versi 2.0
April 2017
Mengembangkan Tata Kelola BLU
versi 2.0
Penyusun
Alfiker Siringoringo
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan gagasan/buah pikir yang didasarkan pada riset literatur dan kondisi imple-
mentatif di lapangan. Substansi pembahasan di dalamnya tidak menggambarkan kebijakan institusi
April 2017
ii
Mengembangkan Tata Kelola BLU
ABSTRAK
Diop (2014) dari World Bank, dalam 'Indonesia: Avoiding the Trap', menyebutkan terda-
pat setidaknya 2 (dua) fenomena yang terjadi di Indonesia yaitu gelombang lonjakan kelas
menengah dan bonus demografi. Kedua fenomena tersebut merupakan kesempatan sekali-
gus risiko yang besar bagi struktur perekonomian. Optimalisasi fenomena tersebut dapat dila-
kukan melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas sehingga menjamin terpenuhinya
kebutuhan masyarakat.
Pada kondisi ini, Pemerintah menjadi pihak yang paling bertanggungjawab terhadap ke-
suksesan optimalisasi tersebut. Di dalam sistem keuangan negara, telah terdapat skema tata
kelola Badan Layanan Umum (BLU) yang dapat menjadi tangan Pemerintah untuk menyedi-
akan layanan penyediaan barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan op-
timalisasi fenomena kelas menengah dan bonus demografi. Perlu dipahami, kondisi layanan
tersebut belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pemerintah tersebut. Pangkal perma-
salahannya adalah tata kelola.
Paper ini menawarkan solusi bagaimana mengembangkan tata kelola BLU untuk men-
ciptakan institusi-institusi yang menjadi katalisator bagi pengembangan daya saing bangsa
dengan peningkatan Total Factor Productivity (TFP). TFP merupakan faktor residual dalam
perhitungan-perhitungan ekonomi, namun merupakan faktor utama yang memberikan nilai
pengganda pada input. Peningkatan TFP inilah yang kami sasar sebagai tujuan utama pe-
ngembangan tata kelola BLU.
Di dalam paper ini, beberapa mekanisme eksisting yang telah mapan dibangun ulang
dan diperkuat kembali. Ruang lingkup pola keuangan BLU dijabarkan kembali untuk membe-
rikan ruang bagi BLU dalam pengembangan TFP yang menjadi tujuan akhir. Pola hubungan
BLU dengan principal yang selama ini cenderung bersifat ambigu juga dirumuskan ulang agar
menjadi lebih jelas, tegas dan transparan. Hal-hal seperti pengelolaan keuangan, pengukuran
kinerja, pengembangan konsep juga dibahas sebagai solusi yang aplikatif dan komprehensif
atas kebutuhan pengembangan struktur perekonomian di Indonesia.
Alfiker Siringoringo
iii
Mengembangkan Tata Kelola BLU
DAFTAR ISI
ABSTRAK iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR TABEL viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan Mengembangkan Tata Kelola 2
C. Batasan Pembahasan 3
D. Sistematika Pembahasan 4
Alfiker Siringoringo
iv
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Alfiker Siringoringo
v
Mengembangkan Tata Kelola BLU
BAB 8 PENUTUP 95
A. Kesimpulan 95
B. Rekomendasi 95
SUPLEMEN
Total Factor Productivity 97
1. Definisi TFP 98
2. TFP Digerakkan oleh Inovasi 99
3. Pergerakan TFP Dunia 100
4. Kondisi TFP Indonesia 100
5. Pembangunan Tata Kelola BLU, Sebuah Peluang Perbaikan Level TFP 102
6. Referensi 103
REFERENSI 106
Alfiker Siringoringo
vi
Mengembangkan Tata Kelola BLU
DAFTAR GAMBAR
Alfiker Siringoringo
vii
DAFTAR TABEL
Alfiker Siringoringo
Mengembangkan Tata Kelola BLU
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diop (2014) dari World Bank, dalam 'Indonesia: Avoiding the Trap', menyebutkan terda-
pat setidaknya 2 (dua) fenomena yang terjadi di Indonesia yaitu gelombang lonjakan kelas
menengah dan bonus demografi yang menguntungkan perekonomian Indonesia. Bauran dari
fenomena tersebut memberikan suatu optimisme lompatan inovasi yang diharapkan dapat
menjadi katalis perekonomian. Namun potensi besar itu juga diikuti adanya risiko yang besar.
Kualitas generasi yang rendah serta kesenjangan sosial menjadi ancaman stabilitas bang-
sa apabila fenomena tersebut salah diantisipasi. Berdasarkan riset Asian Development Bank
(2010) berjudul 'The Rise of Asia's Middle Class', Indonesia merupakan salah satu negara yang
mengalami fenomena kelas menengah dimana fenomena tersebut memiliki implikasi positif
dan negatif. Pada sisi positif, fenomena tersebut memiliki implikasi: (1) perluasan pasar de-
ngan barang-barang konsumsi; (2) tumbuhnya inovasi-inovasi yang mengefisienkan biaya; (3)
meningkatnya akuntabilitas sektor publik; dan (4) pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada
sisi negatif, implikasi yang timbul yaitu: (1) tekanan terhadap lingkungan; dan (2) meningkat-
nya penyakit akibat konsumsi. Peran Pemerintah kiranya sangat dibutuhkan untuk mengop-
timalkan implikasi positif dan meminimalkan implikasi negatif dari kedua fenomena tersebut.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah memiliki fungsi dalam alokasi, distribusi dan stabili-
sasi. Salah satu pengejawantahan fungsi alokasi dan distribusi adalah penyediaan pelayanan
publik berkualitas yang ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
bangsa sesuai cita-cita konstitusi. Namun demikian, perlu dipahami bahwa peran Pemerintah
tersebut dibatasi oleh suatu konstrain keterbatasan anggaran dimana jumlah yang dialoka-
sikan untuk peningkatan kualitas pelayanan publik tidak sebanding dengan jumlah yang di-
butuhkan untuk peningkatan kualitas. Hal tersebut diperparah dengan lambatnya akselerasi
peningkatan penerimaan yang belum mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan belanja.
David Osborne (1993), dalam artikelnya berjudul 'Reinventing Government', mencoba
menuliskan resep untuk menjawab permasalahan seperti Indonesia. Resep tersebut sering
disebut dengan mewirausahakan pemerintah (enterprising government). Menurut Osborne,
resep tersebut dibutuhkan agar Pemerintah dapat meningkatkan layanan dan produktifitas
melalui kondisi dana yang terbatas. Osborne mencoba merumuskan beberapa prinsip Peme-
rintah yang memiliki sifat enterpreneur yaitu: (1) katalistik (catalytic); (2) dimiliki komunitas
Alfiker Siringoringo
1
Mengembangkan Tata Kelola BLU
(community-owned); (3) kompetitif (competitive); (4) diarahkan oleh misi (mission-driven); (5)
berorientasi hasil (result-oriented); (6) diarahkan oleh pelanggan (customer-driven); (7) terde-
sentralisasi (decentralized); (8) digerakkan oleh pasar (market-driven).
Di Indonesia, teori 'enterpreneur government' milik Osborne diadopsi dalam reformasi
keuangan negara melalui pemberian suatu fleksibilitas tata kelola keuangan pada Badan La-
yanan Umum (BLU). Fleksibilitas tersebut dimaksudkan agar institusi-institusi penyedia dapat
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat meskipun terdapat keterbatasan
dana yang dialokasikan Pemerintah.
Pemberian fleksibilitas keuangan pada BLU dituangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Saat ini
pemikiran tentang tata kelola BLU telah tumbuh dan diimplementasikan secara masif pada
instansi penyedia layanan Pemerintah. Dari tahun ke tahun jumlah BLU semakin banyak dan
diikuti dengan pendapatan yang semakin meningkat. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulya-
ni, sebagaimana dikutip oleh situs berita liputan6.com (22/11/2016) berjudul 'Menkeu Usul
Pegawai Badan Layanan Umum Mendapat Remunerasi', jumlah Badan Layanan Umum (BLU)
telah naik signifikan dari 13 pada 2005 menjadi 182 hingga 2015. BLU pun bertambah lagi 16
pada 2016. Dari sisi pendapatan, pendapatan BLU naik secara signifikan untuk periode 2008-
2015. Pada tahun 2008 pendapatan BLU tercatat sebesar Rp 3,7 triliun dan tumbuh hingga
mencapai lebih dari 11 kali lipat yaitu Rp 35,3 triliun atau meningkat rata-rata 20 persen per
tahunnya. Peningkatan kualitas maupun kuantitas tersebut menggambarkan secara singkat
potensi yang sangat besar pengelolaan keuangan BLU.
OPPORTUNITIES KEBUTUHAN
- Layanan penyediaan
- Kenaikan Kelas barang & jasa
Menengah ; berkualitas;
- Bonus Demografi; - Tarif terjangkau;
Anggaran Terbatas
Pada gambar di atas mengilustrasikan alur pikir tujuan pengembangan tata kelola BLU.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia menghadapi suatu kesempatan untuk mela-
kukan lompatan karena adanya fenomena kenaikan kelas menengah dan bonus demografi.
Alfiker Siringoringo
2
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Kedua fenomena tersebut menuntut adanya respon Pemerintah dalam memberikan layanan
penyediaan barang dan jasa yang berkualitas dengan tarif yang terjangkau. Namun demikian,
Pemerintah dihadapkan pada permasalahan keterbatasan anggaran. Kebutuhan masyarakat
terhadap layanan serta keterbatasan pendanaan menyebabkan pengejawantahan prinsip-
-prinsip enterpreunal government ke dalam manajemen keuangan publik melalui skema yang
disebut Badan Layanan Umum (BLU).
Pengembangan skema BLU seyogyanya juga mengedepankan bagaimana prinsip-prinsip
tata kelola yang baik dapat terimplementasikan. Pengembangan tata kelola tersebut dilandasi
oleh sistem tata kelola BLU sebagaimana telah dituangkan dalam peraturan-peraturan terkait,
seperti UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Per-
bendaharaan Negara serta PP No 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Pola
pengelolaan keuangan tersebut selanjutnya dikawinkan dengan kaedah-kaedah tata kelola
sektor privat yang telah jamak dipraktekkan sehingga prinsip-prinsip kewirausahaan (enterp-
reneur) yang dimiliki sektor privat benar-benar dapat diadopsi oleh sektor publik.
Pada saat prinsip-prinsip kewirausahaan telah terimplementasi di sektor publik, maka
BLU akan mampu menyediakan layanan dengan kualitas premium dan terstandar yang dapat
bersaing dengan sektor privat baik di dalam maupun luar negeri. Penyediaan kualitas tersebut
tentunya tetap memperhatikan keterjangkauan tarif bagi seluruh masyarakat atau kelompok
masyarakat. Penerapan prinsip kewirausahaan tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan
kemandirian sehingga mampu mengatasi permasalahan keterbatasan pendanaan Pemerintah.
Selanjutnya, penyediaan layanan yang berkualitas akan mendorong terciptanya kepu-
asan pelanggan (end-user) serta terfasilitasinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Selain
itu, penyediaan layanan BLU tertentu juga memungkinkan terfasilitasinya sektor privat untuk
berpartisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat melalui skema-skema yang ditawarkan.
Arah pengembangan BLU tersebut selanjutnya akan menggerakkan potensi-potensi ekonomi
di masyarakat secara masif yang kemudian akan memberi dampak pada peningkatan kualitas
hidup masyarakat.
Dampak akhir yang diharapkan dalam skenario ini adalah peningkatan efisiensi biaya
dalam memproduksi barang dan jasa di masyarakat atau sering disebut sebagai Total Factor
Productivity (TFP). TFP merupakan faktor-faktor yang seringkali tidak bisa dijelaskan pada su-
atu desain pengukuran input output dalam pertumbuhan ekonomi yang mencakup tingkat
penguasaan teknologi, organisasi, skill manajerial, skill tenaga kerja dll. Peningkatan TFP ter-
sebut menjadi salah satu pendorong naiknya daya saing bangsa Indonesia di tengah bangsa-
-bangsa di dunia.
C. Batasan Pembahasan
Pembahasan dalam dokumen ini hanya terkait dengan Badan Layanan Umum di lingkup
Pemerintah Pusat.
Alfiker Siringoringo
3
Mengembangkan Tata Kelola BLU
D. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan dalam paper ini dibagi ke dalam bab-bab sebagai ber-
ikut:
BAB I PENDAHULUAN
Menguraikan Latar Belakang, Tujuan dan Outline
4
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Alfiker Siringoringo
5
Mengembangkan Tata Kelola BLU
6
Mengembangkan Tata Kelola BLU
7
Mengembangkan Tata Kelola BLU
didefinisikan lebih lanjut sesuai dengan kondisi ideal dan konsep-konsep akademis dengan
pendekatan keuangan negara sebagai bagian dari usaha-usaha Pemerintah dalam mempe-
ngaruhi perekonomian.
8
Mengembangkan Tata Kelola BLU
atur secara khusus tentang pelayanan publik. Menurut UU tersebut, pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai de-
ngan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atau barang,
jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Dengan demikian, pengertian pelayanan publik sebagaimana dijelaskan pada peraturan ter-
kait BLU merupakan bagian dari pelayanan publik yang diatur dalam UU No 25 Tahun 2009.
Penyediaan layanan publik dapat disimpulkan sebagai tujuan utama pembentukan BLU.
Perumusan tujuan tersebut kiranya cenderung melihat fungsi BLU secara langsung terkait de-
ngan masyarakat yang menjadi customer BLU. Pandangan semacam itu tentu saja cukup me-
madai pada untuk dijabarkan pada implementasi di lapangan. Namun, demikian diperlukan
rumusan tujuan BLU dengan menggunakan sudut pandang yang lebih makro. Hal tersebut
untuk melihat bagaimana pengaturan BLU dapat memberikan kontribusi bagi perekonomi-
an secara keseluruhan. Tentu saja, pandangan ini belum dapat dijadikan dasar dibangunnya
suatu rencana besar (road map) pengaturan tata kelola BLU yang dapat memberi pengaruh
signifikan bagi perekonomian nasional.
Untuk merumuskan tujuan yang bersifat makro, maka perlu diperhatikan kebutuhan
(need) yang diperlukan untuk mengelola kondisi negeri ini baik yang bersifat jangka panjang-
maupun jangka menengah dengan mengaitkannya pada tujuan langsung BLU dalam mem-
berikan pelayanan publik. Diop (2013) dari World Bank, dalam 'Indonesia: Avoiding the Trap',
menyebutkan terdapat setidaknya 2 (dua) fenomena yang terjadi di Indonesia yaitu gelom-
bang lonjakan kelas menengah dan bonus demografi yang menguntungkan perekonomian
Indonesia.
Kedua fenomena sebagaimana disebutkan oleh Diop merupakan kata kunci pengem-
bangan tujuan makro BLU. Afif (2014), dalam tesisnya berjudul 'The Rising of Middle Class in
Indonesia: Opportunity and Challenge', memberikan pendapatnya terkait peran Pemerintah
yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan fenomena tersebut yaitu: (1) meningkatkan la-
pangan kerja melalui investasi; (2) perhatian kepada pekerjaan-pekerjaan yang berorientasi
tenaga kerja (seperti pertanian dan UMKM); (3) membangun skill angkatan kerja melalui pen-
didikan; (4) membangun industri keuangan yang kuat untuk mendukung aktifitas ekonomi; (5)
meningkatkan kesetaraan gender dalam mengakses keuangan dan pasar; (6) mengambil ke-
bijakan perbankan sehingga dapat mendukung sektor-sektor yang berorientasi tenaga kerja;
(7) meningkatkan tabungan nasional. Peran Pemerintah sebagaimana dijelaskan Afif tersebut
kiranya dapat dipenuhi oleh institusi-institusi dengan layanan premium dan terkendali.
Kami mencoba merumuskan secara singkat tujuan makro BLU yaitu pengembangan daya
saing bangsa melalui peningkatan faktor produktifitas total (Total Factor Productivity/ TFP).
Sebagaimana dipahami, TFP merupakan variabel dari output yang tidak dapat dijelaskan oleh
berapa jumlah input yang digunakan untuk produksi. Konsep TFP terkait erat dengan pro-
duktifitas unit-unit produksi seperti tingkat penguasaan teknologi, organisasi, budaya, skill
manajerial, skill tenaga kerja serta faktor-faktor lainya.
Fokus pada tujuan pengembangan TFP menjadi sangat penting mengingat TFP meru-
pakan faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi suatu pertumbuhan ekonomi diban-
dingkan dengan input definitif yang sering dihitung dengan modal (capital) dan tenaga kerja
(labor). Hal tersebut dibenarkan oleh Easterly dan Levine (2001), dalam papernya berjudul 'It's
Not Factor Accumulation: Stylized Facts and Growth Models', yang mengajukan 5 (lima) fakta
pertumbuhan ekonomi dimana salah satunya adalah kenyataan bahwa TFP lebih menentukan
dalam pembentukan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi yang diperbandingkan antar
negara. Pada paper tersebut, Easterly dan Levine bahkan menyatakan bahwa TFP memberikan
Alfiker Siringoringo
9
Mengembangkan Tata Kelola BLU
3. Penerima Layanan
BLU menyediakan layanan yang ditujukan untuk masyarakat. Dengan demikian, masya-
rakat merupakan pihak yang menerima layanan BLU. Penetapan masyarakat sebagai peneri-
ma layanan BLU menyebabkan masyarakat menjadi suatu prasayarat eksistensi institusi yang
diberi status BLU. Perlu dipahami bahwa terminologi masyarakat sebagai pihak penerima la-
yanan merupakan terminologi yang dapat diperdebatkan terutama terkait apakah institusi
pemerintah dan lembaga swasta merupakan masyarakat atau bukan. Perumusan terminologi
tersebut pada dasarnya menjadi hal yang substantif terkait apakah suatu institusi pemerintah
dapat diajukan sebagai BLU atau tidak.
Menurut beberapa ahli, institusi pemerintah tidaklah dikategorikan sebagai masyarakat.
Sosiolog Marion Levy (1960), dalam 'Modernization and the Structures of Societies', misalnya
menguraikan 4 (empat) kriteria agar suatu kelompok dapat disebut sebagai masyarakat yaitu:
(1) Kemampuan bertahan yang melebihi masa hidup seorang anggotanya; (2) Perekrutan se-
luruh atau sebagian anggotanya melalui reproduksi atau kelahiran; (3) Adanya sistem tindak-
an utama yang bersifat swasembada; (4) Kesetiaan terhadap suatu sistem tindakan utama se-
cara bersama-sama. Ahli lain juga memandang masyarakat sebagai kelompok manusia yang
berkarakter informal sebagaimana didefinisikan oleh Levy. Tentu saja kelompok manusia yang
berada dalam suatu institusi pemerintah yang mewakili lembaganya dan tidak dapat disebut
sebagai masyarakat.
Berbeda dengan pendapat para ahli sosiologi, PP 23 tahun 2005 melihat masyarakat
sebagai penerima layanan dalam sudut pandang yang lebih luas. Masyarakat dianggap seba-
gai end-user tidak harus menerima layanan secara langsung dari BLU tersebut namun dapat
melalui saluran-saluran tertentu. Layanan yang diterima oleh masyarakat juga dapat berupa
dampak yang dihasilkan akibat pemberian layanan kepada stakeholder BLU tersebut. Hal ter-
sebut terlihat dari persyaratan substantif agar suatu instansi dapat mengajukan status BLU
sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 (2) yaitu: (a) Penyediaan barang dan/atau jasa layanan
umum; (b) Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian
masyarakat atau layanan umum; dan/atau (c) Pengelolaan dana khusus dalam rangka me-
ningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat. Sebagaimana dipahami bersa-
ma, poin b dan c tersebut bertolak belakang dengan definisi masyarakat sebagai penerima
layanan BLU.
Masyarakat sebagai penerima layanan dalam arti sempit tentu saja dapat dikaitkan de-
Alfiker Siringoringo
10
Mengembangkan Tata Kelola BLU
ngan definisi masyarakat dari beberapa ahli. Dengan memperhatikan perumusan tujuan mak-
ro BLU sebagaimana diuraikan sebelumnya, masyarakat sebagai penerima layanan perlu di-
definisikan dalam pemahaman yang lebih luas sebagaimana tersirat dalam pengaturan PP 23
Tahun 2005.
Pemahaman masyarakat dalam arti luas sebagaimana PP 23 Tahun 2005 tentunya perlu
untuk dihubungkan dengan pemahaman masyarakat dalam arti sempit. Hal tersebut mem-
pertimbangkan bahwa masyarakat sebagaimana arti sempit merupakan penerima manfaat
akhir (end-user) dari penyediaan layanan publik oleh BLU.
Gambar 2. Leveling BLU Berdasarkan Karakteristik Channel kepada End-User
Gambar di atas mengilustrasikan karakteristik channel layanan BLU untuk mencapai ma-
syarakat sebagai end-user. Pemetaan leveling ini menjadi penting mengingat secara definisi
BLU didirikan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga acuan kinerja BLU
seharusnya adalah kepuasan masyarakat sebagai end-user. Pada gambar tersebut, BLU bera-
da pada sisi kiri sebagai penyedia layanan. Sedangkan masyarakat berada pada sisi kanan se-
bagai end-user layanan. Adapun pihak yang berada di antara kedua pihak merupakan saluran
atau perantara layanan BLU dapat dinikmati oleh masyarakat.
Contoh pemetaan level pada gambar di atas menggunakan 3 jenis level channeling ya-
itu level 0, level 1 dan level 2. Angka pada level tersebut menunjukkan berapa tingkat suatu
produk BLU sampai ke masyarakat. Sehingga level channel BLU dapat lebih dari level 2. Pada
level 0, BLU memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Contoh dari BLU di level
ini adalah rumah sakit. Masyarakat dapat menikmati langsung pelayanan rumah sakit yang
berstatus BLU.
Pada level 1, kondisi lebih kompleks dimana BLU memberikan pelayanan kepada stake-
holder (baik institusi maupun swasta) yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada
BLU ini, kompleksitasnya adalah pengukuran kemanfaatan layanan BLU tersebut pada masya-
rakat. Contoh dari BLU di level ini adalah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). BLU ini memberi-
kan dana kepada stakeholder untuk membangun infrastruktur yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat. Efektifitas infrastruktur tersebut pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh BLU
tersebut namun juga dipengaruhi oleh stakeholder yang menjadi channel BLU.
Kondisi yang lebih kompleks terjadi pada level 2 dimana layanan yang diberikan BLU ha-
rus melewati 2 channel untuk mencapai masyarakat sebagai end-user. Pengukuran kepuasan
masyarakat end user tidak hanya dipengaruhi oleh layanan BLU tersebut namun juga layanan
stakeholder pada channel 1 dan channel 2. Contoh dari BLU level ini adalah Pusat Investasi
Alfiker Siringoringo
11
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Pemerintah (PIP) yang menyalurkan dananya kepada BPJT. Keberhasilan PIP dalam memberi-
kan manfaat kepada masyarakat dipengaruhi oleh BPJT dan provider penyedia infrastruktur
jalan tol.
Instansi
BLU
Pemerintah
Penyediaan
Barang
Layanan
Administrasi
Penyediaan
Jasa
Gambar di atas mengilustrasikan 3 (tiga) jenis pelayanan yang diberikan instansi Peme-
rintah kepada masyarakat yaitu penyediaan barang, penyediaan jasa serta layanan adminis-
trasi. Hanya 2 (dua) layanan Pemerintah yang dapat diberikan oleh instansi yang berbentuk
BLU yaitu penyediaan barang dan penyediaan jasa. Sedangkan pelayanan administrasi tidak
termasuk dalam kategori pelayanan yang diberikan oleh BLU.
Pelayanan merupakan salah satu dari fungsi Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU
No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah. Administrasi Pemerintah sendiri meru-
pakan tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau
pejabat pemerintah. Dengan demikian, pelayanan administrasi pada ruang lingkup adminis-
trasi pemerintah dapat didefinisikan sebagai pelayanan yang diberikan kepada stakeholder
(masyarakat atau badan/lembaga pemerintah lain) oleh badan dan/atau tindakan sebagai ba-
gian dari kewenangannya melakukan administrasi pemerintahan. Sebagai contoh, pelayanan
pajak, perizinan, pencairan dana. Jenis-jenis pelayanan yang terkait dengan penetapan atau
Alfiker Siringoringo
12
Mengembangkan Tata Kelola BLU
a) Efisiensi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), efisiensi didefinisikan sebagai (1) ketepatan
cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga, bia-
ya); kedayagunaan; ketepatgunaan; kesangkilan; (2) kemampuan menjalankan tugas dengan
baik dan tepat (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya). Dalam definisi KBBI tersebut,
pembahasan efisiensi terkait dengan input dan proses, serta tanpa memperhatikan output
yang dihasilkan. Direktorat Pembinaan Pengelolaan BLU (Dit PPK BLU) (2016), dalam kajian
berjudul 'Mengukur Efisiensi BLU', mencoba merumuskan mekanisme pengukuran efisiensi
dengan menggunakan analisis DEA yang melibatkan unit input dalam menghasilkan unit out-
put. Kajian tersebut menambahkan komponen output dalam pembahasan efisiensi. Dengan
demikian, terminologi efisiensi pada BLU terkait dengan input, proses dan output.
Keterkaitan input, proses dan output dalam pengukuran efisiensi pada dasarnya meru-
pakan pemahaman efisiensi dari sisi operasional atau efisiensi operasional. Coelly et al (2005),
dalam buku berjudul 'An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis', mendefinisikan
efisiensi operasional sebagai rasio antara input yang digunakan untuk menjalankan operasi
Alfiker Siringoringo
13
Mengembangkan Tata Kelola BLU
bisnis dan output yang diperoleh. Konsep efisiensi BLU tersebut diusulkan untuk dikembang-
kan dalam pengaturan dan pengukuran efisiensi operasional BLU.
Gambar 4. Efisiensi Operasional BLU
Output:
- Uang
(pendapatan,
keuntungan,
kas);
- Pelanggan baru
Input: - Loyalitas
pelanggan
- Uang (biaya); Operasional - Differensiasi
- Orang
pasar
- Waktu
- Produk
- Inovasi,
- Kualitas
- Kecepatan dan
agilitas
- kesempatan
Gambar di atas merupakan konsep dasar efisiensi operasi. Kotak pada sisi kiri meng-
gambarkan input. Sedangkan kotak pada sisi kanan menggambarkan output. Input biasanya
dihitung dari uang (biaya), orang dan waktu/usaha. Sedangkan hal yang diperhitungkan se-
bagai output yaitu uang (pendapatan, keuntungan, kas), pelanggan baru, loyalitas pelanggan,
diferensiasi pasar, produksi, inovasi, kualitas, kecepatan dan agilitas, kompleksitas dan kesem-
patan. Suatu organisasi dikatakan melakukan efisiensi manakala : (a) menghasilkan output
yang sama dengan penurunan input; (b) menghasilkan output yang lebih tinggi dengan input
yang sama.
Sebagaimana diilustrasikan, teori efisiensi operasi memberikan arti yang sangat luas
pada terminologi output. Output bukan saja dikaitkan dengan kuantitas dari barang/jasa yang
dihasilkan dalam suatu proses operasional. Lebih dari itu, output juga dikaitkan dengan ku-
alitas layanan serta pengelolaan pelanggan yang menyebabkan adanya loyalitas pelanggan
dan bahkan mendatangkan pelanggan baru. Output juga dikaitkan dengan inovasi, kecepatan
dan kesempatan yang dihasilkan institusi. Pendekatan output pada efisiensi tersebut kiranya
sesuai dengan tujuan BLU baik dilihat dari sudut pandang mikro maupun makro.
b) Produktifitas
Selain efisiensi, salah satu prinsip usaha BLU adalah produktifitas. Produktivitas dapat
didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu; daya produksi; keprodukti-
Alfiker Siringoringo
14
Mengembangkan Tata Kelola BLU
fan. Prinsip produktivitas tentunya menuntut pengembangannya dapat dikelola dengan baik.
Coelly et al menguraikan 4 (empat) hal terkait produktifitas yang selanjutnya diadaptasi dalam
prinsip produktivitas BLU sebagai berikut:
Gambar 5. Konsep Produktivitas BLU
Utilisasi Ilmu
pengetahuan
baru
Skala ekonomi
Kondisi tenaga
kerja lebih baik Layanan Manfaat
Penggunaan
sumber daya
optimal
Kualitas
Manajemen
Gambar di atas merupakan usulan konsep produktivitas BLU. Terdapat beberapa kompo-
nen dari produktivitas yang dapat dinilai dari BLU yaitu:
(1) seberapa baik BLU tersebut mengutilisasi pengetahuan baru.
Konsep produktivitas BLU semestinya mendorong BLU dapat mengutilisasi konsep-kon-
sep atau ilmu pengetahuan baru ke dalam layanannya sehingga dapat memberi manfaat
kepada pengguna layanan. Sebagaimana dimaklumi, institusi-institusi pemerintahan di
Indonesia relatif tertinggal dalam memanfaatkan inovasi ilmu pengetahuan.
(2) level skala ekonomi (economy-of-scale)
Layanan BLU semestinya dapat mengoptimalkan skala ekonomi sehingga dapat membe-
rikan pelayanan premium dengan harga terjangkau.
(3) peningkatan kondisi tenaga kerja.
sistem manajerial BLU semestinya memasukkan usaha-usaha peningkatan kondisi tena-
ga kerja termasuk di antaranya tingkat motivasi dan loyalitas untuk bekerja, bagaimana
tingkat turn-over pekerja;
(3) alokasi sumber daya (manusia dan modal).
Konsep produktivitas BLU semestinya juga melihat bagaimana alokasi sumber daya un-
tuk mengoptimalkan pencapaian hasil;
(4) kualitas manajemen.
Kualitas manajemen dapat dilihat dari efektifitas alokasi sumber daya, pencapaian kepu-
asan pelanggan, tingginya kepuasan kerja pegawai
Konsep produktifitas sebagaimana diajukan oleh Coelly et al tentunya sesuai dengan tu-
Alfiker Siringoringo
15
Mengembangkan Tata Kelola BLU
juan makro pengembangan tata kelola BLU yaitu mengembangkan faktor residual atau Total
Factor Productivity (TPF) untuk meningkatkan daya saing bangsa. Keempat faktor produktifi-
tas tersebut juga merupakan faktor-faktor yang diperhitungkan dalam TFP.
Menteri Keuangan
Pengelolaan fiskal/
dikuasakan
kekayaan negara yg
dipisahkan
Menteri/Pimpinan
Presiden
Lembaga
diserahkan
Kepala Pemerintah
Daerah
Pengelola keuangan
daerah/ mewakili Pemda
dlm kepemilikan barang
yg dipisahkan
16
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Negaran. Kewenangan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan sebagai pengelola fis-
kal serta Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran. Gambar dapat digunakan
sebagai dasar analisis garis pendelegasian kewenangan dalam diskursus manajemen keuang-
an publik.
Sebagaimaan diilustrasikan, salah satu hal yang dikuasakan kepada Menteri Keuangan
adalah pengelolaan fiskal, termasuk di dalamnya kewenangan Bendahara Umum Negara.
Pada kondisi umum, setiap pengeluaran dan penerimaan negara harus melalui kas negara.
Hal tersebut dikecualikan pada instansi BLU. Instansi BLU dapat menyimpan kas, melakukan
pengeluaran dan penerimaan tanpa harus melalui kas negara. Kondisi tersebut merupakan
fleksibilitas keuangan negara yang diberikan atau didelegasikan kepada institusi BLU oleh
penerima kekuasaan pengelolaan kas (Menteri Keuangan).
Mekanisme pendelegasian sebagian kewenangan BUN tersebut kepada institusi yang
berstatus BLU dilakukan melalui penetapan statu BLU oleh Menteri Keuangan. Mekanisme
pendelegasian tersebut pada dasarnya menempatkan Menteri Keuangan sebagai principal
BLU terkait kewenangan-kewenangan yang didelegasikan. Sebaliknya, BLU dapat dianggap
sebagai agen yang melakukan tugas fungsi Menteri Keuangan.
Dengan memahami filosofi dari pengaturan pengelolaan keuangan BLU oleh Menteri
Keuangan, maka perlu dirumuskan ruang lingkup yang termasuk dalam pengaturan tersebut,
termasuk di dalamnya irisan kepentingan antara Menteri Keuangan dengan Menteri/Pimpin-
an Lembaga.
Gambar 7. Wilayah Kepentingan Kementerian Keuangan dan Kementerian/Lembaga Teknis terhadap BLU
Belanja
Penerimaan
Irisan kepentingan
17
Mengembangkan Tata Kelola BLU
outcome program K/L tergantung pada keberhasilan output satker BLU tersebut. Selain itu,
tata kelola BLU merupakan bagian dari tata kelola organisasi yang diselenggarakan oleh K/L.
Berdasarkan gambar di atas, perlu diperhatikan terdapat wilayah yang menjadi irisan
kepentingan antara Menteri Keuangan dengan Menteri/Pimpinan Lembaga Teknis. Irisan ter-
sebut pada dasarnya memiliki risiko konflik kepentingan. Untuk meminimalkan risiko konflik
tersebut, diperlukan batasan yang jelas terkait area yang menjadi daerah kewenangan.
Memajukan
Pengelolaan Penerapan Layanan
Ruang kesejahteraan
X Lingkup
Eksisting
Keuangan yang
memberikan
Fleksibilitas
Kaidah
Manajemen
yang Sehat
Bermutu dan
Berkesinam-
bungan
umum dan
mencerdaskan
kehidupan bangsa
Pengelolaan
√
Usulan Keuangan yang
Ruang memberikan
Fleksibilitas Meningkatkan Daya
Lingkup Penerapan Kaidah Layanan Bermutu Saing melalui
Baru Manajemen yang dan Berkesinam- Peningkatan Total
Sehat bungan Factor Productivity
(TFP)
Pengendalian
terhadap kinerja
keuangan dan
layanan
Output/ Pengaturan
Kerangka Kerja, Pembinaan
Pengukuran TFP
Kontrak, RAB Penerapan
Kegiatan manajemen
Pembinaan dan mutu
Penetapan tarif,
renumerasi, Monev Efisiensi
standar biaya & Produktifitas
dan hal-hal
terkait Monev
manajerial Kepuasan
Pelanggan
Monev
Indikator
Kesehatan
Manajemen
Organisasi
Alfiker Siringoringo
18
Mengembangkan Tata Kelola BLU
19
Mengembangkan Tata Kelola BLU
gasan bahwa area pengembangan BLU bukan hanya kontribusi belanja Pemerintah terhadap
perekonomian berupa belanja dari PNBP, lebih dari itu, area pengembangan BLU adalah ba-
gaimana peran Pemerintah dapat optimal dalam peningkatan TFP. Pada ruang lingkup terakhir
ini, Menteri Keuangan lebih berperan sebagai regulator yang mengevaluasi dampak mak-
ro layanan BLU melalui perhitungan TFP. Hasil perhitungan tersebut menjadi masukan bagi
pengambilan keputusan.
1. Pembentukan BLU
Suatu satuan kerja Pemerintah diizinkan mengelola keuangan dengan skema pengelola-
an keuangan BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administrasi. Persyarat-
an substantif menyangkut jenis core-bussiness yang dapat diakomodir dalam pola keuangan
BLU. Persyaratan teknis menyangkut kelayakan tugas fungsi untuk dikelola sebagai BLU serta
performa keuangan satuan kerja tersebut. Sementara persyaratan administratif menyangkut
dokumen-dokumen yang harus disajikan dalam rangka pengajuan.
Pengajuan dilakukan oleh Menteri teknis yang menjadi pengguna anggaran satuan kerja
tersebut kepada Menteri Keuangan. Terhadap satuan kerja, Menteri Keuangan dapat mene-
tapkan status BLU penuh atau bertahap. Status penuh diberikan kepada satuan kerja yang me-
menuhi persyaratan secara memuaskan. Sementara status bertahap diberikan kepada satuan
kerja yang hanya memenuhi persyaratan substansif dan teknis. Status bertahap ini diberikan
paling lama 3 (tiga) tahun.
2. Tata Kelola
a) Standar Pelayanan Minimum
Instansi BLU menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri
sesuai dengan kewenangannya. Standar pelayanan minimum tersebut disusun dengan mem-
pertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan
mendapatkan layanan.
b) Hubungan antar Organ BLU
Dalam penjelasan PP 23, Menteri/Pimpinan Lembaga berperan yang menjadi atasan BLU
berperan sebagai principal yang mendelegasikan tugas fungsi layanan kepada BLU melalui
sebuah kontrak kinerja. Menteri tersebut selanjutnya berperan sebagai pembina teknis BLU
tersebut. Adapun Menteri Keuangan berperan sebagai pembina keuangan BLU. Untuk kepen-
tingan pengawasan, dibentuklah Dewan Pengawas (Dewas) yang beranggotakan wakil dari
K/L, Kemenkeu serta pihak independen. Dewas tersebut hanya wajib didirikan untuk BLU yang
memiliki omzet tahunan di atas Rp15milyar.
3. Pengelolaan Keuangan
a) Tarif dan Biaya
BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa yang
Alfiker Siringoringo
20
Mengembangkan Tata Kelola BLU
diberikan. Imbalan tersebut ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhi-
tungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif tersebut diusulkan kepada
Menteri sesuai kewenangannya dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Tarif yang diusulkan
mempertimbangkan: (1) kontinuitas dan pengembangan layanan; (2) daya beli masyarakat; (3)
asas keadilan dan kepatutan; (4) kompetisi yang sehat.
BLU menyusun RBA berdasarkan rencana strategi bisnis lima tahunan yang mengacu ke-
pada Renstra K/L. RBA tersebut disusun berdasarkan basis kinerja dan perhitungan akuntansi
biaya menurut jenis layanannya. RBA tersebut disertai dengan standar pelayanan minimum
serta biaya dari keluaran yang akan dihasilkan.
Setelah RBA selesai, BLU mengajukan RBA tersebut kepada Menteri atasannya untuk
dibahas sebagai bagian dari RKA K/L. Menteri Keuangan, sesuai kewenangannya, mengkaji
kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA.
b) Pendapatan
Pendapatan BLU dapat berasal dari APBN dan PNBP. Pendapatan yang bersumber dari
APBN diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Adapun pendapatan BLU dari PNBP berasal
dari: (i) pendapatan operasional yang diperoleh dari jasa layanan dan hibah tidak terikat yang
diperoleh dari masyarakat atau badan lainnya; (ii) pendapatan dari hasil kerjasama dengan pi-
hak lain dan/atau usaha lainnya. Seluruh pendapatan tersebut dikelola langsung untuk mem-
biayai BLU dengan mengacu pada RBA.
c) Belanja
Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang dituangkan
dalam RBA definitif.. Pengelolaan belanja tersebut diselenggarakan dengan cara fleksibel ber-
dasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran mengi-
kut praktek bisnis yang sehat. Untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan belanja, ditetapkan
suatu ambang batas yang tertuang dalam RBA. Belanja yang melampaui ambang batas harus
mendapat persetujuan Menteri Keuangan atas usulan Pimpinan K/L.
Apabila terjadi kekurangan, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran dari
APBN/APBD kepada Menteri Keuangan sesuai kewenangannya. Setiap belanja BLU dilaporkan
sebagai belanja barang/jasa pada K/L terkait.
d) Pengelolaan Kas
Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut: (i) me-
rencanakan penerimaan dan pengeluran kas; (ii) melakukan pemungutan pendapatan atau
tagihan; (iii) menyimpan kas dan mengelola rekening bank; (iv) melakukan pembayaran; (v)
mendapatkan dana untuk menutup defisit jangka pendek; (vi) memanfaatkan surplus kas
jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Pemanfaatan surplus kas tersebut
dilakukan melalui investasi jangka pendek pada instrumen keuangan berisiko rendah.
Alfiker Siringoringo
21
Mengembangkan Tata Kelola BLU
4. Pengukuran Kinerja
Mekanisme pengukuran kinerja ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Perben-
daharaan yang terkait dengan sektor suatu BLU. Penilaian kinerja BLU meliputi: (a) penilaian
aspek keuangan; dan (b) penilaian aspek layanan. Penilaian aspek keuangan dilakukan berda-
sarkan data laporan keuangan dan kepatuhan terhadap peraturan-undangan.
Gambar 9. Struktur Pengukuran Kinerja BLU Saat Ini
Gambar di atas mengilustrasikan faktor-faktor penyusun penilaian BLU saat ini. Pada ki-
nerja pelayanan, komponen penilaiannya disesuaikan dengan sektoral BLU. Sebagai contoh
pada PTN, komponen kualitas layanan terdiri dari: (a) akreditasi dari BAN PT; dan (b) prestasi
yang diukur dari simpangan rasio ketersediaan tenaga pendidikan yang memadai, persentase
mahasiswa baru yang mendaftar ulang dibandingkan mahasiswa baru yang diterima, persen-
tase jumlah mahasiswa berprestasi unggul dalam bidang akademik dan/atau minat bakat,
serta persentase hibah bersaing. Adapun komponen mutu dan manfaat kepada masyarakat
diukur berdasarkan kepuasan pelanggan.
Penilaian kinerja dilakukan oleh Direktorat Pengelolaan Keuangan BLU Ditjen Perbenda-
haran. Sedangkan hasil penilaiannya ditetapkan melalui Keputusan Direktur Pembinaan dan
Pengelolaan Keuangan BLU Ditjen Perbendaharan. Terdapat 3 (tiga) kategori penilaian yaitu:
(a) BAIK(range AAA, AA dan A); (b) SEDANG (range BBB, BB, B); (c) BURUK (range CCC, CC, C)
5. Sistem Informasi
Saat ini, terdapat sistem informasi BLU dibangun melalui suatu sistem informasi yang
bernama BIOS (BLU Integrated Online System). BIOS merupakan sistem informasi berbasis
web yang sedang dikembangkan oleh Direktorat PPK BLU bekerja sama dengan Direktorat
Sistem Perbendaharaan. BIOS diharapkan dapat menyajikan informasi mengenai BLU yang
handal dan terintegrasi untuk bisa dimanfaatkan oleh para stakeholders BLU: kementerian
teknis, Kementerian Keuangan terutama Direktorat PPK BLU dan Kantor Wilayah Ditjen Per-
bendaharaan, dan pihak internal BLU sendiri seperti jajaran pemimpin BLU sebagai alat peng-
Alfiker Siringoringo
22
Mengembangkan Tata Kelola BLU
ambilan keputusan dan dewan pengawas sebagai alat untuk melakukan monitoring kinerja.
Ke depan, masyarakat akan bisa mengakses data-data umum BLU, sebagai contoh ragam
layanan di BLU, data tarif pelayanan di BLU rumah sakit, dan tarif biaya pendidikan di BLU
perguruan tinggi.
Aplikasi ini terdiri dari modul profil, modul tarif, modul remunerasi, dan modul penilaian
kinerja dan monitoring transaksi keuangan. Pada tahap awal ini, baru modul profil yang sudah
selesai dikembangkan. Modul profil sendiri berisi informasi umum, informasi khusus, data pe-
gawai, data keuangan, data layanan, monitoring pembinaan dan monitoring pencapaian KPI.
Alfiker Siringoringo
23
Mengembangkan Tata Kelola BLU
24
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Pembahasan tata kelola BLU sangat berkaitan dengan ide dasar mewirausahakan peme-
rintah atau sering disebut enterprenual government. Ide tersebut diterjemahkan melalui pe-
nerapan agensifikasi dengan pemberian fleksibilitas dan pengendalian yang memadai. Imple-
mentasinya dilakukan melalui pemberian mandat dari instansi induk yang bertindak sebagai
principal kepada BLU yang bertindak sebagai agen. Mandat tersebut dituangkan dalam suatu
kontrak kinerja yang berkonsekuensi adanya aturan main atau tata kelola yang memungkin-
kan tercapainya hal-hal yang tertuang dalam kontrak tersebut.
25
Mengembangkan Tata Kelola BLU
a) Katalistik
Prinsip katalistik merupakan prinsip dasar dari kewirausahaan Pemerintah. Ide dasarnya
adalah organisasi Pemerintah diibaratkan sebagai sebuah kapal. Pada organisasi tersebut
seharusnya dilakukan pemisahan antara pihak yang menyetir (steering) dengan pihak yang
mendayung (rowing) untuk mencapai suatu fleksibilitas sehingga prinsip ini sering disebut
sebagai paradigma "steering rather than rowing". Urusan mendayung semestinya diserahkan
kepada organisasi privat dan organisasi masyarakat sipil sehingga peran pemerintah untuk
menyetir tidak tereduksi. Prinsip ini mengkritisi model birokrasi lama yang memecahkan ma-
salah dengan serangkaian langkah yang mahal yaitu dengan perekrutan PNS baru kemudian
menyediakan layanan.
Tentu saja mekanise penanganan pemerintah tersebut sangat tidak efisien apabila diban-
dingkan dengan sektor privat dalam menanganimasalah dan urusan-urusan tertentu. Pada
sektor privat, apabila terdapat masalah atau urusan-urusan di luar core business-nya maka
korporasi akan menyewa pihak ketiga untuk menyelesaikan urusan tersebut sesuai dengan
standar yang diinginkan korporasi tersebut. Contoh sederhana adalah pengadaan even pada
korporasi diserahkan pada pihak profesional yang bertindak sebagai event organizer. Meka-
nisme penanganan seperti itu tentu saja sangat efektif dan efisien.
Beberapa ahli tidak sependapat dengan paradigma yang dibangun oleh Osborne. Salah
satu kritisi tersebut disampaikan oleh Denhart dan Denhart (2003), melalui karyanya berju-
dul 'The New Public Service: Serving Not Steering'. Menurut Denhart dan Denhart, paradig-
ma 'steering rather than rowing' melupakan siapa sebenarnya pemilik kapal (who owned the
boat). Denhart dan Denhart selanjutnya mengajukan mengajukan suatu konsep yang disebut
New Public Service yang meletakkan fokus Pemerintah pada melayani dan memberdayakan
warga negara karena merekalah pemilik kapal.
Ide pemisahan peran versi Osborne tidak sepenuhnya salah. Pemisahan peran tersebut
diperlukan untuk efektifitas pengaturan dan operasional serta meminimalkan konflik kepen-
tingan pada tataran implementasi. Paradigma 'steering rather than rowing' ala Osborne men-
jadi justifikasi gerakan pengagenan (agencification) pada reformasi tata kelola pemerintah
di sebagian besar negara di dunia. Pada konsepsi agensifikasi tersebut terdapat pemisahan
institusi yang berperan sebagai regulator dan institusi yang berperan sebagai operator.
b) Kompetitif
Prinsip kompetitif pada suatu organisasi dipandang sebagai faktor yang dapat mendo-
rong produktifitas. Dasar pemikiran premis tersebut adalah organisasi dalam kondisi persa-
ingan yang kompetitif tidak memiliki pilihan kecuali meningkatkan produktifitas sehingga
memungkinkan mereka dapat bersaing. Prinsip ini mencoba mengeliminasi kondisi pelayanan
Pemerintah tradisional yang tidak efisien karena kecenderungan sifat monopoli. Meskipun
kondisi kompetitif merupakan hal yang ideal dalam meningkatkan produktifitas, pengimple-
mentasian yang tidak hati-hati justru menjadi penghambat bagi peningkatan produktifitas itu
sendiri.
Osborne dan Gaebler setuju bahwa pada tataran implementatif, terdapat kompleksitas
penerapan prinsip kompetitif. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah ketika prinsip ini
diterapkan pada pembuat kebijakan maka hasil yang didapatkan adalah perang kartu turf
26
Mengembangkan Tata Kelola BLU
(turf war) dan inefisiensi. Para pembuat kebijakan tersebut membuat regulasi. Semakin banyak
regulasi maka semakin besar juga risiko terjadinya kondisi over-regulated yang mengarah
pada konflik kepentingan antar pembuat kebijakan. Oleh karenanya, Penerapan prinsip kom-
petitif sebaiknya hanya ditujukan pada level operator penyedia jasa. Pada saat prinsip tersebut
diterapkan pada penyedia jasa maka dapat menekan biaya dan menghasilkan efisiensi yang
lebih baik.
Salah satu kompleksitas penerapan prinsip kompetitif adalah risiko hilangnya perasaan
aman dalam bekerja (job security) pada pegawai. Osborne dan Gaebler mengingatkan ketika
kompetisi dilakukan antara individu atau pegawai pada suatu organisasi seringkali didapatkan
bahwa semangat kerja para pegawai akan cenderung menurun. Salah contoh yang diberikan
adalah sistem pembayaran jasa (merit pay) guru yang menyebabkan terdapat ketidakkom-
pakan di antara sesama kolega. Akan tetapi kondisi yang berbeda terjadi apabila kompetisi
diterapkan antar tim atau lembaga (fakultas, sekolah) maka hal tersebut akan meningkatkan
semangat kerja. Salah satu alasan penerapan kompetitif yang selektif adalah pentingnya rasa
aman dalam bekerja (job security) bagi pegawai.
Penerapan prinsip kompetitif juga seringkali tidak memiliki hubungan dengan kepuasan
pelanggan. Steve Lockwood, dalam reviu buku Reinventing Government, memberi sebuah
contoh nyata di bidang pendidikan. Pada tahun 1992 majalah American Educator melaporkan
sebuah korelasi negatif antara hasil suatu kompetisi dengan kepuasan terutama di bidang
pendidikan. Kesimpulan tersebut didasarkan atas perbandingan hasil sebuah tes berstandar
internasional yang dilakukan terhadap anak-anak pada level sekolah dasar (elementary) dan
SMP (secondary level) yang diujikan di beberapa negara. Hasil tes tersebut menunjukkan nilai
anak sekolah di Amerika Serikat lebih rendah dibandingkan nilai rekannya di negara-negara
Eropa dan Asia. Namun, orang tua para pelajar di Amerika Serikat cenderung puas dengan
hasil akademis anak-anaknya. Hal tersebut berbeda dengan para orang tua di Asia yang cen-
derung merasa tidak puas dengan hasil akademis anak mereka. Sebagai catatan, sistem bel-
ajar mengajar di Asia memang lebih kompleks dan memaksa anak-anak untuk berkompetisi
meraih prestasi.
Lebih lanjut, dalam penerapan prinsip kompetitif diperlukan adanya regulator yang me-
negaskan aturan main. Hal tersebut untuk mencegah pengambilan jalan pintas pihak-pihak
yang berkompetisi untuk memenangkan kompetisi dimana secara agregat hal tersebut akan
bersifat kontraproduktif. Steve Lockwood memberikan sebuah contoh mahasiswa yang ber-
fokus pada perolehan Index Prestasi (IP) akan memiliki kecenderungan untuk memilih mata
kuliah yang mudah dan dapat memberikan mereka nilai yang tinggi. Mereka mengabaikan
peningkatan kompetensi jangka panjangnya di dunia kerja. Pada kondisi tersebut, regulator
berperan untuk memberi aturan main mata kuliah yang wajib diambil dengan pertimbangan
kompetensi jangka panjang mahasiswa. Kondisi yang sama juga dimungkinkan terjadi pada
penerapan prinsip kompetitif pada BLU yang menuntut adanya pihak yang berperan sebagai
regulator.
27
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Terdapat kritik terhadap kinerja organisasi pemerintah baik dari sisi manajerial maupun
dari sisi keuangan. Dari sisi manajerial, terdapat beberapa permasalahan yang menjangkit
organisasi Pemerintah dan menyebabkan operasional yang boros dan tidak efektif. Permasa-
lahan tersebut yaitu: (i) organisasi Pemerintah tidak dapat dengan mudah mengambil tenaga
kerja dari luar; (ii) PNS dibayar berdasarkan lama kerja dan bukan kinerja; (iii) sistem promosi
yang ada berdasarkan career-track dengan penilaian melalui asesmen; (iv) PNS sulit untuk
dipecat kecuali adanya kasus luar biasa dan catatan kinerja yang sangat buruk selama suatu
jangka waktu. Proses pemecatan itu sendiri juga memakan waktu yang tidak sebentar.
Dari sisi keuangan, penyebab utama permasalahan rendahnya efektifitas dalam orga-
nisasi Pemerintah adalah kekakuan dalam merealisasikan anggaran. Sebagaimana dipahami
bersama, terdapat kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam kekakuan sistem pelaksa-
naan anggaran tradisional yaitu: (i) sulitnya mengalokasikan anggaran lintas item; (ii) uang
yang tidak dibelanjakan pada suatu tahun anggaran akan hangus dan tidak dapat dialokasi-
kan pada tahun anggaran berikutnya; (iii) kecenderungan manajer untuk menghabiskan uang
pada tahun anggaran terkait. Organisasi yang digerakkan misi dianggap lebih efisien, efektif,
inovatif, fleksibel dan memiliki semangat kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan orga-
nisasi yang digerakkan aturan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Osborne dan Gaebler menawarkan solusi yang
mereka sebut dengan penganggaran yang diarahkan misi (mission-driven budgeting). Sistem
penganggaran tersebut memiliki karakteristik yaitu: (i) setiap agensi dapat mengalokasikan
antar item dalam anggaran; (ii) agensi dapat menyimpan uang lebih pada suatu tahun ang-
garan untuk dialokasikan pada tahun anggaran berikutnya. Terdapat beberapa keunggulan
yang diklaim dari implementasi penganggaran yang diarahkan misi yaitu: (i) memberikan
insentif kepada setiap pekerja; (ii) menyediakan sumber daya untuk mencoba ide-ide baru;
(iii) memberikan otonomi yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi; (iv)
menciptakan lingkungan yang dapat diprediksikan; (v) mensimplifikasikan kerumitan pada
proses penganggaran; (vi) menghemat dana untuk auditor dan pejabat penyusun anggaran;
(vii) membebaskan dari pengawasan legislasi sehingga dapat berfokus pada isu-isu yang lebih
penting.
d) Berorientasi Hasil
Prinsip orientasi hasil (result-oriented) menekankan pada mekanisme pengukuran akun-
tabilitas yang dilakukan Pemerintah. Sebagaimana dimaklumi, secara tradisional Pemerintah-
an melakukan pengukuran akuntabilitas melalui input atau jumlah anggaran yang digunakan.
Osborne berpendapat mekanisme pengukuran semacam ini semestinya beralih kepada peng-
ukuran dengan pendekatan outcome dan hasil (result).
Kelemahan orientasi Pemerintah tersebut juga menjadi sasaran pembahasan para ahli
lainnya. Charless Goodsell (1993) sebagaimana dikutip dalam 'Democracy and the New Public
Management', menyatakan permasalahan pada Pemerintah bukan pada apa yang Pemerintah
sebaiknya lakukan (what government should do) melainkan bagaimana suatu hal sebaiknya
dilakukan (how it should do). Terkait dengan pelaksanaan program/kegiatan yang bertujuan
untuk memproduksi barang dan jasa yang berkualitas untuk masyarakat (customer), Good-
sell menyarankan dorongan melakukan sesuatu didasarkan pada persuasi (persuasion) dan
bukan perintah (command). Selain itu Pemerintah dituntut untuk memiliki respon terhadap
customer (be responsive to customers), memberdayakan klien (empower client) dan bersifat
entreprenual (be entreprenual). Hal serupa juga ditemukan oleh OECD (2002). Dalam laporan
berjudul 'Budget Reform in OECD Member Countries: Common Trends', OECD menyatakan
28
Mengembangkan Tata Kelola BLU
bahwa akuntabilitas di sektor publik secara tradisional berbasiskan pada kepatuhan (compli-
ance) pada aturan, regulasi dan prosedur.
Dalam praktiknya, penerapan orientasi hasil bukanlah hal yang mudah. OECD (2002), ,
US Department of Health and Human Services (DHHS) (1997), dalam laporan penelitian ber-
judul 'Results-Based System for Public Health Program', menemukan beberapa permasalahan
dalam implementasi akuntabilitas yang berorientasi hasil yaitu: (i) kesulitan menetapkan ukur-
an yang terkait dengan misi program; (ii) kesulitan dalam mendapatkan data penting terkait
dengan pengukuran; (iii) kesulitan memilih standar yang digunakan dalam pengukuran; (iv)
keterbatasan kapasitas untuk mengalisa dan menginterpretasi informasi. DHHS melakukan
pengujian terhadap penerapan akuntabilitas berorientasi hasil pada sistem kesehatan di 11
(sebelas) negara bagian. Hal-hal yang diujikan terdiri dari 2 (dua) hal yaitu: (i) usaha-usaha
eksekutif terkait perencanaan strategis dan setting prioritas; serta (ii) sistem fokus terhadap
populasi target dan intervensi program-program spesifik. Terdapat kesamaan pada negara-
-negara yang menerapkan mekanisme akuntabilitas tersebut yaitu: (i) tekanan publik terha-
dap perbaikan sistem pemerintahan; (ii) adanya komitmen penerapan dari level tertinggi; (iii)
keterlibatan stakeholder secara intensif.
Reformasi sektor publik dari sistem tradisional menuju sistem berorientasi hasil memiliki
suatu kompleksitas. Hasan Ouda (2015) , dalam 'Results-Based Systems are the Path Towards
Results-Oriented', merangkum 12 (dua belas) prinsip dari penerapan pemerintahan yang ber-
orientasi hasil yaitu:
Tabel 1. 12 Prinsip Pemerintahan yang Berorientasi Hasil
No Pemerintah Berorientasi Hasil Pemerintahan Tradisional
1 Fokus pengelolaan untuk hasil Fokus pengelolaan pada input, proses dan kepa-
tuhan
2 penciptaan nilai dari sumber daya yang tersedia membelanjakan sumber daya yang tersedia
3 anggaran untuk hasil (output/outcomes) anggaran merupakan input
4 akuntabilitas berorientasi outcomes atau hasil akuntabilitas penggunaan/input
(result)
5 mengelola sumber daya ekonomi secara total mengelola aliran kas dan keseimbangan kas
6 pengukuran kinerja operasional pada tingkat pengukuran kinerja pada kepatuhan terhadap
ekonomi, efisiensi dan efektifitas aturan, regulasi dan prosedur
7 audit dilakukan pada kinerja pemerintahan audit pada legalitas dan kesesuaian terhadap
aturan penarikan dana
8 laporan disusun terkait sumber daya ekonomi laporan disusun terkait dengan posisi keuangan
total dan kinerja pemerintah
9 terdapat sistem kuat yang menghubungkan tidak terdapat hubungan yang kuat
antara perencanaan, kebijakan, penganggaran,
manajemen keuangan, sistem manajemen kinerja
10 sentralisasi tujuan (objectives) dan mendesentrali-
sasikan pengelolaan
11 mendorong kolaborasi antara dan di internal
bagian Pemerintah
12 adanya hubungan antara sumber daya dengan
hasil untuk pengembangan keputusan pengang-
garan
29
Mengembangkan Tata Kelola BLU
pendapat pelanggan atau pengguna layanan sebagai umpan untuk perbaikan layanan. Pada-
hal pengguna layanan merupakan bagian dari masyarakat. Manajer pemerintahan cenderung
menganggap bahwa mereka tidak mendapat dana secara langsung dari pengguna layanan.
Selain itu pengguna layanan hanya memiliki sedikit alternatif terhadap pelayanan yang dise-
lenggarakan pemerintah. Dengan kata lain, pengguna layanan pemerintah seringkali bersifat
terpaksa.
Osborne dan Gaebler berpendapat bahwa mendengarkan pendapat pelanggan atau
pengguna layanan merupakan hal yang penting bagi instansi pemerintah. Hal tersebut di-
dasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar pelanggan memahami hal-hal yang mereka
harapkan dari instansi Pemerintah. Terdapat beberapa keuntungan dari mendengarkan pen-
dapat pengguna layanan yaitu: (1) mendorong penyediaan jasa menjadi akuntabel dari su-
dut pandang pengguna layanan; (2) depolitisasi pengambilan keputusan penyedia jasa; (3)
menstimulasi inovasi-inovasi baru; (4) memberi masyarakat pilihan jasa-jasa yang berbeda; (5)
mengurangi hal-hal yang bersifat mubazir, karena segenap usaha digunakan untuk memenuhi
permintaan (demand); (6) menciptakan kesempatan yang lebih besar bagi ekuitas.
Pada tataran implementatif, kepuasan pelanggan terhadap pemerintah seringkali lebih
rendah dibandingkan kepuasan terhadap swasta. Jane Winesman (2015), dalam artikel berju-
dul 'Customer Driven Government: How Listen, Learn and Leverage Data for Service Delivery
Important', menyatakan kepuasan pelanggan publik terhadap swasta cenderung lebih tinggi
dibandingkan kepada pemerintah. Hal tersebut didasarkan pada survey terhadap 43 industri
dalam American Customer Satisfaction Index. Beberapa hal yang menarik lainnya juga diung-
kapkan oleh Winesman yaitu: (i) terdapat ketertarikan publik untuk memberikan umpan balik
kepada pemerintah; (ii) salah satu metode menghimpun pendapat pelanggan adalah melalui
survey; (iii) beberapa pemerintah menggunakan sosial media untuk berinteraksi dengan ma-
syarakat; (iv) data yang berasal dari 311 (call center keluhan warga kota) dapat menjadi umpan
balik pelanggan.
30
Mengembangkan Tata Kelola BLU
BLU tersebut. Oleh karenanya diperlukan prinsip-prinsip tata kelola BLU. Prinsip-prinsp terse-
but merupakan hal yang berlaku umum dan diterjemahkan dalam suatu kerangka kerja BLU
sesuai dengan karakteristiknya.
31
Mengembangkan Tata Kelola BLU
a) Memastikan basis kerangka kerja yang efektif pada tata kelola BLU
Kerangka tata kelola BLU semestinya mengutamakan transparansi dan keadilan pasar,
serta alokasi sumber daya yang efisien. Kerangka tersebut juga konsisten dengan hukum dan
mendukung efektifitas supervisi dan pelaksanaan.
Pengembangan BLU kiranya didasarkan bagaimana Pemerintah memberikan suatu dam-
pak terhadap perekonomian. BLU memberikan suatu ruang bagi Pemerintah untuk dapat ber-
gerak secara fleksibel yang diharapkan dapat memberi pengaruh pada perekonomian. Oleh
karenanya, Pemerintah semestinya memiliki suatu grand design bagaimana BLU-BLU tersebut
diposisikan dan bagaimana tujuan akhir dapat digerakkan oleh BLU.
Sebagai suatu unit layanan, BLU bergerak di pasar dan, oleh karenanya, bersaing dengan
unit-unit layanan lainnya baik BLU lainnya, instansi pemerintah non BLU maupun sektor privat.
Oleh karenanya, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan oleh BLU. Pertama, BLU dalam bero-
perasi semestinya memperhatikan integrasi pasar. BLU semestinya, tidak menciptakan halang-
an yang menyebabkan sektor privat keluar dari pasar. Misalnya, suatu rumah sakit BLU kiranya
tidak menetapkan harga yang terlalu murah sehingga menyebabkan rumah sakit lainnya tidak
dapat bersaing. Sebaliknya, rumah sakit BLU semestinya menjadi rujukan utama bagi rumah
sakit swasta. Kerangka kerja yang memperhatikan integrasi pasar merupakan suatu konstrain
terhadap prinsip kompetitif yang diajukan oleh Osborne.
Kedua, pendirian BLU sebaiknya memberikan insentif kepada masyarakat untuk berparti-
sipasi. BLU kiranya dapat menjadi agen Pemerintah untuk mengajak masyarakat terlibat pada
peningkatan layanan. Keterlibatan tersebut berupa pengembangan layanan yang memudah-
kan akses kepada masyarakat, instrumen-instrumen pendanaan (untuk BLU pendanaan) yang
memungkinkan masyarakat terlibat pada pengembangan ekonomi, pelaporan yang transpa-
ran yang memungkinkan masyarakat dapat ikut mengawasi pengelolaan BLU, edukasi produk
layanan kepada masyarakat terutama terkait dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat
serta hal-hal lain yang menjadi insentif bagi masyarakat untuk berpartisipasi.
Ketiga, mempromosikan transparansi. BLU semestinya memberi contoh penerapan trans-
paransi dalam baik pada hubungan stakeholder, pelaksanaan kinerja maupun manajemen
keuangan. Transparansi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi sektor privat untuk
meningkatkan transparansinya.
Kerangka kerja yang dibangun pada BLU semestinya juga memegang suatu konsistensi
terhadap peraturan, transparan dan dapat dilaksanakan. Termasuk di dalamnya pembagian
yang jelas hubungan BLU dengan Supervisor, Regulator dan Principal. Ketiga unit tersebut
semestinya diseleksi secara ketat terkait integritas dan kompetensinya.
Hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan tata kerja BLU adalah kepastian bahwa
tata kerja tersebut dapat dilaksanakan. Sebagaimana dipahami, BLU memiliki suatu fleksibi-
litas dan posisi strategis untuk meningkatkan kualitas bangsa dan negara. Melalui pendirian
BLU, Pemerintah menitipkan kepentingannya untuk membangun dan meningkatkan daya sa-
32
Mengembangkan Tata Kelola BLU
ing bangsa. Oleh karenanya setiap hal yang disusun dalam kerangka kerja merupakan suatu
komitmen Dewan Direksi untuk berkontribusi dalam pembangunan.
33
Mengembangkan Tata Kelola BLU
due diligence; (ii) Direksi mempraktikan standar etika yang berkualitas tinggi; (iii) Direksi me-
menuhi fungsi-fungsi kunci termasuk mereviu dan mengarahkan strategi BLU, rencana-ren-
cana tindakan yang utama, kebijakan dan prosedur manajemen risiko, anggaran tahunan dan
rencana bisnis.
Adapun tanggung jawab dari Dewan Direksi diusulkan sebagai berikut: (i) mengatur tu-
juan kinerja, memonitor implementasi dan kinerja BLU, mengawasi belanja modal utama, me-
monitor efektifitas praktik tata kelola BLU dan melakukan perubahan apabila diperlukan; (ii)
memilih, mengkompensasi, memonitor, dan jika dibutuhkan mengganti eksekutif kunci dan
mengawasi rencana suksesi; (iii) memperhitungkan remunerasi yang sesuai dengan aturan
perundangan sehingga dapat meningkatkan produktifitas pegawai sesuai dengan kemampu-
an keuangan BLU; (iv) memastikan nominasi Direksi secara formal dan transparan; (v) memo-
nitor dan mengelola potensi konflik kepentingan; (vi) mengawasi setiap proses dalam organi-
sasi untuk mencapai tujuan.
C. Konsep Agensifikasi
Dalam Penjelasan PP 23 Tahun 2005, diuraikan bahwa BLU merupakan penerapan dari
konsep pengagenan atau agensifikasi (agencification) yang telah banyak dipraktikkan di man-
ca negara. Oleh karenanya, perlu juga dipahami bagaimana ide dasar dan penerapan konsep
agensifikasi.
1. Ide Dasar
Ide dasar agensifikasi adalah pemisahan tanggung jawab pihak yang bertindak sebagai
regulator (steering) dan pihak yang berperan sebagai operasional atau pendayung (rowing).
Pemisahan tanggung jawab tersebut membuat pihak regulator dapat berfokus pada pemba-
ngunan regulasi yang berkualitas tanpa harus dirumitkan dengan permasalahan-permasalah-
an layanan operasional. Dari sisi yang lain, pihak yang melaksanakan fungsi operasional dapat
berfokus pada pelaksanaan fungsinya tanpa dirumitkan dengan perencanaan dan pembahas-
an dengan pihak legislatif.
Berbagai uraian dari beberapa ahli dan organisasi internasional juga mengerucut pada
ide dasar agensi yaitu pemisahan tanggung jawab antara regulator dan operator dengan
memberikan otonomi kepada operator tersebut untuk mengolah sumber daya yang dimiliki.
Beblavy (2002), dalam 'Understanding the Waves of Agencification and the `Governance Prob-
lems They Have Raised in Central and Eastern European Countries', merumuskan agensifika-
si sebagai suatu proses delegasi dan devolusi kepada lembaga-lembaga publik yang diberi
suatu otonomi, terutama terkait dengan pengelolaan SDM dan keuangan, dimana lembaga
tersebut merupakan bagian dari negara dan dapat melakukan tindakan hukum untuk mereka
sendiri.
Menurut Jacobsson dan Sundtrom (2007), dalam papernya berjudul 'Governing Sta-
te Agencies : Transformations in the Swedish Administration Model', ide dasar agensifikasi
adalah pemisahan antara pembuat kebijakan (policy formation) dengan pengimplementasi
kebijakan (policy implementation). Pembuat kebijakan merupakan eksekutif inti, sedangkan
pengimplementasi kebijakan terdiri dari agensi eksekutif profesional yang dikelola secara in-
dependen dan harus melaporkan kepada eksekutif inti tersebut hasil kinerjanya. Agensi me-
rupakan institusi yang bertindak sebagai implementator kebijakan tersebut.
OECD (2005) dalam 'Modernizing Government. The Way Forward', menguraikan bebera-
pa tujuan praktik agensifikasi: (a) meningkatkan efisiensi; (b) menguatkan dan mengklarifikasi
34
Mengembangkan Tata Kelola BLU
tanggung jawab dan akuntabilitas; (c) mendorong administrasi yang profesional; (d) lebih
banyak administrasi yang berorientasi layanan yang ditempatkan di dekat warga.
35
Mengembangkan Tata Kelola BLU
delegasi. Karena terdapat hubungan kontrak antara kedua pihak tersebut maka hubungan
tersebut dapat disamakan dengan hubungan Principal Agent pada sektor privat. Wakil dari
institusi Pemerintah yang mendelegasikan kewenangannya merupakan Principal, disamakan
dengan pemegang saham pada sektor privat. Sedangkan pimpinan institusi Pemerintah yang
mendapat pendelegasian kewenangan merupakan agent, disamakan dengan Dewan Direksi
pada sektor privat.
Kedua prinsip dalam NPM tersebut saling mendukung satu sama lain dan tidak dapat di-
pisahkan. Prinsip pertama memberikan diskresi yang luas kepada manajer untuk dapat bekerja
dengan fleksibilitas terhadap akuntabilitas. Namun, pemberian hak diskresi tersebut tentunya
harus dipertanggungjawabkan dengan adanya keterbukaan dalam pemberian informasi yang
digunakan untuk mengukur kinerja dari agensi.
a) Inggris
Inggris tercatat sebagai negara yang paling berhasil menerapkan konsep agensifikasi.
Agensifikasi secara masif dilakukan oleh Margaret Thatcher di sekitar tahun 1980an sebagai
cara untuk memotong belanja publik secara besar-besaran serta meningkatkan tabungan.
Menurut Panchamina dan Thomas, dalam buku berjudul 'The Next Steps Inisiative', dari tahun
1988 hingga 1997 Pemerintah Inggris berhasil memindahkan sekitar 75%-95% PNS dari in-
stitusi birokrasi dengan inisiatif Britain's Next Step yang mendorong penghematan anggaran
yang cukup signifikan. Reformasi birokrasi tersebut juga mengubah pejabat-pejabat senior
lebih berfokus kepada regulasi karena tidak lagi dipusingkan oleh rumitnya operasional. Ka-
rena kesuksesan tersebut, Inisiatif Next Steps seringkali dianggap sebagai reformasi birokrasi
paling revolusioner sepanjang sejarah pemerintahan.
Allen Shick (2002) mencatat implementasi agensifikasi di Inggris. Pijakan utama yang
digunakan dalam implementasi tersebut adalah inisiatif Britain's Next Step yang merupakan
rencana ambisius Parlemen pada tahun 1988. Ide inti dari inisiatif tersebut adalah agensi se-
baiknya didirikan untuk membawa fungsi eksekutif pemerintah dengan kerangka kebijakan
dan sumberdaya diatur oleh Kementerian (agencies should be established to carry out the
executive function of government within a policy and resource framework set by a depart-
ment). Pengembangan agensi sebagai lengan Pemerintah tersebut merupakan jawaban ter-
kait 3 (tiga) kebutuhan mendasar dalam pemerintahan yaitu: (i) kebutuhan fokus terhadap
pekerjaan untuk diselesaikan (the job to be done); (ii) dengan menggunakan orang yang tepat
(the right people); (iii) dan dengan menjaga tekanan terhadap kinerja (maintaining a pressure
for a movement).
Dalam Inisiatif Next Step, terdapat suatu siklus (life cycle) agensi yang terdiri dari delapan
36
Mengembangkan Tata Kelola BLU
langkah yaitu: (i) status kandidat diberikan kepada entitas atau aktifitas yang didesain sebagai
calon dari agensi; (ii) opsi pendahuluan (prior options) yaitu reviu formal untuk mempertim-
bangkan misi entitas dan langkah-langkah alternatif untuk membuatnya menjadi agensi; (iii)
Hubungan Kementerian-agensi diklarifikasi, termasuk hal-hal dimana agensi diberikan oto-
ritas untuk mengelola secara mandiri; (iv) dokumen kerangka kerja termasuk di dalamnya
tujuan agensi, kondisi operasi, tanggung jawab pimpinan eksekutif, hubungan dengan Ke-
menterian induk, dan bermacam pengaturan keuangan dan pegawai; (v) rekrutmen pimpinan
agensi secara terbuka dan bekerja di bawah kontrak yang menspesifikasikan kondisi kerja
dan ekspektasi kinerja; (vi) target kinerja dipublikasikan setiap tahun; (vii) laporan tahunan
digunakan untuk membandingkan antara target kinerja dan kinerja aktual, termasuk di dalam-
nya laporan keuangan; (viii) reviu periodik dilakukan setidaknya sekali tiap lima tahun untuk
mengevaluasi bagaimana kinerja agensi dan mempertimbangkan kesepakatan operasional.
Kate Jenkins (2010), dalam buku yang berjudul 'Politicians and Public Service : Implemen-
ting Change in A Class of Cultures' menyatakan bahwa Next Step telah membawa perubahan
besar pada agensi eksekutif. Jenkins beranggapan perubahan tersebut sangat efektif, revo-
lusioner dan aktual. Namun demikian, penerapan inisiatif tersebut masih memiliki pekerjaan
rumah yang belum terselesaikan terkait hubungan antara agensi dan departemen, hubungan
antar pihak-pihak yang menggunakan layanan agensi, serta peran sentral yang mengarahkan
agensi bekerja.
b) Selandia Baru
Selandia Baru merupakan salah satu negara yang menerapkan agensifikasi secara luas
pada pemerintahannya. Richard Norman (2001), dalam papernya berjudul 'Letting and ma-
king managers manage: the effect of control systems on management action in New Zealand’s
central government', mencatat perubahan birokrasi New Zealand yang dimulai pada akhir
1980an. Birokrasi tradisional dan sentralistik diganti oleh suatu sistem yang memungkinkan
manajer sektor publik menyediakan output sebagaimana ditetapkan oleh Menteri yang du-
duk di Kabinet. Akuntansi akrual dari sektor privat diadaptasi untuk memastikan biaya output
beserta depresiasi aset pada sektor publik dapat diperbandingkan dengan hal yang sama
pada sektor swasta. Manajer diberi ruang yang memadai untuk mengelola sumber daya yang
dibutuhkan untuk menghasilkan output.
Pada tataran implementatif, penerapan agensi di New Zealand juga mengalami berbagai
permasalahan. Allen Shick (2002) menguraikan evaluasi yang dilakukan Kementerian Perben-
daharaan (The Treasury) dan Komisi Layanan Negara (State Service Commission) yang meng-
hasilkan poin-poin sebagai berikut: (i) monitoring yang tidak berkelanjutan dan tidak me-
madai dari Kementerian serta tidak adanya perhatian dari Menteri-menteri yang semestinya
bertanggung jawab; (ii) tidak memadainya respon dan ketidakpedulian agen (Crown Entities
)terhadap kebijakan Pemerintah; (iii) persyaratan akuntabilitas yang tidak lengkap dan tidak
konsisten; (iv) tidak memadainya pengaturan tata kelola sebagai akibat status yang membi-
ngungkan dari Crown Entities.
c) Korea Selatan
Korea Selatan merupakan negara yang cukup menarik untuk diperhatikan karena setiap
rezim pemerintahnya menawarkan konsep reformasi yang berbeda. Menurut OECD dan Korea
Policy Center (2008), dalam 'Transforming Korean Public Governance: Cases and Lessons', Ko-
rea Selatan merupakan negara yang gemar melakukan perubahan struktur organisasi dengan
alasan pemotongan biaya.
37
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Tabel 3. Penerapan Reformasi Birokrasi yang Berbeda-beda pada Setiap Rezim Pemerintahan di Korea
Selatan
Kim Yong-sam Kim Dae-Jung Roo Moo-hyun
(1993-1997) (1998-2002) (2003-2007)
Faktor Domestik • Demokratisasi Krisis finansial masyarakat yang terpolarisasi,
• Peralihan rezim konflik sosial
militer menuju
rezim sipil
Tujuan • Menyembuhkan Mengejar ekonomi demokrasi partisipasi dalam pemerintahan
permasalahan dan pasar
orang Korea,
• menciptakan the
New Korea
Arahan • Pemerintahan • Pemerintahan yang kecil, • Tata kelola yang baik dan
lebih bersih, lebih merestrukturisasi dan menciptakan negara inovatif
kecil dan lebih mengecilkan pada abad 21
kuat • operasi pemerintahan • Kerjasama usaha inovasi antar
• administrasi yang yang efisien Pemerintah, bisnis dan masya-
lebih demokratis • pemerintahan yang bero- rakat
dan efisien rientasi pada layanan • menciptakan sistem inovasi
• Reformasi custo- autonomous
mer-oriented
Sumber: OECD dan Korea Policy Center (2008)
Konsep agensifikasi sebenarnya juga diterapkan secara luas di birokrasi Korea Selatan.
Namun demikian, hasil dari agensifikasi tidak begitu menggembirakan. Konsep agensifikasi
tersebut diperkenalkan melalui the Executive Agency Act pada tahun 1999. Prinsip agensifi-
kasi juga meniru model-model yang ada di dunia. Agen-agen pemerintah diberi fleksibilitas
dan otonomi untuk mengelola sumber daya manusia, anggaran operasional dan mengubah
struktur organisasi.
Menurut OECD dan Korea Policy Center (2008), agensifikasi di Korea Selatan tidak per-
nah berjalan sukses. Beberapa kelemahan yang menghantui penerapan agensifikasi di Korea
Selatan yaitu: (a) lemahnya pengendalian legislatif akibat pemberian otonomi dan kebebasan
dari pengaturan legal; (b) produk yang dihasilkan seringkali merusak kepercayaan publik; (c)
sulitnya koordinasi antara kementerian dan agen; (d) tingginya risiko terkait akuntabilitas dan
korupsi.
Hasil penelitian OECD dan Korea Policy Center tersebut juga disetujui oleh para ahli dari
Korea Selatan. Nanyoung Kim dan Wonhyuk Chok (2015), dalam 'Agencification and Perfor-
mance: The Impact of Autonomy and Result-Control on the Performance of Executive Agen-
cies in Korea', menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kinerja
dengan otonomi dalam pengelolaan keuangan dan SDM yang diteliti pada agen-agen pe-
merintah. Namun demikian, terdapat korelasi yang erat antara kinerja dengan evaluasi kinerja
dan penghargaan (reward). Temuan senada juga diungkapkan oleh Keunsei Kim (2008), dalam
'Agencification in Korea: Governance and Performance', yang menyimpulkan bahwa agensi-
fikasi tidak menghasilkan keuntungan ekonomi dan efisiensi. Setelah penerapan agensifikasi,
evaluasi secara menyeluruh terhadap pekerja menunjukkan hasil netral. Namun demikian, ter-
dapat peningkatan orientasi manajerial terhadap kinerja serta peningkatan terhadap kepuas-
an layanan.
38
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Di Indonesia, agensifikasi diadaptasi melalui tata kelola Badan Layanan Umum (BLU). Tata
kelola tersebut memberikan suatu solusi bagaimana fungsi principal dan agent dipisahkan se-
hingga terbentuk suatu institusi pelayanan berfokus pada pelayanan masyarakat. Persyaratan
utama adalah pengembangan ruang gerak keuangan dan manajerial yang fleksibel dengan
melonggarkan regulasi yang dianggap menjadi hambatan dan sumber ketidakefisienan pe-
nyediaan layanan pemerintah.
39
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Direksi berperan sebagai agent. Sedangkan Dewan Komisaris berperan sebagai pihak yang
memfasilitasi kepentingan principal dalam mengawasi agent sesuai kesepakatan-kesepakatan
RUPS yang tertuang dalam anggaran dasar.
Pada dasarnya konsep BLU mencoba mendekatkan konsep principal agent pada pe-
ngembangan tata kelolanya. Peran principal diganti dengan instansi induk yang mendelegasi-
kan kepentingannya melalui kontrak kinerja. Peran Dewan Direksi tetap mendapat nama yang
sama. Sedangkan Dewan Komisaris direpresentasikan oleh Dewan Pengawas.
Dalam pengimplementasiannya, terdapat beberapa kelemahan terkait organ-organ
pembentuk BLU yaitu:
Tabel 4. Inventarisasi kelemahan hubungan organ BLU
Organ BLU Permasalahan
Instansi Induk • Semua organ ini disebut pembina. Tidak jelas pihak yang berperan
sebagai Regulator, Principal dan Supervisor.
Kementerian Keuangan
• Fungsi Regulator dan Principal Keuangan berada pada satu tangan
Dewan Pengawas • Tidak memadainya peran Dewan Pengawas dalam mengarahkan BLU
Dewan Direksi Belum terdapat standar suksesi Dewan Direksi yang menjamin transparansi
40
Mengembangkan Tata Kelola BLU
41
Mengembangkan Tata Kelola BLU
pimpinan dapat sewaktu-waktu diganti apabila Rapat BLU Tahunan (RBT) menilai kinerja direk-
si underperform atau tidak sesuai dengan yang diharapkan pemegang saham.
Pergantian pimpinan BLU juga semestinya mempertimbangkan interval waktu yang me-
mungkinkan pimpinan tersebut dapat membuktikan kemampuan manajerialnya. Van Thiel et
al mengingatkan bahwa turnover pimpinan dapat menyebabkan kepemimpinan yang tidak
berkelanjutan, biaya transaksional, serta adanya risiko-risiko politis yang bersifat implisit.
42
Mengembangkan Tata Kelola BLU
mendasar seperti ketiadaan SOP, regulasi yang tidak memadai, sampai kelemahan pada pe-
ngendalian internal cukup mewarnai pada temuan BPK. Hal tersebut pada dasarnya mem-
buktikan bahwa konsep Dewan Pengawas dalam BLU belum secara efektif berkontribusi pada
kinerja keuangan BLU.
43
Mengembangkan Tata Kelola BLU
44
Mengembangkan Tata Kelola BLU
penataan hubungan principal-agent dalam tata kelola BLU; serta (3) adanya sistem visi yang
dapat mengarahkan BLU pada posisi-posisi yang strategis dalam sudut pandang tata pereko-
nomian secara makrro.
• Menyusun
peraturan dan
• Mewakili Pemerintah
• pemilik kepentingan kebijakan terkait
dalam principal atau
kinerja layanan BLU; pengelolaan
pemilik kepentingan
• Mengintegrasikan keuangan BLU
kinerja keuangan BLU;
• Menyusun standard
program BLU ke dalam • Memberikan layanan
program K/L; penilaian kinerja
penetapan BLU, tarif
BLU
dan renumerasi;
• Mempublikasi
indeks kinerja BLU
Supervisor
Badan Layanan
Umum
45
Mengembangkan Tata Kelola BLU
merupakan pemilik program dan kinerja layanan BLU. Principal Teknis memiliki kewenang-
an sebagai berikut: (1) menentukan struktur organisasi dan tata laksana BLU; (2) menyetu-
jui pengusulan instansinya menjadi nominator BLU; (3) meminta pencabutan status BLU dan
penurunan rating apabila terdapat pelanggaran kontrak kinerja; (4) menganggarkan belanja
modal BLU yang pendanaannya melalui RM pada RKA K/L; (5) menyusun kontrak kinerja; (6)
mengevaluasi kesesuaian RBA dengan rencana Kementerian/Lembaga.
Sementara itu, Principal keuangan BLU berkepentingan pada kinerja keuangan. Keterli-
batan institusi tersebut dalam principal berguna sebagai perimbangan kewenangan K/L da-
lam pengambilan keputusan. Principal Keuangan memiliki kewenangan untuk: (1) memproses
usulan penetapan status BLU, tarif, remunerasi, investasi dan pinjaman jangka panjang yang
diusulkan oleh BLU; (2) menyetujui target kinerja keuangan dan layanan; (3) mengorganisir
dilakukannya audit eksternal terhadap kinerja keuangan dan kinerja layanan; (4) mewakilkan
kepentingannya sebagai Principal kepada Supervisor; (5) mengorganisir diselenggarakannya
Rapat BLU Tahunan (RBT).
Dalam melakukan pengawasan, Principal mewakilkan tugas pengawasan kepada Super-
visor. Kanwil DJPB diusulkan untuk memegang posisi tersebut. Sebagai Supervisor, Kanwil
DJPB bertugas: (1) mendampingi nominator BLU dalam persiapan untuk mendapatkan status
BLU; (2) melakukan monitoring dan evaluasi kinerja layanan dan keuangan; (3) memberikan
reviu terhadap usulan RBA, tarif, remunerasi serta usulan pendanaan investasi/ekspansi; (4)
memastikan terimplementasikannya standar tata kelola BLU sesuai ketentuan; (5) memberi
pendapat atas temuan audit internal, hasil Rapat Tinjauan Manajemen serta rencana perba-
ikan dan pencegahan; (6) melakukan pengawasan kepatuhan lalu lintas data dalam sistem
informasi; (7) mengusulkan penurunan rating kinerja layanan apabila ditemukan pelanggaran
tata kelola; (8) memproses usulan subsidi layanan.
Melalui perimbangan tersebut, diharapkan terdapat pengambilan keputusan yang lebih
objektif dan berfokus pada layanan dengan tetap berpedoman pada tata kelola BLU yang
baik. Terdapat beberapa manfaat yang diharapkan pada pemisahan kewenangan tersebut,
yaitu:
- simplifikasi, efisiensi dan efektifitas pekerjaan pada unit-unit regulator, principal dan super-
visor karena fokus masing-masing unit tidak terpecah antara regulasi dan supervisi;
- terdapat check and balance dalam perumusan regulasi maupun operasional penetapan
status, tarif maupun remunerasi;
- adanya pihak yang bertanggung jawab dalam evaluasi, penetapan kriteria serta pengem-
bangan konsep tata kelola BLU serta operasional layanan pembinaan keuangan BLU;
- menghindari adanya konflik kepentingan dan bias dalam pengambilan keputusan akibat
pemusatan kewenangan pada satu tangan;
Terdapat beberapa alternatif pemisahan fungsi regulator dan principal sebagai berikut:
Tabel 5. Alternatif Pemisahan Fungsi Regulator dan Principal
Nama Alternatif Regulator Principal Penjelasan
Alternatif 1 Komite Regu- Dit PPK BLU Konsep pemisahan demikian telah sukses diterapkan
lasi BLU Lintas pada pemisahan regulator dan operator pada akuntansi
Kementerian/ pemerintah pusat.
Lembaga
46
Mengembangkan Tata Kelola BLU
47
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Laporan
Kinerja Rapat BLU Tahunan (RBT)
BLU
Kemen Pihak
K/L
Pendelegasian keu Lain
Support
Supervisor Data &
Analisis
Kanwil Dewan Anggaran Modal,
RBA Kontrak Kinerja
DJPB Pengawas
Mewakili Principal
Melakukan pengawasan Direksi
Pendampingan
& Monitoring
Pihak yang berada dalam kotak kuning pada gambar di atas merupakan pihak-pihak
yang memiliki keanggotaan dalam organ Rapat BLU Tahunan (RBT). Organ tersebut memiliki
kewenangan tertinggi dalam pengambilan keputusan BLU, termasuk pengesahan RBA yang
diajukan oleh Dewan Direksi. Persetujuan terhadap RBA berkonsekuensi pada kewajiban K/L
yang duduk dalam RBT tersebut untuk memasukkan usulan belanja yang tertuang dalam RBA
ke dalam RKA K/L (apabila ada). Bagi Dewan Direksi, pengesahan RBA merupakan persetujuan
penggunaan target dan anggaran pada tahun anggaran mendatang. Pengambilan keputusan
secara kolektif yang dilakukan di dalam forum RBA dimaksudkan untuk menghindari indikasi
motif pribadi.
48
Mengembangkan Tata Kelola BLU
RBT sebagai suatu organ BLU memungkinkan penerapan multiprincipal pada tata kelola
BLU. Sistem multiprincipal menyebabkan suatu BLU dapat mengakomodir beberapa kepen-
tingan dari principalnya. Misalnya, Rumah Sakit Bhayangkara mengakomodir kepentingan Ke-
polisian dan kepentingan Kemenkes. Pihak-pihak yang duduk dalam RBT terdiri dari pejabat
Kemenkeu terkait (misalnya, Direktur PPK BLU) yang mewakili Bendahara Umum Negara, peja-
bat K/L induk yang terkait, pejabat K/L lain yang memiliki kepentingan, serta pihak-pihak lain
yang terkait dengan operasional BLU, misalnya BLU CPO memiliki instansi induk Kementerian
Keuangan. Namun Kementerian/Lembaga lain seperti Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian ESDM juga memiliki kepentingan
terhadap kinerja BLU tersebut. Setiap pejabat yang duduk dalam RBT tersebut pada dasarnya
memiliki suara yang mewakili instansinya.
Banyak hal yang dibahas dalam RBT termasuk di antaranya reviu terhadap Kontrak Kiner-
ja, usulan kenaikan tarif, rencana pemanfaatan sumber daya ataupun remunerasi yang perhi-
tungannya. Untuk menjamin validitas dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan, setiap
angka yang diajukan Dewan Direksi ke RBT merupakan angka yang telah diverifikasi oleh
Kanwil DJPB dan disampaikan melalui Dewan Pengawas/Dewan Komisaris.
Sebagaimana praktik umum yang berlaku di sektor privat, Dewan Direksi bertanggung
jawab kepada RBT. Termasuk dalam hal yang dipertanggungjawabkan yaitu strategi dan target
kinerja yang akan dicapai dalam suatu periode tertentu ( jangka pendek, jangka menengah
dan jangka panjang). Dengan demikian, kontrak kinerja dilakukan antara RBT dengan Dewan
Direksi dimana indikator kinerja merupakan target kinerja yang harus dipenuhi oleh Dewan
Direksi dalam satu tahun mendatang.
Kemenkeu merupakan institusi yang harus selalu dilibatkan dalam RBT karena pada da-
sarnya terdapat kepentingan terhadap kinerja keuangan BLU, kelangsungan pinjaman jangka
panjang (apabila ada), ketertiban pengelolaan aset serta pengajuan PNBP dan penganggar-
an. Hal tersebut sedikit berbeda dengan penjelasan PP 23 Tahun 2005 dimana peran principal
hanya diberikan kepada K/L induk yang memiliki kepentingan dalam kinerja pelayanan.
Pihak yang berada di antara RBT dan Dewan Direksi adalah Dewan Pengawas yang meru-
pakan wakil RBT dan berperan seperti Dewan Komisaris pada sektor privat. Dewan Pengawas
terdiri dari pejabat-pejabat yang mewakili principal. Dewan Pengawas tersebut pada dasarnya
mewakili Principal untuk mengawasi dan mendampingi pelaksanaan tugas BLU. Untuk men-
jamin efektifitas kinerja Dewan Pengawas, Kanwil DJPB atau kantor lain yang ditunjuk me-
lakukan aktifitas-aktifitas pengawasan harian dengan menggunakan akses sistem informasi
serta menyajikan informasi dan analisis yang diperlukan kepada pejabat yang duduk dalam
keanggotaan Dewan Pengawas. Pada posisi ini, Kanwil DJPB disebut juga supervisor dari BLU
tersebut.
49
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Pengajuan satker
Sistem Visi Fase Persiapan
menjadi BLU
Suksesi Pimpinan
Rapat BLU
Tahunan
Eksternal Audit
Penganggaran
Pelaporan &
Pencatatan
Pelaksanaan
Pada gambar di atas terdapat area yang berwarna abu-abu dimana proses yang berada
pada area tersebut hanya terjadi pada saat pengajuan institusi BLU baru. Selain fase pengaju-
an, proses lainnya terangkai dalam suatu lingkaran yang merupakan siklus manajerial setelah
tata kelola BLU berjalan pada suatu instansi.
a) Fase pengajuan
Fase pengajuan terdiri dari 3 (tiga) proses yaitu sistem visi, pengajuan satker menjadi BLU
dan fase persiapan. Sistem visi merupakan suatu kumpulan proses dimana kerangka kerja dia-
rahkan sesuai visi pembangunan BLU. Sistem ini saat ini belum diatur dan diimplementasikan
pada pengelolaan BLU saat ini. Output dari sistem ini adalah rumusan kerangka kerja yang
merupakan pengganti Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) pada sektor privat
maupun organisasi nonprofit. Sistem ini didesain agar penciptaan BLU merupakan desain be-
sar pembangunan tata perekonomian secara makro serta memudahkan kandidat BLU dalam
proses peningkatan status dari instansi biasa menjadi instansi BLU. Penjelasan lebih lanjut dari
sistem visi diuraikan pada bagian lain bab ini.
Tahap pengajuan dilakukan oleh Direksi kandidat BLU ketika kerangka kerja telah diha-
50
Mengembangkan Tata Kelola BLU
silkan melalui sistem visi. Pengajuan tersebut secara filosofis merupakan pernyataan kesang-
gupan Direksi menerapkan tata kelola BLU pada instansinya. Dengan merujuk pada PP 23 Ta-
hun 2005, pada saat pengajuan instansi bersangkutan menyajikan dokumen-dokumen yaitu:
(a) pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat
bagi masyarakat; (b) pola tata kelola; (c) rencana strategis bisnis; (d) laporan keuangan pokok;
(e) standar pelayanan minimum; dan (f) laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk
diaudit secara independen. Pola tata kelola sebagaimana diatur dalam PP 23 Tahun 2005 di-
usulkan untuk diganti dengan dokumen Kerangka Kerja. Dokumen tersebut merupakan hasil
rumusan yang melibatkan pihak-pihak yang akan menjadi principal dari BLU tersebut.
Tahap berikutnya adalah fase persiapan. Pada fase ini, Direksi BLU melengkapi persya-
ratan-persyaratan tata kelola BLU. Apabila diperlukan, Direksi dapat melakukan reorganisasi,
perampingan, penyesuaian prosedur maupun penyesuaian SDM. Acuan penyesuaian tersebut
semestinya telah dipetakan dalam formulasi Kerangka Kerja. Direksi juga perlu mempersi-
apkan mindset para pegawainya menjadi lebih enterpreneur. Selain itu, Direksi juga harus
mempersiapkan mekanisme manajemen yang dapat memberikan jaminan kualitas kepada
pengguna layanan.
Salah satu bentuk mekanisme untuk memberikan jaminan kualitas pelayanan BLU ada-
lah penerapan Standar Manajemen Mutu (SMM). SMM pada dasarnya merupakan penerapan
salah satu pola manajerial yang sering disebut dengan Total Quality Management (TQM). De-
partmen of Defense US (1988) dalam ‘Total Quality Management Plan’, mendefinisikan TQM
sebagai suatu strategi pengembangan kinerja pada setiap level dan semua wilayah tanggung
jawab. TQM ini mengkombinasikan teknik-teknik manajemen, usaha pengembangan kondisi
eksisting dan instrumen teknikal spesifik dalam suatu struktur yang berfokus pada pengem-
bangan berkelanjutan pada seluruh proses. Pengembangan kinerja ditujukan pada kepuasan
dengan tujuan luas pada kebutuhan dan keberlanjutan biaya, kualitas, jadwal dan misi. Pe-
ningkatan kepuasan pengguna di atas tujuan. (a strategy for continuously improving perfor-
mance at every level, and in all areas of responsibility. It combines fundamental management
techniques, existing improvement efforts, and specialized technical tools under a disciplined
structure focused on continuously improving all processes. Improved performance is directed
at satisfying such broad goals as cost, quality, schedule, and mission need and suitability. In-
creasing user satisfaction is the overriding objective).
Tujuan dari penerapan SMM pada BLU adalah: (a) memberikan quality assurance pada
masyarakat pengguna layanan; (b) memberikan gambaran mengenai celah kesalahan yang
ada pada sistem dan proses bisnis instansi tersebut; (c) mendorong peningkatan layanan in-
stansi tersebut dengan efektif dan efisien; (d) meningkatkan citra profesionalisme pada in-
stansi tersebut; (e) meningkatkan kepuasan pengguna layanan; (f) terdapat kemudahan apa-
bila instansi tersebut akan mengupgrade status BLU menjadi ISO 9001; (g) terdapat standar
audit manajemen mutu yang telah berlaku di seluruh dunia sehingga akan mempermudah
pihak auditor.
Untuk memudahkan penerapan tata kelola BLU, Regulator BLU membuat suatu manual
book yang berisi klausul-klausul yang berisi standar yang harus diterjemahkan dalam mana-
jemen BLU. Misalnya: pada klausul manual book disebutkan pembayaran belanja BLU harus
mengacu pada Standar Biaya Umum (SBU) atau Standar Biaya Masukan (SBM). Berdasarkan
klausul tersebut, dinyatakan bahwa BLU menggunakan SBM dengan mengacu pada dokumen
standar yang dimaksudkan. Maksud dari penggunaan manual book tersebut adalah sebagai
alat bagi auditor untuk melakukan pengecekan dokumentasi penerapan tata kelola BLU pada
51
Mengembangkan Tata Kelola BLU
kandidat.
Adapun proses persiapan sampai penetapan instansi kandidat menjadi BLU dapat diilus-
trasikan pada gambar di bawah ini:
Gambar 13. Proses Persiapan dan Penetapan Status BLU dengan Mengadopsi Mekanisme Sistem Mana-
jemen Mutu
Komitmen penerapan
Pengajuan BLU kepada Penataan Struktur
standar BLU pada
Menteri Keuangan Organisasi
instansi
Rapat Tinjauan
Audit Internal
Manajemen
Proses persiapan dimulai dengan komitmen penerapan standar BLU yang ditandata-
ngani oleh pimpinan instansi calon nominator BLU dan disetujui oleh pimpinan instansi calon
nominator pembina teknis. Surat pengajuan tersebut diusulkan kepada Menteri Keuangan dhi
pejabat teknis pembina keuangan BLU (saat ini Direktur PPK BLU). Pejabat pembina tersebut
selanjutnya meneliti persyaratan substantif dan menetapkan instansi tersebut sebagai nomi-
nator BLU.
Surat penetapan nominator tersebut menjadi dasar bagi instansi untuk melakukan pe-
nataan struktur organisasi. Adapun struktur organisasi tersebut sekurang-kurangnya meliputi:
(a) pimpinan; (b) manajer representatif (bagian umum); (c) pengelola keuangan; (d) pengelola
teknis; (e) auditor internal. Selanjutnya organisasi tersebut melakukan penyusunan Pedoman
Mutu yang didasarkan pada klausul-klausul pada manual book BLU. Pedoman Mutu terse-
but selanjutnya dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan dokumen yang menjadi acuan
pada pelaksanaan kegiatan.
Pada setiap suatu periode, instansi tersebut melakukan audit internal untuk mengetahui
celah kesalahan yang ada pada sistem maupun proses bisnis instansi. Berbeda dengan SMM,
audit internal dalam rangka penetapan status BLU dilakukan tidak hanya terhadap pelaksanan
manajemen mutu layanan namun juga terhadap pengelolaan keuangan BLU. Hasil dari audit
internal tersebut diajukan dalam Rapat Tinjauan Manajemen untuk dilakukan langkah perba-
ikan maupun pencegahan sebagaimana mestinya.
Setelah berakhirnya tahun anggaran, dilakukan audit eksternal terhadap keuangan BLU
maupun manajemen mutu layanan. Apabila hasil audit tersebut menyatakan kondisi BLU se-
cara teknis dan keuangan layak maka auditor menyatakan hal tersebut dalam ikhtisar hasil au-
dit. Pernyataan auditor tersebut menjadi dasar penetapan status BLU bagi Menteri Keuangan.
52
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Proses persiapan sebagaimana diuraikan di atas dilakukan dalam waktu sedikitnya 1 (satu)
tahun. Selama kurun waktu tersebut Kanwil DJPB, atau institusi lain yang ditunjuk, berperan
penting dalam melakukan asistensi tim persiapan BLU baik terkait manajemen mutu maupun
manajemen keuangan. Dalam hal, Kanwil DJPB tidak memiliki sumber daya memadai, maka
Kanwil DJPB dapat mendelegasikan instansi lain atau pihak ketiga (dengan dana dari instansi
BLU) untuk melakukan pendampingan. Target dari pendampingan adalah kesiapan instansi
untuk menerapkan tata kelola Badan Layanan Umum. Adapun target yang diusulkan sebagai
berikut:
Tabel 7. Pendampingan Persiapan Penerapan Tata Kelola BLU
No Pendampingan Kondisi Umum Instansi Target
Birokrasi
1 Penerapan aturan Pada umumnya instansi Tim manajemen dapat menerapkan mekanisme
terkait fleksibilitas menggunakan Standar Bia- terkait fleksibilitas keuangan yaitu:
keuangan ya Umum yang ditetapkan - Standar Biaya Masukan;
Kemenkeu, remunerasi K/L, - Remunerasi;
perhitungan tarif berdasar- - Penetapan tarif;
kan penetapan tanpa ada
justifikasi logis
2 Perencanaan Pada umumnya kontrak • Tim manajemen dapat menyusun indikator
Kontrak Kinerja kinerja instansi Pemerintah kinerja teknis maupun keuangan, termasuk
hanya untuk pemenuhan mekanisme perencanaan, pengukuran, dan
syarat administrasi pertanggungjawaban;
• Tim manajemen memahami konsekuensi keti-
daktercapaian kinerja;
• Adanya perencanaan kinerja dalam jangka me-
nengah yang dituangkan dalam kontrak;
• Tim manajemen dapat membuat kontrak kinerja;
3 Tata Kelola Pada umumnya instansi • Tim manajemen mampu menerapkan mana-
Pemerintah belum memiliki jemen mutu layanan baik secara administrasi
acuan tata kelola yang baik (pedoman mutu, peta proses bisnis, kebijakan
mutu, Standar Pelayanan Minimum, visi-misi,
rencana komunikasi, SOP) maupun aktivitas (au-
dit internal, rapat tinjauan manajemen, penerap-
an dokumen mutu, audit eksternal);
• Adanya jaminan mutu yang diberikan kepada
customer;
• Telah berjalannya manajemen risiko sehingga
terdapat mekanisme perbaikan dan pencegahan
atas kualitas layanan yang catat;
• Tim manajemen mampu memetakan kelebihan
dan kekurangan institusi, pasar yang menjadi
sasaran, kompetitor serta supplier yang dapat
mendukung
4 Sistem Informasi Instansi birokrasi tidak Adanya sistem informasi independen, meng-cover
memiliki data yang terko- 80% proses bisnis, serta terkoneksi dengan sistem
neksi dengan Kementerian pembinaan BLU yang dimiliki oleh Kementerian
Keuangan sebagai principal Keuangan
keuangan
5 Keuangan Belum adanya penerapkan • Setiap biaya yang dibebankan ke konsumen
kaedah bisnis yang sehat dapat di-tracing sebagai biaya tetap atau biaya
variabel;
• Perhitungan subsidi Pemerintah atas setiap
layanan valid dan dapat dijustifikasi. Besar rata
subsidi untuk setiap layanan diusulkan minimal
50%;
6 Kualitas Layanan Sebagian besar instansi • Telah adanya mekanisme pengukuran kepuasan
belum memiliki pengukur- pelanggan
an layanan pelanggan
53
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Setelah Kanwil DJPB sebagai pendamping menyatakan bahwa instansi tersebut telah siap
menerapkan tata kelola BLU, akan diterbitkan rekomendasi kepada Menteri Keuangan untuk
mengubah status instansi dari fase persiapan ke BLU penuh. Menteri Keuangan selanjutnya
melakukan audit kesiapan penerapan tata kelola BLU. Materi yang diaudit adalah pemenuhan
target pendampingan sebagaimana diuraikan di atas.
b) siklus manajerial
Siklus manajerial dimulai dari Rapat BLU Tahunan (RBT) yang dihadiri oleh wakil-wakil
dari pembina teknis (K/L) dan pembina keuangan (Kemenkeu). Dalam RBT tersebut, Direksi
BLU mempresentasikan RBA yang berisi rencana yang akan dilakukan dalam satu tahun yang
akan datang. RBA yang dipresentasikan tersebut terlebih dahulu direviu oleh Kanwil DJPB
untuk menjamin validitas angka-angka yang disajikan untuk digunakan dalam pengambilan
keputusan. RBT memiliki kewenangan untuk menyetujui, menyetujui dengan catatan atau ti-
dak menyetujui RBA yang diajukan. Kondisi menyetujui dengan catatan atau tidak menyetujui
berkonsekuensi pada kebutuhan perubahan RBA.
Pada suksesi Dewan Direksi, Direksi BLU menyampaikan program-program yang akan
dilakukan beserta pertimbangannya serta keterkaitan antara program-program tersebut de-
ngan program sebelumnya. Selain itu, Direksi BLU juga harus mempresentasikan Analisis Be-
ban Kerja dari instansi yang dipimpin. Hal tersebut untuk meminimalkan dampak pergantian
dan penambahan pegawai non PNS yang seringkali mengikuti pergantian manajemen BLU.
Hasil dari RBT adalah persetujuan RBA untuk dianggarkan dalam RKA K/L. Termasuk hal-
-hal yang disetujui yaitu persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi apabila menggunakan
saldo awal dan ambang batas. Dalam RBA tersebut juga ditetapkan target-target baik target
teknis maupun target keuangan yang mengikat kepada Dewan Direksi BLU. Selain itu, per-
setujuan juga terkait pemanfaatan aset-aset negara yang dikelola oleh BLU. Target tersebut
menjadi dasar bagi Dewan Pengawas dan Kanwil DJPB untuk melakukan pengawasan.
Penerapan manajemen mutu layanan juga diterapkan dalam siklus normal. Setiap triwu-
lanan, BLU memperhitungkan indikator-indikator kinerja pelayanan serta laporan keuangan
triwulanan. Indikator-indikator kinerja serta laporan keuangan tersebut selanjutnya menja-
di bahan untuk dilakukan audit internal. Hasil dari audit internal tersebut menjadi masukan
pada Rapat Tinjauan Manajemen dalam melakukan perbaikan dan pencegahan. Selain mutu
layanan, audit juga dilakukan terhadap laporan keuangan triwulanan. Hasil audit tersebut di-
sampaikan kepada Kanwil DJPB yang berperan sebagai penyedia bahan pengambil keputusan
pada Dewan Pengawas serta melakukan publikasi data kinerja dalam suatu indeksi yang dina-
makan Indeks Kinerja BLU.
Sebagai bagian dari pengawas, Kanwil DJPB memiliki kepentingan terhadap penataan
organisasi. Oleh karenanya, Kanwil DJPB merupakan stakeholder yang menggunakan Laporan
Hasil Audit dari auditor eksternal. Auditor eksternal dapat berasal dari BPK atau auditor publik
yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan. Apabila nilai omzet BLU tidak memungkin-
kan pembayaran auditor publik, maka Kanwil DJPB akan meminta auditor internal pemerintah
54
Mengembangkan Tata Kelola BLU
4. Sistem Visi
Sistem visi merupakan suatu kumpulan proses dimana kerangka kerja diarahkan sesuai
visi pembangunan BLU. Tujuan dari implementasi sistem ini yaitu: (a) memetakan instansi-
-instansi Pemerintah yang dimungkinkan untuk dikelola dengan skema tata kelola BLU; (b)
memastikan bahwa instansi yang akan menerapkan tata kelola BLU merupakan instansi yang
tepat dari sudut pandang fungsinya; (c) pengembangan hubungan antara BLU tersebut de-
ngan Principal; serta (d) mempertemukan berbagai kepentingan dalam suatu rumusan ke-
rangka kerja BLU. Adapun gambaran dari sistem visi diilustrasikan pada gambar di bawah ini:
Gambar 14. Sistem Visi
Klarifikasi
Pemetaan Opsi Perumusan
Hubungan dgn
Kandidiat Pendahuluan Kerangka Kerja
Principal
Sebagaimana digambarkan di atas, sistem visi terdiri dari 4 sub sistem yang diawali dari
pemetaan kandidat instansi dalam suatu Candidates Pool, pembahasan opsi-opsi pendahu-
luan yang akan diterapkan dalam BLU tersebut, merumuskan suatu hubungan antara BLU
(agensi) dengan instansi-insansi yang nantinya akan berperan sebagai Principal serta yang
mempertemukan berbagai kepentingan dalam suatu rumusan kerangka kerja.
55
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Gambar 15. Akar Permasalahan Rendahnya Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi dengan Growth Diag-
nostic
Infrastruktur
kurang memadai Fungsi
Intermediasi yg
Manajemen Ongkos dari Buruk
Tabungan
Sumber Daya Pembiayaan yang Kegagalan Pasar Domestik yg
Alam yg Buruk tinggi rendah
56
Mengembangkan Tata Kelola BLU
yang rendah. Dengan demikian diperlukan BLU-BLU yang dapat meningkatkan human capital
seperti rumah sakit, universitas maupun BLU pengelolaan dana yang hasilnya disasarkan pada
pengembangan human capital. Demikian juga kelemahan intermediasi, maka diperlukan BLU
yang menyalurkan pendanaan kepada masyarakat yang tidak bankable.
Peta kandidat BLU (Candidates Pool) tersebut kiranya dapat menjadi suatu strategi jang-
ka panjang pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP)
dan Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM). Tujuan dimasukkannya peta kandidat ini
dalam RPJP dan RPJM adalah mengarahkan kebijakan pengambil keputusan di tingkat Ke-
menterian/Lembaga untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Selain itu, peta tersebut
memberikan ekspektasi positif bagi pelaku pasar terkait langkah-langkah pemerintah dalam
menyelesaikan konstrain pertumbuhan ekonomi.
Instansi yang berwenang dalam menyusun Candidates Pool adalah Regulator BLU dan
diusulkan untuk ditetapkan oleh Presiden bersamaan dengan penetapan RPJMN dan Uraian
APBN. Hal ini mengingat pemetaan arah jalan pengembangan TFP melalui Candidates Pool
melibatkan urusan berbagai Kementerian/Lembaga. Dalam tataran implementatif, konstrain-
-konstrain setiap daerah kiranya dapat dipetakan pada setiap wilayah dalam suatu Kajian Fis-
kal Regional. Hal tersebut perlu diperhatikan mengingat terdapat perbedaan kondisi antara
satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Apakah sektor
publik hrs
bertanggung jawab
thd fungsi tsb?
Bagaimana ruang
lingkup dari
pembangunan BLU
tsb?
Bagaimana fungsi
BLU tsb akan
dikelola?
57
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Sebagaimana dijelaskan dalam gambar di atas, terdapat 4 pertanyaan utama yang diguna-
kan dalam proses reviu. Pertanyaan pertama terkait dengan apakah fungsi BLU yang akan di-
kembangkan memang benar-benar dibutuhkan. Hal-hal yang terkait dengan reviu pertama ini
adalah siapa saja konsumen/pengguna layanan BLU, apakah mereka mau membayar, apa yang
terjadi apabila layanan pada fungsi tersebut dihentikan oleh pemerintah serta teknologi-tekno-
logi yang terkait dengan layanan fungsi tersebut.
Pertanyaan kedua adalah terkait tanggung jawab fungsi tersebut. Pertanyaan ini melekat
pada kondisi bagaimana kebijakan diimplementasikan oleh BLU tersebut. Hal ini memperha-
tikan bahwa pada dasarnya BLU merupakan tangan dari pemegang kebijakan untuk melayani
masyarakat.
Pertanyaan ketiga digunakan untuk mereviu alternatif-alternatif yang diperlukan agar
BLU benar-benar efektif dan tidak berduplikasi dengan BLU yang lain maupun mengambil
pasar yang sebenarnya terdapat banyak sektor privat bermain di dalamnya. Berbagai alternatif
perlu dikembangkan dalam reviu ketiga ini, misalnya sharing sumber daya dengan BLU sejenis
atau reorganisasi yang diperlukan agar BLU tersebut dapat memadai dari sisi tata kelola.
Pertanyaan terakhir menyangkut pengelolaan BLU baik dari sisi bentuk organisasi mau-
pun rencana efisiensi jangka panjang yang diperlukan oleh BLU. Termasuk dalam pembahasan
ini yaitu struktur organisasi yang akan dibangun serta pengelolaan hubungan antara BLU ini
dengan pengguna layanan. Hal lain yang perlu dipertajam dalam proses ini adalah mekanis-
me penilaian kinerja BLU baik kinerja teknis maupun keuangan.
58
Mengembangkan Tata Kelola BLU
1 2 3 4 5 6 Bagaimana Akses
Apakah terdapat informasi diberikan
Bagaimana posisi BLU Siapa pejabat yang Bagaimana Kesiapan
Apa Instansi Induk instansi lain yang
tersebut dalam peta akan ditunjuk sebagai BLU menerapkan tata dari BLU kepada
BLU tersebut? berkepentingan selain
Candidates Pool? Dewan Pengawas? kelola BLU Supervisor dan
instansi induk BLU? Principal
Bagaimana kesiapan
instansi induk
melakukan
pembinaan?
Bagaimana opsi
reward &
punishment?
Klarifikasi tahap pertama dalam proses in adalah mengklarifikasi instansi induk kandidat
BLU. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa instansi induk memiliki kesiapan sebagai
principal BLU tersebut. Hal-hal yang diklarifikasi pada tahap tersebut yaitu: (i) apakah terdapat
program yang didelegasikan oleh instansi induk kepada BLU; (ii) apakah terdapat Indeks Ki-
nerja Utama (IKU) instansi induk yang melekat pada IKU BLU; (iii) hal-hal apa yang diputuskan
pada tingkat BLU dan hal-hal apa yang harus mendapat persetujuan dari instansi induk; (iv)
bagaimana mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban dari BLU kepada instansi induk;
(v) bagaimana mekanisme pembinaan dari instansi induk kepada BLU; (vi) hal-hal apa yang
tidak boleh dilakukan oleh BLU; (vii) bagaimana kesiapan instansi induk untuk melakukan
pembinaan kepada BLU; (viii) opsi-opsi reward dan punishment yang mungkin diberikan dari
instansi induk kepada pimpinan BLU terkait pencapaian kinerja.
Klarifikasi tahap dua adalah melihat bagaimana posisi BLU yang diajukan pada candi-
dates pool. Proses klarifikasi ini digunakan untuk memastikan bahwa penerapan tata kelola
BLU pada instansi tersebut bersifat urgen dan memiliki berkontribusi pada pembangunan tata
kelola perekonomian secara keseluruhan. Hal-hal yang diklarifikasi meliputi: (i) area tanggung
jawab BLU dalam pembentukan salah satu komponen TFP; (ii) zona pengaruh layanan BLU; (iii)
hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pengembangan komponen TFP terkait pada
wilayah kerja BLU.
Klarifikasi tahap tiga adalah melihat kebutuhan pejabat yang ditunjuk sebagai Dewan
59
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Pengawas beserta instansi yang memberi dukungan pengawasan. Proses klarifikasi ini digu-
nakan untuk merumuskan persyaratan pejabat yang akan duduk dalam Dewan Pengawas dan
dukungan pendampingan pada fase persiapan BLU. Hal-hal yang diklarifikasi meliputi: (i) ku-
antitas dan kualitas Dewan Pengawas yang dibutuhkan; (ii) kesiapan Kanwil DJPB pada wilayah
kerja BLU untuk pengawasan setelah ditetapkannya status BLU.
Klarifikasi tahap empat adalah melihat bagaimana kesiapan kandidat dalam menerapkan
tata kelola BLU. Proses klarifikasi ini digunakan untuk memastikan bahwa kandidat memiliki
kesiapan untuk melakukan penyesuaian terhadap tata kelola BLU baik dari sisi struktur, bisnis
proses, dokumentasi maupun keuangan. Selain itu, proses ini juga digunakan untuk memasti-
kan Kanwil DJPB pada wilayah kerja BLU memiliki kemampuan yang memadai untuk melaku-
kan pendampingan. Apabila Kanwil terkait tidak memiliki kemampuan, maka perlu dirumus-
kan kesiapan instansi kandidat untuk meng-hire konsultan yang memiliki kapasitas memadai.
Klarifikasi tahap lima adalah melihat instansi-instansi Pemerintah selain instansi induk
yang memiliki kepentingan terhadap kinerja BLU. Apabila ada, maka Regulator akan menyu-
sun konsep multi-principal dengan melibatkan instansi-instansi yang berkepentingan terse-
but. Setiap instansi yang diklasifikasikan sebagai regulator akan dilakukan klarifikasi sebagai-
mana klarifikasi yang pertama. Hal-hal yang diklarifikasi pada tahap lima adalah: (i) apakah
ada instansi selain instansi induk yang berkepentingan terhadap kinerja BLU; (ii) jika ada, ba-
gaimana kepentingan-kepentingan tersebut dapat disatukan melalui kontrak kinerja; (iii) kla-
rifikasi kembali principal tambahan sebagaimana klarifikasi tahap pertama; (iv) bagaimana
pembagian kewenangan antar principal serta solusi apabila terjadi konflik kepentingan.
Klarifikasi terakhir adalah melihat akses informasi yang diberikan BLU kepada principal
dan supervisor. Klarifikasi ini digunakan untuk memastikan kondisi informasi asimetris dapat
diminimalkan pada saat statu BLU ditetapkan. Hal-hal yang diklarifikasi meliputi: (i) bagaimana
sistem informasi yang ada pada BLU; (ii) bagaimana data manajerial dan kontrak kinerja dapat
diadaptasi menjadi suatu data kontrak yang mengintegrasikan sistem antara BLU dengan pi-
hak-pihak yang berkepentingan; (iii) bagaimana solusi apabila sistem informasi tidak tersedia.
60
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Arah Strategi
BLU scr
Nasional
Kerangka
Program K/L Kerangka
Good
Induk Kerja
Governance
61
Mengembangkan Tata Kelola BLU
62
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Alfiker Siringoringo
63
Mengembangkan Tata Kelola BLU
64
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Nonprofit Hospital Service Provision and Market Ownership Mix'. Horwitz dan Nicholz menya-
takan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan margin yang signifikan antara rumah sakit
yang nonprofit dengan rumah sakit yang bertujuan memaksimalkan keuntungan. Namun,
rumah sakit nonprofit tersebut harus diarahkan dengan tujuan (goal-driven) dengan konstrain
keuangan yang diperketat.
Seringkali dalam beroperasi, lembaga-lembaga nonprofit (termasuk BLU) mesti mengan-
dalkan bantuan pemerintah untuk menjaga eksistensi operasionalnya. Hal tersebut wajar ter-
jadi mengingat lembaga-lembaga tersebut juga menjalankan fungsi sektor publik. Frank dan
Salkever (1994), dalam 'Nonprofit Organization in Health Sectors', memberikan argumentasi
bahwa informasi asimetris adalah kunci untuk memahami peran penting organisasi nonprofit
sebagai supplier pelayanan kesehatan. Subsidi pemerintah terhadap penyedia layanan terse-
but dilakukan karena Pemerintah menyadari bahwa institusi-institusi tersebut pada dasarnya
menyediakan layanan publik. Namun, subsidi yang diberikan oleh Pemerintah seringkali tidak
dilakukan berdasarkan kriteria kinerja yang jelas karena sulitnya memonitor biaya dan kuanti-
tas layanan yang diberikan oleh provider.
Bagaimanapun juga, kami berkecenderungan bahwa BLU dibangun bukan untuk me-
maksimalkan profit melainkan untuk memaksimalkan output baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas. Asumsi bahwa BLU tidak memaksimalkan profit tersebut menjadi hal utama yang
membedakan antara BLU dengan BUMN. Dengan memperhatikan hal tersebut, mekanisme
pengelolaan keuangannya juga semestinya didasarkan pada asumsi dasar bahwa BLU bukan-
lah lembaga profit.
2. Break Event-Point
Asumsi dasar bahwa BLU tidak memaksimalkan profit kiranya dapat diejawantahkan me-
lalui sebuah teori mikroekonomi yang disebut Break Event Point (BEP) untuk pengambilan
keputusan terkait pendapatan dan biaya. BEP merupakan suatu titik dimana total biaya sama
dengan total pendapatan. Ilustrasi dari konsep BEP adalah sebagai berikut:
Gambar 19. Break-Event Point
Total Pendapatan
Keuntungan
BEP
Rupiah
Total Biaya
Kerugian
Unit
Kondisi BEP terjadi manakala total pendapatan sama dengan total biaya. Kondisi ini yang
semestinya diperhitungkan oleh BLU dalam perhitungan pendapatan (tarif dan renumerasi)
serta perhitungan biaya.
Sebagaimana diketahui, secara umum suatu keuntungan diperhitungkan dari Penda-
65
Mengembangkan Tata Kelola BLU
patan dikurangi Biaya. Dengan memperhatikan beragamnya pendapatan dan biaya, maka
keuntungan merupakan selisih dari Total Pendapatan dan Total Biaya. Notasi matematis dari
keuntungan adalah:
Formulasi 1. Rumus Umum Keuntungan
Jika Keuntungan dinotasikan dengan P, Total Pendapatan TR dan Total Biaya TC maka
Formulasi 2. Rumus Keuntungan (dalam notasi matematis)
P = TR - TC
P ≈ 0, TC = TR
3. Pendapatan BLU
Pada BLU, terdapat 2 (dua) sumber pendanaan yaitu berasal dari Rupiah Murni (RM)
APBN serta dari PNBP yang diperoleh dari layanan. Jumlah dari kedua sumber pendanaan
tersebut merupakan Total Pendapatan (TR) bagi BLU. Dengan memasukkan kondisi dimana
keuntungan mendekati 0 (nol) sebagaimana formulasi 3 maka Total Biaya merupakan PNBP
plus RM dengan notasi sebagai berikut:
Formulasi 4. Sumber Pendanaan untuk Membiayai Total Biaya
TC = PNBP + RM
PNBP merupakan pendapatan murni yang diperoleh oleh BLU. Terdapat 2 (dua) jenis
pendapatan BLU yaitu pendapatan operasional (Rop) dan pendapatan nonoperasional (Rnop).
Kondisi tersebut diilustrasikan pada gambar berikut:
Gambar 20. Pembagian jenis pendapatan BLU
Operating
Income
Pendapatan
BLU
Dikembalikan ke Kas
Negara
Non-
operating
Income
Sharing
66
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Sebagaimana dipahami, pendapatan operasional berasal dari jumlah yang dibayarkan oleh
customer (tarif) dikalikan jumlah layanan.
Formulasi 7. Rumus Pendapatan Operasional
Dengan mengasumsikan bahwa PNBP tersebut merupakan pendapatan operasional maka di-
peroleh rumus dasar total biaya sebagai berikut:
67
Mengembangkan Tata Kelola BLU
TC = (Tarif x Q) + RM
4. Perhitungan Biaya
Pada kondisi umum sebagaimana formulasi di atas, timbul permasalahan terkait hal-hal
yang boleh dan tidak boleh dibiayai dengan sumber Rupiah Murni yang berasal dari APBN.
Untuk merumuskan ketentuan tersebut, kiranya perlu dikembalikan kepada konsep dasar
pembentukan BLU.
Sebagaimana dipahami bersama, BLU merupakan penerapan teori pengagenan (agenci-
fication) pada institusi yang bergerak pada operasional layanan. Instansi BLU merupakan agen
dari Kementerian/Lembaga yang menjalankan suatu layanan tertentu berdasarkan kontrak
kinerja. Dengan demikian, tanggung jawab BLU terkait pada operasional layanan. Adapun
kebijakan terkait ekspansi bisnis pada dasarnya berada pada kewenangan principal sehingga
dana tersebut kiranya disediakan dalam bentuk Rupiah Murni atau dari APBN.
Dengan memperhatikan prinsip tersebut, maka diperlukan pembagian biaya berdasar-
kan sifatnya yang melekat pada operasional BLU dimana biaya operasional/operational cost
(OC) dibiayai oleh Rupiah Murni dan biaya investasi/investment cost (IC) dibiayai oleh APBN.
Formulasi dari total biaya menjadi:
Formulasi 9. Biaya merupakan Penjumlahan Biaya Operasional dan Biaya Investasi
TC = OC + IC
Biaya operasional BLU merupakan biaya yang terkait dengan produksi atau penyediaan
layanan. Biaya operasional tersebut dapat dibagi menjadi biaya tetap atau fixed cost (FC) de-
ngan biaya variabel atau variable cost. Formulasi dalam notasi adalah sebagai berikut:
Formulasi 10. Komponen dasar Biaya Operasional
OC = FC + VC
Fixed cost merupakan biaya-biaya tetap yang tidak bertambah meskipun terdapat penambah-
an aktifitas ataupun pelayanan BLU. Sedangkan variabel cost merupakan biaya yang mening-
kat sejalan dengan peningkatan aktifitas ataupun pelayanan.
Dengan memasukkan rumus biaya operasional ke dalam rumus biaya total dalam formu-
lasi 9 maka akan diperoleh rumus total biaya sebagai berikut:
Formulasi 11. Total Biaya dan keterkaitan dengan Biaya Tetap, Biaya Variabel dan Biaya Investasi
TC = FC + VC + IC
68
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Fixed Cost
PNBP
Variable Cost
Sumber Dana
Belanja
Investasi/
Ekspansi
RM
Gambar di atas menjelaskan pemisahan sumber dana belanja berdasarkan jenis biayanya.
PNBP digunakan untuk kepentingan operasional. Sedangkan Rupiah Murni yang berasal dari
APBN digunakan untuk investasi/ekspansi. Pengklasifikasian sumber dana berdasarkan jenis
belanja bermanfaat untuk penilaian kinerja BLU tersebut yaitu kejelasan biaya rata-rata yang
dibebankan pada setiap layanan atau Average Cost (AC) dengan formulasi sebagai berikut:
Formulasi 12. Rata-rata Biaya yang Dibebankan untuk Setiap Layanan
OC
AC = , AC = tarif
∑Q
Rata-rata biaya yang dibebankan pada layanan tersebut pada dasarnya merupakan tarif yang
ditetapkan kepada pengguna jasa. Perhitungan demikian berdasarkan PP 23 Tahun 2005 Pasal
9 mengatur bahwa BLU menetapkan tarif atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau
hasil per investasi dana. Dalam diskursus akuntansi biaya hal ini sering disebut dengan cost-
-based pricing dengan metode unit costing.
Proses perhitungan unit costing dilakukan dengan mengkalkulasi semua biaya layanan,
kemudian dengan berdasarkan biaya tersebut, diperoleh tarif melalui penjumlahan antara
unit costing dengan margin. Tentu saja hal ini merupakan metode rasional untuk melakukan
pengambilan keputusan sebagaimana diperlukan oleh Pemerintah. Ambarriani (2012), dalam
artikelnya berjudul ' Informasi Unit Cost Rumah Sakit, untuk Apa?', menjelaskan bahwa meto-
de unit costing tersebut merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi internal maupun ekster-
nal dalam pengambilan keputusan taktis dan strategis. Namun demikian, perlu diperhatikan
bahwa perhitungan unit costing menyebabkan penetapan tarif yang terlampau tinggi karena
tarif didorong oleh perhitungan costing. Mekanisme penerapannya juga tidak mendukung
pengendalian biaya dan efisiensi biaya.
Permasalahan yang sering terjadi pada penggunaan unit costing dalam perhitungan bi-
aya adalah penggunaan harga yang tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut dapat berupa inefi-
siensi penggunaan persediaan (supplies) atau jalur perapan layanan yang berlebihan (misal,
dokter meminta dilakukan pengujian lab, padahal sebenarnya tidak dibutuhkan). Tentu saja
kondisi inefisiensi tersebut bertolak belakang dengan salah satu tujuan BLU yaitu mencipta-
kan layanan yang efisien dan produktif. Meskipun memiliki beberapa kelemahan, informasi
69
Mengembangkan Tata Kelola BLU
unit costing sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan manajerial baik dari sisi penga-
wasan maupun pengalokasian subsidi. Dari sisi pengawasan, sistem unit costing memberikan
berbagai informasi berharga terkait analisis efisiensi biaya, evaluasi kinerja aktivitas, pengam-
bilan keputusan strategis dan taktis.
Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah kondisi PNBP BLU yang seringkali tidak
memadai untuk meng-cover seluruh biaya operasional. Terdapat beberapa argumentasi terja-
dinya kondisi tersebut: (i) adanya konstrain penetapan harga dari kompetitor yang mengham-
bat harga ditetapkan di atas biaya; (ii) BLU menjalankan misi pemerintah yang tidak memung-
kinkan untuk menetapkan harga pasar; (iii) belum terbentuknya pasar BLU.
Terhadap permasalahan cost coverage tersebut, diusulkan agar dilakukan subsidi oleh
Pemerintah. Subsidi (S) tersebut diberikan dari rata-rata biaya (AC) terhadap tarif wajar ber-
dasarkan kemampuan konsumen. Dengan demikian, formulasi subsidi adalah sebagai berikut:
Formulasi 13. Rumus Perhitungan Subsidi per Layanan
S = AC - Tarif
Subsidi tersebut dibayarkan oleh Menteri Keuangan melalui mekanisme BA BUN. Dengan
mekanisme subsidi yang demikian maka terdapat kejelasan pengalokasian subsidi untuk ma-
sing-masing pelayanan.
Sebagaimana dipahami, pemerintah seringkali kesulitan untuk memonitor aktifitas BLU.
Kesulitan tersebut menyebabkan adanya risiko ketidaktepatan sasaran subsidi. Apalagi seba-
gian besar BLU masih belum mampu menyajikan informasi unit cost sebagaimana diamanat-
kan PP 23 2005. Dapat dipahami bahwa sebagian BLU merupakan transformasi dari instansi
pemerintahan biasa yang memiliki sistem anggaran konvensional. Terhadap permasalahan
tersebut diusulkan solusi agar BLU yang belum menerapkan unit costing dapat menetapkan
penggunaan rasio perbandingan atas total biaya yang dibebankan oleh pengguna layanan
dengan total subsidi yang diberikan pemerintah. Rasio tersebut menjadi indikator kinerja BLU
dimana semestinya biaya yang dibebankan kepada pengguna layanan meningkat dan subsidi
yang diberikan pemerintah menurun.
Permasalahan lainnya dalam pemisahan pembiayaan berdasarkan sumber belanjanya
adalah belanja pegawai PNS tidak diperhitungkan sebagai komponen biaya BLU. Hal ini tentu
saja menyebabkan: (i) biaya yang diperhitungkan menjadi under-valued; (ii) BLU menjadi tidak
kompetitif karena terdapat subsidi bayangan berupa belanja PNS; (iii) kompleksitas penerapan
performance-based dan perhitungan remunerasi.
Pada dokumen ini diusulkan pengembangan prinsip kompetitif pada BLU, termasuk di
antaranya memperlakukan belanja pegawai PNS sebagai salah satu komponen biaya. Seorang
pegawai yang memiliki status PNS dapat memilih menggunakan penggajian berdasarkan
standar dari Kementerian/Lembaga induk atau menggunakan standar renumerasi gaji instansi
BLU. Apabila menggunakan standar dari K/L maka pegawai tersebut mengembalikan dana ke
Kas Negara sebesar renumerasi gaji yang diterima dari BLU. Sebaliknya, apabila menggunakan
standar renumerasi gaji instansi BLU maka pegawai tersebut mengembalikan ke Kas Negara
sebesar jumlah yang semestinya diterima dari K/L.
Penggunaan satu standar payroll memiliki beberapa manfaat sebagai berikut: (i) biaya
pelayanan dapat diperhitungkan dengan lebih fair karena memasukkan semua unsur Fixed
Cost; (ii) karena perhitungan biaya lebih fair maka perhitungan subsidi lebih akurat dan tepat
sasaran; (iii) profesionalitas instansi BLU karena pegawai dinilai berdasarkan kinerjanya tanpa
dipisahkan antara status PNS maupun non PNS.
70
Mengembangkan Tata Kelola BLU
5. Surplus/Defisit
Pada dasarnya BLU beroperasi tidak mengutamakan keuntungan. Namun demikian, ter-
dapat kemungkinan terjadinya surplus atau defisit yang berasal dari selisih antara total pen-
dapatan (termasuk subsidi) dengan total biaya yang dikeluarkan.
Formulasi 14. Surplus (Defisit)
Surplus (Defisit) = TR - TC
Penggunaan surplus tersebut diusulkan untuk diputuskan dalam RUPS yang diseleng-
garan sedikitnya setahun sekali. Terdapat beberapa alternatif penggunaan surplus yaitu: (a)
disetor ke Kas Negara; (b) dipergunakan untuk investasi/ekspansi dengan terlebih dahulu di-
setorkan ke kas negara; (c) dicadangkan untuk operasional pada tahun anggaran berikutnya.
Pada opsi c, pencadangan kas BLU kiranya tidak diperkenankan dilakukan secara berlebihan.
Hal tersebut untuk meminimalkan moral hazard yang mungkin timbul terkait dengan imbal
hasil penempatan uang yang dinikmati secara informal oleh pihak-pihak tertentu.
Pada kondisi defisit, pengambilan keputusan penyelesaian juga dilakukan dengan meka-
nisme RUPS. Kondisi defisit mengharuskan adanya evaluasi ulang terhadap perhitungan tarif
serta evaluasi kinerja manajemen secara menyeluruh.
Usulan investasi
dlm RBA
Keputusan
RBT Pendanaan oleh BLU
Investasi
TC = (FC + IC) + VC
TC ≤ Daya Beli Masy.
Q
Recovery Biaya
Investasi
71
Mengembangkan Tata Kelola BLU
peningkatan kinerja keuangan dan layanan serta mekanisme pendanaan yang diusulkan. Usul-
an investasi/ekspansi dalam RBA tersebut selanjutnya diputuskan dalam RBT. Apabila skema
investasi tersebut merupakan kewenangan Menteri Keuangan, maka BLU mengajukan usulan
kepada Menteri Keuangan yang dilampiri rekomendasi dari RBT.
Pendanaan dapat dilakukan dengan 4 (empat) alternatif yaitu: (1) dengan menggunakan
laba ditahan BLU; (2) menggunakan RM APBN; (3) menggunakan dana lain di luar BLU terse-
but maupun Pemerintah; (4) bauran atas alternatif 1 s.d. 3. Apabila RBT memutuskan terdapat
pendanaan investasi di luar poin 1 dan 2 maka BLU wajib memperhitungkan pendanaan inves-
tasi dari eksternal ke dalam komponen biaya investasi (Investment Cost/IC) dalam biaya tetap
yang diperhitungkan pada total biaya layanan yang dibebankan kepada pengguna layanan.
Jumlah yang dibebankan tersebut tidak boleh melebihi jumlah yang dapat ditanggung oleh
masyarakat pengguna layanan.
Apabila sifat pendanaan tersebut dalam bentuk multi-years, maka komponen biaya in-
vestasi telah memperhitungkan komponen biaya amortisasi. Komponen biaya investasi terse-
but selanjutnya yang dipergunakan untuk merecover atau mengembalikan pendanaan.
C. Pengukuran Kinerja
72
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Penetapan standar
& Mekanisme
pengukuran kinerja
Monitoring Pengukuran
kinerja kinerja
periodik periodik
Laporan
Evaluasi
Kinerja
Audit Kinerja
Layanan
Tinjauan
Audit Kinerja Manajemen
Keuangan
Perbaikan &
Pencegahan
Evaluasi Evaluasi
Penetapan Rating Kinerja Kinerja
BLU
Layanan Keuangan
RBA
73
Mengembangkan Tata Kelola BLU
74
Mengembangkan Tata Kelola BLU
75
Mengembangkan Tata Kelola BLU
1 Rasio Kemandi- Menunjukkan jumlah PNBP relatif terhadap jumlah dari PNBP dan RM
rian
2 Rasio Subsidi ter- Menunjukkan jumlah RM yang diberikan Pemerintah untuk membantu BLU me-
hadap total biaya nyelenggarakan layanan
operasional
Bintang Lima
Benchmark internasional
Gambar di atas mengilustrasikan derajat rating layanan BLU. Pengaturan rating tersebut
dilakukan oleh pihak regulator. Demikian juga penetapan rating BLU. Rating tersebut ditam-
bahkan pada logo BLU yang menyampaikan pesan kepada masyarakat terkait mutu layanan
BLU tersebut. Desain dari pemberian rating ini adalah memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan bangsa dengan tolak ukur peningkatan daya saing bangsa pada tataran inter-
nasional. Rating layanan ini mengambil perspektif kualitas layanan dan kepuasan pelanggan
serta mengeluarkan faktor administratif kepatuhan penyampaian dokumen. Faktor adminis-
tratif sendiri berada pada kewenangan Supervisor dan Principal.
Rating paling dasar adalah Bintang Nol. Rating tersebut diberikan kepada BLU yang ber-
ada dalam proses penataan governance. Rating berikutnya adalah Bintang Satu yang dibe-
rikan kepada BLU yang telah memiliki standar tata kelola yang memadai sesuai dengan hasil
audit dari auditor eksternal. Pada saat suatu BLU memperoleh rating ini, berarti BLU tersebut
76
Mengembangkan Tata Kelola BLU
77
Mengembangkan Tata Kelola BLU
78
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Fleksibilitas yang terapkan pada tata kelola BLU menyebabkan bentuk ini dapat diguna-
kan untuk pengembangan fungsi pemerintahan. Pada uraian sebelumnya, diusulkan adanya
pemetaan instansi-instansi ke dalam suatu candidates-pool dimana pool tersebut berisi in-
stansi-instansi yang kiranya dapat menjadi kunci dalam pengembangan perekonomian pada
fungsi-fungsi tertentu baik bersifat jangka menengah maupun jangka panjang. Beberapa in-
stansi pemerintah yang telah dipetakan dalam candidates pool dapat didorong secara alami-
ah untuk menerapkan tata kelola BLU. Selanjutnya, fungsi kandidat tersebut dipetakan psoisi-
nya berdasarkan kondisi klustering Break Event Point (BEP).
Fleksibilitas dalam tata kelola BLU tersebut kiranya juga dapat digunakan dalam pe-
ngembangan fungsi-fungsi pemerintah dalam perekonomian. Pada bab ini akan diusulkan
beberapa alternatif pengembangan institusi pemerintah dengan memanfaatkan fleksibilitas
dan pengendalian dalam tata kelola BLU.
Alfiker Siringoringo
79
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Kondisi II
Total Pendapatan
Kondisi I
Keuntungan
Rupiah
Total Biaya
BEP
Kerugian
Kondisi III
Unit
Gambar di atas mengilustrasikan posisi suatu institusi layanan terhadap kondisi BEP. Ter-
dapat 3 kondisi yang menjadi area positioning. Pada Kondisi I, instansi layanan masih meng-
alami kerugian dimana total biaya lebih besar dari total pendapatan. Kondisi ini merupakan
kondisi yang wajar terjadi pada institusi Pemerintah. Kondisi II merupakan kondisi ideal di-
mana suatu institusi berada pada posisi BEP. Sedangkan Kondisi III merupakan kondisi dimana
keuntungan lebih besar dari total biaya.
Sebagian besar institusi pelayanan pemerintah berada pada Kondisi I. Institusi yang
mengajukan diri menjadi BLU juga dimungkinkan berada pada kondisi ini. Pada BLU yang
demikian, dilakukan fase persiapan dimana dilakukan pembenahan tata kelola yang memung-
kinkan mencapai Kondisi II.
Kondisi III merupakan kondisi dimana terdapat BLU memiliki keuntungan. Kondisi terse-
but sebenarnya dihindari mengingat BLU merupakan institusi yang tidak mengutamakan ke-
untungan. Pada kondisi yang demikian, maka status BLU diusulkan untuk naik menjadi BUMN
atau PTN-BH.
80
Mengembangkan Tata Kelola BLU
bungan principal-agensi. Apabila tata kelola sebagaimana dirumuskan dalam dokumen ini
menghasilkan dampak signifikan bagi efisiensi, produktifitas maupun kontribusi BLU pada
perekonomian negara, kiranya dapat dikembangkan beberapa alternatif pemanfaatan tata
kelola BLU untuk memberikan pengaruh pada tata kelola birokrasi secara lebih luas. Beberapa
alternatif yang ditawarkan yaitu: (1) pemanfaatan tata kelola BLU untuk membentuk BUMN
yang sehat; (2) pendelegasian fungsi pengelolaan earmarked-tax pada BLU; (3) penerapan
joint-principal Pusat Daerah untuk sinergi pengembangan sektor-sektor strategis; serta (4)
penerapan tata kelola BLU pada unit tertentu dari suatu instansi.
Merger/
Badan Layanan Umum Jual
BUMN
PENDAPATAN/
KEUNTUNGAN
Pendapatan
Keuntungan
0
WAKTU
81
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Gambar di atas mengilustrasikan siklus hidup BLU menjadi BUMN yang diadaptasi dari
konsep Product-Life Cycle (PLC). PLC sendiri sebenarnya merupakan grafik yang menggam-
barkan daur hidup suatu produk dari produk tersebut dibangun sampai produk tersebut
ditarik dari pasar. Dalam suatu siklus hidup BLU BUMN tersebut, suatu Unit Bisnis Pemerintah
diskenariokan memiliki 5 (lima) tahapan sebagai berikut:
(1) pembangunan (development). Pada tahap ini Unit Bisnis Pemerintah diinisiasi dan diper-
siapkan menjadi BLU. Tahap ini ditandai dengan pengembangan konsep tata kelola or-
ganisasi, pengembangan produk dan layanan, riset pasar, penguatan core-bussiness, pe-
nguatan kontrak kinerja, serta penyusunan road map. Pada tahap development, instansi
ini belum memperoleh pendapatan. Sebaliknya, biaya yang dikeluarkan sangat tinggi
sehingga menekan keuntungan (laba) hingga posisi minus. Kondisi tersebut mengharus-
kan pembebanan biaya seluruhnya atau hampir seluruhnya kepada Pemerintah melalui
APBN;
(2) pengenalan (introduction). Tahap ini merupakan awal pengenalan BLU beserta produk
kepada pasar. Tahap ini ditandai dengan telah dirilisnya produk-produk BLU dan mulai
dikenal pasar. Instansi BLU telah mendapatkan status BLU penuh dari Menteri Keuangan.
Pada tahap pengenalan, pendapatan mulai merangkak naik namun belum dapat me-
nunjukkan kemandirian karena Pemerintah masih melakukan subsidi terhadap layanan
dimana biaya lebih tinggi dari tarif;
(3) pertumbuhan (growth). Permintaan produk/layanan yang tinggi menyebabkan lonjak-
an permintaan produk/layanan BLU. Bentuk usaha sudah tidak efektif lagi menjadi BLU
karena kebutuhan investasi dan ekspansi begitu tinggi serta orientasi yang sudah mulai
mengarah pada optimalisasi keuntungan. Pada tahap ini, bentuk unit usaha berubah dari
BLU menjadi BUMN;
(4) kematangan (maturity). Permintaan tidak dapat tumbuh lebih tinggi lagi. Produk atau
layanan telah menguasai pasar dan tidak terdapat wilayah untuk melakukan ekspansi;
(5) penurunan (decline). Permintaan produk/layanan sudah menurun. Banyaknya kompetitor
baru, teknologi baru serta SDM baru menyebabkan BUMN sudah tidak efisien dan kalah
dalam kompetisi pasar. Pada tahap ini BUMN tersebut sebaiknya dimerger atau dijual.
Siklus hidup BLU-BUMN tersebut digunakan sebagai dasar analisis pada titik mana suatu
BLU dikembangkan dan berubah status menjadi BUMN dengan memperhatikan pendapatan
dan keuntungan. Transformasi tersebut dilakukan pada saat instansi berada pada tahap per-
tumbuhan. Kegagalan perubahan status pada tahap tersebut akan menimbulkan suatu stag-
nasi bagi unit organisasi. Siklus hidup ini juga menjadi suatu peringatan bagi instansi-instansi
BUMN terkait kesehatan produk-produknya dalam mempengaruhi pasar. Pada fase maturity,
BUMN diharapkan dapat mengambil langkah-langkah korektif yang mencegah datangnya
fase penurunan.
82
Mengembangkan Tata Kelola BLU
lakukan pada BLU CPO Fund atau BLU Sawit. Melalui BLU tersebut, Pemerintah memungut
CPO Supporting Fund (CSF) kepada pengusaha yang mengekspor CPO dan produk turunan,
industri berbahan baku sawit serta komoditas perkebunan sawit beserta produk turunannya.
Selanjutnya, dana CSF tersebut digunakan untuk membiayai subsidi biodiesel, replanting (per-
emajaan) tanaman sawit serta tujuan lain yang ditetapkan dalam undang-undang. Dengan
adanya intervensi Pemerintah pada produksi dan pemasaran sawit dan turunannya diharap-
kan harga sawit dapat terdongkrak sehingga mensejahterakan petani dan memberikan dam-
pak ekonomi yang lebih luas. Pungutan CSF pada dasarnya merupakan salah satu jenis dari
earmarked taxes karena dipungut atas produk/komoditas tertentu dimana hasil pungutannya
dipergunakan untuk tujuan tertentu juga. Pengelolaan dilakukan oleh agen pemerintah (BLU
Sawit) dimana agen tersebut menjalankan kepentingan Kementerian-Kementerian yang men-
jadi principalnya.
Pada dasarnya, skema pengelolaan earmarked tax ini juga dapat dipergunakan pada
kondisi-kondisi lain dimana institusi pengelolanya berstatus BLU. Secara umum proses bisnis
BLU pengelola earmarked taxes diilustrasikan pada gambar di bawah ini:
Gambar 27. Gambaran Umum Pengelolaan Earmarked Taxes
Earmarked
Sektor Tertentu
Taxes
Pemerintah, melalui BLU atau institusi yang ditunjuk, memungut earmarked taxes atas
suatu aktivitas tertentu. Dana yang berhasil dikumpulkan tersebut digunakan untuk belanja
yang terkait dengan pengembangan sektor yang memberikan earmarked taxes tersebut. Se-
lain membelanjakan untuk kepentingan sektor tersebut, BLU juga melakukan investasi dimana
hasil investasinya juga dipergunakan untuk pengembangan sektor tersebut.
Skema pengelolaan earmarked tax sebenarnya tidak hanya dipergunakan pada komo-
ditas saja. Banyak sektor lain yang menggunakan skema tersebut. Misalnya, pembangunan
BLU yang ditujukan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pada masyarakat di
sekitar pusat ekonomi (tambang, area industri). Tujuan pengembangan BLU tersebut adalah
mengurangi ketimpangan ekonomi masyarakat sekitar dengan pendatang, mengurangi eks-
ternalitas negatif akibat aktifitas ekonomi serta mengurangi dampak terjadinya dutch-disease
syndrom (suatu kondisi dimana tenaga kerja tidak siap berpindah mata pencaharian ketika
suatu pusat ekonomi berhenti beraktifitas).
Pengelolaan skema earmarked taxes oleh BLU kiranya memiliki beberapa kelebihan yaitu:
(a) memungkinkan adanya multi-principal atau memiliki principal berasal dari lintas sektoral
yang mensinergikan kepentingan berbagai institusi dalam satu rumah; (b) Keberhasilan Princi-
pal ditentukan oleh keberhasilan BLU sehingga memungkinkan persepsi yang seragam antara
83
Mengembangkan Tata Kelola BLU
84
Mengembangkan Tata Kelola BLU
dalam Dewan Pengawas. Skema joint-principal diharapkan dapat menjadi suatu alternatif un-
tuk mensinergikan kepentingan pusat dan daerah.
Sebagaimana dipahami, pada lingkup daerah Pemerintah Pusat seringkali memiliki
perbedaan kepentingan dan sudut pandang dengan Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat
seringkali mengambil kebijakan dengan sudut pandang makro secara nasional sedangkan
Pemerintah Daerah cenderung melihat dari sudut pandang kepentingan lokal. Hal tersebut
menyebabkan perencanaan maupun implementasi kebijakan Pusat dan Daerah menjadi tidak
sejalan.
Berbagai contoh perbedaan kepentingan pusat dan daerah seringkali menimbulkan ge-
sekan. Salah satu contoh adalah BP B*t*m dimana Pemerintah Pusat berkepentingan untuk
membangun batam menjadi salah satu pelabuhan transit dan kawasan industri di Indonesia.
Namun demikian, pemerintah setempat menolak keberadaan BP B*t*m. Terdapat beberapa
hal yang kiranya menjadi penyebab konflik kepentingan semacam itu yaitu: (a) Pemerintah
Daerah tidak bisa berinvestasi dan mengalami kendala dalam pembangunan infrastruktur; (b)
terdapat pungutan yang semestinya menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun menjadi
pendapatan BP B*t*m; (c) ketimpangan kewenangan antara pusat dan daerah; (c) Pemerin-
tah Daerah tidak peduli dengan manfaat keberhasilan Kawasan Ekonomi secara nasional; (d)
Arogansi politik daerah; (e) Pemerintah Daerah tidak memperoleh informasi dan kewenangan
memadai terkait pengembangan daerah; (f) Pemerintah Daerah tidak mau mengalokasikan
sumber daya jika hal tersebut menguntungkan BP B*t*m.
Gambar 28. Joint-Principal Pusat Daerah
Principal
Kerangka Kerja
Kontrak Kinerja
Dewan
BLU
Pengawas
Struktur joint principal Pusat Daerah diilustrasikan pada gambar di atas. Instansi Pusat
dan Instansi Daerah sama-sama berperan sebagai Principal dari BLU tersebut. Seluruh ke-
pentingan dari principal tersebut selanjutnya dirumuskan dalam suatu Kerangka Kerja yang
menjadi sebuah buku pedoman operasional bagi BLU. Kerangka Kerja tersebut diturunkan
85
Mengembangkan Tata Kelola BLU
menjadi Kontrak Kinerja yang berisi daftar target kinerja yang harus dicapai. Target kinerja
tersebut ditandatangani oleh wakil dari Principal dan Direktur Utama BLU. Dalam pengawas-
an sehari-hari, principal tersebut mendelegasikan kewenangannya kepada Dewan Pengawas.
Pelaksanaan tugas Dewan Pengawas didukung oleh informasi-informasi yang disajikan oleh
Kanwil DJPB.
Skema joint principal Pusat Daerah kiranya dapat diimplementasikan pada tata kelola
BLU pusat yang memiliki kepentingan strategis bagi Pemerintah Daerah. Contoh paling nyata
pentingnya penerapan skema ini adalah BLU pengembangan kawasan. Di dalam pengem-
bangan kawasan, Pemerintah Daerah memiliki kepentingan besar baik terkait perizinan, per-
olehan Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengelolaan lahan, maupun kepentingan-kepentingan
yang seringkali bersifat politis. Selain pengembangan kawasan, skema seperti ini juga dapat
diterapkan pada pengembangan masyarakat seperti kredit untuk pengusaha ultra-mikro. De-
ngan skema ini, diharapkan Pemerintah Daerah ikut bertanggung jawab terhadap kesuksesan
pencapaian kinerja BLU ini. Selain itu, keterlibatan pejabat Daerah diharapkan akan menular-
kan mindset tata kelola yang baik kepada Pemerintah Daerah.
Secara umum, struktur joint principal merupakan bentuk ideal untuk mensinergikan ke-
pentingan pusat daerah, terutama pada bidang-bidang strategis. Namun demikian terdapat
beberapa kelemahan yaitu: (a) ketidakjelasan instansi induk dari BLU. Salah satu alternatif pe-
mecahan adalah menggunakan Kanwil DJPB (representasi Kementerian Keuangan) sebagai in-
stansi induk BLU; (b) sebagaimana dipahami bersama, instansi daerah seringkali dipergunakan
sebagai alat politik Kepala Daerah. BLU dengan joint principal Pusat Daerah harus dipastikan
berada pada posisi netral.
Skema joint principal merupakan solusi untuk mengawinkan kepentingan pusat dan da-
erah, terutama pada area dimana teradapat benturan kepentingan.
4. Penerapan Tata Kelola BLU terhadap Unit Spesifik pada Suatu Instansi.
Pada dokumen ini diusulkan tata kelola yang cukup kompleks. Salah satunya adalah pe-
nerapan standar manajemen mutu. Perlu dipahami bahwa penerapan standar manajemen ter-
sebut terhadap organisasi secara keseluruhan akan menyebabkan kesulitan instansi tersebut
untuk meningkatkan statusnya dari instansi PNBP menjadi BLU. Hambatan tersebut kiranya
dapat diatasi melalui penerapan tata kelola BLU terhadap unit-unit tertentu dalam instansi
tersebut.
Penerapan tata kelola BLU secara spesifik merupakan solusi atas keengganan suatu in-
stansi untuk mengikuti skema BLU. Penyebab dari keengganan tersebut yaitu: (a) beberapa
unit dalam instansi tersebut seringkali tidak memberi kontribusi pendapatan; (b) pengem-
bangan dokumen dan prosedur untuk menerapkan tata kelola sangat melelahkan dan mema-
kan waktu yang cukup lama; (c) beberapa BLU seperti Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memiliki
otonomi pada unit-unitnya. Contohnya adalah otonomi fakultas dimana dekan seringkali me-
miliki kekuasaan mutlak mengatur fakultasnya. Hal tersebut seringkali menyebabkan konst-
rain terhadap kebijakan PTN apabila tidak sejalan dengan kebijakan fakultas.
Dalam penerapan tata kelola BLU secara spesifik, hanya unit-unit tertentu saja yang di-
perhitungkan sebagai BLU. Kondisi ini dituangkan secara jelas dalam kerangka kerja BLU.
86
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Gambar 29. Penerapan Tata Kelola BLU secara Spesifik pada Unit-unit tertentu
Direktur
Utama
Sebagaimana diilustrasikan pada gambar di atas, dalam suatu organisasi BLU terdapat
bagian yang menerapkan tata kelola BLU dan terdapat juga yang belum menerapkan tata ke-
lola BLU. Seluruh bagian-bagian tersebut berada pada satu instansi dan satu pimpinan.
Penerapan tata kelola secara tidak menyeluruh menyebabkan kerangka kerja, kontrak
kinerja dan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) hanya dirumuskan terhadap divisi-divisi yang
menerapkan tata kelola BLU. Demikian juga mekanisme tata kelola seperti pengawasan, ma-
najemen mutu, manajemen SDM, tarif, perhitungan biaya, remunerasi, dan hal-hal lainnya
juga hanya diterapkan terhadap grup divisi yang menerapkan tata kelola BLU. Pada penerapan
seperti ini, harus dipastikan bahwa terdapat pemisahan kewenangan antara pejabat yang me-
ngelola divisi BLU dan divisi non BLU, terutama terkait keuangan, audit internal, manajemen
aset, dan mekanisme pertanggungjawaban.
Permasalahan yang mungkin timbul melalui penerapan tata kelola sebagian adalah ada-
nya demotivasi pada pegawai-pegawai pada divisi yang tidak menerapkan tata kelola BLU.
Hal tersebut dimungkinkan terjadi mengingat remunerasi pegawai BLU seringkali lebih tinggi
dibandingkan remunerasi Kementerian/Lembaga atau Standar Biaya Umum (SBU).
87
Mengembangkan Tata Kelola BLU
88
Mengembangkan Tata Kelola BLU
89
Mengembangkan Tata Kelola BLU
dengan penguasaan informasi yang mungkin hanya terbatas pada kalangan internal.
Permasalahan ketidakseimbangan akses informasi menyebabkan Direksi berkesempatan
menyelipkan kepentingan pribadinya pada pengambilan keputusan instansi. Kami mengamati
beberapa indikasi yang sering terjadi pada lingkup BLU yaitu: (1) penambahan atau pergan-
tian pegawai BLU setiap adanya suksesi Dewan Direksi; (2) menyimpan kas dalam jumlah ba-
nyak; (3) perhitungan honor tim dan kegiatan yang berlebihan; (4) pengadaan barang perse-
diaan yang tidak efisien; (5) pengaturan pengadaan untuk mendapatkan nilai tertinggi bukan
nilai terbaik; (6) pemanfaatan aset di luar peruntukkan; (7) penyelenggaraan layanan di luar
core-business BLU. Sayangnya praktik menyimpang dari tata kelola yang baik tersebut tidak
termasuk faktor-faktor yang dikendalikan oleh Principal dan Dewan Pengawas yang mewakili.
Padahal pengambilan keputusan yang tidak objektif akan berpengaruh negatif pada motivasi,
loyalitas dan keamanan kerja ( job security) para pegawai yang selanjutnya akan berdampak
pada kinerja layanan.
Dalam tata kelola BLU dewasa ini, permasalahan informasi asimetris memang belum
menjadi perhatian utama. Principal, Dewan Pengawas dan Direksi masih berkutat pada poin-
-poin yang menjadi penilaian kinerja dan mekanisme kepatuhan dalam pengelolaan keuang-
an dan kinrja. Kami merumuskan beberapa penyebab informasi asimetris tersebut yaitu: (1)
lemahnya pengawasan principal kepada agency; (2) konsep perhitungan biaya yang belum
sepenuhnya dapat diklarifikasi; (3) ikatan hubungan hanya berupa kontrak kinerja bukan me-
minimalkan biaya agensi; (4) principal tidak memiliki kepentingan terhadap peningkatan nilai
ekuitas; (5) pembahasan BLU masih terkait dengan fleksibilitas tata kelola (penetapan status,
tarif dan renumerasi) dan belum pada efisiensi dan produktivitas yang menjadi prinsip utama
pelayanan BLU.
Dapat dimaklumi, tingginya risiko biaya agensi pada BLU menyebabkan kualitas layanan
sulitnya peningkatan layanan BLU. Untuk meminimalkan biaya agensi, maka diusulkan ada-
nya sistem informasi yang menghubungkan antara principal dan agent sehingga ruang serta
dampak permasalahan dapat diminimalisir. Sistem informasi tersebut kiranya merupakan pe-
ngembangan dari BLU Integrated Online Sistem (BIOS) yang saat ini telah digunakan.
90
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Untuk menjembatani variasi tersebut, kiranya diperlukan suatu regulator yang berperan
untuk menetapkan informasi-informasi BLU yang dapat di-sharing kepada Principal, Supervi-
sor maupun Regulator itu sendiri. Keberadaan regulator sangat dibutuhkan untuk menjemba-
tani perbedaan sistem informasi, konflik kepentingan sampai pemetaan komponen informasi
yang harus disediakan oleh masing-masing partisipan dalam sistem informasi kolaborasi.
Sistem
Protokol
Sistem Monev
Kepegawai Regulator
an
Sistem Sistem
Akuntansi &
Protokol
Keuangan
Principal
Sistem Keuangan
Sistem
Hubungan Persediaan
Pelanggan & Aset
Protokol
Sistem Monev
Sistem Informasi pada BLU
Principal
Teknis
91
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Gambar di atas mengilustrasikan desain interaksi antara BLU dengan principal (teknis dan
keuangan) serta regulator. Sebagaimana ditunjukkan pada gambar tersebut, setiap instansi
memiliki sistemnya sendiri dan terlepas antar satu sistem dengan sistem yang lain. Untuk
mengintegrasikan sistem-sistem tersebut, dilakukan komunikasi data melalui suatu proto-
kol data. Protokol merupakan suatu gateway yang bertanggungjawab terhadap keamanan
komunikasi data. Protokol tersebut memfilter sistem-sistem tertentu yang dapat mengakses
protokol serta data-data tertentu yang dapat diterima dan/atau dikirim. Protokol juga meng-
-enkripsi data-data yang akan dikirim serta men-dekripsi data-data yang diterima.
Adapun proses bisnis yang menghubungkan antara BLU, supervisor, regulator dan prin-
cipal melalui penggunaan sistem informasi ditampilkan pada gambar berikut ini:
Gambar 31. Bisnis Proses Penggunaan Sistem Informasi
Operasional
Sehari-hari
Perbaikan/
Audit Eksternal
Pencegahan
Gambar di atas mengilustrasikan proses komunikasi data antara Badan Layanan Umum de-
ngan supervisor, regulator dan principal. Proses dimulai dengan aktivitas operasional sehari-
-hari dengan menggunakan sistem informasi, termasuk di dalamnya aktivitas yang berhu-
bungan dengan operasional, kepegawaian, akuntansi dan keuangan, persediaan dan aset,
serta hubungan pelanggan.
Pada setiap periode (misalnya sebulan) dilakukan freezing data. Proses ini seperti proses
backup data untuk mengubah data dinamis menjadi statis. Terdapat beberapa tujuan dilaku-
kannya aktifitas ini yaitu: (1) sebagai batas waktu bagi para pegawai untuk penyelesaian suatu
transaksi atau kegiatan (seperti penyelesaian administrasi keuangan dan pelaporan) yang di-
lakukan pada suatu periode. Hal tersebut menghindari adanya penumpukan pekerjaan pada
92
Mengembangkan Tata Kelola BLU
akhir tahun; (2) menyediakan data-data yang diperlukan untuk keperluan verifikasi, analisis,
evaluasi dan audit. Waktu freezing data biasanya memberikan fleksibilitas untuk dilakukan
perbaikan. Misalnya freezing data per akhir bulan dilakukan pada tanggal 7 bulan berikutnya.
Data yang sudah dibekukan tersebut selanjutnya digunakan oleh pihak-pihak eksternal
BLU. Untuk kebutuhan tersebut, pengiriman data dilakukan secara elektronik melalui suatu
protokol sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pada instansi supervisor, data tersebut diana-
lisis untuk dijadikan evaluasi. Evaluasi yang dilakukan terkait kinerja keuangan dan kinerja
layanan. Hasil dari evaluasi tersebut disampaikan kepada unit Principal dan BLU tersebut se-
bagai bahan Rapat Tinjauan Manajemen yang dilakukan setidaknya satu kali dalam satu se-
mester. Pada instansi principal dan regulator, data tersebut juga dianalisis dan dievaluasi untuk
menjadi bahan pengambilan keputusan.
Selain digunakan untuk kepentingan eksternal, data tersebut merupakan bahan audit
yang dilakukan oleh unit internal audit BLU yang dilakukan secara periodik (3 bulan atau 6
bulan sekali). Hasil audit tersebut dijadikan masukan pada Rapat Tinjauan Manajemen yang
menghasilkan tindakan perbaikan dan/atau pencegahan. Keseluruhan proses melalui sistem
informasi tersebut akan diaudit oleh audit eksternal setiap berakhirnya tahun anggaran.
93
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Tabel 10. Pembagian Kewenangan antara Regulator, Principal, Supervisor dan BLU dalam Informasi Tata
Kelola BLU
No Peran Kewenangan
1 Regulator > Menyusun dan menetapkan arsitektur sistem informasi untuk masing-masing
jenis BLU.
Hal-hal yang diatur meliputi:
- Data Contract;
- Mekanisme freezing-data;
- media pengiriman (ex: XML);
- kebutuhan hardware dan jaringan;
- standar keamanan data;
- protokol komunikasi
Arsitektur sistem yang disusun meliputi:
- Sistem monev untuk regulator, Principal Teknis, Principal Keuangan dan Su-
pervisor;
- Pada BLU meliputi: sistem operasional, sistem akuntansi dan keuangan, sistem
kepegawaian, sistem persediaan dan aset, sistem hubungan pelanggan.
> Menyusun sistem monev terkait kepentingannya;
> Melakukan mediasi antara seluruh pihak yang berkepentingan dalam rangka
mengintegrasikan sistem;
> Melakukan pengawasan kepatuhan serta melakukan audit sistem;
2 Principal Teknis > Menyusun dan menggunakan sistem monev terkait kepentingannya;
> Memberikan pendampingan pengembangan sistem BLU (apabilla diperlukan);
3 Principal Keu- > Menyusun dan menggunakan sistem monev terkait kepentingannya;
angan > Memberikan pendampingan pengembangan sistem BLU (apabilla diperlukan);
4 Supervisor (Pem- > Melakukan pendampingan pada fase persiapan;
bina) > Menggunakan sistem yang dibangun oleh Principal;
> Memberikan teguran apabila BLU tidak memberikan data;
> Melakukan evaluasi efektifitas penggunaan sistem informasi terhadap pelayanan
customer;
5 Badan Layanan > Menyusun sistem sebagaimana arsitektur sistem yang ditetapkan oleh Regulator
Umum > Mempersiapkan SDM dan proses bisnis dalam rangka implementasi sistem;
> Menyusun sistem monev terkait kepentingannya;
Sebagaimana diuraikan dalam tabel, peran regulator sangatlah penting dalam penyusun-
an arsitektur sistem informasi ini, termasuk memediasi pihak-pihak yang berkepentingan da-
lam sistem informasi. Pada tataran regulator permasalahannya adalah perlunya pemahaman
variasi proses bisnis yang ada di BLU untuk mendesain arsitektur sistem pada suatu sektor. Hal
tersebut perlu diperhatikan mengingat BLU memiliki core-business yang bermacam-macam.
Permasalahan lain adalah terdapat aplikasi yang harus diimplementasikan dimana aplikasi ter-
sebut tidak dapat berkomunikasi dengan sistem yang lain. Salah satu contoh adalah aplikasi
SAKTI. Pada kondisi ini, regulator berperan penting dalam menjaga kepentingan pengem-
bangan sistem informasi pada BLU sehingga dapat difasilitasi oleh instansi-instansi terkait.
Peran penting lainnya dimainkan oleh BLU. Sebagaimana dipahami, sebagian besar in-
stitusi di Indonesia belum sepenuhnya menggunakan sistem informasi. Pengenalan sistem
informasi tentunya akan membutuhkan perubahan signifikan baik pada strategi, mekanisme
pelayanan, maupun struktur SDM.
Permasalahan lain adalah ketiadaan dana yang memadai untuk membangun sistem.
Pada kondisi tersebut Kementerian/Lembaga sebagai Principal Teknis bertanggungjawab un-
tuk melakukan pengembangan. Solusi lain terhadap kondisi tersebut adalah membuat aplika-
si siap pakai dimana aplikasi tersebut siap dipergunakan oleh BLU apabila BLU tersebut tidak
memiliki dana untuk pengembangan sistem.
94
Mengembangkan Tata Kelola BLU
BAB 8 PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. BLU merupakan salah satu diskursus dalam keuangan publik terkait dengan tata kelola
institusi yang bergerak di bidang pelayanan masyarakat. Konsep pengelolaan keuangan
BLU didesain untuk memberikan fleksibilitas pengelolaan bisnis yang sehat;
2. Terdapat 3 (tiga) pemikiran dasar yang perlu dipahami terkait pembahasan tata kelola
BLU yaitu mewirausahakan pemerintah (enterpreneual government), prinsip-prinsip tata
kelola yang baik serta agensifikasi.
4. Agensifikasi merupakan bagian dari penerapan New Public Management (NPM). Terdapat
2 (dua) inti pembentuk konseptual NPM yaitu 'lets manager manage' (fleksibilitas pe-
ngelolaan sumber daya) serta 'make manager manage' (pengendalian). Keduanya harus
berjalan beriring untuk memperoleh pemanfaatan sumber daya yang optimal.
5. Pengembangan sistem informasi tata kelola sangat dibutuhkan mengingat risiko adanya
biaya agen. Perumusan sistem informasi BLU juga bukan perkara yang mudah mengingat
variasi data yang sangat beragam.
B. Rekomendasi
Pada paper ini, banyak sekali diungkapkan rekomendasi-rekomendasi yang diperlukan
dalam pengembangan tata kelola BLU. Ringkasan rekomendasi tersebut secara singkat diu-
raikan sebagai berikut:
1. Diusulkan adanya rumusan tujuan BLU dari sudut pandang makro yaitu pengembangan
daya saing bangsa melalui peningkatan faktor produktifitas total (Total Factor Producti-
vity/ TFP). Hal tersebut sebagai akibat pendefinisian BLU dalam peraturan perundangan
menggunakan sudut pandang mikro.
2. Pengembangan konseptual dan implementatif dari 2 (dua) prinsip yang tertuang dalam
definisi BLU yaitu prinsip efisiensi dan produktifitas BLU dalam pelayanan BLU. Kedua
prinsip tersebut merupakan hal yang dimonitor oleh Supervisor.
Alfiker Siringoringo
95
Mengembangkan Tata Kelola BLU
96
Mengembangkan Tata Kelola BLU
SUPLEMEN
97
Mengembangkan Tata Kelola BLU
1. Definisi TFP
Total Factor Productivity (TFP) dapat didefinisikan sebagai porsi output yang tidak dapat
dijelaskan oleh jumlah input yang digunakan untuk produksi (Comin, 2010). Dalam pemode-
lan ekonomi neoklasik, produksi suatu output seringkali dikaitkan dengan jumlah input yang
digunakan dalam produksi. Dua input utama yang sering dikaitkan dalam pertumbuhan out-
put atau ekonomi adalah tenaga kerja (labor) dan modal (capital).
Dalam kenyataannya, faktor-faktor input ternyata tidak cukup menjawab bagaimana su-
atu negara memiliki output yang lebih sedikit dibandingkan negara lain ketika input yang
dikonsumsi oleh kedua negara tersebut relatif sama. Model pertumbuhan neoklasik dan dua
sektor tidak mampu menjelaskan perbedaan pertumbuhan antar negara yang seringkali di-
pengaruhi oleh faktor residual (Limam and Miller, 2004). Sebagai contoh, Korea Selatan dan
Indonesia merdeka di tahun yang sama dengan kondisi negara yang sama-sama miskin. 65
(enam puluh lima) tahun kemudian, Indonesia masih tertatih memasuki negara berpendapat-
an menengah, sementara Korea Selatan sudah menjadi negara industri baru. Perbedaan kedua
negara tersebut adalah bagaimana efisiensi faktor produksi dalam mengelola faktor input
menjadi output. Indonesia bisa jadi memiliki sumber daya alam (modal/capital) dan sumber
daya manusia (labor) melimpah, namun untuk memprosesnya menjadi output yang siap di-
konsumsi mungkin Korea Selatan lebih bisa diandalkan. Faktor-faktor tersebut yang disebut
sebagai Total Faktor Productivity (TFP).
Perbandingan antara Korea Selatan dan Indonesia tersebut kiranya dapat memberi gam-
baran bagaimana dominannya faktor total produksi dalam membentuk output tanpa menge-
sampingkan pentingnya input. Hal senada juga diungkapkan oleh Easterly dan Levine (2001)
yang menggambarkan bahwa TFP merupakan faktor dominan dibandingkan faktor akumulasi
modal untuk menjelaskan perbedaan pendapatan dan pertumbuhan antar negara. TFP ini
pada dasarnya merupakan rahasia dari suatu pertumbuhan jangka panjang (Easterly and Le-
vine, 2001).
TFP pada dasarnya dibentuk oleh berbagai komponen yang mempengaruhi efektifitas
dan efisiensi produksi. Para ahli memiliki pendapat beragam terkait dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi TFP tersebut. Easterly dan Levine (2001) menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi TFP di antaranya: perubahan teknologi, pengaruh eksternalitas, perubah-
an komposisi sektor produksi, dan adopsi terhadap metode produksi biaya rendah. Pricthet
(1996) menemukan bahwa tidak ada keterkaitan antara pertumbuhan populasi dengan per-
tumbuhan TFP.
Perkembangan Teknologi Informasi (TI) dewasa ini menyebabkan perubahan struktur in-
put tenaga kerja terhadap produksi. Hal tersebut tentu saja membuat perubahan TFP yang
merupakan faktor residual dari produktifitas. Pengaruh ini dibenarkan oleh Chou et al (2014)
yang menyebutkan bahwa penggunaan Teknologi Informasi (TI) sangat signifikan dalam
98
Mengembangkan Tata Kelola BLU
mempengaruhi pertumbuhan TFP dibandingkan dengan konsumsi dan akumulasi input. Has-
kel et al (2009) yang memetakan penggunaan TI di Inggris menyebutkan bahwa produktifitas
tenaga kerja sempat mengalami penurunan pada akhir 1990-an akibat perkembangan soft-
ware. Di sisi lain, terjadi peningkatan belanja perusahan Inggris untuk aset intangibel dan aset
pengetahuan yang terkait dengan inovasi.
Inovasi R&D
Inovasi
Perubahan minor dengan
pengetahuan eksisting
Kombinasi pengetahuan
eksisting dengan cara
baru
Inovasi yang berdasarkan R&D dapat berupa akuisisi teknologi baru seperti pembelian
mesin canggih, perangkat keras dan lunak komputer, akuisisi paten dan lisensi, pelatihan ter-
kait dengan permulaan produk atau proses baru, riset pasar, studi feabilitas, dan prosedur-
-prosedur seperti desain. Menurut Ulku dan Subranmanian (2004), inovasi berdasarkan R&D
hanya memiliki pengaruh signifikan pada pasar-pasar yang besar.
Adapun inovasi yang berdasarkan Non R&D dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kate-
gori. Pertama, modifikasi minor dan perubahan inkremental pada proses dan produksi dengan
menggunakan pengetahuan eksisting. Kedua, imitasi dan adopsi inovasi yang dikembangkan
oleh pengguna (user). Ketiga, kombinasi pengetahuan eksisting dengan cara-cara baru. De-
ngan demikian, inovasi tidak selalu dikaitkan dengan pengetahuan baru namun memodifikasi
dan mengembangkan cara-cara yang telah ada untuk meningkatkan efisiensi dan produkti-
fitas.
Penerapan inovasi baik dengan R&D maupun non R&D tentu saja menimbulkan biaya
bagi perusahaan. Biaya tersebut dikeluarkan dengan ekspektasi hasil yang lebih besar seperti
meningkatkan produktifitas melalui pengurangan biaya produksi terhadap barang/jasa ek-
sisting, memperluas pilihan produk sehingga dapat meningkatkan skala ekonomi produksi,
99
Mengembangkan Tata Kelola BLU
menciptakan produk baru yang membutuhkan sedikit input dibandingkan produk lama yang
lebih boros (Ulku dan Subranmanian, 2004). Belanja tersebut pada dasarnya merupakan inves-
tasi bagi pelaku ekonomi.
Permasalahan mendasarnya adalah para pelaku enggan berinvestasi untuk inovasi mes-
kipun secara kasat mata terdapat peluang pasar yang sangat besar. Dapat dipahami, keputus-
an investasi tidak hanya didasarkan pada prediksi keuntungan semata, namun juga risiko dan
biaya kesempatan (opportunity cost) dari aktivitas investasi tersebut. Atas dasar hal tersebut,
Hausmann et al (2008) mengajukan suatu skema diagnosa yang disebut HRV Growth Diag-
nostic untuk mengurai permasalahan-permasalahan yang menyebabkan keengganan pelaku
ekonomi berinvestasi. Skema diagnosa tersebut digambarkan pada Gambar 15 di bagian lain
dokumen ini.
100
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Tabel 11. Penelitian terkait Pengukuran Pertumbuhan dan Kontribusi Total Factor Productivity (TFP)
Indonesia
No Penelitian Periode Pertum- Kontri- Pengukuran Thd
buhan TFP busi
1 Baier et al (2006) 1951-2000 -37% pertumbuhan produktifitas
pekerja
2 UNIDO (Firdausy 2005) 1961-2000 -1,5% -27% pertumbuhan output
3 Drydale dan Huang (1997) 1962-1990 2,1% 31% pertumbuhan output
4 Bosworth (1996) 1960-1992 17% pertumbuhan produktifitas
pekerja
5 Collins dan Bosworth (1996) 1960-1994 24% pertumbuhan produktifitas
pekerja
6 Lindauer dan Roemer (1994) 1965-1990 2,7% 42% pertumbuhan output
7 Ikemoto (1986) 1970-1980 2,5% 32% pertumbuhan output
8 Young (1994) 1970-1985 24% pertumbuhan produktifitas
pekerja
9 Kawai (1994) 1970-1990 1,5% 24% pertumbuhan output
10 Sarel (1997) 1978-1996 24% pertumbuhan produktifitas
pekerja
11 World Bank (1993) 1985-1990 1,6% 29% pertumbuhan output
12 Osada (1994) 1985-1990 -2,7% -43% pertumbuhan output
13 Sigit (2004) 1980-2000 -0,8% -16% pertumbuhan output
14 Sutanto (2004) 1992-2002 -1,4% -37% pertumbuhan output
15 van der Eng (2013) 1971-2007 -0,2% -4% pertumbuhan output
Sumber: van der Eng, 2013
Penelitian terbaru dilakukan oleh Van der Eng (2013) yang mengukur kontribusi TFP ter-
hadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada interval 1970-2007. Basis pengukurannya di-
dasarkan pada komponen cadangan modal, pekerja berpendidikan, dan sebaran pendapatan.
Selama tahun pengukuran tersebut, rata-rata pertumbuhan TFP adalah sebesar -0,2% per
tahun dan berkontribusi sebesar -4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun demi-
kian, selama kurun waktu 2000-2007, TFP di Indonesia tumbuh sebesar 1,7% per tahun dan
berkontribusi sebesar 33% dari pertumbuhan PDB. Inovasi yang dilakukan pasca reformasi
ternyata mampu menggerakkan level TFP secara umum menjadi lebih baik.
M Ikhsan-Modjo (2006) yang melakukan pengukuran TFP pada sektor manufaktur me-
nemukan bahwa TFP Indonesia hanya tumbuh rata-rata sebesar 1,55% per tahun antara 1988
dan 2000. Efek skala ekonomi berkontribusi sebesar -0,13%. Perkembangan teknikal tumbuh
sebesar 1,89% dan efisiensi teknikal berkontribusi sebesar -0,21%. Menurut M-Ikhsan-Modjo,
perkembangan teknikal yang rendah merupakan hal utama yang dapat menjelaskan kondisi
pertumbuhan TFP sepanjang 1988 sampai 2000. Pembelajaran dari pengalaman (learning-by-
-doing) juga tidak dapat ditransfer menjadi peningkatan efisiensi output. Hal tersebut terlihat
tingkat efisiensi teknikal yang tumbuh negatif.
Hasil penelitian berdasarkan data empiris sebagaimana dilakukan oleh Van der Eng mau-
pun M Ikhsan-Modjo sepakat dengan penjelasan para ahli yang melakukan diagnosa pereko-
nomian Indonesia secara kualitatif. Young (1994), yang melakukan penelitian negara-negara
yang menjadi keajaiban ekonomi Asia (Asian economic miracle), menyatakan bahwa 'keajaib-
an' yang terjadi lebih dihasilkan oleh mobilisasi faktor produksi (modal dan tenaga kerja) da-
ripada pertumbuhan produktifitas. Hal tersebut dibenarkan juga oleh laurete nobel ekonomi,
Krugman (1994) yang menyebutnya sebagai 'perspiration rather than inspiration'.
Namun demikian, berbagai penelitian sebagaimana dipresentasikan pada tabel di atas
101
Mengembangkan Tata Kelola BLU
banyak menampilkan pertumbuhan dan kontribusi TFP pada angka yang positif. Menurut van
der Eng (2008) hal tersebut terjadi akibat adanya permasalahan konsistensi dan signifikansi
pada data perekonomian yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Hal tersebut
dibenarkan oleh mantan Kepala BPS, Harnanto Sigit (2004) yang menyatakan bahwa terdapat
permasalahan signifikan pada kesediaan, akurasi dan konsistensi pada data makro ekonomi.
Lebih lanjut, Sigit menyatakan bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan TFP yang negatif
pada interval 1980-2000 dimana pada tahun-tahun tersebut pertumbuhan lebih didorong
oleh akumulasi modal.
Rendahnya pertumbuhan TFP Indonesia dalam berkontribusi terhadap perekonomian
dapat dijelaskan pula oleh analisis terhadap indikator pembangunan. Hamzah et al (2012)
melakukan pengukuran terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/ Human Development
Index (HDI) yang dibagi dalam 2 (dua) kelompok data yaitu sebelum otonomi daerah (1993-
2000) dan setelah berlakunya otonomi daerah (2001-2009) pada 26 provinsi di Indonesia.
Hamzah et al menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi tidak
dapat menyediakan kesejahteraan kepada masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan HDI
daerah yang relatif rendah dibandingkan HDI secara dunia. Rendahnya kualitas SDM ini tentu
saja menjadi ancaman bagi pengembangan TFP di Indonesia.
Berbagai penelitian objektif di atas secara umum menjelaskan bahwa selama berpuluh
tahun Indonesia cenderung menggunakan strategi mengakumulasi modal dibandingkan de-
ngan meningkatkan kualitas faktor-faktor produksi. Bangsa ini sudah sangat lama mengabai-
kan pembangunan TFP yang seharusnya menjadi modal bagi pembangunan ekonomi berke-
lanjutan dalam jangka panjang.
102
Mengembangkan Tata Kelola BLU
tani penemuan (invention) dapat menjadi produk baru yang dijual di pasar (inovation). Tentu
saja untuk menjembatani hal tersebut, diperlukan instansi seperti BLU yang dapat bekerja
fleksibel untuk bergerak di pasar namun tetap dapat dikendalikan oleh Pemerintah.
6. Penutup
Total Factor Productivity (TFP) menggambarkan faktor residual yang tidak dijelaskan oleh
input dalam suatu produksi yang menghasilkan output. TFP digerakkan oleh inovasi sebagai
hasil dari investasi. Permasalahan utamanya adalah keengganan para pelaku ekonomi untuk
melakukan investasi.
Berbagai penelitian menjelaskan bahwa Indonesia memiliki tingkat TFP yang cukup ren-
dah. Hal tersebut juga digambarkan oleh angka IPM/HDI Indonesia yang relatif rendah apa-
bila dibandingkan dengan indicator yang sama pada negara lain. Padahal Indonesia memiliki
bonus demografi dan kelas menengah.
Dengan memperhatikan hal tersebut, kiranya diperlukan suatu strategi untuk mening-
katkan level TFP di Indonesia. Dalam sistem keuangan negara telah terdapat konsep BLU yang
dapat digunakan untuk meningkatkan TFP Indonesia agar dapat sejajar dengan negara lain
di dunia.
7. Referensi
Cardarelli, R. and Lusinyan, L. (2015) ‘US Total Factor Productivity Slowdown: Evidence from the
US States’, IMF Working Paper, (Wp/15/ 116).
Chou, Y. C., Chuang, H. H. C. and Shao, B. B. M. (2014) ‘The impacts of information technology
on total factor productivity: A look at externalities and innovations’, International Journal
of Production Economics, 158(June 2014), pp. 290–299. doi: 10.1016/j.ijpe.2014.08.003.
Comin, D. (2010) ‘Total Factor Productivity’, Economic Growth, (August), pp. 260–263. doi:
10.1057/9780230280823_32.
Den Butter, F. A. G., Möhlmann, J. L. and Wit, P. (2008) ‘Trade and product innovations as sources
for productivity increases: An empirical analysis’, Journal of Productivity Analysis, 30(3),
pp. 201–211. doi: 10.1007/s11123-008-0109-3.
Dutz, M. a and Connell, S. D. O. (2013) ‘Productivity , Innovation and Growth in Sri Lanka An Em-
pirical Investigation’, The World Bank, (February), pp. 2–46.Easterly, W. and Levine, R. E.
(2001) ‘It’s Not Factor Accumulation: Stylized Facts and Growth Models’, SSRN Electronic
Journal, 15(2), pp. 177–219. doi: 10.2139/ssrn.269108.
Fassio, C., Kalantaryan, S. and Venturini, A. (2015) ‘Human Resources and Innovation: Total Fac-
tor Productivity and Foreign Human Capital.’, Working Paper, (August). doi: 10.2139/
ssrn.2631086.
Hamzah, M. Z., Risqiani, R. and Sofilda, E. (2012) ‘Human Development Quality and Its Problems
in Indonesia’, International Journal of Sustainable Development, 5(7), pp. 29–36.Haskel, J.
et al. (2009) ‘Innovation, Knowledge Spending and Productivity Growth in the UK’, (No-
vember). Available at: http://www.nesta.org.uk/library/documents/growth-accounting.
103
Mengembangkan Tata Kelola BLU
pdf.
Hausmann, Ricardo; Hwang, Jason; Rodrik, D. (2005) What You Export Matters. Cambridge,. Avai-
lable at: http://www.nber.org/papers/w11905.
Hausmann, R., Klinger, B. and Wagner, R. (2008) ‘Doing Growth Diagnostics in Practice: A “Min-
dbook”’, Center for International Development, (177). doi: 10.1111/j.1467-8411.1990.
tb00032.x.
Krugman, Paul (1994) ‘The Myth of Asia’s Miracle’, Foreign Affairs, 73(6): 62-78.
Levchenko, A. and Pandalai-Nayar, N. (2015) ‘TFP, News, and “Sentiments:’” The International
Transmission of Business Cycles’, NBER Working Paper No. 21010, pp. 1–48. doi: 10.3386/
w21010.Lewis, A. (1954) ‘Economic Development with Unlimited Supplies of Labor’,
Manchester School of Economic and Social Studies, 22(2)(1), pp. 39–91.
Limam, Y. R. Y. and Miller, S. M. S. (2004) ‘Explaining economic growth: Factor accumulation, total
factor productivity growth, and production efficiency improvement’, University of Con-
necticut Department of Economics Working Paper Series, (March). Available at: http://
digitalcommons.uconn.edu/econ_wpapers/200420/.
Lindh, T. (2000) ‘Productivity Slowdown Due to Scarcity of Capital to Scrap in A Putty-clay Model’,
Economics Letters, 69(2), pp. 225–233. doi: 10.1016/S0165-1765(00)00266-4.
Lopez-rodriguez, J. and Martinez, D. (2014) ‘Beyond The R & D Effects On Innovation : The Con-
tribution Of Non-R & D Activities To Tfp Growth In The EU’, pp. 1–27.Pritchett, L. (1996)
‘Population Growth , Factor Accumulation , and Productivity’, The World Bank Policy Re-
search Working Paper, No. 1567(January), p. 44p.
Sigit, Hananto (2004) ‘Indonesia’ in Noriyoshi Oguchi (ed.) Total Factor Productivity Growth: Su-
rvey Report. (Tokyo: Asian Productivity Organization) 98-133.
Ulku, H. and Subramanian, A. (2004) ‘R&D, Innovation, and Economic Growth: An Empirical Anal-
ysis’, IMF Working Papers, 4, p. 1. doi: 10.5089/9781451859447.001.
Uppenberg, K. and Strauss, H. (2010) ‘Innovation and Productivity Growth in the EU Services
Sector’, European Investment Bank, (July), p. 56. Available at: http://www.bei.org/attach-
ments/efs/efs_innovation_and_productivity_en.pdf.
104
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Van der Eng, Pierre (2008) ‘Capital Formation and Capital Stock in Indonesia, 1950- 2007.’ Wor-
king Papers in Trade and Development No.2008/24. Canberra: Division of Economics,
Research School of Pacific and Asian Studies, ANU, November 2008.
Van der Eng, P. (2013) ‘Total Factor Productivity and Economic Growth in Indonesia’, World Eco-
nomic Performance: Past, Present and Future, pp. 193–226. Available at: http://ideas.
repec.org/p/pas/papers/2009-01.html.
Vogel, J. (2012) ‘The Two Faces of R&D and Human Capital: Evidence from Western European
Regions’, (599). Available at: http://www.economics.ox.ac.uk/materials/working_papers/
paper599.pdf.‘Panel 1 - The future of economic growth with and without TFP growth - 13
Mar 2017’ (no date).
Young, Alwyn (1995) ‘The Tyranny of Numbers: Confronting the Statistical Realities of the East
Asian Growth Experience’, Quarterly Journal of Economics, 110: 641-80.
105
Mengembangkan Tata Kelola BLU
REFERENSI
Afif, S. 2014. The Rising of Middle Class in Indonesia : Opportunity and Challenge. Thesis. Califor-
nia: University of Southern California
Ambarriani, Anastasia S. 2012. Informasi Unit Cost Rumah Sakit, untuk Apa? diakses dari mana-
jemenrumahsakit.net.
Asian Development Bank. 2010. 'The Rise of Asia's Middle Class'. Key Indicators for Asia and the
Pacific. Manila: Asia Development Bank
Beblavy, Miroslav. 2002. 'Understanding the Waves of Agencification and the `Governance Prob-
lems They Have Raised in Central and Eastern European Countries' .OECD Publishing
Buchanan, James M. 1963. “The Economics of Earmarked Taxes”. The Journal of Political Economy.
Vol. 71 Nomor 5 (Oct., 1963). The University of Chicago Press.
Bos, Dieter. 1999. 'Earmarked Taxation: Welfare versus Political Support, CESifo Working Paper,
No. 207
Chang, Tom, Jacobson, Mireille. 2010. 'What do Nonprofit Hospital Maximize? Evidence from
California's Seismic Retrofit Mandate'. diakses dari http://users.nber.org/~jacobson/Chang-
Jacobson12.5.10.pdf pada tanggal 21 Maret 2017
Coelly, Tim, Rao, D, O'Donnell, Christopher, Battese, George. 1998. 'An Introduction of Efficiency
and Productivity Analysis, 2th ed'. Springer Science, 2005.
Denhart, Janet, Denhart, Robert. 2007. 'The New Public Service: Serving Not Steering'. M.E Shar-
pe Inc, 2007
Dolowitz, David, Marsh, David. 1996. 'Who Learns What from Whom : A Review of Politic Transfer
Literature'. Political Studies (1996), XLIV, 343-357.
Easterly, William, Levine, Ross. 2001. 'It's Not Factor Accumulation: Stylized Facts and Growth
Model'. The World Bank Economic Review, vol 15, No 2, pp 177-219
Frank, Richard, Salkever, David. 1994. 'Nonprofit Organizations in the Health Sector'. Journal of
Economic Perspectives, vol 8, No 4, Fall 1994, pp 129-144.
106
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Harrison, Teresa, Lybecker, Kristina. 2005. 'The Effect of The Nonprofit Motive on Hospital Compe-
titive Behavior'. Journal in Economics Analysis & Policy, vol 4, issue 4, 2005 article 3.
Hausmann, Ricardo, Klinger, Bailey, Wagner, Rodrigo. 2008. 'Doing Diagnostics in Practice: A
Mind Book'. Harvard University.
Hausmann, Ricardo, Rodrik, Dani, Velasco, Andres. 2005. 'Growth Diagnostics'. Inter-American
Development Bank
Horwitz, Jill, Nichols, Austin. 2007. 'What Do Nonprofits Maximize? Nonprofit Hospital Service
Provision and Market Ownership Mix'. NBER Working Paper No. 13246 (Juli 2007)
'ICW : Dugaan Suap di Pemilihan Rektor Karena Hak Kewenangan Dana yang Besar di PTN'. BBC
Indonesia (27/10/2016)
Jenkins, Kate. 2010. 'Politicians and Public Services: Implementing Change in A Class of Cultures',
Edward Elgar Publishing, 2010.
Jacobsson, Bengt, Sundtrom, Goran. 2007. ' Governing State Agencies : Transformations in the
Swedish Administration Model'. Presentasi pada ECPR Conference di Pisa 6-8 September
2008
Kim, Nanyoung, Chok, Wonhyuk. 2015. 'Agencification and Performance: The Impact of Auto-
nomy and Result-Control on the Performance of Executive Agencies in Korea'. Public Perfor-
mance & Management Review 38(2):214-233. DOI: 10.1080/15309576.2015.983826
'KPK Curiga Pemilihan Rektor, Begini Permainan Staf Menteri'. Tempo Online (25/10/2016)
Laegred, Per, K Verhoest. 2010. 'Organizing Public Sector Agencies: Reflection and Challenges'.
Governance of Public Sector Organizations: Proliferation, Autonomy and Performance. Pal-
grave-Macmillan.
Laegred, Per, Ronnes, Paul G, Rubecksen, Kristin. 2006. 'Performance Management in Practice:
Norwegian Way'. Financial Accountability & Management 22(3), Agustus 2006.
Levy, Marion. 1969. Modernization and the Structure of Society: A Setting for International Affa-
irs, vol 1. Princeton University Press, 1969.
'Menkeu Usul Pegawai Badan Layanan Umum Mendapat Remunerasi'. www.liputan6.com tang-
gal 22 November 2016
107
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Norman, Richard. 2001. 'Letting and Making Manager Manage: The Effect of Control System on
Management Action in New Zealand's Central Government'. International Public Manage-
ment Journal 4 (2001), pp 65-89
OECD. 2002. "Budget Reform in OECD Member Countries: Common Trends” Meeting of budget
Directors from the G-7 Countries, Berlin, Germany, 5-6 September, 2002.
OECD, Korea Policy Center. 2008. Transforming Korean Public Governance: Cases and Lessons.
OECD/Korea Policy Center.
Osborne, David. 1993. 'Reinventing Government'. Public Productivity & Management Review, vol
16 No 4 (Summer 1993), pp 349-356.
Osborne, David, Gaebler, Ted. 1992. 'Reinventing Government: How the Enterpreneual Spirit is
Transforming the Public Sector'
Panchamina, Nehal, Thomas, Peter. 2014. 'Next Step Inisiative'. Institute for Government
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK/2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Ba-
dan Layanan Umum
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum
Siringoringo, Alfiker, Yazikri, LF. 2016. Membangun Indonesia dari Daerah dengan Pengelolaan
Fiskal Regional. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Selatan
Shick, Allen. 2002. 'Agencies in Search Principles'. OEECD Journal of Budgeting. OECD Publishing
108
Mengembangkan Tata Kelola BLU
Van Thiel, Sandra, Verhoest, Ken, Bouckaert, Geert, Loegreid, Per. 2012. 'Lesson and Recommen-
dation for the Practice of Agencification'. Government Agencies Practices and Lesson from
30 Countries. London: Palgrave Macmillan. 2012
Winesman, Jane. 2015. 'Customer Driven Government: How Listen, Learn and Leverage Data
for Service Delivery Important'. tersedia di Data-Smart City Solutions: http://datasmart.ash.
harvard.edu/news/article/customer-driven-government-721
109