Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PRNDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan
aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh . Secara umum anestesi
dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum
(Boulton, 1994).
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat
konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik.
Sedangkan pada anestesi lokal kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang
hilang bersifat setempat (lokal) (Boulton,1994).
Anestesi regional adalah hambatan implus nyeri suatu bagian tubuh untuk
sementara pada impuls saraf, dengan menyuntikan obat anestesi disekitar saraf
sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap dalam
keadaan sadar. Anestesi regional terbagi menjaadi epidurl, spinal dan kaudal.
Spinal anastesi atau yang biasa disebut Subarachnoid Block (SAB) (Boulton,
1994).
Anestesi umum (general anestesi) adalah meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum biasanya
dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien
dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung,
pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Boulton
1994).
Appendiks vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang
mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid (Snell, 2007).
Appendiks memiliki panjang bervariasi sekitar 6cm hingga 9cm pada orang
dewasa. Dasarnya melekat pada sekum dan ujungnya memiliki kemungkinan

1
beberapa posisi seperti retrosekal, pelvis, antesekal, preileal, retroileal, atau
perikolik kanan. Appendisitis adalah peradangan dari Appendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Wibisono dan Jeo, 2014).
Appendisitis akut merupakan kasus terbanyak dari akut abdomen, 1% dari
semua kasus bedah, sangat jarang pada infant, insidens bertambah sesuai dengan
umur. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 20-30 tahun setelah itu
menurun (Wim De Jong, 2004).
Appendisitis adalah suatu keadaan yang sering terjadi yang membutuhkan
operasi kegawatan perut pada anak. Diagnosisnya sulit ditegakkan pada anak-
anak, dan merupakan faktor yang dapat menyebabkan perforasi hingga 30%-60%
pada anak. Risiko untuk perforasi terbanyak terjadi pada usia 1-4 tahun (70%-
75%) dan terendah pada remaja (30%-40%). Keterlambatan diagnosis sering
terjadi pada pada anak-anak dan telah dilaporkan sebanyak 57% kasus yang
terjadi dalam 6 tahun terakhir ini berakhir dengan adanya perforasi (Defa
Arisandi, 2008).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Appendiks


Saluran pencernaan (traktus digestivus) pada dasarnya adalah suatu
saluran (tabung) dengan panjang sekitar 30 kaki (9m). yang berjalan melalui
bagian tengah tubuh dari mulut sampai ke anus (sembilan meter adalah panjang
saluran pencernaan pada mayat; panjangnya pada manusia hidup sekitar
separuhnya karena kontraksi terus menerus dinding otot saluran). Saluran
pencernaan mencakup organ_organ berikut: mulut; faring; esophagus; lambung;
usus halus; (terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum); usus besar (terdiri dari
sekum, Appendiks, kolon dan rectum); dan anus (Lauralee Sherwood, 2001).
Appendix vermiformis atau yang sering disebut Appendiks merupakan
organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak
jaringan limfoid. Panjang Appendiks bervariasi dari 3–4 inci (8–13 cm). Dasarnya
melekat pada permukaan sekum. Sekum adalah bagian dari usus besar yang
terletak di perbatasan ileum dan usus besar. Bagian Appendiks lainnya bebas.
Appendiks ditutupi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah
mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek yang
dinamakan mesoAppendiks. MesoAppendiks berisi arteri, vena dan saraf-saraf
(Snell, 2007).

Gambar Anatomi Appendiks

3
Appendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal diproyeksikan ke
dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaca anterior superior kanan dan umbilikus. Ujung Appendiks mudah
bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini:
1. Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis kanan
2. Melengkung di belakang sekum
3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum
4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum.
Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan (Snell,
2007).
Posisi Appendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-organ
lainnya. Yang paling sering, sekitar 75 % terletak di belakang sekum. Sekitar 20%
menggantung ke bawah di bawah tulang panggul.

Gambar Variasi Dalam Posisi Appendiks Vermiformis

Persarafan Appendiks berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan


parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Perdarahan Appendiks
berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri
ini tersumbat, misalnya pada thrombosis, Appendiks akan mengalami gangren
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).

4
2.2 Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara Appendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
Appendisitis(Wim De Jong,2004).
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk Appendiks ,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendik tidak memengaruhi system imun tubuh
karena jumlah jaringan limf di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh(Wim De Jong,2004).

2.3 Appendisitis
2.3.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (Appendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi
bertambah parah, Appendiks itu bisa pecah. Appendiks merupakan saluran usus
yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau sekum
(cecum). Appendiks besarnya sekitar kelingking tangan dan terletak di perut
kanan bawah. Strukturnya seperti bagian usus lainnya. Namun, lendirnya banyak
mengandung kelenjar yang senantiasa mengeluarkan lendir.Appendisitis
merupakan peradangan pada usus buntu/Appendiks (Defa Arisandi, 2008).

2.3.2 Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari Appendisitis terbagi atas dua, yaitu :
1. Appendisitis akut, dibagi atas: Appendisitis akut fokalis atau segmentalis,
yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi,
yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Appendisitis kronis, dibagi atas: Appendisitis kronis fokalis atau parsial,
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis kronis obliteritiva

5
yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua(Defa Arisandi,
2008).

2.3.3 Etiologi dan Patogenesis


Appendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen Appendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai factor pencetus disamping hyperplasia jaringan limf, fekalit,
tumor Appendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab yang lain yang diduga dapat menyebabkan Appendisitis ialah erosi
mukosa Appendiks karena parasit seperti E.histolytica. Namun menurut E.
Oswari, kuman yang sering ditemukan dalam Appendiks yang meradang adalah
Escherichia coli dan Streptococcus.
Obstruksi pada lumen merupakan etiologi paling sering pada Appendisitis
akut. Fecalith (Faex = tinja, lithos = batu) merupakan penyebab paling umum
obstruksi Appendiks. Penyebab yang paling jarang adalah pembesaran dari
jaringan limfoid, penggumpalan barium dalam pemeriksaan x-ray, tumor, sayur-
sayuran dan biji-bijian dari buah, dan parasit dari usus halus. Frekuensi obstruksi
meningkat seiring dengan tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan
pada 40% kasus Appendisitis akut, pada 65% kasus Appendisitis gangren tanpa
adanya ruptur Appendiks, dan 90% kasus pada Appendisitis gangren dengan
ruptur Appendiks (Berger, 2010).
Obstruksi pada bagian Appendiks menyebabkan tertutupnya kedua ujung
segmen usus (close-loop obstruction), dan sekreksi pada mukosa Appendiks yang
normalnya terus menerus menyebabkan distensi pada Appendiks. Kapasitas
lumen dari Appendiks normalnya hanya 0,1 ml. Sekresi cairan pada distal
Appendiks yang melebihi kapasitas menyebabkan peningkatan tekanan di dalam
lumen Appendiks. Distensi dari Appendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen
viseral yang menyebabkan rasa sakit yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir
di bagian tengah abdomen dan bawah epigastrium. Distensi yang terjadi tiba-tiba
juga menstimulasi terjadinya peristaltik sehingga pada beberapa nyeri viseral pada
Appendiks didahului oleh kram perut. Sekresi mukosa yang berlanjut dan

6
berkembangnya bakteri dalam Appendiks semakin meningkatkan distensi.
Distensi pada tingkat ini juga menyebabkan mual, muntah dan nyeri viseral yang
berat. Tekanan pada organ yang semakin meningkat melebihi tekanan pada vena
menyebabkan kapiler dan pembuluh darah venule tersumbat tetapi aliran darah
arteriole sehingga menyebabkan pembesaran dan kongesti vascular. Proses
inflamasi kemudian melibatkan bagian serosa pada Appendiks dan kemudian ke
arah peritoneum parietal dimana dihasilkan karakteristik nyeri yang berpindah ke
kuadran kanan bawah. Mukosa saluran cerna termasuk Appendiks rentan
terhadap gagguan pada aliran darah. Oleh sebab itu integritas mukosa Appendiks
menjadi terganggu. Dengan distensi yang berlanjut, invasi bakteri, aliran darah
yang tidak adekuat, progresi dari nekrosis jaringan dapat menyebabkan
munculnya perforasi. Perforasi biasanya muncul di sisi luar obstruksi daripada
ujung karena efek tekanan intraluminal pada dinding yang paling tipis (Berger,
2010).

2.3.4 Patofisiologi dan Gejala Klinis


Patofisiologi Appendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding Appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama.
Sistem pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup
Appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang dikenal dengan istilah apendicial mass. Di dalamnya dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, Appendisitis akan sembuh dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).
Gejala dari Appendisitis dapat berupa:
1. Nyeri kolik periumbilikus
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama Appendisitis akut. Nyeri pada
awalnya terpusat pada epigastrium atau periumbilikus, nyeri bersifat berat
menetap dan biasanya disertai dengan kram intermiten.Distensi dari Appendiks
akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang menyebabkan rasa sakit

7
yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen dan
bawah epigastrium.
2. Nyeri pada fossa-iliaca kanan
Nyeri akan berpindah setelah beberapa jam dari periumbilikus ke kanan bawah
daerah fosa iliaka kanan. Disini, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
3. Demam (Pyrexia)
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC. Bila suhu lebih
tinggi kemungkinan sudah terjadinya perforasi.
4. Mual, muntah, dan anoreksia
Nyeri perut bagian sentral berhubungan dengan mual, muntah, dan anoreksia.
Appendisitis hampir selalu disertai dengan anoreksia dan biasanya terjadi satu
atau dua kali episode muntah. Hal ini konstan sehingga pada saat diagnosis
harus ditanyakan ada tidaknya keluhan anoreksia. Walaupun 75% pasien
menunjukkan gejala muntah namun hal itu tidak berlangsung lama,
kebanyakan hanya satu atau dua kali saja. Gejala muntah ini disebabkan
stimulasi dari neuron maupun gerakan dari usus. Pada 95% pasien dengan
Appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala utama diikuti oleh nyeri
abdomen kemudian dilanjutkan dengan gejala muntah. Jika muntah lebih
dominan dari gejala nyeri abdomen maka Appendisitis harus dipertanyakan
(Berger, 2010).

2.3.5 Penegakan Diagnosa


2.3.5.1 Anamnesis
Appendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua
pasien dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan gejala klinis yakni mual
dan muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut periumbilikal
yang kemudian nyeri perut kuadran kanan bawah yang makin progresif. Urutan
munculnya gejala memiliki peranan penting dalam diagnosis banding
Appendisitis (Wibisono dan Jeo, 2013).

8
2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan Appendisitis akut akan tampak kesakitan dan berbaring.
Umumnya demam sekitar 38oC. Pada pemeriksaan abdomen, bising usus akan
berkurang dan nyeri tekan daerah Appendiks pada titik sepertiga bawah garis
antara umbilicus dengan spina iliaka anterior superior (McBurney’s point). Pada
palpasi akan didapatkan muscle guarding. Nyeri tekan dan nyeri lepas akan
dijumpai, batuk juga akan meningkatkan rasa nyeri pada Appendisitis.

Gambar McBurney’s Point

Tanda khas yang dapat ditemukan pada Appendisitis akut adalah sebagai berikut.
 Pointing sign
Nyeri pada kuadran kanan bawah pada Mc’Burney point.
 Rovsing sign
Nyeri pada fosa iliaka kanan pada saat palpasi dalam di region fosa iliaka kiri.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam diagnosis klinis Appendisitis.
 Psoas sign
Disebut juga cope sign. Penderita akan memfleksikan pinggul atau nyeri pada
hiperekstensi pinggul akibat kontak antara prosesus yang meradang dengan
otot psoas.
 Obturator sign
Nyeri pada pinggul pada saat dilakukan rotasi internal. Appendiks yang
mengalami inflamasi akan menyebabkan nyeri pada daerah hipogastrium
ketika dilakukan manuver ini.

9
Pada Appendisitis perforata, nyeri abdomen menjadi sangat hebat dan
tersebar, peningkatan spasme daripada otot abdomen sehingga menyebabkan kaku
otot (muscle rigidity). Denyut jantung akan meningkat dan temperatur akan
meningkat hingga melebihi 39oC.

2.3.5.3 Pemeriksaan Laboraturium


Pemeriksaan Laboraturium
Pada kebanyakan pasien, sel darah putih akan meningkat dengan neutrofil
lebih dari 75%. Kadar leukosit normal pada Appendisitis ditemukan pada 10%
kasus. Kadar leukosit yang tinggi, lebih dari 20.000/ml didapatkan apabila
terjadinya gangren atau Appendisitis perforasi. Urinalisis dapat dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding pyelonephritis atau nephrolithiasis (Wibisono
dan Jeo, 2013).
Pemeriksaan Radiografi
 Pemeriksaan Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat digunakan dengan penemuan diameter anteroposterior
Appendiks yang lebih besar dari 7mm, penebalan dindng, struktur lumen yang
tidak dapat dikompresi, atau adanya apendikolit.

Gambar Gambaran Appendiks Normal Pada Apendikogram


*Tanda panah menunjukkan gambar Appendiks normal

10
 CT-scan
CT-scan merupakan pilihan untuk pasien pria, pasien yang lebih tua dan ketika
pasien diduga terdapat abses sekitar Appendiks. Diagnosis CT-scan pada
Appendisitis didasarkan pada penemuan sebagai berikut:
1. dilatasi Appendiks hingga > 6mm,
2. Appendiks dikelilingi oleh gambaran inflamasi atau abses,
3. abses pericecal atau massa inflamasi dengan pembentukan apendicolith.

2.3.6 Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada Appendisitis tanpa
komplikasi biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada
Appendisitis gangrenosa atau Appendisitis perforate. Penundaan tindak bedah
sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi (Wim De
Jong, 2004).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara
laparskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh
ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa
dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus meragukan dapat segera menentukan
akan dilakukan operasi atau tidak (Wim De Jong, 2004).

2.3.7 Diagnosis Banding


Menurut Sjamsuhidajat & de Jong (2007) beberapa penyakit perlu
dipertimbangkan sebagai diagnosa banding, yaitu:
 Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual muntah dan diare mendahului rasa nyeri. Nyeri
perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Sering dijumpai adanya

11
hiperperistaltik. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
Appendisitis akut.
 Demam Dengue
Demam dengue dapat dimulai dengan nyeri perut mirip peritonitis. Pada
penyakit ini, didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel leede trombositopenia
dan peningkatan hematokrit
 Limfadenitis mesenterika
Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului olen enteritis atau
gastroenteritis, ditandai olehnyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta
perasaan mual dan nyeri tekan perut yang sifatnya samar, terutama perut
sebelah kanan.
 Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah pada ovulasi dapat menimbulkan nyeri pada
perut kanan bawah di tengah siklus menstruasi. Pada anamnesis nyeri yang
sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa
hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua
hari.
 Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan Appendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada Appendisitis dan nyeri perut bagian bawah
perut biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagin, akan
timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat
dilakukan colok dubur jika perlu.
 Kehamilan di luar kandungan
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vagina, didapatkan
nyeri dan penonjolan rongga Douglas.
 Kista ovarium terpuntir

12
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagina atau colok rektal.
Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan
diagnosis ini.
 Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan menimbulkan nyeri di tempat endometriosis
berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan
keluar.
 Urolitiasis pielum/ureter kanan
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Eritrosit pada urin sering ditemukan. Foto
polos perut atau urografi intravena dapat memastikan diagnosis penyakit ini.
 Penyakit saluran cerna lainnya
Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti
divertikulus Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis
akut, pankreatitis, obstruksi usus, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis,
karsinoid dan mukokel Appendiks.

2.3.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada Appendiks yang mengalami pendindingan
sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan Appendiks , sekum, dan lekuk
usus halus.
 Massa apendikular
Massa Appendiks terjadi bila Appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau di bungkus oleh omentum. Pada massa periapendikuler dengan
pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke
seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya
segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasinya masih
mudah. Pada anak, dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa

13
dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang
sempurna sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik sambil
dilakukan pemantauan terhadap suhu tubuh, ukuran massa serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan
leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendektomi dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses Appendiks. Hal ini ditandai
dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit (Sjamsuhidajat & de
Jong, 2007).

 Appendisitis perforata
Adanya fekalit didalam lumen, penderita pada usia anak-anak maupun
orangtua, dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor yang berperanan dalam
terjadinya perforasi Appendiks. Insidensi perforasi pada penderita di atas usia 60
tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidensi
perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat,
adanya perubahan anatomi Appendiks berupa penyempitan lumen, dan
arteriosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding Appendiks
yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu
diagnosis, dan proses pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang
berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang.
Perforasi Appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut
menjadi distensi(tegang dan kembung). Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi
di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimun di regio iliaka
kanan, peristalsis usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus
paralitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar
terlokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma.
Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai
abses (Sjamsuhidajat & de Jong, 2007).

14
2.3.9 Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang
akurat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8%
dan disebabkan oleh komplikasi penyakit dan pada intervensi bedah. Pada anak,
angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien diatas 70 tahun angka ini
meningkat di atas 20% terutama karena keterlambatan diagnosis dan terapi
(Wibisono dan Jeo, 2013).

2.4 Regional Anestesia Subarachnoid (Ra-Sab)


2.4.1 Sejarah Ra-Sab
Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan dalam
klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. RA-SAB pertama
kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu, digunakan secara
luas sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak dilaporkan cedera
neurologik yang permanen. Publikasi dari studi epidemiologi tahun 1950
menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang terjadi jika dilakukan dengan
teknik yang benar dengan perhatian pada tindakan asepsis dan penggunaan
lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal memberikan lapangan yang luas bagi
ahli anestesi, sebagai alternatif anestesi umum jika kondisi memungkinkan.
(Boulton 1994, Dabson 1994).

2.4.2 Definisi Ra-Sab


Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok teknik –
central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan peripheral
nerve blockade.
Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin dari
pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan pemeriksaan
laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT). Peralatan yang
diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan monitor seperti
tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi

15
umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (Quincke-Babcock) atau jarum
spinal dengan ujung pensil (Boulton 1994, Dabson 1994).

2.4.3 Indikasi Ra-Sab


Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut
(Boulton 1994, Dabson 1994):

1 Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat


inervasi pada buli buli kencing)
2 Hysterectomy
3 Caesarean section (T6)
4 Evakuasi alat KB yang tertinggal
5 Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti
arthroplasty
6 Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal

2.4.4 Kontraindikasi Ra-Sab


Kontraindikasi Absolut (Boulton 1994, Dabson 1994).
a) Pasien menolak
b) Deformitas pada lokasi injeksi
c) Hipovolemia berat
d) Sedang dalam terapi antikoagulan
e) Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
f) Peningkatan tekana intracranial.

Kontraindikasi Relatif (Boulton 1994, Dabson 1994).


a) Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia)
b) Infeksi sekitar tempat penyunikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama
f) Penyakit jantung

16
g) Hipovolemia ringan
h) Nyeri punggung kronis

2.4.5 Komplikasi Ra-Sab

Komplikasi Pasca Tindakan (Boulton 1994, Dabson 1994).

a) Nyeri tempat suntikan


b) Nyeri punggung
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urine
e) Meningitis

2.4.6 Teknik Anastesi

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau


posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

Gambar Anatomi Spinal Anestesi

17
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid (Boulton 1994,
Dabson 1994).

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.


Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya
L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23
G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G
atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm
agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003 –
1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air
injeksi.

18
2.4.7 Preoperatif

a) Penilaian Preoperatif

Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan


anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif (Boulton 1994, Dabson 1994).

Tujuan:

1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif


2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.

b) Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni meliputi
identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah
yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis
umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-
obatan, riwayat operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat
alergi (Boulton 1994, Dabson 1994).
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan
untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan
pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf,
respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier,
urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka
(Boulton 1994, Dabson 1994).

19
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain
itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita
penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai
indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan
radiologi (Boulton 1994, Dabson 1994).
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait bila
dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana
atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus
elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun
bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi
dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD
(Boulton 1994, Dabson 1994).

5. Menentukan prognosis pasien perioperative


Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American Society
of Anesthesiologist (ASA) (Boulton 1994, Dabson 1994).

Tabel 2.3 Klasifikasi ASA.

Kelas Definisi

ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.

ASA 2 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit


sistemik ringan sampai sedang

ASA 3 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit


sistemik berat yang disebabkan karena berbagai
penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.

ASA 4 pasien penyakit bedah dengan disertai penyakit sistemik

20
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.

ASA 5 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit


sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam24 jam pasien meninggal.

ASA 6 pasien mati batang otak yang akan menjalani


transplantasi organ untuk donor.

E Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka


status pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko


anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status
fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring (Boulton 1994, Dabson 1994).

c) Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.

21
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia
(Boulton 1994, Dabson 1994).

2. Terapi Cairan

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa (Boulton 1994, Dabson 1994).

3. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi


dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya (Boulton 1994, Dabson 1994) :

a) Meredakan kecemasan dan ketakutan


b) Memperlancar induksi anestesi
c) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d) Meminimalkan jumlah obat anestetik
e) Mengurangi mual muntah pasca bedah
f) Menciptakan amnesia
g) Mengurangi isi cairan lambung
h) Mengurangi reflek yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada


situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi

22
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular (Boulton 1994, Dabson 1994).

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis


asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor
H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam
sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering
ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5
mg atau ondansetron 2-4 mg (Boulton 1994, Dabson 1994).
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa
pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50 mg untuk
profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide
digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah,
mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung
sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi (Boulton
1994, Dabson 1994).
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi
yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram
uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor
Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga
sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi (Boulton 1994, Dabson
1994).
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin
dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat
mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko
(Dabson 1994).

23
2.4.8 Durante Operasi
a) Persiapan Pasien
Pasien dilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu
pendingin ruangan (Boulton 1994).
b) Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan menyusuri
krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan
bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg (Boulton 1994).

c) Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid
cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler (Boulton 1994, Dabson 1994).

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk
kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan
melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit
isotonik, juga disebut cairan jenis replacement (Boulton 1994, Dabson
1994).

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan


jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan
merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar

24
diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang
(Boulton 1994, Dabson 1994).

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan


darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1
spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat
menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika
spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah
(Boulton 1994, Dabson 1994).

d) Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu
dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard
monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut
ini adalah standard minimal monitoring) (Boulton 1994, Dabson 1994) :
1. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard
ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang
merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa
kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini
mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari
metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan
klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama
general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor
perawatan anestesi.

25
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama
anestesi adalah:
a) Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
b) Heart rate, nadi, dan kualitasnya
c) Warna membran mukosa, dan capillary refill time
d) Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata,
aktivitas reflek palpebra)
e) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
f) Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.4.9 Post Operatif


a) Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care


unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital sign dan level nyerinya. Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah
harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan.
Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien
diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase (Boulton 1994).

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu
posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi ke
brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan

26
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan
diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk
mencegah terjadinya risiko injury (Boulton 1994).

Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan


kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat
agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi
ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum
pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter
anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut
berjalan dengan lancar (Boulton 1994).

b) Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-
benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh
pasien, tetapi efeknya minimal (Boulton 1994, Dabson 1994).

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.

Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih


dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat
alat berikut (Boulton 1994, Dabson 1994) :

a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu

27
Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok (Boulton 1994, Dabson
1994) :

a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan goncangan


kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali
pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif
pasca anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini, perawatan
pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien secepatnya mampu
menjaga respirasi yang adekuat.
c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan selain itu
juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot
sehingga pasien dapat kembali pulang.

Ruang Pulih (Boulton 1994, Dabson 1994) :

a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau secara


kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan
sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi,
memantau perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah nyeri
pasca bedah.
b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang
pulih: pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal, pasien
dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak ada
ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi intensif, pasien yang
akan dilakukan tindakan khusus di ruangan.
c) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik. Hal-hal yang perlu
diperhatikan yaitu meliputi pemulihan kesadaran, respirasi (sumbatan
jalan nafas dan depresi nafas), sirkulasi (tekanan darah dan denyut
jantung), fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna,
aktivitas motorik, suhu tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan

28
pasca anesthesia dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan
Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh
anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi
oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.

Tabel 2.4 Aldrete Score

POSTA NESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE

ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue


COLOR Oxygenation
PINK SpO2>92% on room air 2
PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1
CYANOTIC SpO2<90% on oxygen 0
RESPIRATION
CAN BREATHE DEEPLY AND COUGH Breathes deeply and 2
coughs freely
SHALLOW BUT ADEQUATE Dyspneic, shallow or 1
EXCHANGE limited breathing
APNEA OR OBSTRUCTION Apnea 0
CIRCULATION
BLOOD PRESSURE WITHIN 20% OF Blood pressure ± 20 2
NORMAL mmHg of normal
BLOOD PRESSURE WITHIN 20–50% OF Blood pressure ± 20– 1
NORMAL 50mmHg of normal
BLOOD PRESSURE DEVIATING >50% Blood pressure more than 0
FROM NORMAL ± 50 mmHg of normal
CONSCIOUSNESS
AWAKE, ALERT, AND ORIENTED Fully awake 2

AROUSABLE BUT READILY DRIFTS Arousable on calling 1


BACK TO SLEEP
NO RESPONSE Not responsive 0

29
ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES Same 2
MOVES TWO EXTREMITIES Same 1
NO MOVEMENT Same 0

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth


Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited.
J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau
minimal 9.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk


dikeluarkan dari PACU adalah (Boulton 1994, Dabson 1994).

a) Fungsi pulmonal yang tidak terganggu


b) Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c) Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d) Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e) Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f) Mual dan muntah dalam kontrol
g) Nyeri minimal

Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan


normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang
sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor

30
pasien sendiri. Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama
anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis.
Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-
hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4
mg (0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang
efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak
berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi
disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type
antiemetics.
Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan
dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter.
Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge
nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV
misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6
acupuncture point (pergelangan tangan).

2.4.10 Efek Ra-Sab

Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional


dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid
dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu dan
relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002). Penyuntikan obat anestetik local pada
ruang subarachnoid diantara konus medularis dan bagian akhir dari ruang
subarachnoid adalah untuk menghindari adanya kerusakan pada medulla
spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang
subarachnoidantara L2 dan L5(biasanya antara L3 dan L4). Untuk mendapatkan
blokade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini
tergantung kepada banyak factor, antara lain posisi pasien dan berat jenis obat
(Boulton 1994).

31
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
 Nama : Annisa Anggraini
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 14 Tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Jl. Garuda ujung No.10, Medan
 Pekerjaan : siswi
 Status Perkawinan : Belum Menikah
 No RM : 25.12.55

2. ANAMNESA
 Keluhan Utama : Sakit perut kanan bawah
 Telaah :
Pasien perempuan datang ke IGD RS Haji dengan keluhan sakit pada perut
kanan bawah yang dirasakan sejak sejak 7 hari ini. Pasien juga
mengeluhkan adanya mual dan muntah. Keluhan tidak disertai demam,
batuk, sesak nafas, sakit kepala. Riwayat operasi sebelumnya tidak ada.
Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi,
dan Asma.
 RPT : (-)
 RPO : (-)
 RPK : (-)

32
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
 Keadaan Umum : Baik

Vital Sign
 Sensorium : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 130/90 mmHg
 Nadi : 120x/menit
 RR : 20x/menit
 Suhu : 36,20C
 Tinggi Badan : 145cm
 Berat Badan : 36 kg

Pemeriksaan Umum
 Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
 Kepala : Normocepali
 Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
 Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax
Paru
 Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan
abdominotorakal, retraksi costae -/-
 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru

Abdomen
 Inspeksi : Datar, Simetris

33
 Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
 Perkusi : Nyeri Ketok (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
 Ekstremitas : Edema -/-
Genitalia : tidak ada pembesaran

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 13,6 g/dl
 HT : 39,5 %
 Eritrosit : 5,0 x 106/µL
 Leukosit : 7,900/ µL
 Trombosit : 316,000/µL

Metabolik
 KGDS : - mg/dl
 Asam Urat :-

Fungsi Ginjal
 Ureum: - mg/dl
 Kreatinin: - mg/dl

Diagnosis : Appendisitis

5. RENCANA TINDAKAN
 Tindakan : Apendektomi
 Anesthesi : RA-SAB
 PS-ASA :1
 Posisi : Supinasi

34
 Pernapasan : Kanul nasal O2

6. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
 Airway : Clear
 RR : 20x/menit
 SP : Vesikuler ka=ki
 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)

B2 (Blood)
 Akral : Hangat/Merah/Kering
 TD : 110/70 mmHg
 HR : 110x/menit

B3 (Brain)
 Sensorium : Compos Mentis
 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
 RC : (+)/(+)

B4 (Bladder)
 Urine Output : -
 Kateter : tidak terpasang

B5 (Bowl)
 Abdomen : Soepel
 Peristaltik : Normal (+)
 Mual/Muntah : (+)/(+)

35
B6 (Bone)
 Oedem : (-)

7. PERSIAPAN OBAT RA-SAB


Intratekal
 Bupivacaine 0,5% : 15mg
 Fentanyl : 25µg

Jumlah Cairan
 PO : RL 500 cc
 DO : RL 500 cc
 Produksi Urin :-

Perdarahan
 Kasa Basah : 0 x 10 = 0 cc
 Kasa 1/2 basah :73 x 5 = 35 cc
 Suction :-
 Jumlah :-
 EBV : 80 x 36 = 2880 cc
 EBL 10 % = 288 cc
20 % = 576 cc
30 % = 864 cc
Durasi Operatif
 Lama Anestesi = 09.55–10.40 WIB
 Lama Operasi =10.02 – 10.40 WIB

Teknik Anastesi : RA-SAB

36
 Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan
betadine + alcohol 70%→ Insersi spinocan 25G → CSF (+), darah (-) →
injeksi bupivacain 0,5% 17,5mg → posisi supine → atur blok setinggi T6.

8. POST OPERASI
 Operasi berakhir pukul : 10.40 WIB
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2

PERAWATAN POST OPERASI


 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.

9. TERAPI POST OPERASI


 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 25 gtt/menit
 Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
 Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV
 Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah

37
BAB IV
KESIMPULAN

1. Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (Appendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi
bertambah parah, Appendiks itu bisa pecah. Appendiks merupakan saluran
usus yang ujungnya buntu dan menonjol dari bagian awal usus besar atau
sekum (cecum).
2. Pada kasus Appendisitis dengan diagnosa yang sudah pasti tindakan yang
biasanya dilakukan adalah apendektomi. Apendektomi adalah tindakan
operatif yang dilakukan dengan cara memotong Appendiks yang mengalami
infeksi.
3. Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok
teknik yaitu central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid)
dan peripheral nerve blockade.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Arisandi, Defa, 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Appendisitis.


Pontianak: Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah Pontianak.
Available from: http://stikep.blogspot.com
2. Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.
EGC. Jakarta. pp:229-231
3. Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC
4. De jong, Wim, 2004. (diterjemahkan oleh Sjamsuhidajat, R.). Buku Ajar Ilmu
Bedah. Ed.2. Jakarta : EGC.
5. Sherwood, Lauralee, 2001. (diterjemahkan oleh Bram U.). Fisiologi Manusia
: dari sel ke sistem. Ed.2. Jakarta : EGC.
6. Sjamsuhidajat, R., dan De Jong, W., 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat-De Jong: Usus halus, Appendiks, kolon dan anorektum. Edisi
3. Jakarta: EGC.
7. Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Rongga
abdomen. Edisi 6. Alih bahasa ole Sugiharto L. Jakarta: EGC.
8. Wibisno, E., dan Jeo, W.S., 2014. Kapita Selekta Kedokteran: Appendisitis.
Edisi 4, vol 1. Jakarta: Media Aesculapius.

39

Anda mungkin juga menyukai