Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

TRANSFUSI DARAH MASIF

Oleh:

Made Ayu Rusanti

(1702612205)

Pembimbing:

dr. I Wayan Aryabiantara, Sp.An, KIC

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH
2019
LAPORAN KASUS

TRANSFUSI DARAH MASIF

Oleh:

Made Ayu Rusanti

(1702612205)

Pembimbing:

dr. I Wayan Aryabiantara, Sp.An, KIC

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH
2019
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur Penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat-Nya maka laporan kasus dengan topik “Transfusi Darah
Masif” ini dapat selesai pada waktunya.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Laporan kasus
ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di
Departemen/KSM Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Untuk itu, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada :
1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Departemen/KSM dan dr. I
G.A. Gede Utara Hartawan, Sp.An, MARS selaku Koordinator Pendidikan di
Departemen/KSM Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan saya
kesempatan untuk belajar di bagian ini;
2. dr. I Wayan Aryabiantara, Sp.An, KIC selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, kritik, dan saran dalam pembuatan laporan kasus ini;
3. Dokter-dokter residen yang juga turut membimbing dalam pembelajaran
mengenai laporan kasus ini; dan
4. Seluruh pihak yang membantu Penulis dalam penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
Penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 30 Januari 2019

`
Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3
2.1 Transfusi Darah ......................................................................................... 3
2.2 Komponen Darah ....................................................................................... 4
2.2.1 Whole blood ..................................................................................... 5
2.2.2 Packed red cell ................................................................................. 5
2.2.3 Konsentrat trombosit........................................................................ 6
2.2.4 Fresh frozen plasma ........................................................................ 7
2.3 Alternatif dalam Pemberian Transfusi Darah ............................................ 8
2.4 Transfusi Darah Masif................................................................................ 8
2.4.1 Transfusi gawat darurat ................................................................... 8
2.4.2 Transfusi darah masif ...................................................................... 9
2.5 Komplikasi paska transfusi ........................................................................ 9
2.5.1 Komplikasi non-infeksius ................................................................ 9
2.5.1.1 Reaksi transfusi akut ................................................................. 9
2.5.1.2 Komplikasi lanjut .................................................................... 11
2.5.2 Komplikasi infeksius ..................................................................... 11
BAB III SIMPULAN ................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 14
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi Perdarahan Akut menurut American College of Surgeon ......... 4
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Alur Indikasi Pemberian Transfusi Darah pada Pasien Trauma ............... 6
ABSTRACT
ABSTRAK
BAB I
PENDAHULUAN

Transfusi darah merupakan proses pemindahan atau pemberian darah dari


seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). Transfusi darah bertujuan
memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan biologis
darah atau komponen-komponennya agar tetap bermanfaat, memelihara dan
mempertahankan volume darah yang normal pada peredaran darah (stabilitas
peredaran darah), mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah,
meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis, dan tindakan
terapi kasus tertentu. Transfusi darah dapat bersifat menyelamatkan jiwa setelah
terjadi perdarahan masif setelah terjadi trauma atau pembedahan dan dapat
digunakan sebagai penatalaksanaan penyakit kronis seperti anemia dan
trombositopenia (Viveronika, 2017).
Transfusi telah dimanfaatkan dalam dunia medis modern selama lebih dari
100 tahun. Awal mulanya, transfusi pada manusia pertama dilakukan di Perancis
pada tahun 1667. Pada waktu itu pengetahuan akan transfusi masih sangat minim
sampai pada abad ke-17 transfusi mulai dikembangkan dengan pengetahuan
berdasarkan anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Saat itu, transfusi dilakukan
dengan menggunakan darah hewan sebagai donor dan menimbulkan komplikasi
yang parah dan angka mortalitas yang tinggi. Transfusi darah mulai ditinggalkan
dan dilarang di beberapa negara sampai pada tahun 1816, John Leacock dan
James Blundell berhasil melakukan transfusi pada spesies yang sama (Watering,
2008).
Kunci dari semua praktek pembedahan atau anestesi adalah mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas pasien. Kehilangan darah dan kondisi
hipovolemia dapat terjadi selama prosedur pembedahan (Kaur dkk., 2013).
Ketersediaan darah sangat berperan dalam berlangsungnya tindakan pembedahan
seperti operasi jantung, pembuluh darah, onkologi, dan penggantian sendi
(Liumbruno dkk., 2011). Pengambilan keputusan untuk melakukan transfusi
kadang sangat sulit. Dalam beberapa tindakan pembedahan, kehilangan darah
dapat diprediksi dan kadang dapat terjadi kehilangan darah yang tidak diduga
sebelumnya. Secara umum, pertimbangan untuk dilakukan transfusi adalah
berdasarkan kadar hemoglobin (Hb) pasien (Kaur dkk., 2013).
Sebagai tenaga medis penting dilakukan penilaian derajat hemodilusi pada
pasien yang dapat diprediksi pada pasien yang mengalami kehilangan darah
selama operasi berlangsung. Sebagai hasilnya, kadar Hb paska operasi lebih
rendah daripada kadar Hb sebelum operasi. Keputusan untuk pemberian transfusi
harus dibuat setelah pemeriksaan secara menyeluruh terhadap kondisi umum
seperti penyakit jantung, tanda-tanda oksigenasi yang tidak adekuat ke jaringan,
dan kehilangan darah yang terus-menerus (Kaur dkk., 2013). Transfusi darah
memang merupakan prosedur untuk menyelamatkan jiwa, tetapi memiliki risiko
seperti komplikasi infeksius maupun non-infeksius (Liumbruno, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Transfusi Darah


Ketika terjadi perdarahan, tujuan penatalaksanaan yang dilakukan adalah
untuk mengembalikan volume intravaskular, cardiac output, dan perfusi organ ke
dalam batas normal (Miller, 2015). Kehilangan <20% volume darah dapat
ditoleransi oleh tubuh, tetapi bila sudah mencapai 20-40% kehilangan volume
darah akan menyebabkan perubahan tanda vital. Kehilangan >40% volume darah
akan menyebabkan kegagalan sistem sirkulasi sampai henti jantung bila tidak
ditangani (Kaur dkk., 2013). Tujuan dari terapi transfusi, khususnya pada paska
operasi adalah untuk mengatasi anemia dan oksigenasi yang tidak adekuat, serta
defek faal hemostatik dengan menggunakan komponen darah (Liumbruno dkk.,
2011; Mangku dan Senapathi, 2017). Indikasi terjadinya hipoksia pada pasien
anemia dan selama periode paska operasi dapat menunjukkan gejala takikardia,
hipotensi, dan dyspnea (Liumbruno dkk., 2011).
Tabel 2.1. Klasifikasi Perdarahan Akut menurut American College of Surgeon
(Miller, 2015)
Klasifikasi Perdarahan Akut
Faktor Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
Kehilangan
750 750-1500 1500-2000 >2000
darah (ml)
Persentase
kehilangan 15 15-30 30-40 >40
darah
Nadi
100 100 120 ≥140
(denyut/menit)
TD Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal atau
Menurun Menurun Menurun
(mmHg) meningkat
Capillary
Normal Positif Positif Positif
refill test
Laju napas
14-20 20-30 30-40 35
per menit
Produksi urin Hampir tidak
30 20-30 5-10
(mL/jam) ada
Sedikit Gelisah Gelisah dan Disorientasi
Status mental
gelisah sedang disorientasi dan letargi
Penggantian
Kristaloid dan Kristaloid dan
cairan (1:3 Kristaloid Kristaloid
darah darah
rule)

Pemberian transfusi dalam periode paska bedah disarankan diberikan


ketika pasien sudah sadar untuk mengetahui reaksi transfusi yang dapat timbul
sedini mungkin. Pada pasien yang sudah atau sedang memperoleh transfusi darah,
segera lakukan evaluasi status hematologi dan pemeriksaan faal hemostasis untuk
mengetahui sedini mungkin setiap kelainan yang terjadi (Mangku dan Senapathi,
2017).
2.2 Komponen Darah
Banyak perdebatan yang diungkapkan di berbagai literatur mengenai
komponen darah yang dapat digunakan secara tepat. Beberapa percobaan klinis
menyarankan tindakan transfusi dilakukan dengan menunggu sampai pasien
mencapai kadar Hb terendah. Pada prinsipnya, penggunaan komponen darah
disesuaikan dengan kebutuhan pasien akan komponen darah spesifik yang
diperlukan (Liumbruno, 2011).
2.2.1 Whole blood
Fresh whole blood didefinisikan sebagai darah yang disimpan pada
bank darah dalam waktu <24 jam pada suhu 1 to 6°C sebelum
ditransfusikan ke pasien. Semakin lama disimpan, kemampuan agregasi
trombosit akan semakin menurun. Whole blood mengandung komponen
eritrosit, leukosit, trombosit, dan plasma. Satu unit whole blood terdiri dari
250 mL darah dan 37 mL antikoagulan dengan kadar hematokrit 40%,
dapat meningkatkan kadar Hb sebanyak 1g/dL dan hematokrit sebanyak 3-
4% (Gaol dkk., 2014). Whole blood digunakan pada pasien yang
membutuhkan transfusi sel darah merah dan plasma secara bersamaan
serta kehilangan 15-20% volume darah pada orang dewasa (Kaur dkk.,
2013; Mangku dan Senapathi, 2017).
2.2.2 Packed red cell
Packed red blood cell (PRC) mengandung kadar Hb yang sama
dengan whole blood, dengan volume 250-300 mL dan kadar hematokrit
70%. Umumnya, unit PRC difiltrasi untuk mengurangi kadar leukosit
sehingga dapat mencegah terjadinya febrile nonhemolytic transfusion
reactions (FNHTRs). Dalam periode perioperatif dan paska bedah,
transfusi RBC diperlukan untuk menggantikan darah yang hilang selama
pembedahan berlangsung, mempertahankan kadar Hb, dan meningkatkan
kapasitas angkut oksigen ke jaringan (Miller, 2015). Untuk menentukan
jumlah darah yang dibutuhkan agar Hb darah pasien meningkat dapat
digunakan rumus :
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑥 𝐾𝑒𝑛𝑎𝑖𝑘𝑎𝑛 𝐻𝑏 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑃𝑅𝐶 =
Kadar Hb PRC
Kadar Hb yang dimiliki PRC adalah 24% (Mangku dan Senapathi,
2017). Selama ditransfusikan, PRC dihangatkan pada suhu 37°C untuk
mencegah hipotermia (Morgan dan Mikhail, 2013). Pemberian PRC dapat
difasilitasi dengan larutan kristaloid 50-100 mL normal saline (Miller,
2015).
Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb masih >10 gr/dL.
Transfusi PRC dengan strategi restriktif diindikasikan bila kadar Hb <7
gr/dL atau hematokrit <21% dan dipertahankan pada rentang 7 – 9 gr/dL.
Keluaran klinis pada strategi restriktif tidak bermakna secara signifikan
dengan strategi liberal yang mengindikasikan transfusi bila kadar Hb <10
gr/dL dan dipertahankan pada rentang 10 – 12 gr/dL (Mangku dan
Senapathi, 2017).

Gambar 2.1. Alur Indikasi Pemberian Transfusi Darah pada Pasien Trauma
(Mangku dan Senapathi, 2017)
Pada pasien trauma bila kadar Hb >7 gr/dL, perlu dilakukan
evaluasi keadaan hipovolemia pada pasien. Bila terjadi hipovolemia
berikan cairan intravena untuk mengembalikan volume darah. Bila
normovolemia lakukan evaluasi lebih lanjut terkait gangguan hantaran
oksigen dengan menilai SvO2. Saat hantaran oksigen terganggu,
pertimbangkan pemasangan kateter arteri pulmonal serta ukur curah
jantung pasien. Jika hantaran oksigen masih baik, lakukan pemantauan
kadar Hb (Mangku dan Senapathi, 2017).
2.2.3 Konsentrat trombosit
Konsentrat trombosit bisa didapatkan dari konsentrasi penuh 4
kantong darah lengkap maupun dari teknik apheresis trombosit dari satu
pendonor saja (Miller, 2015). Satu unit trombosit yang diperoleh
mengandung 50 – 70 mL plasma, disimpan dalam suhu 20-24°C selama 5
hari (Morgan dan Mikhail, 2013). Transfusi konsentrat trombosit
dilakukan untuk mencegah perdarahan pada pasien dengan
trombositopenia atau disfungsi trombosit (Liumbruno dkk.,, 2011).
Sebagai profilaksis, konsentrat trombosit dapat diberikan bila kadar
trombosit pasien hanya 10.000-20.000/mm3 karena risiko terjadinya
perdarahan spontan (Morgan dan Mikhail, 2013). Pada pasien paska
pembedahan harus dilakukan tindakan pemberian transfusi konsentrat
trombosit bila kadarnya masih dibawah 50.000/mm3 dan disertai
perdarahan, serta diperlukan pada pasien dengan teknik pembedahan
sangat invasif seperti paska bypass jantung. Pertimbangan lain untuk
memberikan transfusi trombosit pada tingkat kadar sedang antara 50.000-
100.000/mm3 adalah bila pasien menjalani pembedahan saraf maupun
mata dan mengalami disfungsi trombosit (Liumbruno dkk., 2011; Norfolk,
2013). Satu unit apheresis dapat meningkatkan kadar trombosit mencapai
30.000-60.000/mm3. Trombosit harus segera ditransfusikan begitu sampai
ke pasien (Morgan dan Mikhail, 2013).
2.2.4 Fresh frozen plasma
Fresh frozen plasma (FFP) merupakan plasma yang langsung
dibekukan pada suhu kurang atau sama dengan -25°C untuk memelihara
faktor pembekuan yang dikandungnya setelah diperoleh dari donor dan
dapat disimpan hingga 5 hari (Norfolk, 2013). FFP merupakan produk
plasma yang paling sering digunakan, mengandung protein plasma dan
seluruh faktor pembekuan (Miller, 2015).
Pemberian FFP dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan
aktif, inernational normalized ration (INR) >1.6, PT>15 detik, PTT>40
detik, dan defisiensi faktor pembekuan darah (Liumbruno dkk., 2011;
Miller, 2015; Mc Cullough, 2017). Transfusi plasma tidak tepat diberikan
saat terjadi peningkatan INR tanpa disertai perdarahan (Sharma dkk.,
2011). Setiap unit FFP dapat meningkatkan 2-3% masing-masing faktor
pembekuan pada orang dewasa. Dosis pemberian FFP yang
direkomendasikan adalah 10-15 mL/kg berat badan dengan tujuan
mencapai 30% konsentrasi faktor pembekuan normal. FFP dihangatkan
pada suhu 37°C sebelum ditransfusikan (Morgan dan Mikhail, 2013). FFP
dapat diberikan sebagai profilaksis bila faal hemostasis PT 1,5 kali lebih
besar dari nilai rujukan tertinggi dan PTT 1,5 lebih besar dari nilai rujukan
tertinggi (Kaur dkk., 2013).

2.3 Alternatif dalam Pemberian Transfusi Darah


Salah satu alternatif dalam pemberian transfusi adalah dengan transfusi
autologous dengan menggunakan darah pasien itu sendiri. Pada pasien yang
menjalani prosedur pembedahan elektif dengan kemungkinan mendapat transfusi
dapat menyumbangkan darahnya untuk digunakan kemudian. Pengambilan darah
biasanya dimulai pada 4-5 minggu sebelum pembedahan. Pasien dapat
mendonorkan darahnya selama kadar hematokritnya paling tidak 34% atau kadar
Hb minimal 11 g/dL. Jarak antar donasi minimal selama 72 jam untuk
mengembalikan volume plasma ke dalam batas normal (Morgan dan Mikhail,
2013). Pada pasien dewasa sehat dapat mendonorkan darahnya sampai tiga kali
(Norfolk, 2013). Selama proses koleksi darah, pasien juga dibantu dengan
pemberian suplemen zat besi. Beberapa studi mengatakan bahwa transfusi darah
autologous dapat menurunkan risiko infeksi dan reaksi transfusi ketika diberikan
(Morgan dan Mikhail, 2013). Prosedur ini juga dapat dilakukan pada kasus
tertentu seperti pada pasien tertentu yang memiliki golongan darah langka yang
sulit ditemukan atau pada pasien yang menolak transfusi darah allogenik
(Norfolk, 2013).
2.4 Pemberian Transfusi Darah kepada Pasien (Permenkes, 2015)
2.4.1 Indikasi
 Penggantian sel darah merah pada keadaan perdarahan akut atau
masif yang disertai hipovolemia
 Transfusi tukar
 Pasien yang membutuhkan transfusi PRC tapi di tempat tersebut
tidak tersedia PRC
2.4.2 Kontra Indikasi
Risiko overload pada pasien :
 Anemia kronik
 Gagal jantung
2.4.3 Cara Pemberian
 Harus cocok dengan golongan ABO dan Rhesus pasien
 Gunakan blood set baru dengan filter terintegrasi
 Darah harus mulai ditransfusikan dalam waktu paling lama 30 menit
setelah dikeluarkan dari suhu optimal
 Jangan ditambah dengan obat lain ke dalam kantong darah
 Selesaikan transfusi dalam waktu maksimal 4 jam setelah dimulai
 Ganti blood set setiap 12 jam atau setelah pemberian 4 kantong
darah, bergantung mana yang lebih cepat
2.4.4 Monitoring Transfusi Darah
 Reaksi transfusi akut dapat terjadi pada 1-2% pasien yang mendapat
transfusi darah. Deteksi dan penanganan dini reaksi transfusi dapat
menyelamatkan jiwa pasien
 Untuk setiap pemberian transfusi darah dianjurkan untuk
mengawasi pasien :
- Saat transfusi dimulai
- 15 menit setelah transfusi dimulai
- Saat selesai transfusi
- 4 jam setelah transfusi kantong darah untuk pasien rawat inap
atau untuk pasien rawat jalan tidak boleh pulang selama 1 jam
setelah transfusi
 Reaksi yang berat biasanya terjadi dalam 15 menit pertama
pemberian transfusi setiap kantong. Karena itu, pada 15 menit
pertama transfusi, pasien harus diawasi dan kecepatan transfusi
diatur dengan kecepatan lambat kurang lebih 2 ml/menit. Apabila
tidak terjadi apapun maka transfusi dapat dipercepat sesuai taget
dan sesuai keadaan pasien
 Pada saat mengakhiri tindakan transfusi, keadaan pasien dan tanda
vital dicatat, kantong darah beserta selangnya dibuang sesuai
prosedur pembuangan limbah medis
 Informasi yang harus didokumentasikan dalam rekam medis
mencakup :
- Persetujuan pemberian darah dan produk darah
- Alasan transfusi dan target dari pemberian transfusi
- Nama jelas dan tanda tangan dokter yang meminta darah
- Hasil verifikasi yang dilakukan sebelum transfusi yaitu :
 Identitas pasien
 Identitas dan keadaan kantong darah
 Nama jelas dua petugas yang melakukan verifikasi serta
tanda tangan
- Transfusi yang dilakukan :
 Jenis darah dan volume darah yang ditransfusikan
 Nomor kantong darah
 Golongan darah ABO dan Rhesus
 Waktu mulai transfusi dari setiap kantong darah
 Nama jelas petugas yang memasang kantong darah untuk
transfusi
- Pengawasan transfusi (disesuaikan dengan kondisi klinis),
berupa pemeriksaan :
 Keadaan umum pasien
 Suhu tubuh
 Frekuensi nadi
 Tekanan darah
 Frekuensi nafas
- Waktu selesai transfusi dari setiap kantong
- Setiap reaksi transfusi yang timbul
- Penilaian kadar Hb setelah transfusi dapat dilakukan 1 jam
setelah transfusi darah untuk melihat dampak transfusi pada
kenaikan Hb, namun demikian sebaiknya penilaian Hb
dilakukan setelah 24 jam setelah transfusi agar didapatkan hasil
yang lebih stabil
2.4.5 Pemberian lasix (furosemide), kortikosteroid, dan dipenhidramin
 Jika output urin menurun atau terdapat tanda terjadinya gagal ginjal
akut, hitung keseimbangan cairan, pertimbangkan pemberian
furosemide, jika ada, pertimbangkan pemberian infus dopamine
 Berikan kortikosteroid dan bronkodilator iv bila terjadi reaksi
anafilaksis (contoh : bronkospasme, stridor)
 Dipenhidramin merupakan golongan antihistamin yang digunakan
pada reaksi alergi. Efek samping berupa efek antikolinergik,
gangguan atensi, memori, psikomotor, dan delirium karena dapat
menembus sawar darah otak

2.5 Transfusi Darah Masif


Transfusi masif didefinisikan sebagai prosedur pemberian transfusi yang
melebihi volume darah pasien atau sebanyak 10 unit darah dalam 24 jam. Atau
transfusi yang melebihi 50% volume sirkulasi dalam waktu kurang dari 3 jam atau
transfusi dengan laju 150 mL/menit (Kaur dkk., 2013). Tindakan ini dilakukan
bila terjadi perdarahan akut pada pasien bedah akibat defisiensi faktor pembekuan
multiple dan trombositopenia (Mc Cullough, 2017).
Pemberian volume darah secara cepat dapat memberikan beberapa
konsekuensi. Beberapa hal akibat dari komponen dalam darah, penggunaan bahan
pengawet dan antikoagulan didalamnya, dan reaksi biokimiawi saat
penyimpanannya. Komplikasi lain tidak hanya akibat transfusi darah, namun dari
transfusi volume cairan dalam waktu yang cepat (Anggraini dkk., 2015).
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain :
a. Hipotermi
Hipotermi melambatkan hemostasis dan menyebabkan sekuestrasi platelet.
Pemberian satu unit PRBC pada suhu 4oC akan menurunkan suhu inti sekitar
0,25oC pada pasien 70 kg. Pada 29oC (suhu kritis dimana dapat terjadi
disritmia jantung), PT dan aPTT akan meningkat 50% di atas nilai normal,
dan jumlah platelet akan menurun sekitar 40%. Disritmia dapat dilihat pada
suhu inti yang lebih tinggi jika darah tidak dihangatkan dan diberikan secara
cepat, khususnya melalui kateter sentral. Hipotermi akan meningkatkan
mortalitas dan morbiditas termasuk infeksi paska operasi (Anggraini dkk.,
2015).
b. Koagulopati Delusional
Koagulopati akibat perdarahan masif ada dua fase, primer dan sekunder.
Koagulopati primer terjadi diawal, dihubungkan dengan paparan faktor
jaringan, pembentukan trombin, dan aktivasi serta konsumsi protein C yang
menyebabkan DIC dan fibrinolisis. Sebaliknya, koagulopati sekunder
merupakan onset selanjutnya dan berhubungan dengan kehilangan faktor
koagulasi dan delusi. Diagnosis laboratorium terdapat pemanjangan PT dan
aPTT > 1,5 kali kontrol, INR > 1,5, jumlah platelet <50.000 dan fibrinogen
<0,5-1 g/L. Fibrinolisis dan disfungsi platelet terjadi paling awal (Anggraini
dkk., 2015).
c. Penurunan Kapasitas Pembawa Oksigen (Penurunan 2,3 DPG)
Penyimpanan PRC berhubungan dengan penurunan ATP intraseluler dan 2,3
DPG diphosphoglycerate (2,3 DPG) secara signifikan yang akan terjadi
pergeseran kurva disosiasi O2-Hb ke kiri. Transfusi akan menurunkan 2,3
DPG dan kembali normal dalam 12-24 jam (Anggraini dkk., 2015).
d. Perubahan Asam Basa
Penambahan citrate-phosphate-dextrose (CPD) pada satu unit kantong darah
menurunkan pH sampai 7,0-7,1. Hal ini akibat dari metabolisme glukosa
menjadi laktat selama penyimpanan. Jika hepar adekuat perfusinya, sitrat
dari CPD akan dimetabolisme menjadi bikarbonat dan gangguan asam basa
akan terkoreksi. Secara klinis, pada hipotensi karena trauma, perfusi yang
buruk, dan inadekuat oksigenasi jaringan, akan menyulitkan asidosis
metabolik akibat transfusi yang cepat dan akibat produksi asam laktat.
Asidosis merupakan tanda perfusi dan oksigenasi jaringan yang buruk. Hal
ini diperburuk oleh produk darah yang memiliki pH rendah dan RBC dengan
pH 7,0-6,5. Meskipun asidosis meningkatkan kandungan O2 dari
hemoglobin, asidosis menyebabkan edema jaringan, menurunnya difusi O2
dan mengganggu fungsi mitokondria (Anggraini dkk., 2015).
e. Hiperkalemia
Selama penyimpanan, kalium akan keluar dari RBC, untuk menjaga
netralitas elektrokimiawi. Konsentrasi kalium mencapai 19-35 mEq/L pada
darah yang tersimpan 21 hari. Risiko jika darah ini diberikan secara cepat.
Sementara itu, hanya terdapat 20-60 ml plasma pada RBCs, yang
memungkinkan transfusi dengan kecepatan 500-1000 ml/menit. Pada
kecepatan ini, hiperkalemia dan intraoperatif arrest akan terjadi (Anggraini
dkk., 2015).
f. Intoksikasi Sitrat
Saat volume darah (lebih dari satu volume darah) diberikan secara cepat,
sitrat akan mengakibatkan reduksi sementara kalsium yang terionisasi. Sitrat
normalnya dimetabolisme di liver dan penurunan kalsium terionisasi
seharusnya tidak terjadi kecuali jika kecepatan transfusi melebihi 1
ml/kg/menit atau sekitar 1 unit darah tiap lima menit pada rata-rata dewasa.
Tanda intoksikasi sitrat (hipokalsemia) berupa hipotensi, tekanan nadi
memendek, peningkatan tekanan intraventrikuler diastolik akhir dan tekanan
vena sentral, pemanjangan interval QT, pelebaran kompleks QRS, dan
pendataran gelombang T. Sitrat merupakan pengikat kalsium, dosis yang
berlebihan selama transfusi masif mengakibatkan penurunan ion kalsium
yang terionisasi. Penurunan kalsium di serum akan mendepresi status
inotropik jantung, menyebabkan perfusi jaringan menurun bahkan pada
kondisi resusitasi volume cairan adekuat (Anggraini dkk., 2015).
g. Multi Organ Failure
Terjadi pada fungsi neurologis, jantung, respirasi, dan hepatik. Akibat
sekunder dari hipoksia, DIC, lesi penyimpanan sel darah merah, kerusakan
langsung sitokin atau mikroagregasi pada produk darah yang ditrasnfusikan.
Lesi penyimpanan artinya degradasi progresif struktur sel darah merah dan
fungsinya yang terjadi selama penyimpanan darah. Salah satu hal yang
penting adalah perubahan permukaan eritrosit yang mengakibatkan
menurunnya survival, menurunnya penghantaran oksigen karena penurunan
asam 2,3 DPG, menurunnya ATP, dan akumulasi substansi bioaktif seperti
sitokin, histamin, lipid, dan enzim yang dapat mengakibatkan reaksi febris
saat transfusi dan aktivasi atau supresi imunologi (Anggraini dkk., 2015).
h. Perdarahan yang Menetap dan Perdarahan Mikrovaskuler
Walaupun telah dilakukan penggantian faktor koagulasi yang tepat,
kegagalan hemostasis dengan kehilangan darah yang menetap dapat terjadi.
Beberapa faktor penyebab kegagalan hemostasis (Anggraini dkk., 2015) :
 Kehilangan darah yang terus menerus akibat pembedahan
 Keterlambatan penggantian faktor pembekuan dan platelet
 Hemodilusi persisten menyebabkan koagulopati delusional dan
trombositopenia
 Konsumsi faktor koagulasi dan platelet (DIC)
 Penurunan sintesis dan faktor koagulasi
 Penurunan trombopoesis di sumsum tulang
 Efek obat farmakologi (antiplatelet, antikoagulan)
 Hipotermia persisten akibat syok, kehilangan regulasi suhu, dan
pemberian cairan yang dingin termasuk PRC
 Penyakit dasar yang menyertai (disfungsi renal atau hepatik)
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : F
No. RM : 19001400
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 54 tahun
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jalan Pulau Sailus Gang 11, Denpasar
Diagnosis : Ameloblastoma Mandibula Dextra et Sinistra
Tindakan : Mandibulektomi + Free Fibular Graft
MRS : 28 Januari 2019, pukul 14.23 WITA

3.2 Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan pada rahang bawah sejak
± 2 tahun yang lalu. Awalnya benjolan berukuran kecil, lama-kelamaan dirasakan
semakin membesar hingga sebesar bola tenis. Benjolan tersebut mudah berdarah
namun tidak terdapat nyeri. Pasien dapat membuka mulut. Pasien bisa makan dan
minum seperti biasa.
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya dapat
beraktivitas seperti biasa. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes mellitus dalam keluarga
disangkal.
Riwayat alergi obat dan makanan : tidak ada
Riwayat pengobatan : pengobatan di RS Banjarmasin, Kalsel
Riwayat penyakit dahulu : tidak ada
Riwayat penyakit sistemik : tidak ada
Riwayat operasi : tidak ada
Riwayat penyakit lain : tidak ada
3.3 Pemeriksaan Fisik
BB : 40 kg, TB : 150 cm, BMI : 17,77 kg/m2, Suhu aksila : 36,5oC, NRS
diam: 0/10, NRS bergerak : 0/10
SSP : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, pupil isokor 2 mm/2
mm, RC/RK +/+
Respirasi : Frekuensi 16x/menit, tipe vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-), SpO2 98%
KV : TD 110/70 mmHg, HR 84x/menit, bunyi jatung S1-S2 tunggal,
regular, murmur (-), gallop (-)
GIT : Supel, bising usus (+) normal, ascites (-)
UG : BAK spontan
MS : Fleksi defleksi leher normal, Mallampati II,
akral hangat + + , edema - -
+ + - -

3.4 Pemeriksaan Penunjang


 Darah Lengkap (28/1/19, 10.44 WITA)
WBC 39,02x10µ/µL (4,1-11,0), HGB 9,63 g/dL (12,0-16,0), HCT 33,43%
(36,0-46,0), PLT 473,70x10µ/µL (140-440)
 Faal Hemostasis (28/1/19, 10.44 WITA)
PT 13,8 detik (10,8-14,4), APTT 27,0 detik (24-36), INR 1,12 (0,9-1,1)
 Kimia Klinik (28/1/19, 10.44 WITA)
SGOT 11,7 U/L (11,00-27,00), SGPT 7,60 U/L (11,0-34,0), BUN 9,50
mg/dL (8,00-23,00), SC 0,67 mg/dL (0,50-0,90), Alb 4,10 g/dL (3,40-
4,80), GDS 79 mg/dL (70-140)
 Elektrolit (28/1/19, 10.44 WITA)
K 4,34 mmol/L (3,50-5,10), Na 145 mmol/L (136-145), Cl 105,2 mmol/L
(94-110)

3.5 Permasalahan dan Kesimpulan


Permasalahan Aktual : - Ameloblastoma mandibula dextra et sinistra
- Kesulitan airway management
- Leukositosis
Permasalahan Potensial : perdarahan, hipotermi, infeksi
Kesimpulan : Status Fisik ASA III

3.6 Persiapan Anestesi


Persiapan di Ruang Perawatan
 Evaluasi identitas penderita
 Persiapan psikis
 Anamnesis pasien
 Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang
rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan,
ruang operasi sampai di ruang pemulihan
 Persiapan fisik
 Puasa 8 jam sebelum operasi
 Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi
 Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi
 Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan
penunjang
 Memeriksa surat persetujuan operasi
 Memasang iv line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan
20 tetes per menit
Persiapan di Ruang Persiapan IBS
 Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi
 Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan
 Evaluasi ulang status present dan status fisik
 Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi
Persiapan di Kamar Operasi
 Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas
 Menyiapkan monitor dan kartu anestesi
 Mempersiapkan obat dan alat anestesi
 Menyiapkan obat dan alat resusitasi
 Evaluasi ulang status present penderita

3.7 Manajemen Operasi


 Teknik Anestesi GA-NTT
Pre medikasi : Nebulizer lidokain 4% 3 ml
Sulfas atropin 0,5 mg im
Dexametason 10 mg iv
Dipenhidramin 10 mg iv
Fentanyl 25 mcg iv
Analgetik : Fentanyl 200 mcg iv
Morfin 6 mg iv
Ketorolac 30 mg iv
Fasilitas intubasi : Atracurium 75 mg iv
Induksi : Propofol 100 mg titrasi sampai pasien terhipnosis
Maintenance : O2: Air 2:2 lpm, Sevoflurane 0,5-2,5 %
Medikasi lain : Asam traneksamat 1000 mg iv
Ketamin 20 mg iv
 Durante operasi
Hemodinamik : TD 80-135/ 40-70 mmHg, Nadi 82-120x/menit, RR
14-16x/menit, SpO2 99-100%
Cairan masuk : RL 4000 ml, darah 218 ml
Cairan keluar : Urin 800 ml, perdarahan 600 ml
Lama operasi : 7 jam 15 menit
 Post Operasi
Perawatan : Rawat ICU
- Observasi tanda vital dan perdarahan berulang
- Manajemen nyeri pasca operasi

3.8 Manajemen Pasien


 Hari 1 (30 Januari 2019)
Feeding : E : Puasa
P : RL 1000 ml/24 jam iv
Analgesia : - Fentanyl 250 mcg/24 jam iv
- Paracetamol 1 gr/8 jam iv
Sedation : - Midazolam iv titrasi
Trombus Profilaksis : -
Head of the bed up : - Head up 30-45 derajat
Ulcer gaster protektif : - Ranitidin 50 mg/12 jam iv
Glucose control : -
Terapi lain : - Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12 jam
- Oral hygiene dengan aquabides tiap 12 jam
- Ceftriaxone 2 gr/24 jam iv
- Ca gluconas 1 gr tiap 8 jam iv
 Hari 2 (31 Januari 2019)
Feeding : E : Nutrien optimum 100 ml/4 jam
P : - RL 1000 mL/24 jam iv
- Albumin 20% 150 ml iv
Analgesia : - Fentanyl 250 mcg/24 jam iv
- Paracetamol 1 gr/8 jam iv
Sedation : -
Trombus Profilaksis : - Drop heparin 5000 unit/24 jam iv
Head of the bed up : - Head up 30-45 derajat
Ulcer gaster protektif : - Ranitidin 50 mg/12 jam iv
Glucose control : -
Terapi lain : - Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12 jam
- Norepinefrin titrasi target MAP 60-90 mmHg
- Ca gluconas 1 gr tiap 8 jam iv
 Hari 3 (1 Februari 2019)
Feeding : E : Nutrien optimum 150 ml/4 jam
P : - RL 1000 mL/24 jam iv
- Albumin 20% 150 ml iv
Analgesia : - Fentanyl 250 mcg/24 jam iv
- Paracetamol 1 gr/8 jam iv
Sedation : -
Trombus Profilaksis : -
Head of the bed up : - Head up 30-45 derajat
Ulcer gaster protektif : - Ranitidin 50 mg/12 jam iv
Glucose control : -
Terapi lain : - Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12 jam
- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam
- Ca gluconas 1 gr tiap 8 jam iv
BAB IV
DISKUSI KASUS

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa transfusi darah masif adalah


prosedur pemberian transfusi yang melebihi volume darah pasien atau sebanyak
10 unit darah dalam 24 jam. Atau transfusi yang melebihi 50% volume sirkulasi
dalam waktu kurang dari 3 jam atau transfusi dengan laju 150 mL/menit.
Tindakan ini dilakukan bila terjadi perdarahan akut pada pasien bedah akibat
defisiensi faktor pembekuan multiple dan trombositopenia.
Pasien yang mengalami syok hemoragik dapat memerlukan transfusi darah
dalam jumlah besar. Penanganan awal perdarahan masif dan hipovolemia adalah
mengembalikan volume darah secepat mungkin untuk menjaga perfusi jaringan
dan oksigenasi. Dalam hal ini pasien perlu mendapatkan cairan intravena dan
transfusi darah dalam jumlah besar sampai kontrol perdarahan dapat dilakukan.
Packed red blood cell (PRC) mengandung kadar Hb yang sama dengan
whole blood, dengan volume 250-300 mL dan kadar hematokrit 70%. Umumnya,
unit PRC difiltrasi untuk mengurangi kadar leukosit sehingga dapat mencegah
terjadinya febrile nonhemolytic transfusion reactions (FNHTRs). Dalam periode
perioperatif dan paska bedah, transfusi RBC diperlukan untuk menggantikan
darah yang hilang selama pembedahan berlangsung, mempertahankan kadar Hb,
dan meningkatkan kapasitas angkut oksigen ke jaringan. Pemberian PRC pada
pasien dapat difasilitasi dengan larutan kristaloid 50-100 mL normal saline.
Pada kasus ini, pasien diberikan transfusi darah dengan jenis komponen
darah PRC sebanyak 11 unit dalam 24 jam. Dengan demikian pada kasus ini dapat
dikatakan bahwa pasien menerima transfusi darah masif karena kantung darah
yang ditransfusikan sebanyak 11 unit darah dalam 24 jam. Kadar leukosit pada
pasien ini tinggi yaitu 39,02x10µ/µL (normal 4,1-11,0). Pemberian PRC
digunakan untuk mengurangi kadar leukosit dimana dapat mencegah terjadinya
febrile nonhemolytic transfusion reactions (FNHTRs). Pada pasien kasus ini juga
difasilitasi dengan pemberian kristaloid sebanyak 4000 ml.
Keputusan melakukan transfusi darah pasien dengan anemia dan
perdarahan memerlukan pertimbangan yang benar-benar matang dan harus
dimengerti tentang resiko dan keuntungan dari transfusi tersebut.
Adanya sitrat yang dimetabolisme menjadi bikarbonat mempunyai andil
dalam menyebabkan alkalosis metabolic, sementara terikatnya kalsium oleh sitrat
juga dapat menyebabkan hipokalsemia. Akan tetapi hipokalsemia yang
disebabkan ikatan antara kalsium dengan sitrat jarang terjadi karena adanya
mobilisasi kalsium dari tulang dan kemampuan hati dalam memetabolisme sitrat
menjadi bikarbonat. Suplementasi kalsium mungkin diperlukan bila kecepatan
transfusi melebihi 100 ml/menit, hipotermi atau gangguan fungsi hati, atau pasien
neonatus. Pada pasien ini diberikan calcium glukonas mengingat kemungkinan
hipotermi akibat transfusi masif.
Pemberian transfusi darah pada pasien memiliki prosedur antara lain
adanya persetujuan pemberian darah dan produk darah, alasan transfusi dan target
dari pemberian transfusi, nama jelas dan tanda tangan dokter yang meminta darah,
melakukan verifikasi kembali mengenai identitas pasien dan keadaan kantong
darah, jenis darah dan volume darah yang ditransfusikan, golongan darah ABO
dan Rhesus, menggunakan blood set baru, dan tidak menambah obat lain ke dalam
kantong darah yang akan ditransfusikan. Demikian pula pada kasus ini, pasien
mendapatkan transfusi darah sudah sesuai prosedur yang dilakukan meliputi
persetujuan dilakukannya transfusi darah, pengambilan serum darah pasien untuk
dibawa ke BDRS, pengecekan kembali identitas pasien dan keadaan darah yang
akan diberikan, dan menggunakan infus set darah dalam memberikan transfusi
darah.
Indikasi pemberian transfusi darah pada pasien yaitu sebagai penggantian
sel darah merah pada keadaan perdarahan akut atau masif yang disertai
hipovolemia, transfusi tukar, dan pasien yang membutuhkan transfusi PRC tapi di
tempat tersebut tidak tersedia PRC. Adapun monitoring yang dapat dilakukan
selama pemberian transfusi darah yaitu monitoring keadaan umum pasien, suhu
tubuh, frekuensi nadi, tekanan darah, frekuensi nafas, dan adanya alergi saat
transfusi, 15 menit setelah transfuse dan saat selesai transfusi. Reaksi yang berat
biasanya terjadi dalam 15 menit pertama pemberian transfusi setiap kantong.
Karena itu, pada 15 menit pertama transfusi, pasien harus diawasi dan kecepatan
transfusi diatur dengan kecepatan lambat kurang lebih 2 ml/menit. Apabila tidak
terjadi apapun maka transfusi dapat dipercepat sesuai taget dan sesuai keadaan
pasien. Pada saat mengakhiri tindakan transfusi, keadaan pasien dan tanda vital
dicatat pada lembar monitoring transfusi darah.
Pada kasus ini, pasien menerima transfusi darah akibat adanya perdarahan
akut yang disertai hipovolemia. Monitoring pasien pun dilakukan selama proses
transfusi berlangsung mulai dari saat melakukan transfusi, setelah 15 menit
transfusi, dan setelah transfusi berakhir. Monitoring yang dilakukan meliputi
tanda-tanda vital dan reaksi alergi yang dapat ditimbulkan akibat transfusi,
kemudian dicatat dalam lembar monitoring transfusi darah. Kecepatan pemberian
transfusi darah pada pasien ini yaitu 10 tetes/menit. Apabila terjadi perubahan
tekanan darah maupun nadi menjadi meningkat saat dilakukannya transfusi, maka
transfusi dapat dihentikan dan darah dapat dikembalikan ke BDRS.
Pemberian obat-obatan sebelum dilakukannya transfusi darah seperti lasix
(furosemide) apabila output urin menurun atau terdapat tanda terjadinya gagal
ginjal akut, pemberian kortikosteroid dan dipenhidramin setelah transfusi berakhir
juga diperlukan untuk mengatasi reaksi yang dapat ditimbulkan akibat pemberian
transfusi darah. Pada kasus ini juga diperhatikan penggunaan obat-obatan sebelum
dilakukannya transfusi dan setelah transfusi darah berakhir untuk menghindari
reaksi berat yang dapat ditimbulkan. Pasien dapat dicek kembali hasil
laboratoriumnya setelah 6 jam pemberian transfusi.
BAB V
KESIMPULAN

Kasus transfusi masif merupakan tindakan tindakan life saving pada pasien
yang mengalami perdarahan hebat pada tindakan pembedahan mandibulektomi +
free fibular graft. Pertimbangan untuk memberikan transfusi tentunya didasarkan
pada keadaan klinis pasien. Meskipun transfusi darah pada umumnya dan
transfusi masif pada khususnya memiliki efek samping dan komplikasi yang
tidak bisa dianggap remeh, namun tindakan transfusi masif harus dilakukan untuk
menjamin kebutuhan tubuh terhadap darah dan komponen-komponennya.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini D, Fitriani C, Pratomo BY. 2015. Manajemen dan Komplikasi


Transfusi Masif. Jurnal Komplikasi Anestesi. November;3(1):81-92.

Kaur P, Basu S, Kaur G, dkk. 2013. Transfusion issues in surgery. Internet


Journal of Medical Update. January;8(1):46-50.

Liumbruno, GM, Bennardello F, Lattanzio A, dkk. 2011. Recommendations for


the transfusion management of patients in the peri-operative period. III.
The post-operative period. Blood Transfus; 9:320-35.

Mangku G, Senapathi TGA. 2017. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 1st edition.
Jakarta: Indeks Jakarta.

McCullough J. 2017. Transfusion Medicine. 4th Edition. Oxford: John Wiley &
Sons.

Miller RD. 2015. Miller’s Anesthesia. 8th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Gaol HL, Tanto C, Pryambodho. 2014. Kapita Selekta Kedokteran:
Transfusi Darah. Jakarta, Indonesia: Media Aesculapius.

Morgan GE, Mikhail MS. 2013. Clinical Anesthesiology. 5th Edition. United
States: Lange.

Norfolk D. 2013. Handbook of Transfusion Medicine. 5th edition. United


Kingdom: TSO.

Sharma S, Sharma P, Tyler LN. 2011. Transfusion of Blood and Blood Products:
Indications and Complications. Am Fam Physician; 83(6):719-724.

Viveronika, EA. 2017. Tansfusi Darah. Available from:


repository.unimus.ac.id.pdf. [Diakses tanggal: 30 Januari 2019].

Watering LMG. 2008. Alternatives to Blood Transfusion in Transfusion Medicine.


Research Gate. doi: 10.1111/j.1778-428X.2008.00114.x.

Anda mungkin juga menyukai