Anda di halaman 1dari 31

RESPONSI

SINDROM KORONER AKUT

OLEH:
Muhammad Fakhri Barustan (1902611203)
Ni Putu Tamara Bidari Suweta (1902611207)
I Gusti Agung Ayu Andra Yusari (1902611
Made Dwi Andhika Yogiswara (1902611

PEMBIMBING:
dr. Agung Pradnyana Suwirya, Sp.JP

DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI DEPARTEMEN/


KSM KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH

DENPASAR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya, maka responsi dengan topik Sindom Koroner
Akut ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan kasus ini dibuat dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Kardiologi dan
Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :


1. dr. I Made Putra Swi Antara, selaku Ketua Departemen/KSM Kardiologi dan
Kedokteran Vaskuler RSUP Sanglah.
2. dr. Agung Pradnyana Suwirya, Sp.JP, selaku pembimbing dan penguji
responsi ini.
3. Teman-teman sejawat serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian responsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca.

Denpasar, 2 Agustus 2019

Penulis

`
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan penyebab kematian terbanyak di


seluruh dunia dan diperkirakan masih akan tetap menjadi penyebab kematian
terbanyak yang berada di urutan pertama oleh World Health Organization (WHO).
Salah satu dari penyakit kardiovaskuler ini adalah Sindrom Koroner Akut (SKA).
SKA adalah sebuah kelompok gejala klinis akibat adanya iskemia akut di bagian
miokardial yang disebabkan oleh pecahnya plak ateroma. SKA dapat ditemukan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),
dan pemeriksaan marka jantung yang dapat dibagi menjadi unstable angina pectoris
(UAP), non ST segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST segment
elevation myocardial infarction (STEMI).
Sebanyak 422,7 juta kasus penyakit kardiovaskuler diperkirakan terjadi pada
tahun 2015 dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler diantaranya terjadi sebesar
17,92 juta kasus. Kasus kematian akibat penyakit kardiovaskuler paling tinggi terjadi
pada negara maju dan sebagian pada negara berkembang. Penyakit jantung iskemik
merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit kardiovaskuler, diikuti oleh
stroke.
Berdasarkan angka kejadian, morbiditas dan mortalitas yang tinggi, penting
bagi kami sebagai calon dokter untuk membahas SKA melalui tinjauan pustaka dan
laporan kasus yang kami susun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan kelompok gejala klinis akibat
adanya iskemia akut miokardial yang disebabkan oleh pecahnya plak ateroma. SKA
sendiri berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung mencakup unstable angina pectoris (UAP),
non ST segment elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST segment
elevation myocardial infarction (STEMI).
1. Unstable Angina Pectoris (UAP)
UAP adalah kondisi klinis dimana terdapat gambaran angina yang meliputi 3
presentasi prinsipal; rest angina (angina yang terjadi pada saat istirahat dan prolong,
umumnya lebih dari 2 menit), angina de novo/new onset angina (angina tanpa ada
riwayat angina sebelumnya dengan derajat kelas III atau lebih menurut Canadian
Cardiovascular Society (CCS)), dan angina crescendo (riwayat angina dengan
frekuensi dan intensitas yang meningkat).3 Pada UAP sendiri, tidak terdapat adanya
peningkatan dari marka jantung, sehingga dapat dibedakan dengan NSTEMI.
2. Non ST Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
Berbeda dengan UAP, pasien dengan NSTEMI menunjukkan gambaran
angina yang sama, akan tetapi pada pemeriksaan marka jantung, terdapat perubahan
bermakna dari marka jantung (dapat berupa elevasi maupun depresi dari troponin
maupun elevasi dari creatinin kinase-muscle and brain (CKMB)).
3. ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
Gambaran angina yang sama juga terdapat pada STEMI. Perbedaan yang khas
antara STEMI dengan UAP maupun STEMI adalah adanya elevasi segmen ST yang
bermakna pada pemeriksaan EKG. Sehingga, penegakkan diagnosis STEMI
dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan EKG tanpa
harus menunggu adanya hasil pemeriksaan marka jantung.1
Gambar 1. Elevasi Segmen ST pada Gambaran EKG1

2. 2. Epidemiologi
Penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan penyebab kematian terbanyak di
seluruh dunia dan diperkirakan masih akan tetap menjadi penyebab kematian
terbanyak yang berada di urutan pertama oleh World Health Organization (WHO).2
Sebanyak 422,7 juta kasus penyakit kardiovaskuler diperkirakan terjadi pada tahun
2015 dan kematian akibat penyakit kardiovaskuler diantaranya terjadi sebesar 17,92
juta kasus. Kasus kematian akibat penyakit kardiovaskuler paling tinggi terjadi pada
negara maju dan sebagian pada negara berkembang. Penyakit jantung iskemik
merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit kardiovaskuler, diikuti oleh
stroke.3
Gambar 2. Perubahan Urutan dari 20 Penyebab Kematian Terbanyak di
Dunia Tahun 2002-2030.2

2. 3. Etiologi
Munculnya SKA didasar pada pecahnya plak ateroma yang menyebabkan
terjadinya kaskade koagulasi yang menyumbat aliran darah di jantung dan
menghambat perfusi ke jaringan tersebut. Plak tersebut muncul akibat beberapa faktor
risiko yang bekerja secara berkesinambungan. Sehingga, proses terbentuknya plak
ateroma tidak disebabkan oleh faktor tunggal.
Faktor risiko tersebut dapat dibagi menjadi 2 kategori; modifiable risk factor
dan non modifiable risk factor. Modifiable risk factor terdiri dari faktor risiko yang
dapat dimanipulasi dan memungkinkan individu untuk menghindari faktor tersebut.
Adapun faktor risiko tersebut adalah:
1. Merokok
2. Aktifitas fisik yang kurang
3. low density lipids (LDL) dan trigliserida yang tinggi
4. Obesitas
5. Diabetes mellitus
6. Hipertensi
7. Stress psikososial
Sedangkan non modifiable risk factor merupakan faktor predisposi dari individu yang
tidak dapat dimanipulasi, sehingga setiap individu akan memiliki faktor risiko pada
masa hidupnya. Adapun faktor risiko tersebut adalah:4
1. Usia tua
2. Jenis kelamin laki-laki
3. Riwayat keluarga dengan PJK atau stroke sebelum umur 55 tahun
4. Genetik

2. 4. Patogenesis
Faktor-faktor risiko yang sebelumnya diterangkan menyebabkan kerusakan
endotelium pembuluh darah dan menyebabkan disfungsi endotelial. Setelah
kerusakan endotelium terjadi, sel-sel inflamasi, terutama monosit, bermigrasi ke
subendotelium dengan berikatan ke molekul adhesi endotelial. Setelah bermigrasi,
monosit kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag. Makrofag-makrofag tersebut
lalu mencerna LDL dan kemudian bertransformasi menjadi foam cell, menyebabkan
terbentuknya plak fatty streaks. Adapun risiko pecahnya plak tergantung dari
komposisi pembentuk plak tersebut. Plak akan memiliki risiko yang tinggi untuk
pecah apabila memiliki inti lipid yang besar, selubung fibrosa yang tipis, dan densitas
makrofag dan T-limfosit yang tinggi.
Patogenesis dari SKA melibatkan peran dari struktur endotelium, sel
inflamasi, dan trombogenitas dari darah. Setelah plak pecah, matriks endotelium
(kaya akan prokoagulan) akan terekspos ke aliran darah, menyebabkan adhesi platelet
yang kemudian akan teraktifasi dan menyebabkan agregasi dan formasi dari trombus.
2 tipe trombus dapat terbentuk; white clot (kaya platelet) dan red clot (kaya fibrin).
White clot umumnya terbentuk pada area denga high shear stress dan menyebabkan
oklusi parsial arteri. Sedangkan red clot terbentuk akibat aktifasi kaskade koagulasi.
Red clot seringkali terbentuk menyelubungi white clot, sehingga hal tersebut dapat
menyebabkan oklusi total dari arteri.
Oklusi total dari arteri tersebut menurunkan perfusi darah ke jaringan otot
jantung, sehingga kebutuhan oksigen dari jaringan tersebut tidak dapat terpenuhi.
Kurangnya ketersediaan oksigen menyebabkan wall stress, kontraktilitas jantung, dan
kematian sel. Penurunan ketersediaan oksigen juga menyebabkan peralihan
metabolisme dari aerob menjadi anaerob. Hal ini menyebabkan penumpukan laktat
yang mengakibatkan aktifasi reseptor nyeri saraf perifer, sehingga muncul gambaran
angina. Apabila derajat keparahan sudah mencapai terjadinya iskemia, maka dapat
mengakibatkan nekrosis miokardium, menyebabkan adanya gambaran segmen ST
yang abnormal.1

2. 5. Manifestasi Klinis
Meskipun pasien biasanya menggambarkan angina stabil sebagai
nyeri dada atau lengan yang diperburuk oleh aktivitas atau tekanan
emosional dan berkurang dengan istirahat, nitrogliserin, atau keduanya, nyeri
yang terkait dengan UA lebih parah, terjadi saat istirahat.. Sering terletak di
daerah bawah (kadang-kadang daerah epigastrium), rasa sakit atau tekanan
sering menjalar ke leher, rahang, bahu kiri, dan lengan kiri. Beberapa pasien
mungkin datang dengan gejala selain nyeri dada; gejala-gejala "ekuivalen
angina" seperti itu termasuk dispnea (paling umum), mual dan muntah,
diaforesis, dan kelelahan yang tidak dapat dijelaskan. Presentasi atipikal
lebih sering terjadi pada wanita dan orang tua. Jarang, sinkop mungkin
merupakan gejala ACS. Nyeri yang tajam, menusuk atau pleuritik, dapat
direproduksi dengan palpasi atau dengan gerakan, atau dapat dilokalisasi di
ujung 1 jari biasanya tidak iskemik. Nyeri dada yang sembuh dengan
pemberian nitrogliserin sublingual dalam pengaturan ED tidak memprediksi
SKA.
Gejala sindrom koroner akut biasanya mulai dengan tiba-tiba.
Mereka termasuk nyeri dada (angina) atau ketidaknyamanan, sering
digambarkan sebagai sakit, tekanan, sesak atau terbakar, nyeri yang
menyebar dari dada ke bahu, lengan, perut bagian atas, punggung, leher atau
rahang, mual atau muntah, gangguan pencernaan, nafas pendek (dispnea),
tiba-tiba berkeringat berat (diaphoresis), sakit kepala ringan, pusing atau
pingsan, kelelahan yang tidak biasa atau tidak dapat dijelaskan, dan merasa
gelisah. Sementara untuk tanda – tanda yang ditunjukkan termasuk
diaforesis, kulit pucat, sinus takikardia, bunyi jantung ketiga atau keempat,
basilar rales, hipotensi.1

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Keluhan pada pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) karena infark
miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal atau angina tipikal. Angina tipikal
berupa rasa tertekan atau berat di daerah retrosternal, yang dapat menjalar ke lengan
kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan dapat
berlangsung secara persisten lebih dari 20 menit dan disertai keluhan penyerta seperti
diaphoresis atau keringat dingin, mual, muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop. Keluhan nyeri dada dapat membaik saat istirahat dan memburuk ketika
melakukan aktivitas. Akan tetapi, keluhan angina tipikal tidak terjadi pada semua
pasien SKA. Angina atipikal dapat terjadi populasi pasien wanita, usia lanjut,
diabetes, atau yang baru selesai menjalani operasi. Diagnosis SKA menjadi lebih kuat
apabila ditemukan karakteristik pada pasien seperti pria, mempunyai penyakit
aterosklerosis non koroner, mempunyai riwayat PJK, dan faktor risiko. Selain untuk
menegakkan diagnosis kerja, anamnesis juga dilakukan untuk mencari adanya
indikasi kontra terapi fibrinolisis, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam yang
menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarah, dan
riwayat penyakit serebrovaskular.5,6
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia,
penyakit penyerta, serta menyingkirkan diagnosis banding. Komplikasi iskemia dapat
ditandai oleh adanya regurgitasi katup mitral, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah
halus, dan hipotensi. Adanya regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.5
2.6.3 Diagnosis Banding
Infark miokard menandakan adanya nekrosis otot jantung karena iskemia. Oleh
karena itu, kelainan jantung non-iskemik lainnya seperti pericarditis, diseksi aorta,
dan kelainan katup mitral tidak menandakan adanya SKA. Selain itu, kelainan yang
tidak berasal dari jantung juga dapat menunjukkan gejala menyerupai SKA seperti
nyeri musculoskeletal, gangguan esofagus, emboli paru, serta anxietas. Adapun jenis-
jenis nyeri yang bukan karakteristik iskemia miokard adalah nyeri pleuritic (nyeri
tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk), nyeri abdomen tengah atau
bawah, nyeri dada yang dapat ditunjuk oleh satu jari, nyeri dada yang diakibatkan
oleh gerakan tubuh atau palpasi, nyeri dengan durasi beberapa detik, dan nyeri dada
yang menjalar ke ekstremitas bawah.5,6
2.6.4 Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG
dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat.
Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit)
maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan
pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik
beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada
pria usia 2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV
mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan
EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan
sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.
Pedoman ACC / AHA menyatakan bahwa dokter IGD harus
meninjau hasil EKG 12-lead dalam waktu tidak lebih dari 10 menit setelah
kedatangan di UGD pada pasien dengan nyeri dada atau gejala lain yang
menunjukkan ACS. Nilai dari EKG endukung diagnosis klinis ACS dan
untuk membantu stratifikasi risiko. Namun, elektrokardiografi memiliki
beberapa keterbatasan. Misalnya, tidak cukup mewakili dinding posterior,
lateral, dan apikal ventrikel kiri. Selain itu, temuan normal tidak
mengecualikan kemungkinan ACS.
Temuan pada EKG yang terkait dengan UA termasuk depresi segmen
ST, peningkatan segmen ST sementara, inversi gelombang-T, atau beberapa
kombinasi dari faktor-faktor ini; tergantung pada keparahan presentasi klinis,
temuan ini hadir pada 30% hingga 50% pasien. Deviasi segmen ST baru,
bahkan hanya 0,05 mV, merupakan ukuran penting dan spesifik iskemia dan
prognosis. Inversi gelombang T sensitif terhadap iskemia tetapi kurang
spesifik, kecuali ditandai (≥0,3 mV) Ketinggian segmen-ST 0,1 mV atau
lebih, jika terdapat pada setidaknya 2 sadapan yang berdekatan,
menunjukkan MI akut pada 90% pasien, seperti yang dikonfirmasi oleh
pengukuran biomarker jantung serial. Penting untuk membandingkan temuan
terkini dan sebelumnya pada EKG karena penelitian menunjukkan bahwa
pasien tanpa perubahan EKG memiliki risiko komplikasi yang lebih rendah
daripada pasien dengan perubahan EKG.
Karena proses iskemia miokard cukup dinamis dan ECG 12-lead
tunggal hanya memberikan gambaran singkat dari proses ini, pedoman ACC
/ AHA merekomendasikan bahwa pasien yang dirawat di rumah sakit untuk
UA / NSTEMI menjalani penelusuran ECG serial atau pemantauan segmen
ST terus menerus.7
2.6.5 Pemeriksaan Marka Jantung
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal
jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan
nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka
bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini,
troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. kadar
troponin T dalam satuan ng/mL, dengan nilai normal troponin T adalah
dikatakan rendah dalam range 50-100 ng/mL dan IMA pada range >100
ng/mL.8
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin
I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya
diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang
meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat
(48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk
mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di
laboratorium sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif
jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau
semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care
testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu
pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka
jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka
pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.6
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak
seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi
ST atau inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau
LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung
2.6.6 Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di
ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak
boleh menunda terapi SKA.5
2.6.7 Pemeriksaan Foto Polos Dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat
darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang
gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat
diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.5,7

2.7 Tatalaksana
2.7.1 Revaskularisasi Koroner
Terapi revaskularisasi harus dilakukan pada pasien STEMI dengan gejala yang
dimulai dalam 12 jam. Percutaneous coronary intervention (PCI) merupakan metode
reperfusi yang direkomendasikan ketika waktu dari kontak medis pertama ke alat
dapat dicapai dalam 90 menit. Apabila PCI tidak dapat dilakukan dalam 120 menit
STEMI, maka terapi fibrinolitik harus diberikan dalam 30 menit setelah sampai di
rumah sakit, dengan memastikan tidak terdapat kontrai indikasi fibrinolitik pada
pasien.
Fibrinolisis merupakan metode reperfusi yang penting untuk dilakukan pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Fibrinolisis dimulai dari ruang gawat darurat. Jenis terapi
fibrinolitik yang disarankan adalah agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase,
alteplase, reteplase) dibandingkan agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Aspirin dan clopidogrel diberikan pada pasien yang menjalani
fibrinolisis. Selain itu, antikoagulan juga direkomendasikan pada pasien STEMI yang
menjalani fibrinolisis selama dirawat di rumah sakit selama 5 hari. Antikoagulan
yang dapat diberikan adalah enoksaparin subkutan, heparin bolus intravena, dan
fondaparinuks intravena bagi pasien yang diberikan streptokinase.
Semua pasien diindikasikan untuk dipindahkan ke pusat pelayanan medis yang
mampu melakukan PCI setelah fibrinolisis. PCI rescue diindikasikan ketika
fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% disertai tidak hilangnya
nyeri dada dalam 60 menit. PCI emergency dilakukan untuk kasus iskemia rekuren
dengan bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil, yang ditunjukkan oleh
gambaran elevasi segmen ST kembali.5,6
2.7.2 Farmakoterapi Sindrom Koroner Akut
2.7.2.1 Anti Iskemia
Beta blocker atau penyekat beta merupakan salah satu anti iskemia yang
bekerja terhadap reseptor beta-1 sehingga menurunkan konsumsi oksigen
miokardium. Beta blocker direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI,
terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia. Obat ini tidak boleh diberikan
pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikuler yang signifikan, asma
bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Jenis beta blocker yang sering dipakai
adalah atenolol, bisoprolol, carvedilol, dan metoprolol.
Nitrat merupakan anti iskemia yang memberikan efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Nitrat juga memberikan efek
dilatasi pembuluh darah koroner. Pasien dengan nyeri dada berlanjut dapat diberikan
nitrat sublingual setiap 5 menit hingga maksimal 3 kali pemberian, setelah itu
dipertimbangkan pemberian nitrat intravena. Nitrat dikontraindikasikan pada pasien
dengan tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg, bradikardia berat, takikardia tanpa
gejala jantung, atau infark ventrikel kanan. Nitrat juga tidak boleh diberikan pada
pasien yang telah mengonsumsi inhibitor fosfodiesterase seperti sildenafil dalam 24
jam atau tadalafil dalam 48 jam.
Calcium channel blockers (CCBs) golongan dihidropiridin seperti nifedipin dan
amlodipin, memiliki efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA
node atau AV node dan direkomendasikan untuk mengurangi gejala pada pasien yang
telah mendapatkan nitrat dan beta blocker. Sedangkan golongan non-dihidropiridin
seperti verapamil dan ditilazem memiliki efek terhadap SA node dan AV node. CCB
non-dihidropiridin direkomendasikan bagi pasien dengan indikasi kontra terhadap
beta blockers.5
2.7.2.2 Antiplatelet
Aspirin merupakan antiplatelet yang harus diberikan kepada semua pasien
tanpa kontra indikasi dengan dosis awal 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg untuk terapi jangka panjang. Penghambat reseptor ADP juga perlu diberikan
bersama aspirin dan dilanjutkan selama 12 bulan kecuali terdapat kontra indikasi
seperti perdarahan berlebih. Penghambat reseptor ADP yang digunakan adalah
ticagrelor atau clopidogrel. Ticagrelor direkomendasikan bagi pasien dengan risiko
iskemik sedang hingga tinggi, contohnya pasien dengan peningkatan troponin,
dengan dosis awal 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Sedangkan, clopidogrel
direkomendasikan bagi pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelor dengan dosis
awal 300 mg dan dilanjutkan 75 mg setiap hari. Dual antiplatelet therapy (DAPT) ini
sebaiknya disertai dengan pemberian penghambat pompa proton, terutama pada
pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan pasien
dengan faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia 65 tahun ke atas, serta konsumsi
bersama dengan antikoagulan atau steroid.5
2.7.2.3 Antikoagulan
Terapi antikoagulan ditambahkan pada terapi antiplatelet dan dipilih
berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia pasien. Fondaparinuks memiliki profil
keamanan berbanding risiko yang paling baik, dengan dosis 2,5 mg subkutan setiap
hari. Heparin tidak terfraksi (UFH) secara bolus dapat ditambahkan apabila
antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks. Enoksaparin 1 mg/kgBB dua
kali sehari disarankan bagi pasien dengan risiko perdarahan rendah bila
fondaparinuks tidak tersedia. UFH dan heparin berat molekul rendah (LMWH)
disarankan bila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia.5
2.7.2.4 Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berperan dalam mengurangi
proses remodeling dan menurunkan angka kematian pasca infark miokard disertai
gangguan sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Inhibitor ACE
diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri kurang dari 40%, dan pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik. Selain pada pasien
dengan kriteria tersebut, inhibitor ACE sebaiknya tetap diberikan. Penghambat
reseptor angiotensin diberikan pada pasien yang intoleran terhadap inhibitor ACE
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri kurang dari 40%, dengan atau tanpa gejala klinis
gagal jantung. Jenis inhibitor ACE adalah captopril, ramipril, lisinopril, dan
enalapril.5
2.7.2.5 Statin
Statin harus diberikan pada semua penderita SKA tanpa melihat nilai awal
kolestrol LDL dan jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin diberikan sebelum
pasien keluar rumah sakit dengan sasaran untuk mencapai kadar kolestrol LDL
kurang dari 100 mg/dL. Menurunkan kadar kolestrol LDL hingga di bawah 70 mg/dL
mungkin untuk dicapai.5

2.8 Prognosis
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk
prognosis pada SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI
(Thrombolysis In Myocardial Infarction), dan GRACE (Global Registry of Acute
Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable
angina patients Suppress ADverse outcomes with Early implementation of the
ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan.
Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik.3
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang
masing-masing setara dengan 1 poin. Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi
kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk UAP/NSTEMI.5

Tabel 1. Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI5


Tabel 2. Skor TIMI untuk STEMI9

Tabel 3. Stratifikasi Risiko berdasarkan Skor TIMI9

Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas Killip,


tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat
darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung.
Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit
dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah

sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah

(risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140
dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%).
Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien

dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian
<3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan
mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).9
Tabel 4. Skor GRACE9

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko


berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut
dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari.9
Tabel 5. Mortalitas 30 hari berdasarkan Kelas Killip9

Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga


segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin.
Variabel-variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama
perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar
hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung,
penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah sistolik.9

Tabel 6. Skor Risiko Perdarahan CRUSADE9


Gambar 3. Risiko perdarahan mayor berdasarkan skor perdarahan
CRUSADE9
BAB III
LAPORAN KASUS

3. 1. Identitas Pasien
Nama : JNR
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 57 tahun
Alamat : Tuban
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Hindu
Tanggal MRS : 30 Juli 2019 pukul 15.45 WITA
Tanggal Pemeriksaan : 2 Agustus 2019 pukul 10.00 WITA

3. 2. Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri dada
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien rujukan dari RS Siloam datang sadar ke IGD PJT RSUP
Sanglah, dengan keluhan nyeri dada bagian tengah tidak bisa ditunjuk dengan
jari dan dengan penjalaran nyeri ke leher. Nyeri dirasakan hilang timbul sejak
hari Sabtu tanggal 27 Juli 2019, 3 hari SMRS. Nyeri mulai memberat
dirasakan sejak 12 jam SMRS (30 Juli 2019). Nyeri dada dikatakan menetap
saat pasien beristirahat maupun saat beraktivitas. Nyeri dada dirasakan pasien
seperti ditindih benda berat. Keluhan nyeri disertai sesak yang memberat pada
dini hari, batuk kering yang muncul saat sesak, keringat dingin, berdebar,
mual dan muntah (3x). Demam disangkal, BAB dan BAK normal, makan dan
minum baik.
Riwayat Penyakit Dahulu:
• Pasien tidak pernah merasakan keluhan yang sama sebelumnya.
• Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
• Riwayat hipertensi terkontrol sejak 2 tahun yang lalu.
• Pasien memiliki diabetes mellitus tipe 2 yang baru disadari.

Riwayat Pengobatan:
Pasien rutin mengonsumsi obat hipertensi berupa berupa amlodipine 10 mg.
Saat di RS Siloam pasien juga dapat pengobatan berupa:
1. IVFD NaCl 0,9% 8tpm
2. Aspilet 160 mg
3. Clopidogrel 300 mg
4. Diviti 2,5 mg SC
5. Candesartan 4 mg
6. Bisoprolol 2,5 mg
7. Atorvastatin 20 mg
8. Novorapid 10 iu IV
9. Novorapid 4 iu/jam
10. Furosemide 40 mg

Riwayat Keluarga :
Pasien mengaku keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan
yang sama sebelumnya.

Riwayat Sosial :
Pasien sehari-hari bekerja sebagai pedagang. Pasien tidak memiliki riwayat
merokok dan minum alkohol.

Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
3. 3. Pemeriksaan Fisik
2 Agustus 2019 (11.00 WITA)
Keadaan Umum : Sakit ringan
Gizi : Cukup (BMI)
Kesadaran : Kompos Mentis
GCS : E4 V5 M6
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 70 kg
BMI : 31,1 kg/m2

Status Present
Tekanan darah : 135/75 mmHg
Nadi : 68 kali/menit
Respirasi : 18 kali/menit
Suhu : 36,5 oC
Skala nyeri : 2/10
CRT : <2
Saturasi Oksigen : 98% pada suhu ruang

Status General
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Ikterus -/-
Leher : JVP PR 0 cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
THT
Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-), pendengaran normal
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-/-), faring hiperemis (-)
Mulut : Gusi berdarah (-), ulkus lidah(-), papil lidah atrofi (-),
bibir pucat (-)
Thorax : Simetris saat statis dan dinamis
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi
Batas kanan jantung : parasternal line dekstra
Batas kiri jantung : mid clavicula line sinistra
Batas atas jantung : ICS II
Batas bawah jantung : ICS V
Auskultasi : S1 S2 normal, reguler, murmur (-), S3 gallop (-),
Pulmo
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus N/N, pergerakan simetris
Perkusi : Sonor, sonor, dullness/ sonor, sonor, dullness
Auskultasi : ves +++/+++, ronki - - +/ - - +, wheezing - - -/- - -
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Asites : (-)
Ekstremitas : Hangat ++/++, edema --/--

3. 4. Pemeriksaan Penunjang
EKG RSUP Sanglah (30 Juli 2019, pk 15.50)
Irama : Sinus
Rate : 90x/menit, Reguler
Aksis : normal
Gelombang P : normal
Interval PR : < 0,2 detik normal
Kompleks QRS : <0,12 detik, normal
R/S V1 :<1
SV1 + RV5 : < 35mm
Segmen ST- Glb.T : ST elevasi V1-V3, ST depresi V5-V6
Kesan : ST elevasi anteroseptal

Foto Thorax AP RS Siloam (30/07/2019 pukul 12:23 WITA)

Cor : membesar, CTR = 52%, kalsifikasi aortic knob (-)


Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul, corakan bronkovaskuler normal
Sinus pleura : kanan kiri tajam
Diaphragma : kanan kiri normal
Tulang : tidak tampak kelainan
Kesan:
Cardiomegali, pulmo tak tampak kelainan

Pemeriksaan Laboratorium
 Darah Lengkap (30/07/2019 pukul 12.00 WITA di RS Siloam)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Hematologi
WBC 14,77 103L 4,1 – 11,0 Tinggi
RBC 4,53 106L 4,5 – 5,9
HGB 11,30 g/dL 13,5 – 17,5 Rendah
HCT 35,5 % 36,0 – 46,0 Rendah
PLT 425 103L 150– 400 Tinggi
Ne 13,22 103L 2.50-7.50 Tinggi

 Kimia Darah (30/07/2019 pukul 12.00 WITA di RS Siloam)


Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
Hematologi
AST/SGOT 145,4 U/L 11.0 - 33.0 Tinggi
ALT/SGPT 40,3 U/L 11.0 - 34.0 Tinggi
Blood Ureum 67,90 mg/dL 16.6 – 48.5 Tinggi
Kreatinin 0,94 mg/dL 0.51 – 0.95
Natrium 140 mmol/L 136 – 145
Kalium 2,87 g/dL 3.50-5.10 Rendah
Glukosa Darah 560 mg/dL >=200 Tinggi
(Sewaktu)
 Analisa Gas Darah (30 Juli 2019, 12.00 WITA di RS Siloam)
Parameter Hasil Nilai rujukan
pH 7.436 7.35 – 7.45

 HbA1c (30 Juli 2019, 12.00 WITA di RS Siloam)


Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan Keterangan
HbA1c 10,4 Mg/dL 4,8-5,9 mg/dL Tinggi

 Cardiac Marker (30 Juli 2019, 12.00 WITA di RS Siloam)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan


Troponin T 1990 ng/ml <50=negative; 50-100 = low
>100 = AMI;
>2000 = massive AMI
CKMB mass 80 ng/ml <5,1

 Kolesterol (31 Juli 2019, 03:19 WITA di RSUP Sanglah)


Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan Keterangan
Kolesterol Total 211 mg/ml 140 - 199 Tinggi
Kolesterol LDL 169 mg/ml <130 Tinggi
Kolesterol HDL 40 mg/ml 40 – 65
Trigliserida 148 mg/ml <150

 Faal Hemostasis (2 Agustus 2019, 00:18 WITA di RSUP Sanglah)


Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan Keterangan
PPT 13,7 Detik 10.8 – 14.4
INR 1,11 0.9 – 1.1
APTT 38,2 Detik 24-36 Tinggi

3. 5. Diagnosis
STEMI Anteroseptal Killip II
Onset > 24 jam
TIMI 7/14
EF SP 30%
Hipertensive Heart Disease
Diabetes Mellitus tipe 2
Hipokalemia

3. 6. Tatalaksana
 MRS ICCU
 Oksigen 2 lpm via nasal canule
 IVFD NaCl 0,9% 8tpm
 Asetosal 80 mg tiap 24 jam
 Clopidogrel 75mg tiap 24 jam
 Atorvastatin 20mg tiap 24 jam
 Candesartan 8 mg tiap 24 jam
 Bisoprolol 2,5 mg tiap 24 jam
 Sucralfat 15 mg tiap 8 jam’
 Diazepam 5 mg tiap 24 jam
 Laxadine 15 cc tiap 8 jam
 KSR 600 mg tiap 8 jam
 Ivabradin 5 mg tiap 24 jam
 Spironolakton 25 mg tiap 24 jam
 Drip heparin 1000 cc/jam
 Ranitidin 30 mg tiap 12 jam
 Furosemide 20 mg tiap 8 jam
 Konsul TS interna

3. 7. Monitoring
 Vital Sign
 Keluhan
 EKG
 Urine Output

3. 8. Prognosis
 Ad vitam : dubius ad bonam
 Ad functionam : dubius ad bonam
 Ad sanationam : dubius ad bonam
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management.


Mayo Clin Proc. 2009;84(10):917–38.
2. Mathers, C. D., & Loncar, D. Updated projections of global mortality and burden
of disease, 2002-2030: data sources, methods and results. Geneva: World Health
Organization. 2005.
3. Roth, G. A., Johnson, C., Abajobir, A., Abd-Allah, F., Abera, S. F., Abyu, G. &
Alla, F. Global, regional, and national burden of cardiovascular diseases for 10
causes, 1990 to 2015. Journal of the American College of Cardiology.
2017:70(1), 1-25.
4. Huma S, Tariq R, Amin Dr. F, Mahmood Dr. KT. Modifiable and non-modifiable
predisposing risk factors of myocardial infarction -A review. J Pharm Sci Res.
2012;4(1):1649–53.
5. PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut pada
Penyakit Kardiovaskular, edisi ketiga., Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, Jakarta.
6. Smith JN, Negrelli JM, Manek MB, Hawes EM, Viera AJ. Diagnosis and
Management of Acute Coronary Syndrome: An Evidence-Based Update.
JABFM. 2015;28(2):283-293.
7. Rajpurohit N, Ayaz S, Yee J, Khan M, Stys A. Review of Acute
Coronary Syndromes: Diagnosis and Management of Unstable Angina
And Non ST-elevation Myocardial Infarction By. J South Dakota State
Med Assoc. 2015;68(February):71.
8. Lestari AAW, Yasa IWPS. Hubungan kadar troponin t (TnT) dan
creatinin kinasemyocardial band (CK-MB) pada pasien infark miokard
akut (IMA) di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar. E-
Jurnal Medika. 2018;7(1):43 – 48.
9. Morrow, D. A., Antman, E. M., Charlesworth, A., Cairns, R., Murphy, S. A., de
Lemos, J. A., Braunwald, E. TIMI risk score for ST-elevation myocardial
infarction: a convenient, bedside, clinical score for risk assessment at
presentation: an intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early II
trial substudy. Circulation. 2000;102(17):2031-2037.

Anda mungkin juga menyukai