Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
 Nama : Ny. E
 Jenis kelamin : Perempuan
 Tanggal lahir : 12 Januari 1966
 Umur : 52 tahun
 Agama : Islam
 No. MR : 10-70-53
 Tanggal pemeriksaan : 19 November 2018

ANAMNESIS
 Keluhan utama : Benjolan di leher kiri
 Anamnesis terpimpin :
Pasien datang ke poliklinik penyakit dalam RSUD Blambangan
dengan keluhan benjolan di leher kiri yang membesar. Benjolan muncul sejak
±15 tahun yang lalu, awalnya sebesar bola pingpong, semakin lama semakin
membesar. Benjolan sekarang sebesar bola kasti. Benjolan tidak terasa nyeri,
tidak membuat pasien kesulitan bernafas atau menelan. Keluhan lain seperti
berdebar-debar, gugup, mudah berkeringat, rambut rontok, nafsu makan
berlebih, penurunan berat badan, tidak tahan panas, perubahan mood
disangkal. Namun, pasien merasakan dirinya menjadi lebih cepat lelah pada
setengah tahun terakhir ini.
Riwayat buang air besar dan kecil normal. Riwayat keluarga
mengalami keluhan yang sama disangkal. Riwayat pengobatan sebelumnya,
pada tahun 2008 dilakukan USG di Jakarta, namun pasien tidak mengingat
hasilnya dan tidak mendapat terapi lanjutan dikarenakan saat itu pasien
berpindah tempat tinggal. Lalu pasien kembali memeriksakan benjolan di
lehernya di RSU Muhammadiyah pada tahun 2013 dan dilakukan
pemeriksaan USG juga disarankan untuk operasi namun pasien memilih
untuk terapi dengan obat makan dulu. Pasien tidak mengingat nama obatnya
dan hanya berobat satu kali itu saja. Pada tahun 2018, bulan Juli pasien

1
memeriksakan kembali benjolannya di RSUD Blambangan dan mendapat
terapi obat makan thyrozol 2x5mg, propanolol 2x20mg, dan vit B1/B6/B12
2x1tab. Pasien berobat rutin selama 2 bulan, lalu berhenti kontrol dan
berhenti minum obat selama 1 bulan (September), lalu kembali kontrol lagi
pada bulan Oktober sampai sekarang.
 Riwayat penyakit dahulu :
• Riwayat pembesaran tiroid (+) sejak tahun 2008, tidak rutin berobat
• Riwayat hipertensi disangkal
• Riwayat DM disangkal
• Riwayat alergi disangkal
• Riwayat radiasi pada masa kanak-kanak disangkal
 Riwayat penyakit keluarga :
• Tidak ada riwayat penyakit keluarga
 Riwayat sosial-ekonomi :
• Pasien seorang penjual kue
• Tidak ada riwayat konsumsi alkohol
• Riwayat merokok tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : cukup
Tanda vital
• Tekanan darah : 140/90 mmHg
• Nadi : 106 x /menit, reguler, kuat angkat
• Pernapasan : 18 x/menit, tipe thorakoabdominal
• Suhu : 36,6 0C
Kepala
• Simetris muka : Simetris kiri dan kanan
• Deformitas : Tidak ada
• Rambut : Hitam, rontok (-)
Mata
• Eksoptalmus/Enoptalmus : (-/-)
• Gerakan : Dalam batas normal

2
• Tekanan bola mata : Dalam batas normal
• Kelopak mata : Edema palpebral (-/-)
• Konjungtiva : Anemis (-/-)
• Sklera : Ikterus (-/-)
• Kornea : Jernih
• Pupil : Bulat, isokor, 3mm/3mm
Telinga
• Tophi : (-/-)
• Pendengaran : Dalam batas normal
Hidung
• Perdarahan : (-/-)
• Sekret : (-/-)
Mulut
• Bibir : Pucat (-), kering (-)
• Gigi geligi : Karies (-)
• Gusi : Perdarahan (-)
• Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
• Faring : Hiperemis (-)
• Lidah : Kotor (-), hiperemis (-)
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok
• Inspeksi : Tampak massa menonjol di regio cervicalis
anterior sinistra, permukaan rata, asimetris, warna
seperti kulit sekitar, massa sebesar bola kasti, tidak
tampak adanya deviasi trakea
• Palpasi : Teraba massa konsistensi padat, permukaan rata,
berbatas tegas, nyeri tekan (-), massa ikut bergerak
saat menelan, berdiameter 7 cm
• Auskultasi : Bruit (-)

3
Kaku kuduk : Tidak ada (-)
Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
• Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal
• Auskultasi : S I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Paru-paru
• Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
• Palpasi : Stem fremitus sama kuat
• Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
• Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+, rhonki -/-. w heezing -/-
Abdomen
• Inspeksi : Cembung
• Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
• Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa tumor (-),
hepar tidak teraba, lien tidak teraba
• Perkusi : Timpani, undulasi (-), asites (-)
Punggung : Tidak diperiksa
Alat Kelamin, Anus dan Rektum : Tidak diperiksa

4
Extremitas
• Akral hangat : +/+/+/+
• Pitting edema : -/-/-/-
• Fine tremor (tangan) : +/+

PENILAIAN TIROID
Indeks Wayne
9 = eutiroid toxic
Indeks New castle
78 = definitif hipertiroid
Kriteria Burch-Wartofsky
10 = thyroid storm unlikely

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan Satuan
10/08 17/11
TSH < 0,05 < 0,05 0,25 – 5 µIU/mL

FT4 48,53 10,6 – 19,4 pmol/L

ASSESSMENT
Hipertiroid e.c Struma Nodusa Toksik

PLANNING
• Thyrozol 2x5mg
• Propanolol 3x20mg
• USG tiroid
• Rontgen thoraks
• Follow up kadar TSH, FT4 setiap 3 bulan

5
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertiroid merupakan sindroma klinik akibat pemaparan jaringan


terhadap hormon tiroid yang berlebihan. Penyakit tiroid adalah salah satu penyakit
yang banyak ditemui di masyarakat, yaitu sebanyak 5% pada pria dan 15% pada
wanita. Penyakit Graves di Amerika sekitar 1% dan di Inggris 20-27/1000 wanita
dan 1.5-2.5/1000 pria, sering ditemui di usia kurang dari 40 tahun
(Djokomoeljanto, 2010). Di Indonesia, angka hipertiroid yang terdiagnosis oleh
dokter sebesar 0,4%. Prevalensi hipertiroid tertinggi di Indonesia yaitu di
Yogyakarta dan Jakarta (masing-masing 0,7%), Jawa Timur (0,6%), dan Jawa
Barat (0,5%).
Kelenjar tiroid merupakan organ yang terletak di leher dan memproduksi
hormon yang mengontrol metabolisme, bernapas, denyut jantung, sistem saraf,
berat badan, suhu tubuh, dan banyak fungsi lain dari tubuh. Ketika kelenjar tiroid
bersifat overaktif, metabolisme tubuh dapat berubah secara signifikan dan dapat
menyebabkan penderita mengalami kecemasan, palpitasi, tremor, berkeringat
berlebihan, kehilangan berat badan, gangguan tidur, dan banyak gejala lainnya
(Aleppo, 2015).
“Hipertiroidisme” sering disamakan dengan tirotoksikosis, meskipun
berbeda secara prinsip. Hiperfungsi kelenjar tiroid dan sekresi berlebihan dari
hormon tiroid dalam sirkulasi disebut hipertiroidisme. Pada tirotoksikosis
disebabkan oleh etiologi yang berbeda, bukan hanya yang berasal dari kelenjar
tiroid. Adapun hipertiroidisme subklinis, secara definisi diartikan kasus dengan
kadar hormon normal tetapi TSH rendah. Di kawasan Asia dikatakan prevalensi
lebih tinggi dibanding yang non Asia (12% versus 2.5%) (Djokomoeljanto, 2010).
Penyakit Graves merupakan penyebab utama dan tersering tirotoksikosis (80-
90%), sedangkan yang disebabkan karena tiroiditis (15%) karena toxic nodular
goiter. Prevalensi penyakit Graves bervariasi dalam populasi bergantung pada
intake iodium. Penyakit Graves terjadi pada 2% wanita dan hanya
sepersepuluhnya pada pria. Kelainan ini banyak terjadi antara usia 20-50 tahun,
namun dapat juga pada usia yang lebih tua (Fauci, 2008).

6
Hipertiroidisme sering ditandai dengan produksi hormon T3 dan T4 yang
meningkat. Status tiroid lebih tepat ditentukan oleh kecukupan sel atas hormon
tiroid dan bukan kadar ‘normal’ hormon tiroid dalam darah. Hormon yang aktif
adalah free hormone (Djokomoeljanto, 2010).

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Menurut American Thyroid Association dan American Association of Clinical
Endocrinologists tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid
yang beredar dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang
diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid
terjadi karena adanya peningkatan hormon tiroid dalam darah dan biasanya
berkaitan dengan keadaan klinis tirotoksikosis (ATA, 2011). Efek ini disebabkan
ikatan T3 dengan reseptor T3-inti yang makin penuh. Rangsang TSH atau TSH-
like substance (TSI, TSAb), autonomi intrinsik kelenjar menyebabkan tiroid
meningkat, terlihat dari radiocative neck-uptake naik (Djokomoeljanto, 2010).

B. ETIOLOGI & KLASIFIKASI


Penyebab hipertiroid diklasifikasi berdasarkan pusat penyebab dari
hipertiroid, yaitu organ yang paling berperan (Djokomoeljanto, 2010) (Harrison,
2012)

a. Hipertiroid primer : jika terjadi hipertiroid karena berasal dari kelenjar tiroid
itu sendiri, misalnya penyakit graves, hiperfungsional adenoma (plummer),
toxic multinodular goiter
b. Hipertiroid sekunder : jika penyebab dari hipertiroid berasal dari luar kelenjar
tiroid, misalnya tumor hipofisis/hipotalamus, pemberian hormon tiroid dalam
jumlah banyak, pemasukan yodium yang berlebihan, serta penyakit mola
hidatidosa pada wanita
c. Tidak berkaitan dengan hipertiroidisme: tiroiditis granulomatosa subakut
(nyeri), tiroiditis limfositik subakut (tidak nyeri), struma ovarii (teratoma
ovarium dengan tiroid ektopik) dan tirotoksikosis palsu (asupan tiroksin
eksogen)

Penyebab Tirotoksikosis
Hipertiroidisme Primer Tirotoksikosis tanpa Hipertiroidisme

8
Hipertiroidisme Sekunder
 Penyakit Graves  Hormon tiroid berlebih  TSH-secreting
 Struma multinodular (tirotoksikosis tumor chGH
toksik faktisia) secreting tumor
 Adenoma toksik  Tiroiditis subakut  Tirotoksikosis
 Obat: yodium lebih,  Silent thyroiditis gestasi (trimester I)
lithium  Destruksi kelenjar :  Resistensi hormon
 Karsinoma tiroid yang amiodaron,radiasi, tiroid
berfungsi adenoma, infark
 Struma ovarii
(ektopik)
 Mutasi TSH-r

C. PATOGENESIS
Aktivitas utama kelenjar tiroid adalah untuk mengkonversi iodium darah
untuk membuat hormon tiroid. Kelenjar tersebut tidak dapat membuat hormon
tiroid dalam jumlah cukup jika tidak memiliki cukup iodium. Akibatnya tingkat
hormon tiroid terlalu rendah, sehingga tiroid akan mengirim sinyal ke hipotalamus
dan hipofisis. Sinyal tersebut akan direspon hipofisis dengan meningkatkan
produksi Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Hormon ini merangsang tiroid
untuk menghasilkan hormon tiroid sedangkan bahan baku yang tidak tersedia
menyebabkan kelenjar tiroid tumbuh dalam ukuran yang besar. Pertumbuhan
abnormal ini disebabkan peningkatan cellularity dan hiperplasia kelenjar tiroid
dalam upaya untuk menormalkan kembali kadar hormon tiroid. Jika proses ini
berkelanjutan maka akan mengakibatkan gondok (De Jong, 2004).
Normalnya, sekresi hormon tiroid diatur oleh mekanisme kompleks feedback
yang melibatkan faktor stimulator dan inhibitor. TRH dari hipotalamus
menstimulasi hipofisis untuk melepaskan TSH. Pengikatan TSH terhadap reseptor
pada kelenjar tiroid dapat menyebabkan pelepasan hormon tiroid, terutama T4 dan
sedikit T3. Sebaliknya, peningkatan level dari hormon ini dapat berperan pada
hipotalamus untuk menurunkan sekresi TRH. Sintesis hormon tiroid
membutuhkan iodin. Iodida inorganik yang didapat dari diet ditranspor ke kelenjar
tiroid oleh enzim tiroid peroxidase melalui proses yang disebut organifikasi.
Hasilnya adalah terbentuknya monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT),
yang dipasangkan membentuk T3 dan T4, yang kemudian disimpan dengan
tiroglobulin dalam lumen folikel tiroid (Lee, 2014).

9
Hormon tiroid tersebar ke sirkulasi perifer. Lebih dari 99,9% T4 dan T3 di
sirkulasi perifer diikat ke protein plasma dan sifatnya inaktif. T3 bebas 20-100
kali lebih aktif dari T4 bebas. T3 bebas terikat terhadap reseptor nuclear (DNA-
binding protein di sel nuclei), mengatur transkripsi dari protein seluler (Lee,
2014).
Banyak proses yang menyebabkan peningkatan sirkulasi perifer dari
hormon tiroid yang menyebabkan tirotoksikosis. Gangguan dari mekanisme
homeostatik normal dapat terjadi pada level kelenjar hipofisis, kelenjar tiroid, atau
di perifer. Hasilnya peningkatan transkripsi di protein seluler, menyebabkan
peningkatan BMR. Gejala dari hipertiroid dapat menyebabkan berlebihannya
katekolamin, dan blokade adrenergik dapat meningkatkan gejala-gejala ini (Lee,
2014).
Pemasukan iodium yang kurang, gangguan berbagai enzim dalam tubuh,
hiposekresi TSH, glukosil goitrogenik (bahan yang dapat menekan sekresi
hormon tiroid), gangguan pada kelenjar tiroid sendiri serta faktor pengikat dalam
plasma sangat menentukan adekuat tidaknya sekresi hormon tiroid. Bila kadar-
kadar hormon tiroid kurang maka akan terjadi mekanisme umpan balik terhadap
kelenjar tiroid sehingga aktvitas kelenjar meningkat dan terjadi pembesaran
(Lewindski, 2002).

D. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
D.1 Pemeriksaan fisik
 Inspeksi
- Minta pasien untuk duduk tegak dengan dagu agak diangkat, perhatikan
struktur di bagian bawah-depan leher. Kelenjar tiroid normal biasanya
tidak dapat dilihat dengan cara inspeksi, kecuali pada orang yang amat
kurus
- Amati tulang hyoid, kartilago tiroid (Adam’s apple) dan kartilago
krikoid, serta trakea di bawahnya
- Lakukan inspeksi pada trakea ada atau tidaknya deviasi. Tempatkan jari
pemeriksa pada salah satu sisi dari trakea (ruang antara trakea dan m.
sternocleidomastoid)
- Lakukan pada sisi yang lain dan bandingkan simetris atau tidak

10
- Beri pasien minum, hanya dikulum, lalu pasien menengadah ke atas lalu
suruh menelan air. Perhatikan kelenjar tiroid bergerak ke atas saat
menelan air
- Amati leher dan lakukan penilaian kontur, simetris atau tidaknya
kelenjar tiroid
 Palpasi (dari depan)
- Meminta pasien untuk mengangkat kepala tapi jangan sampai m.
sternocleidomastoid tegang
- Raba isthmus tiroid (di bawah kartilago krikoid) dengan jari telunjuk
dan jari tengah
- Minta pasien untuk menelan, rasakan isthmus tiroid yang lunak
terangkat ke atas menyentuh di bawah jari telunjuk
- Geser jari-jari ke lateral sampai batas anterior m. sternocleidomastoid
- Menilai lobus lateral, sebelum dan saat pasien menelan
 Palpasi (dari belakang)
- Dari belakang pasien, tempatkan jari-jari pemeriksa pada permukaan
anterior tiroid dan lakukan perabaan
- Meminta pasien menegakkan kepala (ekstensi ringan)
- Tempatkan ibu jari pada tengkuk pasien, temukan kartilago krikoid dan
raba isthmus tiroid di bawah kartilago krikoid
- Meminta pasien untuk menelan
- Geser jari-jari ke arah lateral dan nilai lobus lateral saat menelan
- Meminta pasien untuk fleksi ringan dan miring ke kanan
- Dorong kartilago tiroid ke kanan dengan jari-jari kiri
- Tempatkan ibu jari kanan di belakang m. sternocleidomastoid dan raba
kelenjar tiroid dengan jari telunjuk dan tengah
- Minta pasien untuk menelan

 Auskultasi
Bila kelenjar tiroid membesar, lakukan auskultasi pada lobus lateral
kelenjar tiroid untuk mendengarkan bruit.
Sekitar 50% pasien dengan Grave tirotoksikosis memiliki oftalmopati
ringan, sering hanya bermanifestasi sebagai periorbital edema, tapi juga dapat
jadi edema konjungtiva (chemosis), extraocular muscle dysfunction
(diplopia), dan proptosis. Bukti adanya thyroid eye disease dan tingginya
hormon tiroid mengkonfirmasi diagnosis Grave’s disease.

11
Gambar. Grave opthalmopathy (Lee, 2014)
Pada kasus yang jarang, Grave disease dapat mempengaruhi kulit dengan
adanya deposisi glikosaminoglikan di dermis pada kaki bawah. Hal ini
menyebabkan non-pitting edema, yang biasanya berhubungan dengan eritema
dan penebalan kulit tanpa nyeri.

Gambar. Pretibial myxedema (Lee, 2014)

D.2 Evaluasi klinis


Diagnosis hipertiroid dengan berdasarkan tanda dan gejala klinis dapat
ditegakkan dengan penilaian indeks Wayne dan New Castle. Sedangkan untuk
ntuk menilai thyroid storm dapat digunakan kriteria Bruch-Wartofsky.
Tabel. Indeks Wayne

12
Tabel. Indeks New Castle
Interpretasi hasil:
Parameter Present Score
(-11) – (+23) = eutiroid
Age of onset 15-24 (+24) – (+39) = prob.
25-34
35-44 hipertiroid
45-54 (40) – (+88) = def. hipertiroid
>55
Psycological Yes -5
presipitation No 0
Frequent checking Yes -3
No 0
Severe anticipatory Yes -3
anxiety No 0
Increased appetite Yes +5
No 0
Goiter Yes +3
No 0
Thyroid bruit Yes +18
No 0
Exophtlamus Yes +9
No 0
Lid retraction Yes +2
No 0
Fine tremor Yes +7
No 0
Pulse >90 +16
80-90 +8
<80 0

13
Tabel. Kriteria Diagnostik Burch-Wartofsky

D.3 Pemeriksaan laboratorium


 Serum TSH
Pengukuran serum TSH memiliki sensitivitas dan spesifitas tertinggi dari
tes darah tunggal. Tes ini digunakan sebagai tes skrining yang penting

14
untuk hipertiroid. Pada keadaan hipertiroid, serum TSH akan lebih
rendah dari 0,1 mU/L atau bahkan tidak terdeteksi (Paz-Pacheco, 2012).
 Kadar T3 dan T4
Untuk menilai keparahan dari kondisi dan meningkatkan akurasi
diagnostik, baik TSH dan free T4 harus dinilai pada saat evaluasi awal.
Pada hipertiroid biasanya serum free T3 dan free T4 meningkat. Pada
hipertiroid yang lebih ringan, serum T4 dan free T4 mungkin normal,
hanya serum T3 yang mungkin naik, dan serum TSH akan kurang dari
0,01 mU/L disebut T3 tirotoksikosis (Paz-Pacheco, 2012).
Kadar T4 total selama kehamilan normal dapat meningkat karena
peningkatan kadar TBG oleh pengaruh estrogen. Peningkatan kadar T4
total di atas 190 nmol/L (15 ug/dL) menegakkan diagnosis hipertiroid
(Siraj, 2008).

Gambar. Algoritma diagnosis (Harrison, 2012)

15
Gambar. Algoritma diagnosis (Reid, 2008)
Kelainan hormon tiroid umumnya disebabkan oleh gangguan di dalam
kelenjar tiroid itu sendiri dan jarang disebabkan oleh gangguan pada
hipotalamus atau hipofisis anterior. Pemeriksaan dasar yang sebaiknya
dilakukan adalah pengukuran free T3 (FT3) dan free T4 (FT4). Kadar FT3
dan FT4 lebih bermanfaat dibanding mengukur kadar T3 dan T4. Kadar T3
dan T4 dipengaruhi oleh thyroxine binding globuline (TBG). Kadar T3 dan
T4 total meningkat jika kadar TBG meningkat, begitu pun sebaliknya. Kadar
FT3 dan FT4 tidak dipengaruhi oleh kadar TBG. Kadar TBG meningkat pada
kehamilan, hepatitis, dan terapi estrogen (HRT, pil kontrasepsi oral). Kadar
TBG dapat menurun pada keadaan sindrom nefrotik dan malnutrisi
(kehilangan protein), konsumsi obat-obatan (misalnya androgen,
kortikosteroid, fenitoin), penyakit hati kronik, dan akromegali (Longmore,
2012).
Selain pemeriksaan kadar FT3 dan FT4, perlu dilakukan pemeriksaan
kadar TSH. Pemeriksaan kadar TSH bermanfaat untuk setiap kecurigaan
hipertiroidisme. Dalam hipertiroid semua akan menyebabkan TSH menurun,

16
kecuali dalam fenomena yang langka, yaitu terjadinya adenoma hipofisis
penyekresi TSH. Kebanyakan mengalami peningkatan T4, tetapi hanya
kurang dari 1% dari kasus yang hanya mengalami peningkatan T3
(Longmore, 2012).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
E.1 Radionuclide imaging
Kedua iodium 123 (123i) dan iodium 131 (131I) digunakan untuk
menggambarkan kelenjar tiroid. 123i memancarkan radiasi berdosis rendah,
memiliki sebuah waktu paruh dari 12-14 jam, dan digunakan untuk
menggambarkan tiroid lingual atau gondok. Sebaliknya, 131I memiliki paruh
waktu 8-10 hari dan mengarah ke paparan radiasi dengan dosis tinggi. Oleh
karena itu, isotop ini digunakan untuk menyeleksi dan mengobati pasien
dengan kanker tiroid yang berdiferensiasi untuk penyakit metastasis. Gambar
yang diperoleh oleh studi ini tidak hanya memberikan informasi tentang
ukuran dan bentuk kelenjar, tetapi juga aktivitas distribusi fungsional. Daerah
yang kurang menangkap radioaktivitas dari kelenjar sekitarnya disebut cold,
sedangkan daerah yang menunjukkan peningkatan aktivitas yang disebut hot.
Risiko keganasan lebih tinggi pada lesi “cold” (20%) dibandingkan dengan
lesi "hot" atau "warm" (<5%). Technetium Tc 99m pertechnetate (99mTc)
diserap oleh kelenjar tiroid dan semakin sering digunakan untuk evaluasi
tiroid. Isotop ini diserap oleh mitokondria, tetapi tidak organified. Hal ini juga
memiliki keuntungan yakni memiliki waktu paruh yang lebih pendek dan
meminimalkan paparan radiasi. Hal ini sangat sensitif untuk metastasis
18
kelenjar. Baru-baru ini, F-fluorodeoxyglucose positron emission
tomography (PET FDG) sedang semakin sering digunakan untuk screening
metastasis pada pasien dengan kanker tiroid yang pada studi pencitraan lain
hailnya negatif. PET scan tidak secara rutin digunakan dalam evaluasi nodul
tiroid. Terdapat beberapa laporan terbaru mengenai tingkat keganasan pada
lesi ini berkisar antara 14 sampai 63%. Nodul yang ditemukan secara
kebetulan ini ditemukan harus diperiksa dengan USG dan aspirasi biopsi
jarum halus (FNAB) (Bruncardi, 2014).
E.2 Ultrasonografi (USG)

17
USG adalah studi pencitraan noninvasif baik dan portabel dari kelenjar
tiroid dengan keuntungan tambahan dari tidak adanya paparan radiasi. Hal ini
membantu dalam evaluasi nodul tiroid, membedakan nodul solid dan yang
kistik, dan memberikan informasi tentang ukuran dan multicentricity. USG
juga dapat digunakan untuk menilai limfadenopati servikal dan untuk
menuntun FNAB (Bruncardi, 2014).
E.3 Computed Tomography / Magnetic Resonance Imaging
Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
memberikan pencitraan yang amat baik dari kelenjar tiroid dan kelenjar yang
berdekatan, dan sangat berguna dalam mengevaluasi ukuran, terfiksir, atau
gondok substernal (yang tidak dapat dievaluasi oleh USG) dan hubungan
mereka dengan saluran napas dan struktur vaskular. Non-contrast CT scan
harus dilakukan pada pasien yang cenderung membutuhkan terapi RAI
berkelanjutan. Jika kontras diperlukan, terapi harus ditunda selama beberapa
bulan. Gabungan PET-CT scan semakin sering digunakan untuk Tg-positif,
tumor radioaktif iodium-negatif (Bruncardi, 2014).
E.4 Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
Pada Grave’s disease, FNAB sangat diperlukan jika ditemukan nodul
pada tiroid untuk membedakan nodul jinak dan ganas (Paz-Pacheco, 2012).

F. DIAGNOSIS BANDING
F.1 Grave’s disease
Grave’s disease adalah penyebab terbanyak dari hipertiroid, sekitar 60-
80% dari semua kasus. Grave’s disease adalah suatu penyakit autoimun di
mana terdapat suatu antibodi thyroid stimulating immunoglobulin (TSI
antibodies) yang merangsang kelenjar tiroid untuk mensintesis dan
mensekresi hormon tiroid secara berlebihan (Reid, 2008). Hasilnya adalah
produksi yang berlebihan dari T3 dan T4, pembesaran kelenjar tiroid, dan
peningkatan uptake iodida. Pada kondisi ini kelenjar tiroid kehilangan
kemampuan untuk merespon kontrol dari hipofisis melalui TSH. Yang dapat
memicu Grave’s disease antara lain stress, merokok, radiasi pada leher, obat-
obatan, dan agen infeksius (Lights, 2015).
Oftalmopati merupakan manifestasi pertama dari penyakit ini dan
gejalanya mulai dari perubahan tajam penglihatan atau mata kering hingga

18
proptosis yang jelas. Selain itu pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
myxedema pada regio pretibial. Pada awalnya Grave opthalmopathy
menyebabkan sensitif mata terhadap cahaya (fotofobia) dan rasa berpasir
pada mata, kemudian mata menonjol dan penglihatan jadi ganda (Bruncardi,
2014). Seperti penyakit autoimun lainnya, kondisi ini cenderung menyerang
beberapa anggota keluarga. Grave’s disease lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria, dan lebih cenderung terjadi pada pasien yang lebih muda.
F.2 Toxic multinodular goiter
Toxic multinodular goiter menyebabkan 5% kasus hipertiroid di Amerika
Serikat dan dapat menjadi 10 kali lipat lebih sering pada daerah yang
kekurangan iodin. Biasanya terjadi pada pasien lebih dari 40 tahun (Reid,
2008). Gangguan ini dapat mempengaruhi irama jantung. Ketika ada nodul
tunggal yang memproduksi hormon tiroid, disebut functioning adenoma. Jika
lebih dari satu nodul disebut toxic multinoduler goiter. Terbentuknya folikel
baru memakan waktu yang cukup lama, sehingga hipertiroid terjadi pada usia
lanjut, terutama pada mereka dengan struma yang sudah lama. Folikel baru
yang tumbuh adalah yang panas (hot folicles) yang dapat meningkatkan
produksi hormon, sehingga sekresi TSH menurun, yang mengakibatkan
produksi hormon dari folikel panas. Hipertiroid pada struma multinoduler
biasanya ringan (subclinical hypertyroidism) dan akan hilang setelah operasi.
F.3 Toxic adenoma
Toxic adenoma nodul autonomik yang ditemukan lebih banyak pada usia
muda dan daerah kekurangan iodin. Satu nodul atau benjolan pada tiroid
dapat memproduksi hormon tiroid lebih, sehingga dapat menyebabkan
hipertiroid. Gangguan ini tidak diturunkan. Pembesaran noduler terjadi pada
usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati,
dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari Grave’s
disease oleh Plummer, sehingga disebut juga Plummer’s disease (Bruncardi,
2014). Di Inggris, adenoma toksik hanya kira-kira 5 % dari hipertiroid dan
lebih banyak pada wanita. Gejala-gejala berupa berat badan turun,
kelemahan, sesak nafas, palpitasi, takikardi dan tidak tahan panas. Gejala
mata hampir tidak pernah ditemukan.

19
F.4 Simple goiter
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi
struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik
disebabkan oleh kekurangan iodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai
simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di
daerah yang air minumnya kurang sekali mengandung iodium dan goitrogen
yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-
tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak
mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme,
penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan
keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu
penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak
disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi iodium urin. Dalam keadaan
seimbang maka iodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes
RI adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 % - < 20 %, endemik
sedang 20 % - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.
F.5 Karsinoma tiroid
Kecurigaan klinis adanya karsinoma tiroid didasarkan pada observasi yang
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan patologis dan dibagi dalam kecurigaan
tinggi, sedang dan rendah. Yang termasuk kecurigaan tinggi adalah:
- Riwayat neoplasma endokrin multipel dalam keluarga
- Pertumbuhan tumor cepat
- Nodul teraba keras
- Fiksasi daerah sekitar
- Paralisis pita suara

20
- Pembesaran kelenjar limpa regional
- Adanya metastasis jauh
Kecurigaan sedang adalah:
- Usia < 20 tahun atau > 60 tahun
- Riwayat radiasi leher
- Jenis kelamin pria dengan nodul soliter
- Tidak jelas adanya fiksasi daerah sekitar
- Diameter lebih besar dari 4 cm dan kistik
Kecurigaan rendah adalah: tanda atau gejala selain yang disebutkan diatas

G. PENATALAKSANAAN
G.1 Tirostatika (OAT- Obat Anti Tiroid) (Djokomoeljanto, 2010).
Kelompok obat Efeknya Indikasi
Obat anti tiroid
Menghambat sintesis hormon Pengobatan lini
Propiltiourasil (PTU)
tiroid dan berefek pertama pada
Metimazol (MMI)
imunosupresif (PTU) juga Graves. Obat jangka
Karbimazol
menghambat konversi pendek prabedah /
(CMZMMI)
T4 T3 pra RA1
Anatagonis adrenergik – β
β adrenergic antagonis
Obat tambahan
Propranolol
Mengurangi dampak hormon kadang sebagai obat
Metoprolol
tiroid pada jaringan tunggal pada
Atenolol
tiroiditis
Nadolol
Bahan mengandung
iodine Menghambat keluarnya T4 Persiapan
Kalium iodide dan T3. tiroidektomi.
Solusi Lugol Menghambat T4 dan T3 serta Bukan untuk
Natrium ipodat Produksi T3 ekstratiroidal penggunaan rutin
Asam iopanoat
Menghabat transpor iodium Bukan indikasi
Obat lainnya
sintesis dan keluarnya rutin.
Kalium perklorat
hormon. Pada sub-akut
Litium karbonat
Memperbaiki efek hormon di tiroiditis berat dan
Glukokortikoids
jaringan dan sifat imunologis krisis tiroid
G.2 Tiroidektomi
Prinsip umum: operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien eutiroid,
klinis maupun biokimiawi. Plumerisasi diberikan 3 kali 5 tetes solusio lugol

21
fortior 7-10 jam preoperatif, bertujuan menginduksi involusi dan mengurangi
vaskularitas tiroid. Operasi dilakukan dengan tiroidektomi subtotal dupleks
menyisakan jaringan seujung ibu jari, atau lobektomi total termasuk istmus
dan tiroidetomi subtotal lobus lain. Komplikasi masih dapat terjadi di tangan
ahli sekalipun, meskipun mortalitas rendah. Hipoparatiroidisme dapat
permanen atau sepintas. Setiap pasien paska operasi perlu dipantau apakah
terjadi remisi, hipotiroidisme atau residif. Operasi yang tidak dipersiapkan
dengan baik membawa risiko terjadinya krisis tiroid dengan mortalitas sangat
tinggi (Djokomoeljanto, 2010).
G.3 Iodium radioaktif (radio active iodium – RAI)
Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien disiapkan dengan OAT
menjadi eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi hasil akhir
pengobatan RAI. Dosis Rai berbeda: ada yang bertahap untuk membuat
eutiroid tanpa hipotiroidisme, ada yang langsung dengan dosis besar untuk
mencapai hipotiroidisme kemudian ditambah tiroksin sebagai substitusi.
Kekhawatiran bahwa radiasi menyebabkan karsinoma atau leukemia, tidak
terbukti. Dan satu-satunya kontra indikasi ialah graviditas. Komplikasi ringan,
kadang terjadi tiroiditis sepintas. Delapan puluh persen pasien penyakit Grave
diterapi radioaktif, 70% sebagai pilihan pertama dan 10% karena gagal dengan
cara lain. Mengenai efek terhadap oftalmopati dikatakan masih kontroversial.
Meskipun radioterapi berhasil, pasien tetap harus kontrol rutin dikarenakan
harus dipantau efek jangka panjang dari radioaktif yaitu hipotiroidisme. Pasien
dianjurkan untuk tidak hamil selama 6 bulan paska radiasi. Setiap kasus RAI
perlu dipantau kapan terjadinya hipotiroidisme (dengan TSH dan klinis)
(Djokomoeljanto, 2010).

Tabel. Perbandingan Berbagai Modalitas Terapi (Siraj, 2008)

22
H. KOMPLIKASI
H.1 Penyakit jantung tiroid (PJT)
Diagnosis ditegakkan bila terdapat tanda-tanda dekompensasi jantung (sesak,
edem, dll), kondisi hipertiroid dan pada pemeriksaan EKG maupun fisik
didapatkan adanya atrium fibrilasi. Meskipun tanpa gagal jantung, manifestasi
kardiovaskuler tirotoksikosis secara subjektif maupun objektif akan
mendominasi gejala klinis penderita. Gejala-gejala ini berupa palpitasi,
takikardi, perasaan tidak nyaman di epigastrium sebagai akibat kontraksi aorta
decenden yang berlebihan, mudah lelah, sesak nafas, gelisah, keringat yang
berlebihan dan sebagainya. Secara objektif ditemukan takikardi, nadi irreguler,
denyut nadi karotis dan aorta meningkat, apeks impuls yang kuat, pulsasi
kapiler pada ujung jari, bunyi jantung pertama yang kuat. Kadang-kadang
dijumpai murmur sistolik di daerah prekordial, berbagai gangguan irama,
atrium fibrilasi dan pembesaran jantung. Pada EKG sering ditemui gangguan
irama ataupun gangguan hantaran. Biasanya dengan sinus takikardi, atrium
fibrilasi ditemui 10-20 % kasus. Pada kasus berat bisa ditemui pembesaran
ventrikel kiri, kadang-kadang ditemui pelebaran dan pemanjangan gelombang
P dan pemanjangan PR interval, gelombang T yang prominen, peninggian
voltase, perubahan gelombang ST-T dan pemendekan interval QT. Tujuan
pengobatan penyakit jantung tiroid adalah secepatnya menurunkan keadaan
hipermetabolisme dan kadar hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi.
Hiperdinamik dan aritmia akan berespon baik terhadap penghambat beta,
propanolol bekerja cepat dan mempunyai keampuhan yang sangat besar dalam
menurunkan frekuensi jantung. Propanolol dapat diberikan sebanyak 40-
160mg dengan dosis terbagi (Dono, 2006).
H.2 Krisis tiroid (thyroid storm)
Merupakan suatu keadaan akut berat yang dialami oleh penderita tiritoksikosis
(life-threatening). Biasanya dipicu oleh faktor stress (infeksi berat, operasi
dll). Gejala klinik yang khas adalah hiperpireksia, mengamuk dan tanda tanda-
tanda hipertiroid berat yang terjadi secara tiba-tiba (demam, delirium,
takikardi, kejang, muntah, diare, dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh
antara lain: infeksi, trauma, dan tindakan pembedahan). Prinsip pengelolaan

23
hampir sama, yakni mengendalikan tirotoksikosis dan mengatasi komplikasi
yang terjadi.
H.3 Periodic paralysis thyrotocsicosis (PPT)
Terjadinya kelumpuhan secara tiba-tiba pada penderita hipertiroid dan
biasanya hanya bersifat sementara. Dasar terjadinya komplikasi ini adalah
adanya hipokalemi akibat kalium terlalu banyak masuk ke dalam sel otot.
Itulah sebabnya keluhan PPT umumnya terjadi setelah penderita makan
(karbohidrat), oleh karena glukosa akan dimasukkan ke dalam sel oleh insulin
bersama-sama dengan kalium (K channel ATP-ase).
H.4 Komplikasi akibat pengobatan. Komplikasi ini biasanya akibat
overtreatment (hipotiroid) atau akibat efek samping obat (agranulositosis,
hepatotoksik).

I. PROGNOSIS
Pengendalian tirotoksikosis dimaksudkan untuk mempertahankan kadar FT4
dan TSH sesuai atau mendekati kadar orang normal. Pemeriksaan pemantauan
(follow-up) dilakukan setiap 3 bulan atau bila ada tanda-tanda komplikasi
pengobatan. Pemantauan terhadap fungsi hati dan darah rutin mutlak diperlukan
pada penderita yang diberikan pengobatan anti tiroid.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Aleppo, Grazia. 2015. Hyperthyroidism. Available at


http://www.endocrineweb.com/conditions/hyperthyroidism/hyperthyroidism-
overview-overactive-thyroid Accessed at December 2018
2. American Thyroid Association (ATA). 2011. Hyperthyroidism and Other
Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American Thyroid
Association and American Association of Clinical Endocrinologists
3. Bruncardi FC, et al. 2014. Chapter 38 in Thyroid, Parathyroid, and Adrenal in
Schwartz’s Principal Of Surgery. 9th Ed. USA. p.3198-205
4. DeJong W, Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta:
EGG
5. Djokomoeljanto R. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dala : Kelenjar Tiroid,
Hipitiroidisme dan Hipertiroidsme. Jakarta: FKUI. p.1933-43
6. Dono A, Krisyanto Y. 2006. Penyakit Jantung Tiroid dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. 4th Ed. Pusat Penerbitan Departemen Penyakit
Dalam. Jakarta: FKUI. p.1669-72
7. Fauci, et al. 2008. Harrison: Principle of Internal Medicine. New York:
McGraw Hill. p.2144-51
8. Harrisons. 2012. Disorder of the Thyroid Gland. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 18th Ed. New York: McGraw Hill. p.5767-806
9. Lee, Stephanie L. 2014. Hyperthyroidism. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/121865-overview#a6 Accessed at
December, 2018
10. Lewindski A. 2002. The problem of goiter with particular consideration of
goiter resulting from iodine deficiency (I): Classification, diagnostic and
treatment. Neuroendocrinology Letters; 23:351-5
11. Longmore M, et al. 2012. Buku Saku Oxford Kedokteran Klinis. 8th Ed.
Jakarta: EGC
12. Paz-Pacheco, Elizabeth. Indonesian Clinical Practice Guidelines for
Hyperthyroidism. Journal of the Asean Federation of Endocrine Societies.
2012. Available at http://asean-
endocrinejournal.org/index.php/JAFES/article/view/10/16 Accessed at
December, 2018
13. Reid, JR, Wheeler SF. 2008. Hyperthyroidism: Diagnosis and Treatment.
Available at http://www.aafp.org/afp/2005/0815/p623.html Accessed at
December, 2018
14. Siraj ES. 2008. Update Diagnosis and Treatment of Hypertiroidism.
Department of Medicine, Section of Endocrinology, Diabetes, and
Metabolism. Temple University School of Medicine, Philladelphia: JCOM
Vol.15. p.298-307

25

Anda mungkin juga menyukai