Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

Anastesi Umum Pada Pasien

Tonsilitis

Disusun Oleh:

Ilham Akbar

10542044512

Pembimbing

dr. Zulfikar Tahir , M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA

BAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019

1
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ilham Akbar


NIM : 10542038512
Judul Presentasi Kasus : Anastesi umum Pada Pasien Tonsilitis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik Bagian Ilmu


Anestesi, Terapi Intensif, Dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Makassar

Makassar, Agustus 2019

Konsulen Pembimbing

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum saat ini telah banyak berkembang dan terlibat dalam

berbagai perkembangan prosedur medis terbaru. Jumlah prosedur pembedahan

terus meningkat dan membutuhkan keterlibatan peran dari anestesi umum.

Anestesi umum juga telah banyak digunakan untuk prosedur diagnostik invasif

minimal dan terapeutik yang memerlukan imobilisasi dan sedasi dalam pada

pasien. Pada kondisi ini, penekanan terhadap efektivitas biaya, pemulihan

segera, kepuasan pasien, dan minimalisasi efek samping sangatlah penting.

Meskipun banyak laporan mengenai efek anestesi umum terhadap timbulnya

depresi kardiopulmonal hingga kematian, pada kenyataannya, kejadian ini terus

berkurang hingga mencapai 1 per 250.000 pasien sehat. Mengingat ada banyak

efek samping dari anestesi umum, pemilihan agen inhalasi yang bekerja cepat

dan memiliki sedikit efek samping harus dipertimbangkan dan terus diteliti.1

Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut

yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen

dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan

mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita

mengalami penurunan). Penyakit ini terjadi sebagai akibat infeksi akut atau

subklinis yang berulang yang bisa disebabkan oleh rangsangan yang menahun

dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh

cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

(Rusmarjono & Soepardi, 2014). Tonsilitis kronis merupakan salah satu

3
penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit dibidang telinga,

hidung, dan tenggorokan (THT). Penelitian yang dilakukan oleh Khan dkk di

Rumah Sakit Khyber, Pakistan tahun 2011-2012 tentang distribusi penyakit

Telinga Hidung Tenggorokan (THT) dan didapatkan 8980 orang menderita

tonsilitis kronis sebanyak 27,37%. Dalam penelitian ini tonsilitis kronis berada

di urutan teratas dari insiden penyakit THT lainnya. 2

4
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Mariati Nining

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 24 tahun

Berat Badan : 45 kg

Agama : Islam

Alamat : Jln. Poros Malino

Diagnosis : Tonsilitis

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada

tanggal 23 September 2018, pukul 20.00 WITA di RSUD Syekh Yusuf

Gowa, Sulawesi Selatan.

Keluhan utama : Nyeri Menelan

a. Riwayat penyakit sekarang :

Seorang pasien usia 24 tahun dengan keluhan nyeri menelan

sejak 1 bulan yll. Keluhan nyeri menelan disertai perasaan tidak enak di

tenggorokan dan bau mulut . Sebelumnya keluhan ini muncul pasien

sering merasa demam, sakit kepala. Batuk (-), flu (-), lendir(-), gangguan

penghidu (-), gangguan pendengaran (-). Riwayat pasien berobat di

5
puskesmas sebanyak 7 kali dan sebelumnya diberi obat dari puskesmas

namun tidak ada perubahan yang signifikan

b. Riwayat penyakit dahulu :

1) Riwayat asma (-)

2) Riwayat penyakit jantung (-)

3) Riwayat penyakit diabetes melitus (-)

4) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)

c. Riwayat operasi : (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalisata : Sakit sedang/Gizi baik/Composmentis GCS 15

(E4M6V5)

2. Tanda Vital :

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 112x/menit, reguler

Suhu : 36,50C

Pernapasan : 24x/menit, spontan

3. VAS :5

4. Kepala : mata ; konjungtiva anemis (-), pupil isokor

5. Dada : simetris, retraksi (-)

6. Paru : Vesikuler , Rh -/-, wh -/-

7. Jantung : BJI/BJII kesan normal, murni, reguler, ictus

cordis tidak tampak, tidak ada bising jantung.

8. Abdomen : Ikut gerak napas, peristaltik (+) kesan normal

6
9. Ektremitas : Tidak tampak kelainan

10. Terpasang kateter : Tidak terpasang

11. Berat Badan : 45 kg

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Lab Nilai Normal

Hematologi (21 September 2018)

Hemoglobin 12.5 11,5-16,0 g/dL

Leukosit 7300 4000-10.000/L

Hematokrit 38.9 37-47%

Eritrosit 4.690.000 3,80-5,80x106/

Trombosit 300.000 150.000-500.000/L

MCV 82,7 80-100 µm3

MCH 26,7 27,0-32,0 pg

MCHC 32,2 32,0-36,0 g/dl

CT 8.00 4-12 menit

BT 2.10 1-4 menit

Kimia Klinik (21 September 2018)

GDS 72 70-140 mg/dL

Seroimmunologi (21 September 2018)

HbsAg Negatif Negatif

7
E. KESAN ANESTESI

Pasien perempuan berusia 24 tahun dengan diagnosis Tonsilitis,


klasifikasi ASA PS 1

F. PENATALAKSANAAN PRE OPERATIF

1. Informed consent mengenai tindakan operasi.

2. Informed consent mengenai pembiusan dengan anestesi general.

3. Informed consent mengenai persiapan pasien dalam hal ini yaitu puasa.

G. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat

disimpulkan:

1. Diagnosa Peri Operative : Tonsilitis

2. Status Operative : ASA PS I

3. Jenis Operasi : Tonsilektomi

4. Jenis Anastesi : Anestesi General

H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Tonsilitis Kronik
2. Diagnosis Pasca Bedah
Tonsilitis Kronik
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi

8
a. Jenis Pembedahan : Tonsilectomy
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : GETA

d. Mulai Anestesi : Pukul 08.30 WIB

e. Mulai Operasi : Pukul 09.00 WIB

f. Premedikasi : Fentanyl 100 mcg

g. Induksi : Propofol 80 mg iv

h. Medikasi tambahan : Midazolam 1 mg

i. Maintenance : O2 8 Lpm, Isoflurane

k. Respirasi : Pernapasan spontan

l. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml

n. Selesai operasi : 10.00 WIB

1) PRE OPERATIF

1. Informed consent (+)

2. Pasien puasa selama ± 8 jam sebelum operasi dimulai

3. Tidak ada gigi goyang dan tidak memakai gigi palsu

4. Kandung kemih tidak terpasang kateter

5. Sudah terpasang cairan infus RL

6. Keadaan umum: compos mentis

7. Tanda vital:

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 100x/menit, reguler

Suhu : 36,50C

Pernapasan : 24x/menit, spontan

9
2) TINDAKAN ANESTESI

GETA

3) PENATALAKSANAAN ANESTESI

Memastikan alat-alat dan medikasi yang dibutuhkan selama proses anestesi

sudah lengkap seperti:

1. Kassa steril

2. Povidon Iodine

3. Plester

4. Spuit

5. Sarung tangan steril

6. Lampu

7. Monitor tanda vital

8. Alat-alat resusitasi

9. Medikasi tambahan yang dibutuhkan seperti ephedrin, pethidin, fentanil,

ketamin,atropin, propofol, dan midazolam

4) INTRA OPERATIF

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan

puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi

atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping

dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami

10
penurunan selama anestesia. Operasi Tonsilektomi dilakukan pada tanggal

24 September 2018. Pasien dikirim dari perawatan 5 RSUD Syech Yusuf.

Pasien masuk keruang OK pada pukul 09.00 dilakukan pemasangan NIBP

dan O2 dengan hasil TD 119/80 mmHg; Nadi 90x/menit, dan SpO2 100%.

Dilakukan injeksi fentanyl, propofol dan midazolam

Pemberian fentanyl yang merupakan obat golongan opioid yang bersifat

analgesik dan bisa bersifat induksi. Pemberian propofol sebagai

premedikasi dan bersifat induksi. Penggunaan midazolam yang termasuk

dalam kelas benzodiasepin yang menghasilkan efek menenangkan pada

otak dan saraf.

Premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa

nyaman pada pasien saat pemberian analgesia dan mempermudah induksi

dengan bmenghilangkan rasa cemas. Karena dilakukan operasi

tonsilektomi, maka dokter anestesi memilih untuk dilakukan intubasi nasal

agar tidak mengganggu operator sepanjang operasi.

Pasien dipasangkan sungkup muka yang telah terpasang pada

mesin anestesi yang menghantarkan gas isoflurane dengan ukuran 2 vol%

dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil dilakukan bagging

selama kurang lebih 2 menit menunggu kerja dari pelemas otot sehingga

mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal tube.

Penggunaan isofluran disini dipilih karena isofluran mempunyai

efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain..

Efek terhadap kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan

11
aritmia. Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube,

maka dialirkan isofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit.

Operasi selesai tepat jam 10:00 WIB. Lalu mesin anestesi diubah ke

manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. . Kemudian

dilakukan ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari

penurunan saturasi lebih lanjut.

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tonsilitis Kronik

1. Defenisi

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang

merupakan bagian dari cincin Waldayer yang disebabkan oleh

mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan jamur yang masuk secara

aerogen atau foodborn Berdasarkan durasi waktu tonsilitis

diklasifikasikan menjadi tonsilitis akut dan kronik

Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman

streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan

streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus. Sedangkan

tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada

tenggorokan terutama usia muda

Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis

akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil.

Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun

untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali

ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan).

Penyakit ini terjadi sebagai akibat infeksi akut atau subklinis

yang berulang yang bisa disebabkan oleh rangsangan yang menahun dari

rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,

pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang

tidak adekuat (Rusmarjono & Soepardi, 2014). Tonsilitis kronis

13
merupakan salah satu penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh

penyakit dibidang telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). . Dalam

penelitian ini tonsilitis kronis berada di urutan teratas dari insiden

penyakit THT lainnya. 2

2. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan

ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusaka

permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase

resolusi tidak sempurna. Organisme patogen dapat menetap untuk.

Sementara waktu ataupun waktu yang lama dan mengakibatkan

gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita

mengalami penurunan. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada

umumnya sama dengan tonsilitis akut yaitu Streptococcus.2

3. Manifestasi klinis
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain

epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses

penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan

mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini

tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus

kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan

jaringan disekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai

dengan pembesaran kelenjar submandibula.

14
Manifestasi Klinik :

1. Gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit

tenggorok, sulit sampai sakit menelan. pembengkakan kelenjar

limfe.

2. Gejala sistematis, perasaan tidak enak dibadan, malaise, sakit

kepala, badan panas, sakit pada otot dan persendian.

3. Tanda klinis, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem

atau hipertrofi, olika tonsilaris anterior hiperemis.3

4. Terapi
Penatalaksanaan tonsilitis kronik dengan antimikroba sering

gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah

kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi

Organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika

atau penetrasi antibiotika yang inadekuat . Apabila terjadi infeksi

yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan

neoplasma maka dilakukan tonsilektomi.

Kriteria tonsilitis kronis yang memerlukan tindakan

tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan frekuensi serangan

tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut berulang 3 kali atau

lebih dalam setahun atau sakit tenggorokan 4 – 6 kali setahun tanpa

memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut. Perlu diketahui,

pada tonsilitis kronik, pemberian antibiotik akan menurunkan

jumlah kuman patogen yang ditemukan pada per mukaan tonsil

tetapi ternyata, setelah dilakukan pemeriksaan bagian dalam tonsil

15
paska tonsilektomi, ditemukan jenis kuman patogen yang sama

bahkan lebih banyak dari hasil pemeriksaan di permukaan tonsil

sebelum pemberian antibiotik.3

5. Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan

seluruh tonsil palatina . Tonsilektomi merupakan prosedur operasi

yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi

merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan

dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.

. Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang

karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.3

3.2 Anastesi Umum

Anestesi umum, yaitu anetesi yang ditimbulkan oleh

anestetika yang mendepres hingga menyebabkan paralisa sementara

pada susunan saraf pusat dan akan menghasilkan hilangnya kesadaran

dan refleks otot disamping hilangnya perasaan sakit seluruh

tubuh. Sebelum anestesi umum dilakukan, biasanya diberi

preanestesi atau premedikasi, yaitu suatu subtansi yang teridiri dari

sedativa atau tranquliser sebagai penenang dan subtansi anti

kholinergik yang berguna untuk menekan produksi air liur agar hewan

tidak mengalami gangguan bernafas selama pembiusan4

Anestesi dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu fase induksi,

pemeliharaan dan sadar kembali dari anestesi (Mycek, 2001).Suatu

16
anestesi yang ideal dapat menimbulkan anestesi dengan tenang dan cepat

serta memungkinkan pemulihan segera setelah penanganan selesai. Obat

tersebut juga harus punya batasan keamanan yang luas dan tidak

menimbulkan dampak yang merugikan.5

1. Persiapan Pra Anastesi

Menurut Morgan E.G, dkk, bahwa berdasarkan klasifikasi dari

American Society of Anesthesiology (ASA), status fisik pasien pra-

anestesi dibagi menjadi:

ASA I : Pasien sehat yang memerlukan operasi

ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

ASA III : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

karena penyakit bedah atau penyakit lain.

ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat dengan berbagai

sebab.

ASA V : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung

mengancam kehidupannya, atau Pasien yang tidak diharapkan

hidup setelah 24 jam baik `dioperasi maupun tidak.6

3.3 Intubasi Endotrakeal

Intubasi Endotrakeal

Dalam bidang anestesiologi, pengelolaan jalan nafas merupakan

tindakan yang penting. Terdapat berbagai alat yang digunakan dalam

mengelola jalan nafas. Pemasangan pipa endotrakeal (ET) merupakan

17
salah satu tindakan pengamanan jalan nafas terbaik dan paling

sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik.

Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan memberikan

ventilasi mekanik, tindakan ini juga dapat menghantarkan agen

anestesi inhalasi pada anestesi umum. Intubasi adalah memasukkan pipa

kedalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi

menjadi 2 yaitu endotrakeal dan nasotrakeal, intubasi endotrakeal adalah

memasukkan sehingga ujung kira- kira berada dipertengahan trakea

antara pita suara dan bifurkasio trakea. 7

Indikasi intubasi Endotrakeal :

1. Proteksi jalan nafas

2. Menghilangkan obstruksi jalan nafas

3. Memungkinkan ntuk ventilasi mekanik dan terapi oksigen

4. Gagal nafas

5. Pasien syok

6. Hiperventilasi untuk pasien hipertensi intra kranial

7. Mengurangi WOB

8. .Memfasilitasi untuk suction atau toilet pulmonal

Untuk persiapan intubasi ::

1. Penilaian anatomi jalan nafas dan fungsinya untuk memperkirakan

kesulitan intubasi

2. Memastikan ventilasi dan oksigenisasinya optimal sebelum

dilakukan intubas

3. Dekompresi lambung

4. Menyediankan analgesi, sedasi, amnesia dan pelempuh otot yang

18
tepat untuk prosedur yang aman

Hal yang perlu diamati untuk menentukan kesulitan intubasi:

1. Kemampuan gerak leher. Adanya kemungkinan cedera servikal tulang

belakang, leher yang pendek, atau keterbatasan gerak leher disebabkan

operasi sebelumnya atau adanya arthritis.

2. Eksternal face seperti micrognathia, adanya jaringan sikatrik bekas operasi

sebelumnya, trauma dan pendarahan pada wajah.

3. Bukaan mulut kurang 3 jari atau 6cm diperkirakan akan sulit intubasi.

4. Lidah (faring). Ukuran lidah relatif terhadap posterior faring

memperkirakan luas relatif untuk memvisualisasi struktur glotis.

5. Rahang (Tiromental distance). Jika jaraknya kurang dari 3 jari,

menunjukkan posisi laring lebih anterior dan sulit dilakukan intubasi.

Sebuah rencana untuk mentatalaksana pasien dengan sulit intubasi

meliputi usaha mempertahankan ventilasi spontan selama tindakan dan

melihat alternatif selain intubasi endotrakeal dan menyiapkan asisten yang

lebih berpengalaman. Ketika ventilasi manual tidak dapat dilakukan setelah

gagal intubasi maka tindakan cricotirotomy atau percutaneus thracheostomy

jadi tindakan tepat untuk menyelamatkan nyawa pasien.7

19
Manajemen Rutin Jalan Nafas

1. Penilaian jalan nafas

2. Persiapan dan cek kondisi alat

3. Preoksigenas

4. Bag and mask ventilation (BMV

5. Intubasi (jika indikasi)

6. Konfirmasi posisi endotrakeal tube

7. Manajemen intra operatif

8. Ektubation

Langkah Intubasi

1. Oksigenasi pasien selama 3–5 menit, kemudian pasien diberi sedasi.

2. Melakukan ventilasi (tangan kiri memegang sungkup ke pasien, tangan

kanan memberikan ventilasi).

3. Memberikan pelumpuh otot agar mudah melakukan intubasi

4. Lakukan intubasi saat onset pelumpuh otot tercapai.

5. Buka mulut pasien dengan ibu jari bertumpu pada premolar mandibula

dan jari telunjuk tangan kanan menyentuh maksila kanan secara

menyilang.

Masukkan laringoskop, lidah disisihkan ke kiri sehingga lapangan

pandang tidak terhalang.

6. Minta asisten untuk melakukan manuver sellick atau menekan dan

menggerakkan kartilago tiroid ke belakang, kanan, atau kiri agar laring

dapat terlihat jelas8

7. Masukkan ET menggunakan tangan kanan melalui sudut kanan mulut

20
pasien ke dalam trakea. Dengan melihat melalui blade laringoskop ,

masukkan ET sampai cuff tidak terlihat dari belakang pita suara.

Posisi ET dipertahankan, laringoskop ditarik.

8. Cuff dikembangkan dengan udara lewat spuit sekitar 5–10 cc sesuai

dengan kebutuhan.

9. Sambil memegang ET pada sudut bibir pasien, segera berikan ventilasi

dan oksigenasi.

10. Lakukan auskultasi pada daerah epigastrium untuk menyingkirkan

kemungkinan intubasi esofagus. Jika terdengar suara gurgle, ET harus

dicabut dan lakukan reintubasi.

11. Lakukan juga asukultasi pada daerah apek dan basal kedua paru untuk

menyingkirkan kemungkinan intubasi bronkus (biasanya bronkus

kanan).8

Analisa Hasil Tindakan

1. Cek suara nafas di kedua lapang paru pada daerah apek dan basal (pastikan

suara nafas vesikuler simetris).

2. Jika tidak ada suara nafas , pastikan tidak terjadi laringospasme atau

bronkospasme dengan melihat tanda-tanda klinis yang lain.

3. Jika terdengar suara nafas di lambung, ETT di cabut .

21
4. Lakukan ventilasi dan oksigenisasi lagi . Lakukan intubasi ulang7

Komplikasi

Beberapa komplikasi pemasangan intubasi endotrakeal dapat

disebabkan oleh rangsangan pipa endotrakeal pada daerah laring,

trakea, karina, dan bronkus yaang menimbulkan respon simpatis dan

pelepasan katekolamin.9

3.4 Terapi Cairan

Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau

defisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan

bedah seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca

pembedahan.

Menurut National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death

menyatakan bahwa pasien dengan hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan

perioperative dengan jumlah tidak adekuat mengalami peningkatan angka

mortalitas 20,5% dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan

dengan jumlah yang adekuat.

1) Terapi Cairan Prabedah

Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori

yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah :

a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan

b. Untuk koreksi defisist puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid

c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfusi

22
2) Terapi Cairan selama Operasi

Tujuan dari pemberian cairan selama operasi adalah sebagai koreksi

kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti peredarahan dan mengganti

cairan yang hilang melalui organ eksresi. Idealnya, perdarahan seharusnya

diatasi dengan penggantian cairan dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga

volum intravascular (normovolemia) sehingga resiko terjadinya anemia dapat

diatasi.

Hal yang terpenting juga berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan

prosedur operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan darah dapat

dihitung dengan beberapa cara diantaranya:

1. Menghitung Estimated Blood Volume = 65ml/kg dikalikan dengan berat

badan pasien.

2. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit preoperatif (RBCV

preop)

3. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit 30% (RBCV 30%)

Hitung jumlah kehilangan volume sel darah merah (RBCV lost);

4. RBCV lost = RBCV preop – RBCV 30%

5. Hitung Allowable Blood Loss

23
3) Terapi Cairan Pasca Bedah

Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah

yang ijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti atau

cairan nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan pasca bedah adalah :

A. Dewasa:

 Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan cairan

pemeliharaan

 Apabila pasien puasa dan diperkirakan < 3 hari diberikan cairan nutrisi

dasar yang mengandung air, eletrolit, karbohidrat, dan asam amino esensial.

Sedangkan apabila diperkirakan puasa > 3 hari bisa diberikan cairan nutrisi

yang sama dan pada hari ke lima ditambahkan dengan emulsi lemak.

 Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang buruk

segera diberikan nutrisi parenteral total

B. Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya

komposisinya berbeda, misalnya dari kandungan elektrolitnya, jumlah

karbohidrat dan lain – lain.

C. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia,

penatalaksanaanya disesuaikan dengan etiologinya.5,6,8 Satu atau lebih

komplikasi yang terjadi pasca operasi memberikan dampak buruk dalam

jangka waktu pendek atau panjang. Pencegahan angka morbiditas pada

pasca operasi adalah kunci untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang

berkualitas10.

24
,

25
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis,

pemeriksaan fisikakan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis,

bedah maupun anestesi.

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Tujuan

puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi

atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping

dari obat- obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami

penurunan selama anestesia. Operasi Tonsilektomi dilakukan pada tanggal

24 September 2018. Pasien dikirim dari perawatan 5 RSUD Syech Yusuf.

Pasien masuk keruang OK pada pukul 09.00 dilakukan pemasangan NIBP

dan O2 dengan hasil TD 119/80 mmHg; Nadi 90x/menit, dan SpO2 100%.

Dilakukan injeksi fentanyl, propofol dan midazolam

Pasien dipasangkan sungkup muka yang telah terpasang pada

mesin anestesi yang menghantarkan gas isoflurane dengan ukuran 2 vol%

dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil dilakukan bagging

selama kurang lebih 2 menit menunggu kerja dari pelemas otot sehingga

mempermudah dilakukannya pemasangan endotrakheal tube.

. Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube,

maka dialirkan isofluran 2 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit sebagai

anestesi rumatan. Ventilasi dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20

x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk

26
menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan

pasien.

Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang

operasi hampir selesai. Operasi selesai tepat jam 10.00 WIB. Lalu mesin

anestesi diubah ke manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas

isofluran dihentikan karena pasien sudah dapat bernafas spontan dan adekuat.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. www.uns.ac.id/General Anastesi/Diakses tranggal 29/07/19

2. Prasella.2019.Pravalensi dan Faktor Resiko yang berhubungan dengan

Tonsilitis Kronis Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Palembang.

3. www.usu.ac.id/Tonsilitis/Diaskses tanggal 29/07/19

4. www.sinta.unud.ac.id/Anastesi/Dikases tanggal 22/07/19

5. Kurniawati,dkk. Evaluasi Efektivitas dan Kesamaan Penggunaan Obat

Anastesi Umum di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

6. Lewar. Efek pemberian obat anastesi inhalasi sevofluran terhadap

perubahan frekuensi Nadi Intra Anastesi di Kamara Operasi RSU Umbu

Rara Waigapu.

7. www.unud.ac.id/Manajemen Jalan Nafas/Dikases tanggal 02/08/19

8. www.undip.ac.id./Laringoskopi dan Intubasi/Diakses tanggal 02/08/19

9. www.unud.ac.id/Intubasi dan Endoktrakeal/Diakses tanggal 02/08/19

10. www.unud.ac.id/Terapi Cairan/Diakses tanggal 04/08/19

28
29

Anda mungkin juga menyukai