Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai dengan judul ”ASPEK LEGAL KEPERAWATAN
KEGAWATDARURATAN”. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Denpasar, 5 Agustus 2019

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................I

DAFTAR ISI..................................................................................................................................II

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................................1

1.2 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................................2

1.3 TUJUAN...................................................................................................................................3

BAB II.............................................................................................................................................4

PEMBAHASAN.............................................................................................................................4

2.1 PERAN PERAWAT SEBAGAI TENAGA KESEHATAN...................................................4

2.2 ASPEK LEGAL DALAM KEPERAWATAN........................................................................6

2.3 PENGERTIAN KEGAWATDARURATAN..........................................................................7

2.4 ASPEK LEGAL KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN.........................................8

2.5 PENGATURAN PELAYANAN KEGAWATDARURATAN..............................................12

2.6 PRINSIP ETIK DALAM PELAYANAN KESEHATAN DAN KEPERAWATAN..........15

II
BAB III.........................................................................................................................................17

PENUTUP....................................................................................................................................17

3.1 SIMPULAN............................................................................................................................17

3.2 SARAN....................................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................19

III
IV
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun diluar rumah sakit tidak
tertutup kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan
dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi maupun antar profesi).
Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit terlibat
pula unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan.
Profesi kesehatan sering mendapat kritikan-kritikan yang cukup pedas dari berbagai
lapisan masyarakat, beberapa media massapun ikut mengangkat berita-berita ini sampai ke
permukaan.Sorotan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan profesi tenaga kesehatan
merupakan suatu kritik yang baik terhadap profesi kesehatan, agar para tenaga kesehatan
dapat meningkatkan pelayanan profesi kesehatannya terhadap masyarakat.Meningkatnya
sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan disebabkan oleh berbagai perubahan, antara
lain adanya kemajuan bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perubahan karakteristik
masyarakat tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, dan juga perubahan masyarakat pengguna
jasa kesehatan yang lebih sadar akan hak – haknya. Apabila perubahan tersebut tidak disertai
dengan peningkatan komunikasi antara tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa dan
masyarakat sebagai penerima jasa kesehatan, hal tersebut dapat menimbulkan
kesalahpahaman.
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi tenaga kesehatan merupakan satu
pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan
pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada
khususnya, sebagai pengguna jasa para tenaga kesehatan.Pada umumnya ketidakpuasan para
pasien atau keluarganya terhadap pelayanan kesehatan karena harapannya tidak dapat
dipenuhi oleh para tenaga kesehatan, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara
harapan pasien dan kenyataan yang diterima. Ketidakpuasan inilah yang memicu terjadinya
konflik antara pasien dengan tenaga kesehatan.
1
Praktik Keperawatan Gawat Darurat memiliki perspektif tersendiri dalam konteks
legal keperawatan. Undang-Undang yang mengaturnya tidak membatasi kewenangan
perawat terutama dalam hal mengutamakan keselamatan nyawa pasien. Akan tetapi perawat
harus memahami bukan hanya persoalan kompetensi apa yang boleh atau tidak dilakukan
dalam tindakan kedaruratan, lebih dari itu mengutamakan hak-hak pasien disaat kritis
merupakan hal yang esensial bagi perawat di Ruangan Gawat Darurat.Untuk mencegah dan
mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan norma hukum yang mempunyai tolok ukur
masing-masing.
Oleh karena itu dalam praktik harus diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya
pada saat kita berbicara masalah hukum, tolok ukur norma hukumlah yang diberlakukan.
Pada kenyataannya kita sering terjebak dalam menilai suatu perilaku dengan membaurkan
tolok ukur etika dan hukum Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena
mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dan segi yuridis khususnya
hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa.Oleh
sebab itu, untuk mencegah dan mengatasi konflik ini tenaga kesehatan harus sangat mengerti
tentang aspek legal dan etik dalam kegawatdaruratan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakangan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah peran perawat sebagai tenaga kesehatan?
1.2.2 Apa sajakah yang termasuk aspek legal dalam keperawatan?
1.2.3 Apa pengertian dari kegawatdaruratan?
1.2.4 Apa sajakah yang termasuk dalam aspek legal kegawatdaruratan?
1.2.5 Bagaimanakah pengaturan pelayanan kegawatdaruratan?
1.2.6 Bagaimana prinsip etik pelayanan kesehatan dan keperawatan?

2
1.3 TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah mengenai aspek legal dalam keperawatan
kegawatdaruratan adalah sebagai berikut
1.3.1 Mengetahui peran perawat sebagai tenaga kesehatan.
1.3.2 Menyebutkan yang termasuk aspek legal dalam keperawatan.
1.3.3 Mengetahui pengertian dari kegawatdaruratan.
1.3.4 Menyebutkan yang termasuk dalam aspek legal kegawatdaruratan.
1.3.5 mengetahui dan menjelaskan pengaturan pelayanan kegawatdaruratan.
1.3.6 Mengetahui dan menyebutkan prinsip etik pelayanan kesehatan dan keperawatan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peran Perawat Sebagai Tenaga Kesehatan


Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Dalam melaksanakan keperawatan, menurut Hidayat (2012) perawat mempunyai peran
dan fungsi sebagai perawat sebagai berikut:
1) Pemberian perawatan (Care Giver)
Peran utama perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan, sebagai perawat,
pemberian pelayanan keperawatan dapat dilakukan dengan memenuhi kebutuhan
asah, asih dan asuh. Contoh pemberian asuhan keperawatan meliputi tindakan yang
membantu klien secara fisik maupun psikologis sambil tetap memelihara martabat
klien. Tindakan keperawatan yang dibutuhkan dapat berupa asuhan total, asuhan
parsial bagi pasien dengan tingkat ketergantungan sebagian dan perawatan suportif-
edukatif untuk membantu klien mencapai kemungkinan tingkat kesehatan dan
kesejahteraan tertinggi (Berman, 2010). Perencanaan keperawatan yang efektif pada
pasien yang dirawat haruslah berdasarkan pada identifikasi kebutuhan pasien dan
keluarga.
2) Sebagai advocat keluarga
Selain melakukan tugas utama dalam merawat, perawat juga mampu sebagai advocat
keluarga sebagai pembela keluarga dalam beberapa hal seperti dalam menentukan
haknya sebagai klien. Dalam peran ini, perawat dapat mewakili kebutuhan dan
harapan klien kepada profesional kesehatan lain, seperti menyampaikan keinginan
klien mengenai informasi tentang penyakitnya yang diketahu oleh dokter. Perawat
juga membantu klien mendapatkan hak-haknya dan membantu pasien menyampaikan
keinginan (Berman, 2010).
3) Pencegahan penyakit
4
Upaya pencegahan merupakan bagian dari bentuk pelayanan keperawatan sehingga
setiap dalam melakukan asuhan keperawatan harus selalu mengutamakan tindakan
pencegahan terhadap timbulnya masalah baru sebagai dampak dari penyakit atau
masalah yang diderita. Salah satu contoh yang paling signifikan yaitu keamanan,
karena setiap kelompok usia beresiko mengalami tipe cedera tertentu, penyuluhan
preventif dapat membantu pencegahan banyak cedera, sehingga secara bermakna
menurunkan tingkat kecacatan permanen dan mortalitas akibat cidera pada pasien
(Wong, 2009).
4) Pendidik
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, perawat harus mampu berperan
sebagai pendidik, sebab beberapa pesan dan cara mengubah perilaku pada pasien atau
keluarga harus selalu dilakukan dengan pendidikan kesehatan khususnya dalam
keperawatan. Melalui pendidikan ini diupayakan pasien tidak lagi mengalami
gangguan yang sama dan dapat mengubah perilaku yang tidak sehat. Contoh dari
peran perawat sebagai pendidik yaitu keseluruhan tujuan penyuluhan pasien dan
keluaraga adalah untuk meminimalkan stres pasien dan keluarga, mengajarkan
mereka tentang terapi dan asuhan keperawatan di rumah sakit, dan memastikan
keluarga dapat memberikan asuhan yang sesuai di rumah saat pulang (Kyle &
Carman, 2015).
5) Konseling
Konseling merupakan upaya perawat dalam melaksanakan peranya dengan
memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap masalah yang dialami oleh pasien
maupun keluarga, berbagai masalah tersebut diharapkan mampu diatasi dengan cepat
dan diharapkan pula tidak terjadi kesenjangan antara perawat, keluarga maupun
pasien itu sendiri. Konseling melibatkan pemberian dukungan emosi, intelektual dan
psikologis. Dalam hal ini perawat memberikan konsultasi terutama kepada individu
sehat dengan kesulitan penyesuaian diri yang normal dan fokus dalam membuat
individu tersebut untuk mengembangkan sikap, perasaan dan perilaku baru dengan
cara mendorong klien untuk mencari perilaku alternatif, mengenai pilihan-pilihan
yang tersedia dan mengembangkan rasa pengendalian diri (Berman, 2010).
6) Kolaborasi
5
Kolaborasi merupakan tindakan kerja sama dalam menentukan tindakan yang akan
dilaksanakan oleh perawat dengan tim kesehatan lain. Pelayanan keperawatan pasien
tidak dilaksanakan secara mandiri oleh tim perawat tetapi harus melibatkan tim
kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi, psikolog dan lain-lain, mengingat pasien
merupakan individu yang kompleks/ yang membutuhkan perhatian dalam
perkembangan (Hidayat, 2012).
7) Pengambilan keputusan etik
Dalam mengambil keputusan, perawat mempunyai peran yang sangat penting sebab
perawat selalu berhubungan dengan pasien kurang lebih 24 jam selalu disamping
pasien, maka peran perawatan sebagai pengambil keputusan etik dapat dilakukan oleh
perawat, seperti akan melakukan tindakan pelayanan keperawatan (Wong, 2009).
8) Peneliti
Peran perawat ini sangat penting yang harus dimiliki oleh semua perawat pasien.
Sebagai peneliti perawat harus melakukan kajian-kajian keperawatan pasien, yang
dapat dikembangkan untuk perkembangan teknologi keperawatan. Peran perawat
sebagai peneliti dapat dilakukan dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
pasien (Hidayat, 2012).

Menurut Puspita (2014) peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara
komprehensif sebagai upaya memberikan kenyamanan dan kepuasan pada pasien, meliputi:
1. Caring, merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat, menghargai orang lain, artinya
memberi perhatian dan mempelajari kesukaankesukaan seseorang dan bagaimana
seseorang berpikir dan bertindak.
2. Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan ilmu atau berdiskusi dengan
pasiennya.
3. Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi seorang perawat untuk
meningkatkan rasa nyaman pasien.
4. Crying artinya perawat dapat menerima respon emosional baik dari pasien maupun
perawat lain sebagai suatu hal yang biasa disaat senang ataupun duka.
5. Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun psikologis merupakan komunikasi
simpatis yang memiliki makna.
6
6. Helping artinya perawat siap membantu dengan asuhan keperawatannya.
7. Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang lain memiliki hasrat dan
kemampuan untuk selalu meningkatkan derajat kesehatannya.
8. Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan diri dan keterampilannya.
9. Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang lain
dengan menjaga kerahasiaan pasien kepada yang tidak berhak mengetahuinya.
10. Listening artinya mau mendengar keluhan pasiennya.
11. Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan memahami perasaan duka ,
senang, frustasi dan rasa puas pasien.

2.2 Aspek Legal Dalam Keperawatan


1. Pasal 23 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan berwenang
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki
izin dari pemerintah.
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Menteri.

2. Pasal 24 UU No.36 Tahun 2009


(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
7
3. Pasal 27 UU No.36 Tahun 2009
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksankan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
4. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
a. Pasal 82 tentang pelayanan kesehatan bencana : pelayanan kesehatan yang dimaksud
pada ayat (2) : tanggap darurat dan pasca bencana; mencakup pelayanan
kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah
kecacatan lebih lanjut.
b. Pasal 83 ayat (1) : setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
harus ditunjukkan untuk penyelamatan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut,
dan kepentigan yang terbaik bagi pasien.
c. Pasal 83 ayat (2) : pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

2.3 Pengertian Kegawatdaruratan


Kegawatdaruratan disebut juga critical care, artinya adalah pemberian asuhan
keperawatan kepada klein / pasien yang mengalami keadaan gawat darurat melalui
pendekatan proses keperawatan dengan menerapkan peran dan fungsi perawat secara
professional, atau suatu upaya melalui proses keperawatan dengan pemberian asuhan
keperawatan klien / pasien yang mengalami keadaan krisis / emergency untuk mencegah
kematian dan atau kecacatan.
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum
kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa (Herkutanto,
2007).
Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus
dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan

8
menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat
(Herkutanto, 2007).

2.4 Aspek Legal Keperawatan Kegawatdaruratan


1. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-
undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan
dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik
menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien
dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya.
Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah:
a. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong
untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik
biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku.
b. Itikad baik pihak penolong.
Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang
bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu
untuk menambah keterampilan penolong.
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga
kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian
terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang
menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan
situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan
perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada
situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang
Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang

9
Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera
dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien,
tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis,
maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.
2. Undang-Undang Kesehatan Terkait
Keperawatan Gawat Darurat Ditinjau Dari Aspek Hukum Pemahaman terhadap
aspek hukum dalam Keperawatan Gawat Darurat bertujuan meningkatkan kualitas
penanganan pasien dan menjamin keamanan serta keselamatan pasien. Aspek hukum
menjadi penting karena consensus universal menyatakan bahwa pertimbangan aspek
legal dan etika tidak dapat dipisahkan dari pelayanan medic yang baik. Walaupun ada
undang-undang yang mengatur tentang keperawatan gawat darurat yaitu
a. Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan tentang : Informed Consent menyatakan,
dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat
dan secara medic berada dalam keadaan gawat darurat dan atau darurat yang
memerlukan tindakan medic segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan
persetujuan dari siapapun. (Per.Menkes,1989). Tetapi yang menjadi tuntutan
hukum dalam praktek Keperawatan Gawat Darurat biasanya berasal dari:
1) Kegagalan komunikasi
2) Ketidakmampuan mengatasi dilema dalam profesi
Permasalahan etik lainnya yang muncul dalam hukum Keperawatan Gawat Darurat
merupakan isu yang juga terjadi pada etika dan hukum dalam kegawat daruratan medik
yaitu:
a) Diagnosis keadaan gawat darurat
b) Standar Operating Procedure
c) Kualifikasi tenaga medis
d) Hak otonomi pasien :informed consent (dewasa,anak)
e) Kewajiban untuk mencegah cedera atau bahaya pada pasien
f) Kewajiban untuk memberikan kebaikan pada pasien (rasa sakit,
menyelamatkan)
g) Kewajiban untuk merahasiakan (etika><hukum)
h) Prinsip keadilan dan fairness
i) Kelalaian

10
j) Malpraktek akibat salah diagnosis, tulisan yang buruk dan kesalahan terapi:
salah obat, salah dosis
k) Diagnosis kematian
l) Surat Keterangan Kematian
m) Penyidikan medico legal untuk forensic klinik: kejahatan susila, child abuse,
aborsi dan kerahasiaan informasi pasien
b. UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan
No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
c. pasal 51 UU No.29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter
wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.
d. UU No.23/1992 pasal 4 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat
darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya
merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal
(pasal 4).
e. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah
sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah
sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang
Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk
menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-
rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik.
3. Landasan Hukum Pelayanan Gawat Darurat
a. UU NO 9 Tahun 1960 Pokok Kesehatan
b. UU NO 6 Tahun 1963 Tenaga Kesehatan
c. UU NO 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran
d. UU NO 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
e. UU NO 36 Tahun 2009 Kesehatan
f. UU NO 44 TAHUN 2009 Rumah sakit
g. PP NO 32 TAHUN 1996 Tenaga Kesehatan
h. PP NO 51 Tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian
i. Berbagai Peraturan Menteri Kesehatan
4. Fungsi aspek hukum dan legalitas pelayanan gawat darurat bagi perawat :
a. Hukum Menyediakan kerangka kerja untuk menetapkan tindakan asuhan
keperawatan gawat darurat.

11
b. Hukum juga memberikan penjelasan tentang tanggung jawab perawat gawat darurat
yang berbeda dari tanggung jawab tenaga kesehatan lainnya
c. Hukum dapat membantu perawat gawat darurat menetapkan batas batas tindakan
keperawatan mandiri (otonomi profesi)
d. Hukum membantu keperawatan dalam menjaga standar asuhan keperawatan yang
dibuat oleh profesi keperawatan.
e. Aspek aspek Hukum dan perlindungan hukum Pelayanan Gawat Darurat oleh
profesi keperawatan.
f. Dalam Undang-undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat Inap, Rawat Jalan
dan Rawat Darurat. Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib memberikan
pelayanan gawat darurat kepada pasien atau penderita dengan arti kata setiap rumah
sakit wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM dalam pengelolaan pelayanan
gawat darurat, ini membuktikan adanya kepastian hukum dalam pelayanan gawat
darurat di rumah sakit”.
g. Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medis.
h. Darurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita, keluarga, atau
siapapun yang bertanggung jawab dalam membawa penderita ke rumah sakit
memerlukan pelayanan medis segera. Penderita gawat darurat memerlukan
pelayanan yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau. (Etika dan Hukum
Kesehatan, Prof. Dr. Soekijo Notoatmojo 2010).
i. Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktik
Keperawatan, Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien,
perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, Pelayanan dalam keadaan darurat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
j. Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang regitrasi dn izin
praktik keperawatan Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Pasal 11 poin (a) Perawat
berhak Memperoleh perlindungan hukum.

12
k. Permenkes Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007Tentang Izin dan penyelenggaran
Praktik Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal 15 Ayat (I), Dokter dan
dokter Gigi dapat memberilan pelimpahan suatu tindakan kedokteran dan tindakan
kedokteran gigi, kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatn lainnya secara tertulis.

2.5 Pengaturan Pelayanan Kegawatdaruratan


Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib
melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam
UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun
secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap
orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7
mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata
dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang
mampu.6 Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan.Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal
pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat
untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988
tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit
untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk fase pra-
rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik.
Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7
UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang
spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut
seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar
sector kesehatan.

13
Dasar hukum pelayanan kegawatdaruratan
1. UU RI NO 36 TAHUN 2009 tentang Kesehatan
a. Bab II Pasal 32 ayat 1 dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baiik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu
b. Bab II Pasal 32 ayat 2 Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan atau meminta uang muka
c. Bab VI pasal 58 ayat 1 setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
d. Bab VI pasal 58 ayat 2 Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
e. Bab VI pasal 58 ayat Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
f. Bab XX pasal 190 ayat 1 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap
pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
g. Bab XX pasal 190 ayat 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah)
2. UU RI NO 44 tentang RUMAH SAKIT
a. Pasal 1: gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan
medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut
b. Pasal 29 ayat 1 butir c:Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan
pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya
3. UU RI no 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
a. Pasal 33: penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahap
meliputi: pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana
14
b. Pasal 34 : penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf a. meliputi : dalam situasi tidak
terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana
c. Pasal 44 : penyelenggaraan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 huruf b. meliputi: kesiapsiagaan,
peringatan dini dan mitigasi bencana
d. Pasal 48 : penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf b meliputi: pengkajian secara cepat
dan tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumber daya , Penentuan status keadaan
darurat bencana , Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
Pemenuhan kebutuhan dasar , Perlindungan terhadap kelompok rentan , Pemulihan
dengan segera sarana dan prasarana
e. Pasal 57 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 huruf c meliputi:Rehabilitasi, rekontruksi,
Informed consent
4. Permenkes No. 585 / 1989 (Pasal 11) bahwa dalam kondisi emergency situasi yang
mengancam nyawa persetujuan tindakan medis tidak diperlukan
Dalam pasal 56 UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan :hak pasien untuk menerima atau
menolak suatu tindakan tidak berlaku salah satunya ketika pasien dalam kondisi pingsan
atau tidak sadarkan diri.

2.6 Prinsip Etik dalam Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan


1. Autonomy
Perawat yang mengikuti prinsip autonomy akan menghargai hak klien untuk
mengambil keputusan sendiri. Dengan hal ini, berarti perawat menyadari keunikan
individu secara holistik.
2. Non-maleficence (do no harm)
Tindakan yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi klien. Prinsip ini
adalah prinsip dasar sebagian kode etik keperawatan.
3. Beneficence (do good)
Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan hal dengan baik, yaitu
mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan klien dan keluarga. Beneficence itu
15
dimaksudkan untuk menentukan cara terbaik yang dapat meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan klien. Perawat harus selalu melakukan hal dengan baik, termasuk dalam hal
pemberian asuhan keperawatan guna membantu mempercepat proses penyembuhan klien.
4. Informed Consent
Merupakan persetujuan seseorang untuk mengizinkan dilakukannya sesuatu
terhadap dirinya. Dalam informed consent berisi pemberitahuan tentang resiko penting
yang potensial, keuntungan, dan alternatif yang ada.
5. Justice (perlakuan adil)
Perawat harus selalu berlaku adil kepada semua klien.
6. Kejujuran, kerahasiaan, dan kesetiaan
Prinsip mengatakan yang sebenarnya (kejujuran) mengarahkan praktisi untuk
menghindari melakukan kebohongan atau menipu klien. Dalam hal ini perawat harus
menginformasikan semua hal yang berkaitan dengan kondisinya.
Kerahasiaan adalah suatu tindakan dari perawat untuk menghindari pembicaraan
mengenai kondisi klien dengan siapapun yang tidak terlibat secara langsung terlibat
dalam perawatan klien.
Kesetiaan menyatakan bahwa perawat harus memegang janji yang dibuatnya pada
klien. Ketika seorang perawat jujur dan memegang janjinya, maka seorang pasien akan
menaruh kepercayaan pada perawat, dengan hai itu perawat dapat dengan mudah
melakukan intervensi.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pemaparan materi diatas, dapat disimpulkan bahwa Keperawatan
merupakan sebuah ilmu dan profesi yang memberikan pelayanan keseahatan guna untuk
meningkatkan keseahatan bagi masyarakat. Keperawatan ternyata sudah ada sejak manusia
itu ada dan hingga saat ini profesi keperawatan berkembang dengan pesat. Sejarah
perkembangan keperawatan di Indonesia tidak hanya berlangsung di tatanan praktik, dalam
hal ini layanan keperawatan, tetapi juga di dunia pendidikan keperawatan. Perawat dalam
menjalankan tugasnya, ia dilindungi dan diatur oleh beberapa aspek legal dalam kesehatan
seperti yang tercantum dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah
RI NO. 32 Tahun 1996.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat. Standar Pelayanan Rumah Sakit adalah semua standar pelayanan
yang berlaku di Rumah Sakit antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan
medis, dan standar asuhan keperawatan.
Dalam menjalankan tugasnya, perawat memiliki beberapa tanggungjawab. Tanggung
jawab perawat secara umum:
a. Menghargai martabat setiap pasien dan keluarganya
b. Menghargai hak pasien untuk menolak prosedur pengobatan dan melaporkan penolakan
tersebut kepada dokter dan orang-orang yang tepat.
c. Menghargai hak pasien dan keluarganya dalam hal kerahasiaan informasi
d. Apabila didelegasikan oleh dokter menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien dan
memberikan informasi
e. Mendengarkan pasien secara seksama dan melaporkan hal-hal penting kepada orang
yang tepat.
Sementara tanggung gugat (akuntabilitas) adalah mempertanggungjawabkan perilaku
dan hasil-hasilnya termasuk dalam lingkup peran profesional seseorang sebagaimana
tercermin dalam laporan pendidik secara tertulis tentang perilaku tersebut dan hasil-
17
hasilnya. Baik terhadap dirinya sendiri, pasien, profesi, sesama karyawan dan
masyarakat.
Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan
tugas/fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang
perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik
dapat dihindarkan.

3.2 Saran
Dalam melakukan asuhan keperawatan, hendaknya kita sebagai perawat selalu
memegang teguh kode etik dan bertanggung jawab di setiap tindakan yang dilakukan
kepada klien.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A.A.. (2014). Metode penelitian keperawatan dan teknis analisis data. Jakarta :
Salemba Medika
Berman dan Evans, 2010. “Retail Management”. 12th Edition. Jakarta; Pearson
Wong, D, dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 1. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta
Kyle & Carman. (2015). Buku Ajar Keperawatan Pediatri Edisi 2. Diterjemahkan Oleh Devi Yulianti

18
Dan Dwi Widiarti. Jakarta: EGC.
Puspita, R. A.. (2014). Gambaran peran perawat sebagai care giver dalm perawatan pasian
PPOK selama dirawat di RS paru dr, Ario Wirawan Salatiga. Jurnal. Salatiga :
Universitas Kristen Satya Wacana
Amir.2016.Makalah Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dan Aspek Legal dan Etik
Kegawatdaruratan Kelompok 2. Diakses pada http://karyatulisilmiah.com/makalah-
asuhan-keperawatan-gawat-darurat-aspek-legal-dan-etik-kegawat-daruratan-kelompok-2/
pada tanggal 02 Agustus 2019, pukul 14.00 Wita.
Ami Utami, Dewa Ayu.2016.Aspek Legal Gadar. Diakses pada
https://www.scribd.com/mobile/document/325456220/Aspek-Legal-Gadar pada tanggal
02 Agustus 2019 pukul 13.30 Wita.
Bentynaaozzy.2016.Aspek Legal Keperawatan Gawat Darurat. Diakses pada
https://zh.scribd.com/doc/107134833/Aspek-Legal-Keperawatan-Gawat-Darurat&ved
pada tanggal 02 Agustus 2019, pukul 13.00 Wita.
Budhiartie,Arrie,S.H.M.Hum.2010.Pertanggungjawaban Hukum Perawat Dalam
Penyelenggaran Pelayanan Kesehatan. Diakses pada
http://jambilawclub.blogspot.co.id/2010/12/pertanggunggjawaban-hukum-perawat-
dalam.html pada tanggal 02 Agustus 2019, pukul 12.00 Wita.
Handayani, Fitri . 2013. Pendidikan Prodfesi Keperawatan. Diakses pada
:http://www.academia.edu/9275103/MAKALAH_PENDIDIKAN_PROFESI_KEPERA
WATAN diakses pada tanggal 03 Agustus 2019, pukul 20.30 WITA
Muhammad, Ichsan. 2003. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Diakses pada
http://www.slideshare.net/ichsansudjarno/uu-kesehatan-no-36-thn-2009 diakses pada
tanggal 03 Agustus 2019 pukul 20.10 WITA
Peraturan Kementerian Kesehatan.2016.Permenkes No.148. Diakses pada
https://prastiwisp.files.wordpress.com/2010/11permenkes-no-148.pdf&ved pada tanggal
02 Agustus 2019, pukul 14.30 Wita.
Priharjo, Robert. 2002. Pengantar Etika Keperawatan. Jakarta :Kanisius
Priharjo, Robert. 1995. Praktek Keperawatan Profesional: Konsep Dasar Dan Hukum. Jakarta:
EGC

19
Widiasari,Putri.2016.Delegasi Keperawatan. Diakses pada
https://www.academia.edu/11313617/DELEGASI_KEPERAWATAN pada tanggal 2
02 Agustus 2019, pukul 13.30 Wita.
Yuanita, Farida. 2013. Akuntabilitas Sebagai Perawat. Diakses pada
https://id.scribd.com/doc/190162087/Akuntabilitas-Perawat pada tanggal 02 Agustus
2019 pukul 16.35 Wita.

20

Anda mungkin juga menyukai