Anda di halaman 1dari 6

Paper singkat Peter Dale Scott, Profesor dari Universitas California, Barkeley ini membahas bagaimana

keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam upaya penggulingan Soekarno (Bung Karno) secara kotor dan

berdarah. Tulisan ini begitu penting karena sejarah seputar peristiwa “Gerakan 30 September” (Gestapu)

banyak yang disembunyikan, dihilangkan dan diputarbalikkan oleh rezim Orde Baru. Pembantaian terhadap

sekutu-sekutu Bung Karno (BK) yang beraliran kiri merupakan hasil konspirasi CIA-Soeharto dibantu

intelijen Inggris, Jepang dan Jerman.

Namun, Soeharto dan klannya berdalih, Gestapu adalah penyerangan golongan kiri (menuduh PKI) ke

kanan (Jenderal Ahmad Yani cs), yang membawa restorasi kekuasaan dan kemudian pembersihan

golongan kiri sebagai hukuman oleh golongan tengah (Soeharto mengklaim posisinya di sini). Padahal,

menurut Scott dengan pura-pura melakukan Gestapu, golongan kanan (Soeharto cs) dalam Angkatan

Darat (AD) Indonesia melenyapkan golongan tengah (Yani cs yang walaupun kritis tapi tetap loyal ke BK).

Dengan kata lain, Gestapu hanyalah merupakan tahap pertama dari tiga tahap yang dibantu secara rahasia

oleh juru bicara dan pejabat AS; yakni tahap 1: Gestapu “coup” sayap kiri gadungan (Letkol Untung cs).

Kedua, KAF Gestapu; yakni tindakan balasan dengan membunuh PKI secara massal, dan 3: pengikisan

pendukung BK secara massif dan progresif.

Ringkasan ini akan saya buat dalam tiga kerangka besar, yakni alasan/motivasi CIA menjatuhkan BK,

bagaimana cara CIA dalam mewujudkan keinginan tersebut dan bukti-buktinya. Satu alasan terkuat BK

harus disingkirkan oleh CIA karena BK bersahabat dekat dengan blok Cina dan Sovyet. Sejak 1953, AS

berkepentingan untuk membantu mencetuskan krisis di Indonesia, yang diakui sebagai “penyebab

langsung” yang merangsang BK mengakhiri sistem parlementer Indonesia dan menyatakan berlakunya

keadaan darurat militer, serta memasukkan “korp perwira” secara resmi dalam kehidupan politik (14

Maret 1957); sebuah blunder politik BK.

Sedangkan langkah-langkah yang dilakukan CIA untuk mewujudkan ambisinya tersebut yakni dengan

menggandeng faksi militer kanan –seperti Soeharto, Walandouw, Suwarto, Sarwo Edhie, Kemal Idris, Ibnu

Sutowo, Basuki Rahmat, Djuhartono, dll- dan partai berhaluan kanan (Masyumi dan PSI) untuk semakin

mengecilkan pengaruh BK. Skenario CIA tersebut saya bagi dalam enam point. Pertama, CIA mendukung

terjadinya pemberontakan/perlawanan terhadap BK. Seperti bantuan senjata dan personil oleh CIA dengan

mendukung pemberontakan PRRI/Permesta (Kol. Walandouw) di Sumatera Barat untuk melawan BK –

tetapi dapat ditumpas (1957-1958). Kemudian peristiwa Lubis (1956) dengan tokohnya Suwarto dan Kemal

Idris serta PSI.

Kedua, Program Civic Mission. Setelah dirasa gagal dengan serangkaian perlawanan,1 Agustus 1958

AS memberikan bantuan militer ke Indonesia mencapai $ 20 juta setahun. Kontrol (baca: mengendalikan)

terhadap AD ini dianggap penting, karena AS menganggap hanya AD yang mampu mengimbangi kekuatan

PKI.
Lalu didirikanlah SESKOAD tahun 1958 di Bandung yang mendapatkan dukungan penuh dari Pentagon,

RAND dan Ford Foundation. Jenderal Suwarto yang pernah dididik di AS yang bisa memainkan peran

penting dalam mengubah AD dari fungsi revolusioner menjadi kontra revolusi ditunjuk sebagai

penanggung jawab sekolah tersebut. Di bawah Nasution dan Suwarto, SESKOAD mengembangkan suatu

doktrin strategis baru yakni doktrin Perang Wilayah, yang memberi prioritas kepada kontra

pemberontakan sebagai peranan AD. Soeharto masuk SESKOAD dengan pangkat Kolonel (Oktober 1959)

dan menjadi siswa yang sangat “berbakat”. Terbukti, dia dilibatkan dalam penyusunan doktrin perang

wilayah serta dalam kebijaksanaan AD mengenai Civic Mission/Civic Action.

Di SESKOAD, perwira AD -dan sipil yang pro PSI- juga diajari bidang ekonomi dan administrasi

kepemerintahan sehingga AD mulai bisa bekerjasama dan bahkan berani menandatangani kontrak-kontrak

dengan perusahaan AS serta negara asing lainnya di luar kesepakatan rezim BK.

Pada tahun 1962, Kemlu AS dibantu CIA mendirikan MILTAC (Military Training Advisory

Group=Kelompok Penasehat Latihan Militer) di Jakarta untuk memberikan bantuan dalam


melaksanakan program Civic Mission SESKOAD. Program ini sebenarnya merupakan penyusupan perwira

AD ke dalam semua bidang kegiatan pemerintah dan tugas-tugas kepemerintahan. Terbukti, huru-hara

anti Cina diilhami AD terjadi di Jawa Barat tahun 1959 dengan Kolonel Kosasih yang membiayai komplotan

bajingan-bajingan setempat dengan tujuan merusak hubungan Indonesia dengan Cina. Kemudian disusul

huru-hara mahasiswa bulan Mei 1963 dan diulangi Januari 1966 di Bandung dan Oktober 1965 di Jakarta.

Ketiga, adanya konflik internal di tubuh AD. Menurut Harold Crouch, menjelang 1965 AD pecah

menjadi dua; kelompok tengah yakni Yani cs yang bersikap menentang BK tentang persatuan nasional

karena PKI masuk di dalamnya. Kubu kedua, AD kelompok kanan yakni Nasution dan Soeharto (Basuki

Rahmat, Sudirman dari SESKOAD dkk) yang bersikap menentang kebijaksanaan Yani yang bernafaskan

Soekarnoisme (karena tidak setuju merebut kekuasaan BK).

Adanya konflik para Pati AD tersebut terindikasi dengan: Pertama, Januari 1965, Soeharto mengadakan

rapat penyatuan sikap kelompok AD dengan mendesak Nasution supaya mengambil sikap yang lebih

menyesuaikan diri terhadap BK. Kedua, April 1965 diadakan seminar di SESKOAD untuk mengusahakan

satu doktrin strategis yang bersifat kompromis yaitu Tri Ubaya Sakti yang menegaskan kembali tuntutan

untuk memiliki peranan politik yang berdikari bebas.

Keempat, Program AS berkedok bantuan. Proses menjatuhkan BK juga bisa dipahami dari bantuan

AS ke Indonesia di tahun 1963-1965, melalui saluran “komisi-komisi penjualan” atau sumbangan finansial

untuk mendukung kepentingan politik Soeharto. Misalnya bantuan lunak AS tetap ada yang ditujukan ke

AD dan Brimob-Polisi untuk adu-kekuatan dengan PKI yang sedang jayanya. Juga bantuan 200

pesawat Aero-Commanders kepada AD -bukan AU (Juli 1965), dimana komisi keagenan penjualan

tersebut dipegang Bob Hasan, sahabat Soeharto. Keduanya sudah berkawan sejak Soeharto sebagai
Pangdam Diponegoro. Secara khusus keduanya juga telah mendirikan dua buah perusahaan pelayaran

yang harus dioperasikan Divisi Diponegoro. Menjadi unik ketika bantuan beralih dari bantuan AS terhadap
Indonesia (sebagai Negara) berubah menjadi bantuan untuk membiayai salah satu komponen negara yang

tidak loyal pada bangsanya sendiri.

Namun saat Lyndon Johnson jadi presiden AS, tepatnya Desember 1964, bantuan AS tersebut dihentikan.

Hal ini mengindikasikan AS turut sengaja ambil bagian aktif untuk menggoyahkan ekonomi Indonesia

dalam minggu-minggu menjelang Gestapu, ketika harga beras naik 4x dan harga dollar membumbung

tinggi.

Pada tahun fiskal 1965, New York Times menyatakan “semua bantuan AS kepada Indonesia telah

dihentikan, maka jumlah personil MAP (Military Assistance Program) di Jakarta dalam kenyataannya

justru telah meningkat mencapai taraf yang jauh melebihi daripada yang telah diproyeksikan”.

Tabel di atas menunjukkan

bahwa program Civic Action ditingkatkan.

Kelima, terjadinya peristiwa 1965 dan peranan Soeharto. Menjelang Agustus 1964, Soeharto mulai

mengadakan kontak politik dengan Malaysia, Jepang, Inggris dan AS. Menurut Mrazek, kontak Soeharto itu

merupakan penjajagan untuk berdamai dengan menarik pasukan AD Indonesia yg terbaik (yang anti

komunis) ke Jawa dengan sebelumnya mengirim satu batalyon Diponegoro (yang telah disusupi PKI) ke

Malaysia yang bisa dipahami sebagai persiapan-persiapan untuk merebut kekuasaan pemerintahan.

30 September, 6 jenderal (Yani, Suprapto, Sutoyo, S. Parman, MT. Haryono, DI Panjaitan), 1 pamen

(Tendean), 1 pama (KS Tubun) tewas oleh gerakan Letkol Untung cs. Uniknya, tak seorangpun jenderal

anti BK yang menjadi sasaran Gestapu, kecuali Nasution yang bersifat problematik; yakni menjelang 1961,

CIA kecewa karena Nasution yang diproyeksikan menyingkirkan BK justru berbalik mendukung BK, dan dia

mengkritik keterlibatan USA dalam Perang Vietnam. Sikap Soeharto dengan Nasution juga dingin karena

kasus pemeriksaan Nasution terhadap korupsinya Soeharto pada tahun 1959 saat menjadi Pangdam

Diponegoro. “Menjadi semakin aneh” ketika Soeharto yang saat itu pegang komando pasukan terbesar

(Pangkostrad) justru “tidak masuk” dalam daftar penculikan.

Pernyataan Untung atas nama Gestapu yang melindungi BK dari “Dewan Jenderal” yang didukung CIA

yang akan merencanakan coup sebelum 5 Oktober 1965 dengan disiagakan pasukan dari Jawa Timur,

Jawa Tengah dan Jawa Barat. Padahal, pasukan tersebut diundang ke Jakarta dalam rangka memperingati

Hari ABRI, 5 Oktober 1965. Menjadi aneh ketika Soeharto kemudian membuat pernyataan susulan untuk

menumpas Gestapu dengan menyatakan loyalitas AD tetap ke BK dan menuduh PKI ditambah unsur AURI

yang membunuh 6 jenderal hanya karena lokasi sumur Lubang Buaya dekat dengan Pangkalan Halim.
Keberadaan BK, Oemar Dhani (KSAU) dan DN Aidhit (Ketua PKI) yang diskenariokan sedemikian rupa

(mereka di Halim) menjadi senjata yang ampuh untuk mendelegitimasi image BK agar menimbulkan kesan
negatif adanya persekongkolan BK-AURI dan PKI. Peranan Soeharto begitu penting dalam skenario ini.

Berlagak sebagai pembela status quo tapi pada kenyataannya justru bergerak sendiri secara berencana

untuk merebut kekuasaan. Sebuah skenario yang kemudian ditiru oleh Jenderal Pinochet di Chili (1970-

1973) dan juga di Kamboja (1970).

Menarik karena baik pelaku Gestapu (Untung Cs) ataupun yang menumpasnya adalah sama-sama dari

Divisi Diponegoro (Yon 454), tempat di mana Soeharto dulu menjadi Pangdamnya. Semakin menarik

karena fakta banyak pemimpin Gestapu adalah lulusan pendidikan AS. Jadi ada kelanjutan/kontinuitas

antara hasil yang dicapai Gestapu (membunuh Yani cs), kemudian diteruskan oleh Soeharto atas nama

penumpasan Gestapu, kemudian menyingkirkan pendukung BK yang tersisa.

Pembunuhan besar-besaran secara sistematis kemudian menyebar dan justru paling dahsyat terjadi ketika

Danjen RPKAD, Kol. Sarwo Edhie bergerak dari Jakarta ke Jateng dan Jatim kemudian balik lagi ke Jakarta.

Orang sipil yang terlibat dalam pembantaian massal telah dilatih di daerah setempat oleh AD atau

dikerahkan dari kelompok (SOKSI dan organisasi mahasiswa Gemsos yang disponsori oleh AD dan CIA),

yang selama bertahun-tahun telah bekerjasama dengan AD mengenai masalah-masalah politik; apa yang

disebut sebagai Civic Action.

Keenam, dukungan AS terhadap faksi Soeharto. Bukti-bukti keterlibatan orang-orang Soeharto

berkolaborasi dengan CIA, misalnya: Pertama, beberapa bulan sebelum Gestapu, seorang utusan

Soeharto, Kolonel Walandouw (pelaku pemberontakan PRRI) yang memiliki hubungan lama dengan CIA

telah menghubungi pemerintah AS.

Pada bulan Mei 1965, komisi-komisi Lockheed (CIA) di Indonesia telah dialihkan kepada kontrak baru dan

perusahaan yang didirikan oleh agennya di Indonesia atau perantara Lockheed yang telah lama dibina.

Pengalihan ini karena pertimbangan politis. Di samping Walandouw juga ada Dasaad dan Jenderal

Alamsyah; jenderal yang menyokong Soeharto di era awal rezimnya karena Alamsyah menguasai dana-

dana besar khusus. Lockhedd-Dasaad-Alamsyah bergandeng dengan gerbong Soeharto yang baru lulus

dari SESKOAD. Setidaknya ini juga direkomendasikan Kedutaan AS di tahun 1966.

Ketiga pada April 1965, perusahaan Amerika, Freeport Shulpur telah mencapai suatu kesepakatan

pendahuluan dengan para pejabat Indonesia, yang nantinya akan menjadi suatu investasi sebesar $500

juta di bidang tembaga di Papua Barat. September 1965 dalam waktu singkat, setelah minyak dunia

melaporkan bahwa industri gas dan minyak Indonesia semakin merosot tajam yang dapat menjurus ke

krisis politik, maka presiden ASAMERA dalam suatu usaha patungan dengan Pertaminanya Jenderal Ibnu

Sutowo telah membeli saham-saham dalam perusahaan yang pura-pura terancam bangkrut itu seharga

hanya $ 50 ribu saja. Ironisnya, pembayaran pada 9 dan 21 September 1965 dilaporkan dalam Wall

Street Journal tanggal 9 dan 30 September, yaitu hari terjadinya Gestapu. Hal yang sangat “ajaib”,
ketika Negara dalamkondisi gawat. Tapi ada proses deal bisnis antara AD (Pertamina) dengan AS.
Bukti-bukti keterlibatan CIA. Bukti-bukti keterlibatan CIA dalam penggulingan BK, diantaranya:

Pertama, kurang dari setahun setelah Gestapu dan pertumpahan darah, dengan riang-gembira James

Reston menulis tragedi kemanusiaan besar tersebut dengan tema “Suatu Percikan Sinar di Asia“:

“Washington bersikap hati-hati untuk tidak menyatakan suatu pujian terhadap adanya perubahan yang……

di dalam negeri yang berpenduduk terbanyak ke-6 di dunia, serta salah satu negara terkaya di dunia, akan
tetapi tidaklah berarti bahwa Washington sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan
peristiwa tersebut“.

Kedua, adanya kontak-kontak kekuatan anti komunis Indonesia dengan seorang pejabat Washington yang

berkedudukan sangat tinggi sebelum dan selama masa pembantaian massal. Ketiga, adanya kesaksian dari

bekas pejabat CIA, Ralph McGehee yang dibenarkan oleh sensor selektif bekas-bekas majikannya dalam

CIA.

Strategi yang diciptakan CIA untuk menggoyang sebuah rezim, dengan menciptakan situasi yang

sebenarnya dan mencampurinya kemudian menyebarluaskan distorsi skenario ke seluruh dunia melalui

propaganda media massanya yang kuat. Tipu muslihat CIA merupakan suatu rencana klasik yang bersifat

menggoyahkan situasi, yaitu berusaaha meyakinkan baik pihak kanan ataupun kiri agar tidak bisa berharap

mendapatkan perlindungan dari status quo dan berusaha merangsang keduanya untuk melakukan

provokasi yang kian massif terhadap pihak lawan.

Gaya tipu dan polarisasi ini dilakukan dengan melempar desas-desus. Hal ini dikuatkan oleh seorang

pengamat politik, Saundhaussen. Desas-desus itu diantaranya, dua minggu sebelum Gestapu (14

September 1965); pihak AD diperingatkan bahwa ada suatu komplotan yang akan membunuh pemimpin-

pemimpin tentara dalam empat hari mendatang. Laporan kedua seperti itu telah dibahas di markas besar

AD 30 September 1965. Setahun sebelumnya, muncul juga dokumen yang menuduh PKI sedang

merencanakan suatu penyusupan ke AD untuk menggulingkan “kaum Nasutionis” (diberitakan sebuah

harian Malaysia dari Khoirul Saleh, pro-AS). Juga desas-desus selama 1965 bahwa Cina daratan sedang

menyelundupkan senjata-senjata untuk PKI sebelum Gestapu (diberitakan oleh sebuah harian Malaysia,

mengutip dari sumber Bangkok, yang berdasar dari Hongkong).

Propaganda, tipu-muslihat CIA yang melibatkan media massa multinasional ini menjadi ciri khas

“Wurlizzer Perkasa“; yaitu jaringan pokok pers dengan jaringan dunia, yang melalui jaringan pers CIA

atau lembaga rekanan seperti M16 yang sangat sulit ditelusuri sumbernya. CIA sangat pintar masuk ke isu,

kemudian seolah-olah itu anti AS, padahal baik sisi kiri ataupun kanan sedang masuk dalam perangkap

CIA.

Keberhasilan kasus Jakarta sangat menginspirasi CIA untuk kemudian menjatuhkan rezim-rezim yang

“tidak direstui” Washington, seperti rezim di Laos (1959/1961), rezim Sihanouk di Kamboja pada tahun

1970, dan penggulingan Allende di Chili pada tahun 1973 dengan sandi “Jakarta se acerca” (Jakarta
sedang mendekat).
Di Chili, karena pihak militer masih enggan untuk melawan Allende, CIA membuat sebuah dokumen palsu

yang membongkar suatu rencana komplotan kiri untuk membunuh para pemimpin militer Chili. Berita

tersebut kemudian disebarluaskan oleh media massa aliansi CIA yang membuat militer Chili terpancing,

terprovokasi dan terjebak skenario CIA. Tak lama kemudian Presiden Allende digulingkan dan dibunuh oleh

kaum militer.

***

Tidak terasa, selama 10 tahun otak saya dijejali dengan sejarah-sejarah palsu rekayasa Orde Baru dalam

film “G 30 S/PKI” karya Arifin C. Noer. 4 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA, guru-guru

sejarah kita dipaksa mengajarkan “aliran sesat” berupa sejarah kelam Gestapu di otak saya dan orang-

orang muda seangkatan saya.

Kini, film yang dibuat tahun 1984 itu sejak Soeharto terjungkal (1998) sudah tidak lagi ditayangkan -begitu

juga dengan film sejarah “Serangan Umum 1 Maret 1949”/”Serangan Fajar 6 Jam Yogya”/”Janur

Kuning”. Ini menjadi bukti betapa kelirunya sejarah itu. Tapi aneh, yang direvisi hanya sejarah Janur
Kuning di Yogya -itupun akibat tentangan dari pihak Keraton Yogyakarta, sedangkan sejarah Gestapu

hingga kini -11 tahun reformasi-masih tetap gelap; pertanda bangsa ini memang akan terus berada dalam

kegelapan. Para elite pemimpin kita (baik di birokrasi, militer, aparat) dari era reformasi hingga kini sudah

bermental sekarat, sehingga menelusuri sejarah; mengatakan sejarah yang benar saja begitu berat.

Ambisi Soeharto untuk bisa naik tahta menjadi Raja ke-2 Indonesia penuh dengan lumuran darah

(setengah) jutaan masyarakat yang tidak berdosa dan derita anak-cucu mereka akibat fitnah.

Penggulingan Soekarno dibayar tuntas oleh rezim dan klan Soeharto dengan menyerahkan Papua Barat

untuk dieksploitasi sepenuhnya oleh Freeport; usaha yang dulu sangat ditentang oleh Bung Karno. Bagi

Amerika, ini adalah sebagai bentuk “imbalan” karena Papua berhasil kembali ke pangkuan NKRI dari

cengkeraman Belanda; sebuah rencana panjang AS yang konsisten, sabar dan terstruktur rapi sejak akhir

era 40-an (via Konferensi Meja Bundar, 1949).

Jika mencari identitas diri bangsa saja begitu susah, jika menelusuri jejak rekam sejarah bangsa sendiri

saja sulit, jika meluruskan kebenaran sejarah bangsa saja takut, bagaimana kita bisa menatap masa depan

bangsa ini? Tentu, status quo (yang pro kepada kejahatan, kebiadaban, koruptor, penindasan,

kedzaliman, penjual aset-aset bangsa) tetap menjadi pemenang dalam hal ini. Sungguh, Indonesia ini

benar-benar sebuah bangsa yang aneh?!

Sumber : https://ayunara.wordpress.com/2009/04/16/138-konspirasi-soeharto-cia-penggulingan-
soekarno-1965-1967-res/

Anda mungkin juga menyukai