BAB I Anatesi
BAB I Anatesi
PRNDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan
aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh . Secara umum anestesi
dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum
(Boulton, 1994).
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat
konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik.
Sedangkan pada anestesi lokal kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang
hilang bersifat setempat (lokal) (Boulton,1994).
Anestesi regional adalah hambatan implus nyeri suatu bagian tubuh untuk
sementara pada impuls saraf, dengan menyuntikan obat anestesi disekitar saraf
sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap dalam
keadaan sadar. Anestesi regional terbagi menjaadi epidurl, spinal dan kaudal.
Spinal anastesi atau yang biasa disebut Subarachnoid Block (SAB) (Boulton,
1994).
Anestesi umum (general anestesi) adalah meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya
dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien
dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung,
pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Boulton
1994).
Appendiks vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang
mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid (Snell, 2007).
Appendiks memiliki panjang bervariasi sekitar 6cm hingga 9cm pada orang
dewasa. Dasarnya melekat pada sekum dan ujungnya memiliki kemungkinan
1
beberapa posisi seperti retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal, atau
perikolik kanan. Appendisitis adalah peradangan dari Appendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Wibisono dan Jeo, 2014).
Appendisitis akut merupakan kasus terbanyak dari akut abdomen, 1% dari
semua kasus bedah, sangat jarang pada infant, insidens bertambah sesuai dengan
umur. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 20-30 tahun setelah itu
menurun (Wim De Jong, 2004).
Appendisitis adalah suatu keadaan yang sering terjadi yang membutuhkan
operasi kegawatan perut pada anak. Diagnosisnya sulit ditegakkan pada anak-
anak, dan merupakan faktor yang dapat menyebabkan perforasi hingga 30%-60%
pada anak. Risiko untuk perforasi terbanyak terjadi pada usia 1-4 tahun (70%-
75%) dan terendah pada remaja (30%-40%). Keterlambatan diagnosis sering
terjadi pada pada anak-anak dan telah dilaporkan sebanyak 57% kasus yang
terjadi dalam 6 tahun terakhir ini berakhir dengan adanya perforasi (Defa
Arisandi, 2008).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Appendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke
dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung Appendiks mudah
bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:
1. Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis kanan
2. Melengkung di belakang sekum
3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum
4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.
Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan (Snell,
2007).
Posisi Appendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-organ
lainnya. Yang paling sering, sekitar 75 % terletak di belakang sekum. Sekitar 20%
menggantung ke bawah di bawah tulang panggul.
4
2.2 Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara Appendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
Appendisitis(Wim De Jong,2004).
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk Appendiks ,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendik tidak memengaruhi system imun tubuh
karena jumlah jaringan limf di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh(Wim De Jong,2004).
2.3 Appendisitis
2.3.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (Appendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi
bertambah parah, Appendiks itu bisa pecah. Appendiks merupakan saluran usus
yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum
(cecum). Appendiks besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut
kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak
mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir.Appendisitis
merupakan peradangan pada usus buntu/Appendiks (Defa Arisandi, 2008).
2.3.2 Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari Appendisitis terbagi atas dua, yaitu :
1. Appendisitis akut, dibagi atas: Appendisitis akut fokalis atau segmentalis,
yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi,
yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Appendisitis kronis, dibagi atas: Appendisitis kronis fokalis atau parsial,
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis kronis obliteritiva
5
yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua(Defa Arisandi,
2008).
6
berkembangnya bakteri dalam Appendiks semakin meningkatkan distensi.
Distensi pada tingkat ini juga menyebabkan mual, muntah dan nyeri viseral yang
berat. Tekanan pada organ yang semakin meningkat melebihi tekanan pada vena
menyebabkan kapiler dan pembuluh darah venule tersumbat tetapi aliran darah
arteriole sehingga menyebabkan pembesaran dan kongesti vascular. Proses
inflamasi kemudian melibatkan bagian serosa pada Appendiks dan kemudian ke
arah peritoneum parietal dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke
kuadran kanan bawah. Mukosa saluran cerna termasuk Appendiks rentan
terhadap gagguan pada aliran darah. Oleh sebab itu integritas mukosa Appendiks
menjadi terganggu. Dengan distensi yang berlanjut, invasi bakteri, aliran darah
yang tidak adekuat, progresi dari nekrosis jaringan dapat menyebabkan
munculnya perforasi. Perforasi biasanya muncul di sisi luar obstruksi daripada
ujung karena efek tekanan intraluminal pada dinding yang paling tipis (Berger,
2010).
7
yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen dan
bawah epigastrium.
2. Nyeri pada fossa-iliaca kanan
Nyeri akan berpindah setelah beberapa jam dari periumbilikus ke kanan bawah
daerah fosa iliaka kanan. Disini, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
3. Demam (Pyrexia)
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC. Bila suhu lebih
tinggi kemungkinan sudah terjadinya perforasi.
4. Mual, muntah, dan anoreksia
Nyeri perut bagian sentral berhubungan dengan mual, muntah, dan anoreksia.
Appendisitis hampir selalu disertai dengan anoreksia dan biasanya terjadi satu
atau dua kali episode muntah. Hal ini konstan sehingga pada saat diagnosis
harus ditanyakan ada tidaknya keluhan anoreksia. Walaupun 75% pasien
menunjukkan gejala muntah namun hal itu tidak berlangsung lama,
kebanyakan hanya satu atau dua kali saja. Gejala muntah ini disebabkan
stimulasi dari neuron maupun gerakan dari usus. Pada 95% pasien dengan
Appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala utama diikuti oleh nyeri
abdomen kemudian dilanjutkan dengan gejala muntah. Jika muntah lebih
dominan dari gejala nyeri abdomen maka Appendisitis harus dipertanyakan
(Berger, 2010).
8
2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan Appendisitis akut akan tampak kesakitan dan berbaring.
Umumnya demam sekitar 38oC. Pada pemeriksaan abdomen, bising usus akan
berkurang dan nyeri tekan daerah Appendiks pada titik sepertiga bawah garis
antara umbilicus dengan spina iliaka anterior superior (McBurney’s point). Pada
palpasi akan didapatkan muscle guarding. Nyeri tekan dan nyeri lepas akan
dijumpai, batuk juga akan meningkatkan rasa nyeri pada Appendisitis.
Tanda khas yang dapat ditemukan pada Appendisitis akut adalah sebagai berikut.
Pointing sign
Nyeri pada kuadran kanan bawah pada Mc’Burney point.
Rovsing sign
Nyeri pada fosa iliaka kanan pada saat palpasi dalam di region fosa iliaka kiri.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam diagnosis klinis Appendisitis.
Psoas sign
Disebut juga cope sign. Penderita akan memfleksikan pinggul atau nyeri pada
hiperekstensi pinggul akibat kontak antara prosesus yang meradang dengan
otot psoas.
Obturator sign
Nyeri pada pinggul pada saat dilakukan rotasi internal. Appendiks yang
mengalami inflamasi akan menyebabkan nyeri pada daerah hipogastrium
ketika dilakukan manuver ini.
9
Pada Appendisitis perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat dan
tersebar, peningkatan spasme daripada otot abdomen sehingga menyebabkan kaku
otot (muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat dan temperatur akan
meningkat hingga melebihi 39oC.
10
CT-scan
CT-scan merupakan pilihan untuk pasien pria, pasien yang lebih tua dan ketika
pasien diduga terdapat abses sekitar Appendiks. Diagnosis CT-scan pada
Appendisitis didasarkan pada penemuan sebagai berikut:
1. dilatasi Appendiks hingga > 6mm,
2. Appendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses,
3. abses pericecal atau massa inflamasi dengan pembentukan apendicolith.
2.3.6 Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada Appendisitis tanpa
komplikasi biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada
Appendisitis gangrenosa atau Appendisitis perforate. Penundaan tindak bedah
sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi (Wim De
Jong, 2004).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara
laparskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh
ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa
dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus meragukan dapat segera menentukan
akan dilakukan operasi atau tidak (Wim De Jong, 2004).
11
hiperperistaltik. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
Appendisitis akut.
Demam Dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada
penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel leede trombositopenia
dan peningkatan hematokrit
Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului olen enteritis atau
gastroenteritis, ditandai olehnyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta
perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut
sebelah kanan.
Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada
perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis nyeri yang
sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa
hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua
hari.
Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan Appendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada Appendisitis dan nyeri perut bagian bawah
perut biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagin, akan
timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat
dilakukan colok dubur jika perlu.
Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan
nyeri dan penonjolan rongga Douglas.
Kista ovarium terpuntir
12
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina atau colok rektal.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan
diagnosis ini.
Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat endometriosis
berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan
keluar.
Urolitiasis pielum/ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosit pada urin sering ditemukan. Foto
polos perut atau urografi intravena dapat memastikan diagnosis penyakit ini.
Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti
divertikulus Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis
akut, pankreatitis, obstruksi usus, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis,
karsinoid dan mukokel Appendiks.
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada Appendiks yang mengalami pendindingan
sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan Appendiks , sekum, dan lekuk
usus halus.
Massa apendikular
Massa Appendiks terjadi bila Appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau di bungkus oleh omentum. Pada massa periapendikuler dengan
pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke
seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya
segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih
mudah. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
13
dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang
sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil
dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses Appendiks. Hal ini ditandai
dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit (Sjamsuhidajat & de
Jong, 2007).
Appendisitis perforata
Adanya fekalit didalam lumen, penderita pada usia anak-anak maupun
orangtua, dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam
terjadinya perforasi Appendiks. Insidensi perforasi pada penderita di atas usia 60
tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi
perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat,
adanya perubahan anatomi Appendiks berupa penyempitan lumen, dan
arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding Appendiks
yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu
diagnosis, dan proses pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang
berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang.
Perforasi Appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut
menjadi distensi(tegang dan kembung). Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi
di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimun di regio iliaka
kanan, peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus
paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma.
Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai
abses (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).
14
2.3.9 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8%
dan disebabkan oleh komplikasi penyakit dan pada intervensi bedah. Pada anak,
angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien diatas 70 tahun angka ini
meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi
(Wibisono dan Jeo, 2013).
15
umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (Quincke-Babcock) atau jarum
spinal dengan ujung pensil (Boulton 1994, Dabson 1994).
16
g) Hipovolemia ringan
h) Nyeri punggung kronis
17
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid (Boulton 1994,
Dabson 1994).
18
2.4.7 Preoperatif
a) Penilaian Preoperatif
Tujuan:
b) Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni meliputi
identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah
yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis
umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-
obatan, riwayat operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat
alergi (Boulton 1994, Dabson 1994).
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan
untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan
pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf,
respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier,
urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka
(Boulton 1994, Dabson 1994).
19
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain
itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita
penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai
indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan
radiologi (Boulton 1994, Dabson 1994).
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait bila
dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana
atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus
elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun
bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi
dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD
(Boulton 1994, Dabson 1994).
Kelas Definisi
20
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.
c) Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral
21
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia
(Boulton 1994, Dabson 1994).
2. Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa (Boulton 1994, Dabson 1994).
3. Premedikasi
22
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular (Boulton 1994, Dabson 1994).
23
2.4.8 Durante Operasi
a) Persiapan Pasien
Pasien dilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu
pendingin ruangan (Boulton 1994).
b) Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan menyusuri
krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan
bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg (Boulton 1994).
c) Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid
cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler (Boulton 1994, Dabson 1994).
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan
melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit
isotonik, juga disebut cairan jenis replacement (Boulton 1994, Dabson
1994).
24
diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang
(Boulton 1994, Dabson 1994).
d) Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu
dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard
monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut
ini adalah standard minimal monitoring) (Boulton 1994, Dabson 1994) :
1. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard
ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang
merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa
kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini
mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari
metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan
klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama
general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor
perawatan anestesi.
25
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama
anestesi adalah:
a) Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
b) Heart rate, nadi, dan kualitasnya
c) Warna membran mukosa, dan capillary refill time
d) Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata,
aktivitas reflek palpebra)
e) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
f) Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu
posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi ke
brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
26
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan
diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk
mencegah terjadinya risiko injury (Boulton 1994).
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-
benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh
pasien, tetapi efeknya minimal (Boulton 1994, Dabson 1994).
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.
a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu
27
Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok (Boulton 1994, Dabson
1994) :
28
pasca anesthesia dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan
Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh
anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi
oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.
29
ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES Same 2
MOVES TWO EXTREMITIES Same 1
NO MOVEMENT Same 0
30
pasien sendiri. Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama
anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis.
Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-
hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4
mg (0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang
efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak
berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi
disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type
antiemetics.
Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan
dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter.
Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge
nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV
misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6
acupuncture point (pergelangan tangan).
31
BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
Nama : Annisa Anggraini
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 14 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Garuda ujung No.10, Medan
Pekerjaan : siswi
Status Perkawinan : Belum Menikah
No RM : 25.12.55
2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Sakit perut kanan bawah
Telaah :
Pasien perempuan datang ke IGD RS Haji dengan keluhan sakit pada perut
kanan bawah yang dirasakan sejak sejak 7 hari ini. Pasien juga
mengeluhkan adanya mual dan muntah. Keluhan tidak disertai demam,
batuk, sesak nafas, sakit kepala. Riwayat operasi sebelumnya tidak ada.
Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi,
dan Asma.
RPT : (-)
RPO : (-)
RPK : (-)
32
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum : Baik
Vital Sign
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 120x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,20C
Tinggi Badan : 145cm
Berat Badan : 36 kg
Pemeriksaan Umum
Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
Kepala : Normocepali
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru
Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
abdominotorakal, retraksi costae -/-
Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris
33
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Nyeri Ketok (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Ekstremitas : Edema -/-
Genitalia : tidak ada pembesaran
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 13,6 g/dl
HT : 39,5 %
Eritrosit : 5,0 x 106/µL
Leukosit : 7,900/ µL
Trombosit : 316,000/µL
Metabolik
KGDS : - mg/dl
Asam Urat :-
Fungsi Ginjal
Ureum: - mg/dl
Kreatinin: - mg/dl
Diagnosis : Appendisitis
5. RENCANA TINDAKAN
Tindakan : Apendektomi
Anesthesi : RA-SAB
PS-ASA :1
Posisi : Supinasi
34
Pernapasan : Kanul nasal O2
B2 (Blood)
Akral : Hangat/Merah/Kering
TD : 110/70 mmHg
HR : 110x/menit
B3 (Brain)
Sensorium : Compos Mentis
Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
Urine Output : -
Kateter : tidak terpasang
B5 (Bowl)
Abdomen : Soepel
Peristaltik : Normal (+)
Mual/Muntah : (+)/(+)
35
B6 (Bone)
Oedem : (-)
Jumlah Cairan
PO : RL 500 cc
DO : RL 500 cc
Produksi Urin :-
Perdarahan
Kasa Basah : 0 x 10 = 0 cc
Kasa 1/2 basah :73 x 5 = 35 cc
Suction :-
Jumlah :-
EBV : 80 x 36 = 2880 cc
EBL 10 % = 288 cc
20 % = 576 cc
30 % = 864 cc
Durasi Operatif
Lama Anestesi = 09.55–10.40 WIB
Lama Operasi =10.02 – 10.40 WIB
36
Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan
betadine + alcohol 70%→ Insersi spinocan 25G → CSF (+), darah (-) →
injeksi bupivacain 0,5% 17,5mg → posisi supine → atur blok setinggi T6.
8. POST OPERASI
Operasi berakhir pukul : 10.40 WIB
Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
37
BAB IV
KESIMPULAN
1. Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (Appendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi
bertambah parah, Appendiks itu bisa pecah. Appendiks merupakan saluran
usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau
sekum (cecum).
2. Pada kasus Appendisitis dengan diagnosa yang sudah pasti tindakan yang
biasanya dilakukan adalah apendektomi. Apendektomi adalah tindakan
operatif yang dilakukan dengan cara memotong Appendiks yang mengalami
infeksi.
3. Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok
teknik yaitu central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid)
dan peripheral nerve blockade.
38
DAFTAR PUSTAKA
39