Anda di halaman 1dari 6

REFLEKSI KASUS

Hipotensi dan Mual pada Anestesi Regional

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi
Rumah Sakit Jogja

Diajukan Kepada:
dr. Ardi Pramono, Sp.An. M.Kes

Disusun oleh :
Elga Rahadian Arsyah
2018 4010 133

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
I. PENGALAMAN
Seorang wanita 31 tahun dirawat inap di bangsal Kenanga untuk program perencanaan
operasi sectio ceasaria. Pasien didiagnosis Disproporsi kepala panggul oleh dokter spesialis
obstetrik dan ginekologi. Airway: jalan nafas (orofaring) bersih. Rhonki (-) Wheezing (-).
Breathing: nafas spontan, RR 16x/menit, vesikuler +/+ normal, suara tambahan -/-. Circulation:
nadi 78x/menit, reguler, tekanan darah 110/80 mmHg, Disability : GCS E4V5M6, kesadaran
compos mentis. Riwayat penyakit dahulu, pasien memiliki riwayat asma namun jarang kambuh,
terakhir kambuh tiga bulan yang lalu. Asma kambuh karena debu, dingin maupun kelelahan.
Pasien memiliki riwayat sectio caesaria juga pada tahun 2013. Pemeriksaan penunjang
laboratorium darah pre operasi hemoglobin 11,1 mg/dl (rendah), hematokrit 33,9% (rendah),
namun tidak ada masalah bila dilakukan operasi, hematologi lain dalam batas normal. Diagnosis
status fisik ASA II. Pasien direncanakan dibius menggunakan teknik regional anestesi.
Sebelum dilakukan pembiusan pasien puasa dari pukul 12.00 malam. Lalu paginya diberikan
drip antibiotik anbacim 2 gr. Pembiusan dilakukan pada pukul 9.30 WIB, sedangkan operasi pada
pukul 9.45 WIB. Pasien diberikan injeksi ketorolac 30mg dan ondancentron 4 mg. Selama operasi
pasien mengalami hipotensi, namun tidak membaik setelah pemberian infus RL secara cepat.
Sehingga pasien diberikan efedrin 1 ml (10 mg) dan tensi pasien membaik. Selama operasi pasien
dierikan oksigen melalui nasal kanul 2-3 liter/menit. Namun selama operasi pasien mual dan
menahan ingin muntah.

II. PERMASALAHAN
1. Mengapa pasien mengalami hipotensi dan mual setelah dilakukan anestesi regional spinal?
2. Apakah dibutuhkan tambahan obat lain untuk menurunkan kemungkinan hipotensi dan mual
pada pasien dengan anastesi spinal?

III. PEMBAHASAN
A. Hubungan Mual dan Hipotensi dengan Prosedur Regional Anestesi
Anestesi spinal adalah memasukkan obat anestesi lokal ke ruang subarakhnoid untuk
menghasilkan anestesi (hilangnya sensasi) dan blok fungsi motoric. Anestesi spinal menekan
saraf simpatis sehingga akan terlihat efek parasimpatis lebih menonjol, dimana pada usus terjadi
peningkatan kontraksi, tekanan intralumen dan terjadi relaksasi sfingster (1).
Mual muntah merupakan gejala yang sering timbul akibat anestesi spinal dan kejadiannya
kurang lebih hampir 25% (1). Adapun penyebab mual muntah pada anestesi spinal antara lain
adalah(1,2) :
1. Penurunan tekanan darah/hipotensi, merupakan penyebab terbesar yang bila segera
diatasi akan segera berhenti.
2. Hipoksia, merupakan penyebab terbesar kedua setelah hipotensi yang dapat diatasi
secara efektif dengan terapi oksigen.
3. Kecemasan atau faktor psikologis yang dapat diatasi dengan penjelasan prosedur yang
baik atau pemberian sedatif.
4. Pemberian narkotik sebagai premedikasi.
5. Peningkatan aktivitas parasimpatis, dimana blok spinal akan mempengaruhi kontrol
simpatetik gastrointestinal.
6. Refleks traksi dan manipulasi usus oleh operator. Mual muntah selama operasi selain
akan menyebabkan hasil operasi (outcome) yang kurang baik, juga dapat meningkatkan
risiko aspirasi.
Mual muntah dapat meningkatkan morbiditas, lama perawatan dan merupakan salah satu
penyebab dirawatnya pasien bedah rawat jalan, sehingga akan meningkatkan biaya, menimbulkan
stres pada pasien dan mengurangi kenyamanan (1,2). Sebagian besar pasien menganggap keluhan
mual muntah dirasakan lebih mengganggu daripada operasinya sendiri.
Perubahan fisiologi paling umum dan banyak terjadi akibat tindakan anestesia spinal
adalah hipotensi (penurunan tekanan darah lebih dari 20% dari tekanan baseline atau di bawah
90 mmHg). Hipotensi yang terjadi diakibatkan oleh dilatasi vena dan arteri. Blokade spinal yang
terjadi dapat mengakibatkan penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh penurunan isi
sekuncup, curah jantung, tekanan arteri, dan resistensi perifer sistemik. Tonus vasomotor
terutama diinervasi oleh serabut-serabut saraf simpatis dari T5 –L1 yang mempersarafi otot polos
arteri dan vena. Blokade serabut saraf tersebut menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah vena,
terkumpulnya darah pada bagian bawah (splanik dan juga ekstremitas bawah) dan penurunan
aliran darah balik ke jantung. Vasodilatasi arteri mengakibatkan penurunan resistensi vaskular
sistemik. Vasodilatasi arteri dikurangi dengan kompensasi vasokonstriksi di atas blokade tersebut
(3).
B. Tambahan obat lain untuk menurunkan kemungkinan hipotensi dan mual
Penambahan ajuvan pada obat anestesi lokal untuk anestesi spinal semakin banyak
dilakukan. Tujuan penambahan ajuvan ini adalah untuk menurunkan dosis obat anestesi lokal
yang digunakan sehingga efek sampingnya dapat diminimalkan namun tetap efektif untuk
menimbulkan anestesia selama pembedahan.
Penelitian yang dilakukan Rindarto, dkk (2013) dimana meneliti tentang Pengaruh
Penambahan Morfin dan Klonidin pada Bupivakain Dosis Rendah pada Anestesi Spinal untuk
Bedah Sesar Ditinjau dari Perubahan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah, menemukan
hasil bahwa didapatkan angka kejadian hipotensi sebesar 50% pada kelompok kontrol
(bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg).
Dasar penambahan morfin pada anestesi lokal adalah efek sinergistik yang dihasilkan.
Blokade saluran natrium oleh anestesi lokal dan blokade saluran kalsium oleh morfin akan saling
menguatkan efek. Klonidin sebagai agonis reseptor alfa-2 juga memiliki efek sinergistik dengan
obat anestesi lokal, yaitu meningkatkan konduktansi ion kalium sehingga memperlemah stimulus
nyeri dari saraf A dan C. Penggabungan morfin dan klodin bersifat aditif, sehingga akan
menambah efek 15-23 keduanya. (4)
Dengan menurunkan dosis obat anestetik lokal pada anestesia spinal diharapkan dapat
menurunkan angka kejadian hipotensi. Namun, dosis yang rendah berkaitan dengan blokade
sensorik (analgesia) yang kurang efektif untuk pembedahan. Untuk mempertahankan kualitas
analgesia, ditambahkan opioid dan agonis reseptor alfa-2 yang bekerja selektif pada jaras nyeri
(sensorik). Pada penelitian ini obat anesthesia spinal yang digunakan adalah bupivakain 0,5%
hiperbarik dengan dosis 7,5 mg yang ditambah dengan klonidin 75 mcg dan morfin 0,2 mg.
Dengan menggunakan kombinasi obat tersebut didapatkan angka kejadian hipotensi yang lebih
rendah, yaitu sebesar 16,67%. (4)
Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Ahmado, dkk (2016) yang meneliti tentang
Perbandingan Kombinasi Bupivakain 0,5% Hiperbarik dan Fentanil dengan Bupivakain 0,5%
Isobarik dan Fentanil terhadap Kejadian Hipotensi dan Tinggi Blokade Sensorik pada Seksio
Sesarea dengan Anestesi Spinal, menjelaskan bahwa tingkat barisitas dari anastesi local yang
digunakan juga berpengaruh terhadap kejadian hipotensi, dimana didapatkan hasil bahwa
kejadian hipotensi dan blokade sensorik lebih tinggi pada pengunaan anestesi spinal dengan
kombinasi bupivakain 0,5% isobarik 12,5 mg dan fentanil 25 µg dibanding dengan bupivakain
0,5% hiperbarik 12,5 mg dan fentanil 25 µg.
Anestetik lokal hiperbarik bergerak sesuai arah gravitasi, isobarik tidak dipengaruhi
gravitasi, sedangkan hipobarik melawan gravitasi sehingga didapatkan bahwa penyebaran
anestetik lokal hipobarik lebih tingi dibanding dengan isobarik dan hiperbarik. Tinggi blokade
sensorik pada penelitian ini yang dihasilkan anestetik lokal isobarik lebih tinggi, kemungkinan
disebabkan oleh anestetik lokal isobarik yang sebenarnya bersifat sedikit hipobarik dan akan
semakin hipobarik ketika ditambahkan fentanil sehingga anestetik lokal akan bergerak melawan
gravitasi karena pada penelitian ini pasien diposisikan duduk saat penyuntikan. Jumlah kejadian
hipotensi juga lebih tinggi terjadi pada bupivakain dengan barisitas lebih rendah, walaupun
terdapat beberapa penelitian yang berdasarkan analisis statistika ternyata tidak terdapat perbedaan
bermakna. (5)
Ahamdo, dkk (2016) menyimpulkan bahwa bupivakain jenis isobarik lebih sering
menyebabkan kejadian mual dan muntah disbanding jenis hiperbarik. Penyebab mual dan muntah
ini diperkirakan disebabkan oleh penurunan aliran darah ke otak akibat hipotensi. Oleh karena
itu, dengan mengoreksi hipotensi yang terjadi biasanya akan mengurangi mual muntah.
IV. DAFTAR PUSTAKA

1. Choi DH, Ahn HJ, Kim MH. Bupivacaine-sparing effect of fentanyl in spinal anesthesia for
cesarean delivery. Reg Anesth Pain Med. 2000;25:240–245.
2. Putra, A. D., 2010. Perbandingan Kejadian Mual Muntah Pada Anestesi Spinal Antara Infus
Kontinyu Efedrin Dan Preload Haes Steril 6 %. Semarang: UNDIP.
3. Lasmaria Flora, Ike Sri Redjeki, A. Himendra Wargahadibrata. 2014. Perbandingan Efek
Anestesi Spinal dengan Anestesi Umum terhadap Kejadian Hipotensi dan Nilai APGAR Bayi
pada Seksio Sesarea. Jurnal Anestesi Perioperatif [JAP. 2014;2(2):  105 105–16].
4. Rindarto, Widya Istanto. 2013. Pengaruh Penambahan Morfin dan Klonidin pada Bupivakain
Dosis Rendah pada Anestesi Spinal untuk Bedah Sesar Ditinjau dari Perubahan Hemodinamik
dan Kadar Glukosa Darah. Med Hosp 2013; vol 2 (1) : 6-13
5. Ahmado Okatria, Ezra Oktaliansah, Tatang Bisri. 2016. Perbandingan Kombinasi Bupivakain
0,5% Hiperbarik dan Fentanil dengan Bupivakain 0,5% Isobarik dan Fentanil terhadap
Kejadian Hipotensi dan Tinggi Blokade Sensorik pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal.
Jurnal Anestesi Perioperatif [JAP. 2016;4(2): 72-9]

Yogyakarta, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Ardi Pramono, Sp.An, M.Kes

Anda mungkin juga menyukai