Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH FARMAKOTERAPI

SYARAF DAN KARDIOVASKULAR


KASUS STROKE ISKEMIK

DISUSUN OLEH :
NINING KHOLIFAH (2016210
NOFI LUTFIAH (2016210171)
NURMA SUKMAWATI (2016210176)
PUTU DIAH UTARI (2016
RIFKHA MUTIARA (2016
RIZKY DWI PUTRA (2016

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PANCASILA

Jakarta

2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah-SWT yang Maha-Pengasih lagi Maha-Panyayang, segala
puji bagi Allah Tuhan semesta-alam. Sehingga makalah farmakoterapi syaraf dan
kardiovaskular yang kami buat ini dapat selesai. Makalah ini saya beri judul “KASUS STROKE
ISKEMIK”.
Karya ilmiah ini kami buat dan susun dengan usaha maksimal juga atas bantuan dari
berbagai pihak yang berkenan meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya untuk menyelesaikan
makalah ini. Oleh karenanya kami sampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah
ikut serta dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
Terlepas dari itu semua kami menyadari masih banyak kekurangan dalam karya ilmiah
yang kami buat. Mungkin dari segi bahasa, susunan kalimat atau hal lain yang tidak kami sadari.
Oleh karenanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran sebagai sarana perbaikan karya
ilmiah yang lebih baik

PENYUSUN
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Stroke merupakan penyebab kematian tersering ketiga pada orang dewasa di
Amerika Serikat. Angka kematian setiap tahun akibat stroke baru atau rekuren adalah lebih
dari 200.000.Insiden stroke secara nasional diperkirakan adalah 750.000 per tahun, dengan
200.000 merupakan stroke rekuren. Angka kejadian di antara orang Amerika keturunan
Afrika adalah 60% lebih tinggi dari pada orang kaukasoid (Price dan Wilson, 2006). Di
Inggris stroke menyebabkan kematian antara 174 sampai 216 orang per tahunnya dan
menyumbang 11% dari seluruh kematian di Inggris dan Wales. Sedangkan stroke berulang
dalam waktu lima tahun dari stroke pertama adalah 30% dan 43% (Royal college of
physicians, 2004). Di Indonesia stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan neurologis yang utama. Oleh karena itu serangan otak ini merupakan kegawat
daruratan medis yang harus ditangani secara cepat, tepat, dan cermat (Media aesculapius,
2000).
Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami serangan
stroke ulang. Serangan stroke ulang berkisar antara 30%‐43% dalam waktu 5 tahun. Setelah
serangan otak sepintas, 20% pasien mengalami stroke dalam waktu 90 hari, dan 50%
diantaranya mengalami serangan stroke ulang dalam waktu 24‐72 jam (Erpinz, 2010). Agen
antitrombotik diindikasikan untuk pencegahan stroke sekunder; jangka panjang
antikoagulan dan carotid endarterektomy juga didiskusikan ditempat lain (Pattigrew, 2001).
Selain itu tekanan darah yang tinggi (tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg) akan meningkatkan risiko terjadinya stroke ulang (Erpinz, 2010).
Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2008) memperlihatkan bahwa
stroke merupakan penyebab kematian nomor satu pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit.
Sedangkan Permasalahan yang muncul pada pelayanan stroke di Indonesia adalah:
rendahnya kesadaran akan faktor risiko stroke, kurang dikenalinya gejala stroke, belum
optimalnya pelayanan stroke, ketaatan terhadap program terapi untuk pencegahan stroke
ulang yang rendah. Keempat hal tersebut berkontribusi terhadap peningkatan kejadian stroke
baru dan tingginya angka kematian akibat stroke di Indonesia serta tingginya kejadian stroke
ulang (Pinzon dan Asanti, 2010).
Berdasarkan data di atas dengan memperhatikan begitu pentingnya penanganan stroke,
maka penelitian mengenai evaluasi penggunaan obat terapi pemeliharaan stroke dirasa
perlu dilakukan karena sebagian penderita stroke atau riwayat TIA berisiko untuk
terserang kembali, untuk itu diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya TIA atau stroke
berulang dan kejadian vaskuler. Selain itu penyesuaian penatalaksanaan obat terapi
pemeliharaan stroke yang digambarkan dengan tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan
tepat dosis dibutuhkan untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan obat antitrombotik
(termasuk antikoagulan, agen antiplatelet dan trombolitik) pada pasien paska serangan
stroke karena dapat menyebabkan perdarahan. Sedangkan komplikasi perdarahan pada
kenyataannya muncul sebagai penyumbang utama risiko secara keseluruhan, dengan
peningkatan yang signifikan pada tingkat kematian, infark miokard dan stroke
(Escardio,2008). Sedangkan terapi antihipertensi juga penting untuk dievaluasi ketepatan
penggunaannya karena data hasil penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa
hipertensi dijumpai pada 50%‐70% pasien stroke, angka fatalitas berkisar antara 20%‐30%
di banyak negara. Kematian akan jauh meningkat (peningkatan sebesar 47%) pada
serangan stroke ulang (Erpinz, 2010).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah interpretasi data klinik dan tanda vital pasien ?
2. Bagaimana kajian kerasionalan obat selama di RS dan obat pulang ?
3. Analisislah masalah keterkaitan Drug Related Problem pasien selama di RS ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. STROKE
a. Definisi dan Faktor Risiko Stroke
1) Definisi
Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang
berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa kematian), yang
tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. Definisi ini mencakup stroke
akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) non traumatik,
perdarahan intravaskuler dan beberapa kasus perdarahan subarakhnoid (PSA) (Gofir, 2009).
Definisi lain menjelaskan bahwa stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan
pembuluh darah otak, timbul mendadak dan biasanya mengenai penderita usia 45-80 tahun.
Umumnya laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan.Biasanya tidak ada gejala-
gejala prodoma atau gejala dini, dan muncul begitu mendadak.Secara definisi WHO (World
Health Organization) menetapkan bahwa definisi neurologik yang timbul semata – mata
karena penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh sebab yang lain (Misbach,dkk., 2007).
2) Faktor Risiko
Faktor risiko stroke adalah sebuah karakteristik pada seorang individu yang
mengindikasikan bahwa individu tersebut memiliki peningkatan risiko untuk kejadian
stroke dibandingkan dengan individu yang tidak mempunyai karakteristik tersebut antara
lain:
a) Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe stroke, baik stroke
perdarahan maupun stroke infark.Peningkatan risiko stroke terjadi seiring dengan
peningkatan tekanan darah. Walaupun tidak ada nilai pasti korelasi antara peningkatan
tekanan darah dengan risiko stroke, diperkirakan risiko stroke meningkat 1,6 kali setiap
peningkatan 10mmHg tekanan darah sistolik, dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah
dengan pengendalian tekanan darah (Gofir, 2009).
b) Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah masalah endokrinologis yang menonjol dalam pelayanan
kesehatan dan juga sudah sebagai faktor risiko stroke dengan peningkatan risiko relatif pada
stroke iskemik 1,6 sampai 8 kali dan pada stroke perdarahan 1,02 hingga 1,67 kali. Individu
dengan diabetes memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan
individu tanpa diabetes.Individu dengan diabetes lebih cenderung untuk mengalami infark
subkortikal kecil atau lakunar daripada populasi non-diabetik (Gofir, 2009).
c) Dislipidemia
Terdapat empat penelitian case-control yang melaporkan kaitan antara
hiperkolesterolemia dan risiko PIS.Odds Ratio keseluruhan untuk kolesterol yang tinggi
adalah 1,22 (95% CI: 0,56 hingga 2,67), dimana penyelidikan terhadap penelitian kohort
melaporkan kaitan antara hiperkolesterolemia dan PIS; semuanya meneliti kadar kolesterol
serum total. Leppala et al.(1999) menemukan RR (Respiration Rate) adjusted PIS sebesar
0,20 (95% CI: 0,1– 0,42) untuk kadar kolesterol lebih besar dari 7,0 mmol/L dibandingkan
dengan kadar kolesterol kurang dari 4,9 mmol/L. Iribarren et al. menemukan bahwa untuk
setiap peningkatan 1-SD dalam kolesterol serum (1,45 mmol/L pada pria dan 1,24 mmol/L
pada wanita) meningkatkan RR adjusted kejadian PIS sebesar 0,84 (95% CI: 0,69–1,02)
pada pria dan 0,92 (95% CI: 0,79–1,08) pada wanita. Suh et al. melaporkan bahwa kadar
kolesterol kurang dari 4,31 mmol/L menyebabkan RR adjusted PIS sebesar 1,22 (95% CI:
0,88–1,69) dibandingkan dengan kadar kolesterol lebih dari 5,69 mmol/L. Sedangkan Yano
et al. menemukan RR adjusted PIS sebesar 0,64 (95% CI: 0,46-0,91) untuk kadar kolesterol
lebih dari 4,8 mmol/L dibandingkan dengan kadar kolesterol kurang dari 4,80 mmol/L
(Gofir, 2009).
d) Merokok
Sebuah penelitian yang meneliti tentang efek merokok di antara suami terhadap
risiko perkembangan stroke dan stroke iskemik di antara sampel wanita yang representatif
secara nasional.Diantara wanita perokok dengan suami yang bukan perokok setelah
menyesuaikan dengan faktor kardiovaskuler lainnya.Penelitian memberikan bukti baru yang
menghubungkan kebiasaan merokok suami dengan stroke. Dari 5379 wanita yang
dimasukkan di dalam analisis, wanita yang melaporkan memiliki suami perokok (n = 3727)
lebih cenderung menjadi perokok aktif dan melaporkan konsumsi rokok dan lama merokok
yang lebih tinggi (Gofir, 2009).
e) Pemakaian Alkohol
Sebuah meta–analisis terhadap 35 penelitian dari tahun 1966 hingga 2002
melaporkan bahwa dibandingkan dengan bukan pengguna alkohol, individu yang
mengkonsumsi kurang dari 12 g per hari (satu minuman standar) alkohol memiliki adjusted
RR yang secara signifikan lebih rendah untuk stroke iskemik (RR: 0,88; 95% CI: 0,69),
demikian juga individu yang mengkonsumsi 12 hingga 24 g per hari (1 hingga 2 standar
minum) alkohol (RR: 0,72; 95% CI: 0,57 hingga 0,91). Tetapi, individu yang mengkonsumsi
alkohol lebih dari 60 g per hari memiliki adjusted RR untuk stroke iskemik yang secara
signifikan lebih tinggi (RR: 1,69; 95% CI: 1,3 hingga 2,1) (Gofir, 2009).
f) Obesitas
Obesitas abdomen adalah sebuah faktor risiko yang independen dan potensial untuk
stroke iskemik di dalam semua kelompok etnis.Merupakan faktor risiko yang lebih kuat dari
pada BMI (Body Mass Index)dan memiliki efek yang lebih kuat pada orang yang lebih
muda. Prevensi obesitas dan reduksi berat badan memerlukan penekanan yang lebih besar
di dalam program prevensi stroke (Gofir, 2009).
g) Usia Tua
Hajat et al. (2001) meneliti hubungan antara berbagai faktor risiko serebrovaskuler
subtipe stroke bamford. Penelitian ini memasukkan 1254 pasien dengan stroke yang pertama
antara tahun 1995 dan 1998; 995 pasien
(79,3%) kulit putih, 203 (16,2%) kulit hitam, 52 (4,1 %) etnis lain, dan 4 (0,3%) etnis tidak
di ketahui. Di dalam analisis multivarian, peningkatan usia dan penyakit serebrovaskuler
sebelumnya memiliki hubungan yang
independen dengan infark daripada dengan perdarahan (Gofir, 2009).
h) Jenis Kelamin
Hasil dari suatu penelitian yang bertujuan untuk menganalisa berdasarkan jenis
kelamin, gambaran klinis, tipe stroke, dan keluaran pada individu yang terserang stroke
pertama kali, ditemukan rata–rata (P<0,001). Hipertensi (P=0,0027) dan penyakit
kardioemboli (P=0,0035) merupakan faktor risiko pada wanita. Pemakaian alkohol
berlebihan (P<0,001), merokok (P<0,001) dan penyakit vaskuler perifer (P=0,031)
berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki. Secara klinis pada wanita banyak didapatkan
afasia (P<0,01) dibandingkan laki-laki dan tidak ada perbedaan antara stroke perdarahan
dengan iskemik berdasarkan usia. Pada wanita lebih banyak didapatkan stroke kardioemboli
(P<0,001), laki –laki lebih banyak terdapat atherotrombosis (P<0,001) dan stroke lakunar
(P<0,05), sehingga dapat di simpulkan bahwa jenis kelamin menentukan tipe dan gambaran
klinis pasien dengan serangan stroke pertama kali, wanita dengan rata-rata usia 6 tahun lebih
tua dibandingkan laki-laki mempunyai perbedaan profil faktor risiko vaskuler dan subtipe
dari stroke. Wanita ternyata diketahui memiliki kecacatan stroke yang lebih berat dibanding
laki-laki (Gofir, 2009).
2. KLASIFIKASI STROKE
Stroke terjadi ketika terjadi hambatan suplai darah atau kebocoran darah dari pembuluh
darah menyebabkan kerusakan pada otak. Ada dua jenis utama stroke yaitu perdarahan dan
iskemik (Kirchhof,dkk., 2009).
1) Stroke Hemoragik (jenis perdarahan)
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke
(Price dan Wilson, 2006), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak, baik intrakranial
maupun subaraknoid. Pada pendarahan intrakranial, pecahnya pembuluh darah otak dapat
karena berry aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol
otak atau pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh otak
tersebut.
Perdarahan subaraknoid disebabkan pecahnya aneurysma kongenital
pembuluh arteri otak di ruang subaraknoidal (Misbach,dkk.,2007).
2. Stroke Iskemik (Jenis oklusif)
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik (Price dan Wilson, 2006).
Dapat terjadi karena emboli yang lepas dari sumbernya, biasanya berasal dari jantung atau
pembuluh arteri otak baik intrakranial maupun ekstrakranial atau trombotik atau
arteriosklerotik fokal pada pembuluh arteri otak yang berangsur – angsur menyempit dan
akhirnya tersumbat (Misbach,dkk.,2007).
c. Gejala dan Tanda Stroke
Stroke adalah suatu kedaruratan medis, untuk itu intervensi dini dapat menghentikan
dan bahkan memulihkan kerusakan pada neuron akibat gangguan perfusi, sehingga tanda
dan gejala stroke penting untuk di ketahui yaitu:
1) Gejala
Pasien dimungkinkan mengeluhkan kelemahan pada satu sisi bagian tubuh,
ketidakmampuan untuk berbicara, kehilangan penglihatan, vertigo atau jatuh.Stroke iskemia
biasanya tidak menyakitkan, tetapi pasien mungkin mengeluh sakit kepala, dan pada stroke
hemoragik itu biasanya sangat parah.

2) Tanda
a) Pasien biasanya memiliki beberapa tanda–tanda disfungsi neurologis, dan defisit
khusus ini ditetapkan oleh area otak yang terlibat.
b) Hemi atau monoparesis biasa terjadi, seperti halnya sebuah defisit hemisensori.
c) Pasien dengan vertigo dan penglihatan ganda cenderung memiliki keterlibatan
sirkulasi posterior (Fagan dan Hess, 2005).
d. Terapi Stroke
1) Terapi Non Farmakologi
a) Terapi Akut
Intervensi pada pasien stroke iskemik akut yaitu dilakukan bedah. Dalam
beberapa kasus edema iskemik serebral karena infark yang besar, dilakukan
kraniektomi untuk mengurangi beberapa tekanan yang meningkat telah dicoba.
Dalam kasus pembengkakan signifikan yang terkait dengan infark serebral,
dekompresi bedah bisa
menyelamatkan nyawa pasien. Namun penggunaan pendekatan terorganisir
multidisiplin untuk perawatan strok yang mencakup rehabilitasi awal telah terbukti
sangat efektif dalam mengurangi cacat utama karena stroke iskemik (Fagan dan
Hess,2005).
b) Terapi pemeliharaan stroke
Terapi non farmakologi juga diperlukan pada pasien paska stroke.
Pendekatan interdisipliner untuk penanganan stroke yang mencakup rehabilitasi
awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian stroke berulang pada pasien
tertentu. Pembesaran karotid dapat efektif dalam pengurangan risiko stroke berulang
pada pasien komplikasi berisiko tinggi selama endarterektomi (Fagan dan Hess,
2005). Selain itu modifikasi gaya hidup berisiko terjadinya stroke dan faktor risiko
juga penting untuk menghindari adanya kekambuhan stroke. Misalnya pada pasien
yang merokok harus dihentikan, karena rokok dapat menyebabkan terjadinya
kekambuhan (Eusistroke, 2003).
2) Terapi Farmakologi
a) Terapi Akut
American Stroke Association telah membuat dan menerbitkan panduan yang
membahas pengelolaan stroke iskemik akut. Secara umum, hanya dua agen
farmokologis yang direkomendasikan dengan rekomendasi kelas A adalah jaringan
intravena plasminogen activator (tPA) dalam waktu 3 jam sejak onset dan aspirin
dalam 48 jam sejak onset. Reperfusi awal (>3 jam dari onset) dengan tPA intravena
telah terbukti mengurangi kecacatan utama karena stroke iskemik. Perhatian harus
dilakukan saat menggunakan terapi ini, dan kepatuhan terhadap protokol yang ketat
adalah penting untuk mencapai hasil yang positif. Yang penting dari protokol
perawatan dapat diringkas yaitu (1) aktivasi tim stroke, (2) timbulnya gejala dalam
waktu 3 jam, (3) CT scan untuk mengetahui perdarahan, (4) sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi, (5) mengelola tPA 0,9 mg/kg lebih dari 1 jam, dengan 10%
diberikan sebagai bolus awal lebih dari 1 menit,(6) menghindari terapi
antitrombotik(antikoagulan atau antiplatelet) untuk 24 jam, dan (7) monitor pasien
ketat untuk respon hemoragik dan kecacatan. Pemberian tPA tidak boleh diberikan
dalam waktu 24 jam karena dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pasien
tersebut(Fagan dan Hess, 2005).
b) Terapi pemeliharaan stroke
Terapi farmakologi mengacu kepada strategi untuk mencegah kekambuhan
stroke. Pendekatan utama adalah mengendalikan hipertensi, CEA (Endarterektomi
karotis), dan memakai obat
antiagregat antitrombosit. Berbagai study of antiplatelet antiagregat drugs dan
banyak meta analisis terhadap obat inhibitor glikoprotein IIb/IIIa jelas
memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi trombosit dalam mencegah
kekambuhan (Price dan Wilson, 2006).
c) Standar pelayanan medis RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 1996
- Memperbaiki oksigenasi jaringan otak dengan mengoreksi gangguan
pernafasan
- Memperbaiki aliran darah ke otak (tekanan darah yang optimal, kekentalan
darah, memperbaiki gangguan fungsi otak) dll
- Anti edema; pada yang baru (kurang dari 10 hari) diberi glycerol, manitol
steroid dan lain- lain bila tidak ada kontra indikasi
- Memperbaiki keadaan umum
- Memperbaiki gangguan metabolik (sesuai dengan pemeriksaan gula, ureum
dan lain-lain)
- Fisioterapi dan latihan bicara pada afasis
- Untuk memperbaiki metabolisme otak dapat ditambah dengan obat-obat
golongan antifibrinolitik misal transamin
- Pada perdarahan dipertimbangkan tindakan operasi
- Pada yang non hemoragik dengan hiperagregasi trombosit,
diberi antiplatelet agregasi misalnya asetosal dan lain-lain.
3) Obat yang digunakan dalam terapi stroke
a) tPA
Efektivitas intravena (IV) dari tPA dalam pengobatan stroke iskemik telah
diperlihatkan di National Institute of neurologis Disorders and Stroke (NINDS) rt-
PA pada percobaan stroke, diterbitkan pada tahun 1995. Pada 624 pasien yang
dirawat dalam jumlah yang sama baik tPA 0,9 mg/kg iv atau plasebo dalam waktu 3
jam setelah timbulnya gejala neurologis, 39% dari pasien yang diobati mencapai
“hasil yang sangat baik” pada 3 bulan, dibandingkan dengan 26% dari pasien
placebo (Fagan dan Hess,2005). Alteplase adalah enzim serine-protease dari sel
endotel pembuluh yang dibentuk dengan teknik recombinant-DNA.T ½ nya hanya 5
menit. Bekerja sebagai fibrinolitikum dengan jalan mengikat pada fibrin dan
mengaktivasi plasminogen jaringan. Plasmin yang terbentuk kemudian
mendegradasi fibrin dan dengan demikian melarutkan thrombus (Tjay dan
Rahardja,2007).
Efek samping dari Trombolitik terutama mual dan muntah dan perdarahan.
Ketika Trombolitik digunakan dalam infark miokard, aritmia reperfusi dapat terjadi.
Hipotensi juga bisa terjadi dan biasanya dapat dikendalikan dengan mengangkat kaki
pasien, atau dengan mengurangi tingkat infus atau menghentikannya sementara.Sakit
punggung, demam, dan kejang telah dilaporkan. Pendarahan biasanya terbatas pada
tempat injeksi, tetapi perdarahan intraserebral atau perdarahan dari situs lain dapat
terjadi. Panggilan pendarahan serius untuk penghentian dari trombolitik dan
mungkin memerlukan
administrasi faktor pengentalan dan obat antifibrinolitik (aprotinin atau asam
traneksamat).Jarang emboli lebih lanjut dapat terjadi (baik karena gumpalan yang
melepaskan diri dari trombus asli atau untuk emboli kristal kolesterol). Trombolitik
dapat menyebabkan reaksi alergi (termasuk ruam, pembilasan dan uveitis) dan
anafilaksis telah dilaporkan.Guillain-Barre syndrome telah dilaporkan secara jarang
setelah perawatan streptokinase (BNF,2007). tPA dapat berinteraksi dengan
beberapa obat diantaranya adalah warfarin, heparin, dikumarol, absikimab, dan
anisindion (Drugs, 2011).
Dosis pada infark otot jantung akut i.v.(infus) permulaan 10 mg dalam 1-2
menit,lalu 50 mg selama jam pertama, dan 10 mg dalam 30
menit, sampai maksimum 100 mg dalam 3 jam (Tjay dan
Rahardja,2007).
b) Asam asetilsalisilat (asetosal, aspirin, aspilet)
Disamping khasiat analgetik dan antiradangnya (pada dosis tinggi), obat anti
nyeri tertua ini pada dosis amat rendah berkhasiat merintangi penggumpalan
trombosit. Dewasa ini, asetosal adalah obat yang paling banyak digunakan dengan
efek terbukti pada prevensi trombus ateriil. Sejak akhir tahun 1980-an, asam ini
mulai banyak digunakan untuk prevensi sekunder dari infark otak dan jantung.
Risikonya diturunkan dan jumlah kematian karena infark kedua dikurangi dengan
25%. Keuntungan dibandingkan dengan anti koagulan untuk indikasi ini adalah
banyak, antara lain kerjanya cepat sekali dan dosisnya lebih mudah diregulasi.
Mekanisme kerjanya dengan hambatan agregasi trombositnya berdasarkan
inhibisi pembentukan tromboksan – A2 (TxA2) dari asam arachidonat yang
dibebaskan dari senyawa-esternya dengan fosfolipida (dalam membran sel) oleh
enzim fosfolipida.Asetosal mengasetilasi secara irreversible dan dengan demikian
menginaktivasi enzim siklooksigenase, yang umumnya mengubah arakidonat
menjadi endoperoksida.TxA2 memiliki khasiat kuat menggumpalkan trombosit dan
vasokonstriksi .Dosis 30-100 mg sehari sudah cukup efektif untuk inaktivasi siklo-
oksigenase tanpa menghalangi produksi
prostasiklin. Prostasiklin berkhasiat menghalangi agregasi, vasodilatasi dan
melindungi mukosa lambung. Efek samping yang terkenal adalah sifat
merangsangnya terhadap mukosa lambung dengan risiko perdarahan, yang berkaitan
dengan penghambatan pula
prostasiklin(PgI2), yang dibentuk oleh dinding pembuluh.PgI2 ini mencegah sintese
TxA2 dan bersifat menghambat kuat agregrasi trombosit. Akan tetapi, pada dosis
rendah yang diperlukan untuk daya kerja antiagregasi, efek samping ini ternyata
jarang sekali menimbulkan keluhan lambung, sedangkan produksi PgI2 sistemis
tidak dihalangi (Tjay dan Rahardja,2007).
Asam asetilsalisilat juga dapat berinteraksi dengan obat – obat lainnya
diantaranya adalah dengan antikoagulan, Probenesid, Sulfonilurea (Drugs,2011).
Sedangkan dosis prevensi sekunder infark otak 1 dd 100 mg p.c., prevensi TIA 1 dd
30-100 mg p.c. Pada infark jantung akut 75-100 mg. contoh produk dalam pasaran
aspilet(Tjay dan Rahardja,2007).
c) Clopidogrel
Clopidogrel memiliki efek trombosit anagregatori unik dalam hal ini adalah
inhibitor dari adenosine difosfat (ADP) jalur agregasi trombosit dan dikenal
menghambat rangsangan untuk agregrasi platelet. Efek ini menyebabkan perubahan
membran platelet dan interferensi dengan interaksi membran fibrinogenik mengarah
ke pemblokiran platelet reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Efek samping clopidogrel
adalah risiko diare dan ruam. Clopidogrel adalah prodrug thienopiridin dan
dibiotrasformasi oleh hati ke metabolit aktif. Bukti menunjukkan bahwa enzim yang
bertanggungjawab untuk konversi adalah sitokrom P450 3A4 (CYP3A4) sehingga
efek platelet dari clopidogrel mungkin berkurang pada pasien yang menerima agen
yang menghambat enzim ini (Fagan dan Hess, 2005).
Efek samping dispepsia, nyeri perut, diare, gangguan perdarahan (termasuk
gastro-intestinal dan intrakranial); jarang mual, muntah, asam lambung, perut
kembung, ulkus sembelit, lambung dan duodenum, sakit kepala, pusing,
paraesthesia, leukopenia, trombosit menurun (trombositopenia sangat jarang parah),
eosinofilia, ruam, dan pruritus, jarang vertigo, sangat jarang radang usus,
pankreatitis, hepatitis, gagal hati akut, vaskulitis, kebingungan, halusinasi, gangguan
rasa, stomatitis, bronkospasme, pneumonitis intestisial, kelainan darah (termasuk
trombositopenia, agranulositosis purpura dan pansitopenia), dan reaksi
hipersensitivitas seperti (termasuk demam, glomerulonefritis, arthralgia, sindrom
Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, lichen planus). Clopidrogel dapat
berinteraksi dengan beberapa obat diantaranya yaitu ibuprofen, atorvastatin,
rifampin, reteplase. Dosis untuk Infark miokard akut (dengan elevasi ST
segmen),awalnya 300 mg kemudian 75 mg sehari, dosis awal dihilangkan jika pasien
diatas 75 tahun (BNF,2007).
d) Dipiridamol
Senyawa dipirimidin berkhasiat menghindarkan agregasi trombosit dan adhesinya
pada dinding pembuluh.Juga menstimulasi efek dan sintesa epoprostenol. Kerjanya
berdasarkan inhibisi fosfodiester, sehingga cAMP (dengan daya menghambat
agregat) tidak diubah dan kadarnya dalam trombosit meningkat. Efek sampingnya
seperti sakit kepala, gangguan lambung-usus, debar jantung, dan pusing, akan jauh
berkurang pada dosis yang rendah. Pada dosis di atas 200 mg, tensi dapat menurun,
dan kolaps pada orang dengan sirkulasi buruk (Tjay dan Raharja, 2007).Interaksi
obat pada dipiridamol diantaranya dengan acetaminophen, belladon, diklofenak, dan
paroksetin. Produk yang beredar dipasaran misalnya adalah Persantin dari
Boehringer Ingelheim. Dosis oral, 300-600 mg sehari dalam 3-4 dosis terbagi
sebelum makan(BNF,2007).
e) Cilostazol
Cilostazol merupakan obat antiplatelet yang menaikkan kadar cAMP (cyclic
adenosine monophosphate) dalam platelet melalui penghambatan cAMP
fosfodiesterase. Obat ini digunakan pada penyakit oklusif aterial kronik. Gotoh et al.
(2000), melakukan suatu penelitian prevensi stroke, suatu penelitian kasus kontrol,
buta ganda untuk pervensi sekunder infark serebrum dengan total kasus 1095.
Terapi dengan silostazol menunjukkan reduksi yang relatif bermakna (41,7% CI 9,2
– 62,5%) dalam kambuhnya infark serebrum dibandingkan dengan pemberian
plasebo (p.0,015). Dosisnya adalah 100mg, 2 kali sehari (Wibowo dan Gofir, 2001).
Sedangkan interaksi obatnya yaitu dengan enoxaparin, alteplase, aspirin, dan
dalteparin (Drugs,2011)
Efek samping gangguan gastro-intestinal, takikardi, palpitasi, angina, aritmia,
nyeri dada, edema, rhinitis, pusing, sakit kepala, astenia, ruam, pruritus, ecchymosis;
kurang umum maag, gagal jantung kongestif, hipotensi postural, dispnea,
pneumonia, reaksi hipersensitivitas batuk, insomnia, mimpi abnormal, kecemasan,
hiperglikemia, diabetes mellitus, anemia, perdarahan, mialgia, (termasuk sindrom
Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik dalam kasus jarang); jarang
anoreksia, hipertensi, paresis, peningkatan frekuensi kencing, gangguan perdarahan,
ginjal penurunan nilai, konjungtivitis, tinitus, dan penyakit kuning (BNF, 2007).
f) Antikoagulan
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa antikoagulan bermanfaat pada
prevensi sekunder stroke iskemik pada pasien dengan patologi aterosklerosis. Pada
pasien dengan kelainan jantung tertentu, dengan risiko emboli 5 persen per tahun,
terapi antikoagulan menunjukkan penurunan risiko stroke (Wibowo dan Gofir,
2001).
3. Kerasionalan Terapi
Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang dapat memenuhi
kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria-kriteria tersebut sebagai berikut:
a. Tepat indikasi
Tepat indikasi dapat diartikan bahwa pemilihan obat disesuaikan dengan gejala yang
diderita oleh pasien karena tiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik (Depkes RI,
2006)
b. Tepat obat
Tepat obat adalah pemilihan obat yang benar-benar disesuaikan dengan diagnosis
penyakit dan obat harus dapat memberikan terapi yang sesuai dengan penyakit yang diderita
pasien (Depkes RI, 2006).
c. Tepat pasien
Tepat pasien adalah pemilihan obat yang disesuaikan dengan kondisi pasien dikarenakan
respon tiap pasien berbeda-beda terhadap terapi yang diberikan (Depkes RI, 2006).
d. Tepat dosis
Tepat dosis adalah pemberian dosis obat yang tepat kepada pasien sehingga efek
terapi yang diinginkan dapat tercapai karena pemberian dosis yang berlebihan ataupun dosis
yang kurang tidak dapat menjamin tercapainya target terapi (Depkes RI, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
A. STUDY CASE
Tuan M (62 tahun, BB 86 kg, TB 155 cm) dibawa keluarganya ke unit gawat darurat tanggal
16 maretn2018 dengan keluhan lemah tangan dan kaki kiri, tidak bisa bicara sejak 7 jam
yang lalu. Menurut istrinya, Tuan M memiliki riwayat hipertensi (tidak terkontrol) dan
diabetes (tidak terkontrol). Obat- obatan yang digunakan pasien sebelum masuk rumah
sakit: amlodipin 10 mg 1x/hari dan metformin 500 mg 2x/hari.
Riwayat alergi: tidak ada
Kepatuhan: tidak patuh
Tanggal keluar RS : 23 maret 2018
Pemeriksaan tanda-tanda vital
Tanda vital Nilai normal 16/3 17/3 18/3 19/3 20/3 21/3 22/3

Suhu 36-37.5 C 38.6 38.5 38.5 38.4 38.4 38.5 38.5


Nadi 80-100 105 80 103 89 80 84 88
x/menit
Pernafasan 18-20 19 22 20 26 18 18 22
x/menit
Tekanan darah <120/90 199/86 170/90 170/90 168/90 172/90 177/90 175/90
mmHg

Data laboratorium
Variabel Nilai normal 16/3 17/3 22/3
pemeriksaan
Hemoglobin 13.5-18 g/dL 12.4 - 11.3
Hematokrit 37-50% 33 - 30
Eritrosit 4.7-7x106/µL 4.5 - 4.3
Leukosit 4800-10800/µL 13500 - 14000
Albumin 3.5-5.0 g/dL 3.8 - 3
Ureum 20-50 mg/dL 39 - 28
Kreatinin 0.5-1.5 mg/dL 0.8 - 0.8
Natrium 135-150 mmol/L 140 136 130
Kalium 3.5-5.0 mmol/L 4.2 4.3 3.9
GDS 83-140 mg/dL 610 282 265
Aseton Negatif negatif negatif negatif
AST <35 U/L 14 - 13
ALT <40 U/L 8 - 10
Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya ischemia pada pembuluh darah serebral.
Pasien didiagnosa stroke iskemik. Sejak masuk rumah sakit pasien mengeluhkan nyeri di
bagian kepala.
PROFIL PENGOBATAN SELAMA PASIEN DI RAWAT
Nama obat Regimen Tanggal pemberian
16/3 17/3 18/3 19/3 20/3 21/3 22/3

Aspilet 320 mg (single dose) 1x1 PO √ STOP


Aspilet 80 mg 1x1 PO √ √ √ √ √ √
Klopidogrel 75 mg 1x1 PO √ √ √ √ STOP
Neurodex 1x1 PO √ √ √
Citicoline 500 mg 3x1 PO √ √ √ √ √ √ √
Amlodipine 10 mg 1x1 PO √ √ √ √ √ √ √
NaCl 3x1 PO √ √ √ STOP
Tramadol 250 mg 2x1 PO √ √ √ √ √ √ √
Parasetamol 500 mg 3x1 PO √ √ √ √ √ √ √
Neurobion 5000 1x1 IV √ √ √ √ √ √ √
Novorapid (insulin aspart) 3x4 iu SC √ √ √ √ √ √ √
Ezelin (insulin glargline) 10 iu SC √ √ √ √ √ √ √
Metformin 500 mg 2x1 PO √ √ √ √ √ √ √

DAFTAR OBAT PULANG PASIEN


Nama obat Regimen

Aspilet 80 mg 1x1 PO
Klopidogrel 75 mg 1x1 PO
Citicoline 500 mg 3x1 PO
Amlodipine 10 mg 1x1 PO
Parasetamol 500 mg 3x1 PO
Metformin 500 mg 2x1 PO

TUGAS

1. Lakukan interpretasi tanda-tanda vital dan data laboratorium!

2. Lakukan kajian kerasionalan pengobatan yang diterima pasien selama perawatan di rumah sakit
dan obat pulang!
3. Menggunakan metode SOAP, Identifikasi drug-related problem/DRP yang terjadi (baik actual
maupun potensial) dan pengatasan DRP!
4. Jika anda diminta melakukan konseling saat pasien pulang, apakah poin-poin penting yang
anda sampaikan kepada pasien?
1. Interpretasi tanda-tanda vital dan data laboratorium
Tanda vital :

 Suhu (°C) : suhu tubuh pasien dalam data tanda vital cukup Meningkat dan
mengindikasikan bahwa pasien suhu tinggi dan indikator demam/ panas. Dan
selama pasien di RS tidak ada penurunan suhu tubuh yang signifikan
 Nadi : pada awal masuk RS nadi pasien sedikit meningkat , mungkin ini berkaitan
dengan keluhan pasien yang habis serangan stroke dan memiliki riwayat
hipertensi
 Pernafasan : berkaitan dengan nadi , laju pernafasan pasien tidak terkontrol
dengan baik.
 Tekanan darah : karena dari pihak keluarga (istri pasien) mengatakan bahwa
pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol dan selama perawatan
di RS tekanan darah pasien menurun namun tidak terkendali secara teratur/
significan.
Data laboratorium

 Hemoglobin: ini merupakan sel darah merah, pasien memiliki penurunan


jumlah HEM maka indikasi anemia
 Hematokrit : ini merupakan persentase hemoglobin, apabila hemoglobin
menurun maka jumlah hematokrit dalam persen pun berkorelasi ikut
menurun, hematokrit merupakan indikator anemia
 Eritrosit : ini pun sama berkaitan dengan HEM HCT maka penurunan jumlah
kedua nya berkorelasi pula dengan eritrosit (komponen sel darah merah),
pasien di indikasikan mengalami defisiensi sel darah merah (anemia)
 Leukosit : merupakan sel darah putih yang berperan pada kekebalan tubuh/
melawan adanya infeksi atau zat asing yang masuk kedalam tubuh, leukosit
Pasien mengalami peningkatan dari jumlah normal, dan ini berkaitan dengan
peningkatan suhu tubuh pasien yang tidak kunjung menurun, maka pasien
dengan suhu tubuh yang tinggi dan leukosit tinggi dimungkinkan ada agen
peng-infeksi. Dan di sarankan kepada dokter untuk melakukan tes kultur.
 Glukosa darah puasa : pada laporan keluarga pasien, pasien memiliki riwayat
diabetes melitus yang tidak terkontrol, terbukti secara jelas bahwa dengan
adanya riwayat pengobatan Anti Diabet Oral (ADO) hasil GDS pasien tetap
tinggi ini dapat dimungkinkan ada tidak efektifkan dalam mengkonsumsi obat
ADO atau pasien tidak patuh sehingga hasil GDS tidak menurun secara efektif,
dan di sarankan kepada dokter dan tenaga laboratorium klinik untuk
mencantumkan data HBA 1 C untuk dapat memantau perkembangan
keefektifan obat serta korelasi dengan GDS.
2. Kajian kerasionalan obat
Profil Obat Parameter Monitoring
Nama Obat Indikasi Efektifitas dan Efek Komentar dan
Samping Obat Alasan
Aspilet 320 mg Antiplatelet Bronkospasme
(single
dose)
Aspilet 80 mg Antiplatelet Bronkospasme
Klopidogrel 75 mg Menurunkan kejadian Perdarahan saluran cerna IONI 154
aterosklerotik (infark dan intrakranial, platelet
miokardia, stroke, dan menurun, gangguan darah
kematian vaskuler) pada dan reaksi hipersensitivitas
pasien dengan riwayat (termasuk demam, nyeri
aterosklerosis yang sendi dan syndrom steven
ditandai dengan serangan jhonson
stroke yang baru terjadi,
infark miokardia yang
baru terjadi atau penyakit
arteri perifer yang
menetap.
Neurodex Anemia pernisiosa, sebab
lain dari defisiensi
vitamin B12, subacute
combined degeneration of
the spinal cord.
Citicoline 500 mg Pengobatan pasca stroke Insomnia, sakit kepala,
hipertensi dan hipotensi,
penglihatan buram, sesak
nafas
Amlodipine 10 mg Antihipertensi profilaksis Nyeri abdomen, gangguan IONI hal 126
angina pengecapan, tremor,
trombostopenia,dan
hiperglikemik
NaCl Mengganti cairan Udem dan hipernatremia
elektrolit
Tramadol 250 mg Analgesik opioid Depresi nafas, konstipasi IONI hal 307
dan reaksi psikiatrik dan 302
Parasetamol 500 mg Analgetik antipiretik Hepatotoksik IONI hal 301

Neurobion 5000 Penambah darah


Novorapid Diabetes melitus Udema sementara, reaksi PIONAS
lokal dan hipertrofi lemak
pada daerah injeksi; jarang
terjadi reaksi
hipersensitifitas termasuk
urtikaria, ruam, kelebihan
dosis menyebabkan
hipoglikemia.
Ezelin Antidiabet Gangguan penglihatan yang PIONAS
bersifat sementara, serangan
hipoglikemik berat. Efek
samping lain : reaksi
antibodi terhadap insulin
retensi natrium,
bronkospasme.
Metformin 500 mg Antidiabet biguanida Defisiensi B12 IONI
3. Analisis identifikasi SOAP dan DRP
a. Profil obat metformin
S: pasien datang dengan lemah tangan dan kaki kiri, memiliki riwayat diabetes tidak
terkontrol dengan pengobatan metformin , pasien tidak patuh dalam minum obat
O: data laboratorium, hasil glukosa darah sewaktu pasien melampau tinggi mencapai
600 mg/dL dan menurun hingga 3x lipat
A: obat tidak efektif, tidak efektif untuk kondisi klinis pasien ; ketidakpatuhan karena
pasien lupa minum obat atau aturan pakai tidak dipahami
P: Dilihat dari hasil lab parameter monitoring klinis keadaan diabetes pasien ialah
glukosa darah sewaktu pasien yang tinggi 3x lipat dari nilai normal, dan dari data
rekam medik pasien mendapat DM yang tidak terkontrol dan didapat pasien juga
tidak patuh dalam konsumsi obat, dalam tatalaksana DM (PERKENI 2015)
penatalaksaanaan obat antihiperglikemik oral yang digunakan pasien yakni

metformin sudah tepat namun dosis yang digunakan kurang mencapai efek terapi
dalam pemakaian sekali pakai yakni perhari maksimal 500-3000 mg dalam waktu 6-8
jam, sedangkan pasien menggunakan frekuensi 2x sehari kurang efektif, maka
disarankan kepada Dokter untuk meningkatkan aturan pakai metformin 3-4 kali sehari
500 mg. Dan di sarankan pada dokter untuk melakukan pemeriksaan Hba 1 C untuk
dapat melihat pemakaian dan penggunaan insulin serta kefektifitas dari pengobatan
serta kombinasi obat bila diperlukan.
b. Data leukosit yang tinggi sehingga tidak efektifan dari penggunaan obat
Paracetamol
S : pasien datang dengan lemah tangan
O : dilihat dari data klinik leukosit pasien tinggi
A : kebutuhan akan terapi obat tambahan, tujuan preventif ; dosis terlalu rendah karena
pemberian yang tidak tepat
P : dilihat dari profil obat yang diberikan selama pasien di RS untuk menurunkan
suhu tubuh pasien ialah Paracetamol namun dilihat dari kontrol data vital setiap
hari tidak ada penurunan suhu tubuh yang signifikan, menurut PERDOSSI pada
pengendalian suhu tubuh pada penderita stroke dengan suhu lebih dari 38,50c
(AHA/ASA guidline) atau suhu lebih dari 37,5oc (ESO gudline) diberi paracetamol
650 mg dan selain itu dilihat dari data lab lain yaitu leukosit pasien tinggi, maka
dengan adanya leukosit tinggi merupakan indikator ada infeksi yang maka
disarankan kepada dokter untuk melakukan tes kultur bakteri memberikan obat
antibiotik agar sebagai terapi preventif untuk kondisi klinis pasien .
c. Amlodipin
S : pasien datang dengan lemah tangan
O : data vital pasien dengan tekanan darah yang tinggi dan keluhan dari
keluarga pasien didapat riwayat hipertensi yang tidak terkontrol
A : obat tidak efektif, obat lebih efetif tersedia
P : pasien memiliki riwaat hipertensi namun obat yang digunakan ialah golongan
CCB dan dikatakan oleh keluarga bahwa tekanan darah pasien tidak terkontrol,
dalam tatalaksana hipertensi GNC 8 dan dengan beberapa guidline hipertensi
lainnya di dapat obat antihipertensi yang lebih efektif dengan adanya penyakit
penyerta pada pasien yaitu diabetes, maka disarankan kepada dokter untuk
mendiskusikan mengganti obat amlodipin dengan obat antihipertensi yang lebih
efektif yaitu ACEI atau ARB.
d. Citicoline
S: keluhan lemah tangan dan kaki kiri, tidak bisa bicara sejak 7 jam yang lalu.

O: -
A : obat tidak efektif , bentuk sediaan tidak sesuai
P:
 dalam jurnal “ manfaat pemberian citicoline pada pasien stroke non hemoragik
oleh taufiqqurrohman dan merry) dalam suatu kasus yang di teliti nya pemberian
citicoline dengan IV 500 mg lebih cepat dan lebih efektif efikasinya karena
langsung dapat masuk ke pembuluh darah sehingga memiliki efek yang cepat
dan optimal dibandingkan dengan pemberian oral. Maka di rekomendasikan
pada dokter untuk memberikan citcoline dalam bentuk IV pada pasien serangan
stroke di Rumah Sakit.
 dalam tatalaksana PERDOSSI citicoline masih memberikan manfaat pada pasien
stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg IV selama 3 hari dan dilanjut oral
2x1000 mg selama 3 minggu (dalam penelitian ICTUS international Citicoline
Trial in Acute Stroke)
e. Citicoline
S : keluhan lemah tangan dan kaki kiri, tidak bisa bicara sejak 7 jam yang lalu
O: -
A : . Reaksi obat yang tidak diinginkan karena ada efek yang tidak diinginkan
P : dalam beberapa penelitian dan jurnal salah satunya ialah jurnal dalam jurnal “
manfaat pemberian citicoline pada pasien stroke non hemoragik , oleh taufiqqurrohman
dan merry) citicoline masih menjadi pertimbangan citicoline sebagai obat
neuroprotektor , walaupun banyak pasien dan beberapa kasus stroke iskemik
menggunakan citicoline sebagai obat neuroprotektor namun ada beberapa penelitian yang
menyatakan bahwa masih mempertimbangkan penggunaan citicoline karena citicoline
memiliki efek samping yang minimal karena hampir sama seperti plasebo. Namun dilihat
dari mekanisme kerja citicoline, citicoline berperan penting sebagai neuroprotektor.
f. Penatalaksanaan stroke iskemik akut pada pasien
S : keluhan lemah tangan dan kaki kiri, tidak bisa bicara sejak 7 jam yang lalu
O : Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya ischemia pada pembuluh darah
serebral. Pasien didiagnosa stroke iskemik. Sejak masuk rumah sakit pasien
mengeluhkan nyeri di bagian kepala
A : reaksi obat yang tidak diinginkan karena kontra indikasi ; obat tidak efektif karena
tidak efektif untuk kondisi klinis pasien
P : dokter mendiagnosa pasien mengalami stroke iskemik akut dan dari hasil CT scan

didapat adanya iscemia pada pembuluh darah serebral. Pada jurnal “penatalaksanaan
farmakologi stroke iskemik akut” pasien yang stroke iskemik akut diberikan terapi
farmakologi berupa rTPA namun harus memenuhi kriteria sebagai berikut tabelnya
(tabel 1)

Pasien memiliki tanda vital berupa tekanan darah tinggi mencapai 199/95 mmHG sedangkan
pada kriteria pasien dinyatakan kontraindikasi jika diberikan terapi rTPA karena gejala
serangan sudah 7 jam yang lalu sedangkan pemberian rTPA dalam 3 jam setelah onset gejala.
Maka dalam kondisi pasien tidak dapat diberikan terapi rTPA.
Dan dilihat dari tatalaksana tabel selanjutnya selain kondisi serangan pasien yang sudah
melewati dari rentang kriteria pemberian rtPA pasien memiliki riwayat diabetes dan
termasuk dalam kategori kontraindikasi maka tidak dapat memenuhi kriteria menggunakan
rtPA. (TABEL 2)

Kemudian kriteria tambahan juga terdapat dalam handout materi dari dosen fasilitator yakni
sebagai berikut :

Dan tabel diatas didapat dari materi stroke iskemik Ibu Hesty Utami,
M.clin.Pharm.,Phd.,Apt sebagai dosen fasilitator tugas makalah kami.
g. Neurobion
S : keluhan lemah tangan dan kaki kiri, tidak bisa bicara sejak 7 jam yang lalu
O : Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya ischemia pada pembuluh darah
serebral. Pasien didiagnosa stroke iskemik. Sejak masuk rumah sakit pasien
mengeluhkan nyeri di bagian kepala
A : reaksi obat yang tidak diinginkan karena ada interaksi obat ; terapi obat yang
tidak diperlukan karena terapi duplikasi

P : neurobion merupakan obat multivitamin yang mengandung vitamin B complex


untuk suplemen vitamin neurotropik yang mengandung vitamin B kompleks dosis
tinggi, termasuk B1, B6, dan B12. Ketiga vitamin ini penting untuk metabolisme tubuh,
terutama di sistem saraf perifer dan pusat. Neurobion adalah vitamin untuk gangguan
saraf dan lainnya yang terkait dengan gangguan fungsi metabolik, yang dipengaruhi
oleh kekurangan vitamin B kompleks, termasuk polineuropati diabetes, neuritis perifer
alkoholik dan neuropati pasca influenzal. Namun neurobion memiliki interaksi obat
terhadap obat yang digunakan pada pasien yakni Aspirin, Clopidogrel, Metformin. ;
dalam hal lain pasien juga menggunakan obat neurodex yang memiliki kompisisi
hampir sama seperti neurobion maka terjadi terapi duplikasi pada pasien sedangkan
pasien juga menggunakan suplemen neurologik lain seperti citicolin maka penggunaan
neurobion dan neurodex merupakan terapi duplikasi dan penggunaan neurodex dan
citicolin sebagai terapi sinergisme.
h. Penanganan kondisi anemia pasien
S: pasien datang dengan keluhan lemah tangan kanan
O : hasil data lab menunjukkan nilai hemoglobin dan hematokrit rendah
A : kebutuhan akan terapi obat tambahan untuk tujuan sinergisme
P : pada profil obat pasien telah menggunakan duplikasi obat vitamin b complex yakni
neurobion dan neurodex dan yang dilanjutkan ialah neurodex dan di sarankan kepada
dokter untuk memberikan terapi obat tambahan berupa asam folat untuk mengatasi
defisiensi besi agar dapat tersuplai dan memenuhi hemoglobin yang cukup agar suplai
oksigen mudah dibawa ke otak.
i. Aspilets 320 mg (single dose)
S: keluhan lemah tangan dan kaki kiri, tidak bisa bicara sejak 7 jam yang lalu
O: Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya ischemia pada pembuluh darah
serebral. Pasien didiagnosa stroke iskemik. Sejak masuk rumah sakit pasien
mengeluhkan nyeri di bagian kepala
A: obat tidak efektif karena pemberian yang tidak tepat
P: dalam guidline perdossi dan berbagai jurnal pemberian antiplatelet aspirin ialah
seharusnya dalam rentang 24-48 jam setelah pemberian altepase, namun dalam kasus
ini aspirin 325 mg di berikan sebelum rentang 24-48 jam dan bukan setelah pemberian
altepase, tidak diberikan altepase karena pasien tidak memenuhi kriteria inklusi namun
pemberian aspirin sebagai terapi pengganti tindakan intervensi akut seperti altepase
tidak dianjurkan dalam gudline perdossi.

j. Aspirin+clopidogrel
S: keluhan lemah tangan dan kaki kiri, tidak bisa bicara sejak 7 jam yang lalu
O: Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya ischemia pada pembuluh darah
serebral. Pasien didiagnosa stroke iskemik. Sejak masuk rumah sakit pasien
mengeluhkan nyeri di bagian kepala

A: reaksi obat yang tidak diinginkan;obat yang tidak aman untuk pasien
P: dalam tatalaksana PERDOSSI pemberian antiplatelet aspirin yang dikombinasi
dengan klopidogrel pada pasien stroke iskemik akut tidak dianjurkan hal ini juga
didapat dari guidline of AHA/ASA dan dalam guidline AHA 2013 kombinasi
aspirin dengan klopidogrel tidak direkomendasikan mengingat efek samping
dari obat antiplatelet ialah risiko perdarahan maka kombinasi tersebut risiko
meningkatkan perdarahan intrakranial yang lebih tinggi bila dikombinasi
dibandingkan dengan aspirin tunggal. Maka direkomendasikan pada dokter
untuk mempertimbangkan penggunaan kombinasi antiplatelet tersebut
(PERDOSSI 2011 hlm 77; jurnal penatalaksanaan stroke iskemik akut)

k. Penatalaksanaan umum diruang rawat (NACL)


S : pasien datang dengan keluhan lemas
O: profil data elektrolit pasien normal
A: obat tidak efektif karena bentuk tidak sesuai
P: dalam tatalaksana PERDOSSI 2011 hlm 44 untuk penatalaksanaan umum stroke
akut diberikan cairan isotonis 0,9% (NacL infus 0,9%) yang bertujuan untuk euvolemi.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

 https://hellosehat.com/obat/neurobion/

 https://nasional.kompas.com/read/2012/10/19/11252680/kena.stroke.jangan.sampai.tela
t.ke.dokter

Anda mungkin juga menyukai