang dapat menyebabkan stroke (Rahajuningsih, 2009).
Etiologi
Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial
atau trombosis di intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran darah otak.
Pada level seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu
kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak dan infark otak (Rahmawati,
2009).
a. Emboli
Sumber emboli dapat terletak di arteri karotis maupun vertebralis akan tetapi dapat juga di
1) Embolus yang dilepaskan oleh arteri karotis atau vertebralis, dapat berasal dari
“plaque atherosclerotique” yang berulserasi atau thrombus yang melekat pada intima
2) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada: Penyakit jantung dengan “shunt” yang
3) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai emboli septik, misalnya
dari abses paru atau bronkiektasis, dapat juga akibat metaplasia neoplasma yang
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk sistem
arteri karotis dan percabanganya) dan pembuluh darah kecil. Tempat terjadinya trombosis
yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi
dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah. Energi yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan neuronal berasal dari
metabolisme glukosa. Bila tidak ada aliran darah lebih dari 30 detik gambaran EEG akan
mendatar, bila lebih dari 2 menit aktifitas jaringan otak berhenti, bila lebih dari 5 menit
maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan bila lebih dari 9 menit manusia dapat meninggal
(Wijaya, 2013)
Komplikasi
4. Hidrosefalus
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke non hemoragik ini terjadi meskipun agak
jarang (10-20%).
2. Indikator awal stroke non hemoragik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah
intrakranin dependen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain
untuk mengurangi tekanan intracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun
kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke non hemoragik lebih lanjut belum
diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini
diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke non hemoragik yang tidak rumit, tanpa adanya
dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma yang memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke non
hemoragik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami
serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke
stroke non hemoragik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain
DAFTAR PUSTAKA
Madjono M, Sidharta P, 1998. Neurologi klinis dasar. Edisi ke-6. Jakarta: dian rakyat. Hlm: 270-
5
Mulyono Notosiswoyo, Susy Suswati, 2004. Pemanfaatan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Sebagai Sarana Diagnosa Pasien. Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomer 3. Jakarta
Rahajuningsih D S. 2009. Patofisiologi trombosis. Edisi ke-4. Fakultas kedokteran universitas
indonesia. Jakarta. Hlm 34-45.
Rahmawati, E. 2009. Prevalensi stroke iskemik pada pasien rawat inap di RSUP Fatmawati,
[Skripsi]. Jakarta Selatan
Wijaya A K, 2013. Pathophysiology stroke non-hemorrhagic et causa thrombus. E-jurnal medika
udayana, 2(10), 1652-66).