Anda di halaman 1dari 16

Terapi cairan untuk resusitasi syok septik:

Cairan mana yang harus digunakan?


Thiago Domingos Corrêa, Leonardo Lima Rocha, Camila Menezes Souza Pessoa,
Eliézer Silva, Murillo Santucci Cesar de Assuncao

ABSTRAK
Resusitasi awal pada pasien syok septik mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait
sepsis. Tujuan utama dari resusitasi pada syok septic mencakup ekspansi volemik,
pemeliharaan perfusi jaringan dan penghantaran oksigen yang adekuat, dipandu oleh
tekanan vena sentral, mean arterial blood pressure, saturasi oksigen vena campuran
atau sentral dan tingkat laktat pada arteri. Pemberian resusitasi cairan yang agresif,
mungkin berkaitan dengan vasopressor, inotropik dan transfusi sel konsentrat darah
merah yang diperlukan untuk mencapai tujuan hemodinamik. Meskipun demikian,
pemberian cairan merupakan salah satu intervensi yang paling umum dilakukan pada
pasien dengan sakit kritis, jenis cairan yang paling tepat digunakan masih
kontroversial. Berdasarkan uji klinis terbaru yang dipublikasikan, larutan kristaloid
tampaknya menjadi jenis cairan resusitasi awal yang paling tepat pada pasien syok
septik. Kristaloid yang seimbang memiliki keunggulan teoritis daripada larutan
klasik, tetapi tidak ada cukup bukti untuk menunjukkan larutan tersebut sebagai
pengobatan lini pertama. Selain itu, ketika sejumlah besar cairan diperlukan untuk
mengembalikan stabilitas hemodinamik, larutan albumin merupakan alternatif yang
aman dan efektif. Larutan pati hidroksietil harus dihindari pada pasien septik karena
meningkatkan resiko gagal ginjal akut, peningkatan kebutuhan terapi penggantian
ginjal dan meningkatkan mortalitas. Tujuan kami adalah untuk memperlihatkan
review narasi literatur mengenai jenis cairan dan kelemahan utamanya dalam
resusitasi awal terhadap pasien syok septik.
Kata kunci: Syok, septik; Resusitasi/ metode; terapi cairan; Koloid; Hydroxyethil
starch derivatives; Albumin

1
PENDAHULUAN
Syok septik didefinisikan sebagai sindrom respon inflamasi sistemik, yang
dipicu oleh infeksi terkait dengan hipotensi refrakter, dimana beban cairan sebesar
30mL/ kg berat badan. Syok septik masih menjadi penyebab morbiditas dan
mortalitas utama di antara pasien sakit kritis, dengan angka kematian antara 20
sampai 45%. Meskipun sebagian besar kematian syok septik telah dikaitkan dengan
terjadinya sindrom gagal organ multiple, teka- teki mengenai disfungsi dan kegagalan
organ terkait sepsis masih belum dapat terpecahkan. Inflamasi sistemik, kelainan
mikrovaskuler, hipoperfusi jaringan, disfungsi mitokondria dan terapi intervensi yang
dilakukan pada pasien sepsis berkontribusi terhadap progresivitas gagal organ dan
kematian.
Petunjuk dari syok septik adalah vasodilatasi sistemik, dengan berbagai
tingkat hipovolemia. Pemberian cairan adalah intervensi lini pertama untuk
mengembalikan hemodinamik sistemik dan peningkatan penghantaran oksigen untuk
mencocokkan kebutuhan oksigen pada pasien septik. Berdasarkan Surviving Sepsis
Campaign Guideline, pasien septik menunjukkan adanya hipoperfusi jaringan,
hipotensi atau tanda- tanda hipovolemia dan ketika masuk di unit gawat darurat harus
menerima beban cairan awal kristaloid sebesar 30mL/ kg berat badan. Pasien dengan
hipotensi berkelanjutan (misalnya, berarti mean arterial blood pressure- MAP <65
mmHg) atau pasien dengan tingkat konsentrasi arteri laktat awal > 4,0mmol / L,
sebaiknya diresusitasi mengikuti tujuan protokol terapi, yaitu, resusitasi yang dipandu
oleh tekanan vena sentral atau central venous pressure (CVP), MAP, dan saturasi
oksigen vena sentral (ScvO2) atau saturasi oksigen vena campuran (SvO2). Tujuan
yang akan dicapai selama 6 jam resusitasi awal meliputi: CVP antara 8 dan 12
mmHg, bernafas spontan, atau antara 12 dan 15mmHg, pada pasien yang
menggunakan ventilasi mekanis; MAP> 65mmHg; dan ScvO2 atau SvO2 > 70% dan
65%,. Alternatifnya, lactate clearance > 10% menjadi sasaran selama 6 jam pertama,
pada ScvO2, pada pasien tanpa kateter vena sentral. Cairan, vasopressor, inotropik
dan transfusi sel darah merah adalah intervensi terapi yang tersedia di samping

2
tempat tidur untuk perawatan kritis dan perawatan darurat agar mencapai tujuan
hemodinamik. Penting untuk menekankan bahwa banyak pasien yang dapat
sepenuhnya diresusitasi hanya dengan menerima jenis cairan dan jumlah cairan
intravena yang tepat di awal.
Pertanyaan memprihatinkan mengenai cairan mana yang harus digunakan
selama jam awal pasien septik telah diperdebatkan selama puluhan tahun hingga
sekarang, belum ada konsensus mengenai jenis cairan mana yang paling sesuai
digunakan dalam konteks ini. Oleh karena itu, tujuan kami adalah untuk menyajikan
review narasi dari literatur mengenai jenis utama cairan dan kelemahan utamanya
pada resusitasi awal pasien syok septik.

MENGAPA CAIRAN DIBERIKAN?


Alasan untuk memberikan cairan pada pasien syok septik dapat dibenarkan
berdasarkan perubahan vascular bed. Mediator inflamasi bertindak pada sel endotel
mempromosikan vasodilatasi, yang menyebabkan hipovolemia relatif, yaitu,
hilangnya rasio kontrol dan isi. Oleh karena itu, pengganti cairan yang cukup sangat
penting untuk mempertahankan tekanan perfusi dan, yang paling penting, aliran darah
ke jaringan. Perfusi jaringan, aliran darah dan oksigenasi sistemik dapat dicapai
dengan memulihkan kompartemen intravaskular melalui pemberian cairan.
Cairan harus diberikan berdasarkan dua asumsi: adanya gangguan perfusi
jaringan (hipoksia stagnan) yang membutuhkan augmentasi aliran darah dan adanya
respon cairan, yaitu, saat pemberian cairan akan meningkatkan curah jantung.
Hipovolemia dan kelebihan cairan dapat merusak pada pasien dengan sakit kritis.
Oleh karena itu, sebaiknya mengatasi respon cairan sebelum memberikan cairan serta
untuk menghindari infus cairan pada pasien dimana asumsi tersebut tidak berlaku.
Inotropik harus dipertimbangkan untuk meningkatkan oksigenasi jaringan pada
pasien yang membutuhkan peningkatan aliran darah tetapi yang tidak lagi responsif
terhadap pemberian cairan.

3
Pengenalan dini dan pengobatan yang tepat sangat penting untuk
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan syok septik. Onset dini
resusitasi dapat mengembalikan penghantaran oksigen, mengembalikan hipoksia
jaringan dan meminimalkan progresifitas disfungsi sel dan disfungsi mitokondria
serta terjadinya sindrom sekunder kegagalan organ multiple inflamasi sistemik dan
hipoperfusi jaringan. Di samping terapi cairan, pengendalian infeksi dengan
pemberian antibiotik di awal yang adekuat penting untuk mengurangi kerusakan
sekunder dengan respon inflamasi. Namun demikian, disoksia jaringan dapat terjadi
bahkan setelah resusitasi cairan cukup, tergantung pada intensitas inflamasi sistemik
dan tingkat keparahan penyakit.

JENIS CAIRAN
Cairan resusitasi dapat dibagi menjadi dua kategori: kristaloid dan koloid
(Tabel 1 dan 2). Berbagai jenis larutan memiliki kapasitas tertentu ekspansi volume,
durasi efek, dampak pada integritas pembuluh darah, keseimbangan asam- basa,
respon inflamasi, perubahan reologi dan hemostasis sel darah merah. Perubahan ini
dapat berakibat menguntungkan maupun merugikan, tergantung pada karakteristik
pasien dan cairan. Pada bagian berikut, kami akan membahas jenis cairan utama
yang tersedia untuk resusitasi syok septik.

Tabel 1. Larutan kristaloid utama dan komposisinya.

4
KRISTALOID
Larutan kristaloid telah direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk
resusitasi pada pasien syok septik dan saat ini mereka adalah jenis cairan yang paling
banyak digunakan di Amerika Serikat. "Kristaloid" adalah istilah yang paling populer
digunakan yang merujuk pada larutan yang mengandung air, ion anorganik dan
molekul organik kecil. Kristaloid terdiri dari larutan glukosa atau natrium klorida, dan
dapat hipotonik, isotonik atau hipertonik. Beberapa kristaloid memiliki komponen
lain, seperti kalium atau kalsium, dan dapat menggunakan beberapa buffer seperti
laktat atau asetat untuk menjadi seperti- plasma.

Tabel 2. Larutan koloid utama dan komposisinya.

Salin normal (NaCl 0,9%) dianggap sebagai larutan isotonik, dengan


osmolalitas yang lebih dekat dengan osmolalitas plasma (287 mOsm/ kg) dan
mengandung konsentrasi natrium sebesar 154 mEq/ L dan konsentrasi klorida sebesar
154mEq/ L, yang merupakan 1,5 kali lipat lebih tinggi daripada konsentrasi serum
klorida fisiologis. Hal ini adalah alasan dimana salin normal dianggap sebagai larutan
non- seimbang. Karena saline normal memiliki konsentrasi klorida yang lebih tinggi,
infus volume besar yang dapat mempromosikan asidosis hiperkloremik, yang juga
dikenal sebagai pengenceran asidosis hiperkloremik, yang dapat dijelaskan oleh
pendekatan perbedaan ion yang kuat atau strong ion difference (SID).

5
SID didefinisikan sebagai perbedaan antara kation dan anion yang dipisahkan
dalam plasma. Pada seorang pria sehat dengan berat badan 70 kg, konsentrasi natrium
dan klorida plasma sekitar 140 mEq/ L dan 100mEq/ L, dan total air dalam tubuh
sekitar 42 L. Oleh karena itu, pada orang yang sehat, konsentrasi kation melebihi
anion, sehingga perbedaannya sebesar 40mEq/ L (Plama SID = 40mEq / L). Dalam
kondisi tersebut, total konsentrasi natrium dan klorida di dalam tubuh sebesar
5.880mEq dan 4.200mEq. Jika individu menerima 10 L salin normal, ion tersebut
akan bertambah 1.540mEq natrium plasma dan 1.000mEq plasma klorida, sehingga
total akhir natrium dan klorida dalam tubuh adalah 7.420mEq dan 5.200mEq. Total
air dalam tubuh akan meningkat dari 42 ke 52 L. Berdasarkan hal tersebut, SID
berkurang menjadi 32 mEq / L, dimana konsentrasi natrium dan klorida meningkat
menjadi 142,7 dan 110mEq / L. Hal ini terjadi karena salin normal mengandung
kation kuat dan anion kuat dengan kuantitas yang sama, yaitu, SIDnya nol. Dengan
demikian, infus salin normal akan mengurangi SID plasma dan, oleh karena itu,
menurunkan pH plasma. Secara umum, asidosis terjadi ringan sampai sedang, variasi
berlebihnya basa tidak lebih tinggi dari -10mEq/ L dan pH jarang mencapai kurang
dari 7,30 setelah kompensasi pernapasan. Jika infus saline normal terganggu, efeknya
diharapkan bersifat sementara dan reversibel dalam waktu 48 jam.
Selain asidosis hiperkloremik, jumlah besar infus normal saline bisa
menurunkan koagulasi, fungsi ginjal dan respon imunologi. Koagulopati dilusional
terjadi karena semua faktor koagulasi akan terdilusi akibat infus normal saline
massal, meningkatkan resiko perdarahan. Selain itu, terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa yang salin normal dapat merusak fungsi ginjal. Dalam
eksperimen yang dilakukan pada studi hewan, hiperkloremia disebabkan oleh normal
salin menunjukkan dapat mengurangi aliran darah ginjal dan mempromosikan
vasokonstriksi ginjal.
Larutan yang seimbang telah diusulkan sebagai alternatif untuk salin normal.
Larutan A dapat dianggap ideal seimbang ketika normotonik dengan SID sebesar 24
mEq/ L. Hali ini dapat dicapai dengan menghilangkan klorida 24 mEq/ L dari natrium

6
klorida 0,9% dan menggantinya dengan bikarbonat atau anion organik, yang dengan
cepat menghilang setelah infus, seperti laktat atau asetat. Mengingat efek samping
sebelumnya yang dijelaskan terkait dengan larutan tidak seimbang, larutan seimbang
mungkin menjadi larutan ideal untuk resusitasi pasien sakit kritis.
Larutan seimbang yang paling umum digunakan meliputi Ringer, Ringer
Laktat, Ringer Asetat dan Plasma-Lyte. Ringer Laktat dikembangkan pada awal
tahun 1930-an, dengan menambahkan natrium laktat pada larutan Ringer sebagai
buffer, mengurangi konsentrasi klorida (109mEq / L) bila dibandingkan dengan
larutan injeksi Ringer. Ringer Laktat adalah larutan hipotonik ringan (273 mOsm/ kg)
dan memiliki komposisi kalium dan kalsium. Terdapat kekhawatiran bahwa sejumlah
besar infus Ringer Laktat dapat meningkatkan tingkat laktat dalam plasma pada
pasien sakit kritis yang menyebabkan buffer laktat digantikan oleh asetat dengan
membuat Ringer Asetat. Komposisi Ringer Laktat dan Asetat hampir identik dengan
pengecualian buffer yang ditambahkan (laktat atau asetat). Plasma- Lyte adalah
larutan seimbang lain dengan molalitas sebesar 295 mOsm/ L, konsentrasi natrium
sebesar 140mEq/ L dan konsentrasi klorida sebesar 98mEq/ L. Elektrolit dan buffer
lainnya yang terdapat dalam larutan ini adalah kalium, magnesium, asetat dan
glukonat. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, larutan semacam ini harus
dihindari karena resiko terjadi hiperkalemia (Tabel 1).
Hal tersebut menunjukkan bahwa strategi pembatasan- klorida pada pasien
sakit kritis dikaitkan dengan penurunan insiden gagal ginjal akut dan penggunaan
terapi pengganti ginjal yang signifikan. Selain itu, studi kohort retrospektif besar
yang melibatkan 53.448 pasien septik menunjukkan bahwa resusitasi dengan cairan
seimbang, dibandingkan dengan non-seimbang, mengurangi resiko kematian di
rumah sakit (resiko relatif - RR = 0,86; confidence interval 95% - 95% CI: 0,78-0,94;
p = 0,001). Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam insidens gagal ginjal
akut, yang membutuhkan terapi pengganti ginjal, dan lamanya di rumah sakit dan
perawatan intensif Unit (ICU).

7
Namun demikian tingkat bukti yang mendukung penggunaan larutan
seimbang dalam praktek klinis lemah. Sebuah meta- analisis terbaru menunjukkan
bahwa resusitasi dengan kristaloid seimbang dibandingkan dengan cairan tidak
seimbang (normal saline 0,9%) dapat dikaitkan dengan angka kematian yang lebih
rendah (rasio odds- OR = 0,78; 95% CI: 0,58- 1,05). Dalam konteks ini, uji coba
secara acak besar yang membandingkan larutan seimbang dan tidak seimbang untuk
resusitasi syok septik masih diperlukan.

KOLOID
Koloid didefinisikan sebagai zat homogen non- kristaloid yang terdiri dari
molekul besar atau partikel ultramicroskopik dari satu zat yang tersebar melalui
kedua molekul zat dengan berat molekul tinggi. Cairan tersebut memiliki durasi yang
relatif lebih tinggi dan kapasitas ekspansi intravaskular dengan volume yang lebih
rendah, yaitu, tekanan onkotik yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kristaloid.
Koloid tidak mampu melintasi semi impermeable membrane pembuluh darah karena
berat molekul yang tinggi.
Terdapat dua jenis koloid: alami dan semisintetis. Albumin manusia pada
salin normal adalah larutan referensi koloid dan merupakan koloid alami yang berasal
dari plasma manusia. Koloid semisintetik, sebaliknya, terdiri dari turunan dari tiga
kelompok utama molekul: gelatin, dekstran dan pati (Tabel 2). Untuk menghasilkan
koloid, molekul- molekul ini tersuspensi dalam pelarut, yang dapat menjadi salin
normal isotonik atau hipertonik, glukosa hipertonik atau larutan elektrolit isotonik
yang seimbang. Isotonik salin normal adalah pelarut yang paling umum digunakan
dalam larutan koloid. Karena lingkup ulasan ini, kami akan fokus pada pati dan
albumin.

8
HIDROKSIETIL PATI
Hidroksietil pati (HES) merupakan larutan sintetik yang dibuat dengan
memanipulasi lilin atau kentang amilopektin (polimer glukosa multi cabang), telah
menjadi beberapa yang paling sering digunakan sebagai ekspander plasma koloid di
seluruh dunia, terutama karena biaya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan
albumin. Saat ini, HES dihindari pada pasien sakit kritis, khususnya pada mereka
dengan sepsis. Data klinis terbaru menunjukkan bahwa koloid tidak meningkatkan
hasil pasien dan mungkin berbahaya tergantung pada kondisi dan jenis koloid.
HES diidentifikasi oleh tiga angka, misalnya HES 10% 200 / 0,5 atau HES
6% 130/ 0,4. Mereka diklasifikasikan sesuai dengan berat molekul rata- rata (kisaran:
70 hingga 670 kiloDalton) dan frekuensi kelompok hidroksietil glukosa per monomer
(kisaran: 0,4- 0,7). Jumlah pertama menunjukkan konsentrasi larutan, kedua mewakili
berat molekul rata- rata yang dinyatakan dengan kiloDalton (kDa), dan yang ketiga
dan yang paling signifikan adalah substitusi molar (MS).
HES memiliki berbagai jumlah residu hidroksietil yang melekat pada partikel
glukosa anhidrat dalam polimer. Substitusi ini meningkatkan kelarutan pati dalam air
dan, sampai tingkat tertentu, menghambat laju degradasi polimer pati oleh amilase.
Parameternya sangat relevan dengan farmakokinetik HES. Waktu paruh dari larutan
pati tergantung pada berat molekul, derajat substitusi, dan proporsi kelompok
hidroksietil dalam karbon C2 bila dibandingkan dengan karbon C6 dari monomer
glukosa. kelompok Hydroxyethyl pada posisi atom C2 menghambat akses alfa-
amilase dengan substrat lebih efektif daripada kelompok hidroksietil pada posisi C6.
Oleh karena itu, HES diproduksi dengan rasio C2/ C6 tinggi yang diharapkan lebih
lambat terdegradasi. Secara umum, HES digunakan untuk membatasi strategi cairan
karena kapasitas ekspansi plasma yang tinggi dengan pemberian volume yang lebih
rendah.
Sebuah uji klinis multicenter prospektif yang dilakukan untuk mengatasi
frekuensi gagal ginjal akut pada pasien sepsis berat dan syok septik diresusitasi
dengan HES 6% (200 kDa, substitusi 0,60; 0,66) atau cairan- gelatin dimodifikasi

9
3%. Frekuensi gagal ginjal akut, oliguria dan konsentrasi puncak serum kreatinin
secara signifikan lebih tinggi pada kelompok HES dibandingkan dengan kelompok
gelatin. Dalam studi ini, resusitasi HES ditemukan menjadi faktor resiko independen
terjadinya gagal ginjal akut (OR = 2,57; 95% CI: 1,13- 5,83; p = 0,026) pada pasien
sepsis berat atau syok septik. Studi lain yang mengevaluasi pati dengan berat molekul
tinggi atau menengah (200 atau 450 kDa) dan tingkat substitusi molar yang lebih
tinggi (0,5- 0,7) dan menunjukkan insiden gagal ginjal atau komplikasi perdarahan
yang lebih tinggi.
Dianjurkan bahwa generasi ketiga HES, dengan berat molekul rendah dan
tingkat substitusi molar yang lebih rendah, akan memiliki profil yang lebih aman,
sehingga akan terkait dengan insiden efek samping yang lebih rendah (terutama
komplikasi perdarahan dan gagal ginjal akut). Oleh karena itu, mereka dapat
digunakan untuk mengobati pasien sakit kritis. Meskipun demikian, hipotesis ini
tidak dikonfirmasi dalam uji klinis terbaru. Dalam studi mereka, resusitasi dengan
HES generasi ketiga dikaitkan dengan peningkatan resiko kematian, gagal ginjal akut
dan membutuhkan terapi pengganti ginjal, terutama pada pasien septik. Hasil yang
dilaporkan itu sangat mirip terlepas dari apakah pati turunan- kentang atau -jagung
yang dibandingkan. Literatur terbaru tidak mendukung penggunaan HES selama
resusitasi pada pasien sepsis berat dan pasien syok septik.

ALBUMIN
Larutan albumin digunakan di seluruh dunia untuk mengobati pasien sakit
kritis. Sebuah meta-analisis yang dilakukan pada tahun 1998 mengenai penggunaan
terkait albumin memiliki angka kematian yang tinggi. Dalam konteks ini, keamanan
penggunaan albumin dipertanyakan sampai studi SAFE (Saline versus Albumin Fluid
Evaluation) dipublikasikan, yang menunjukkan bahwa larutan albumin, dibandingkan
dengan kristaloid, tidak meningkatkan mortalitas.
Pemberian albumin dapat dibenarkan berdasarkan efek fisiologisnya, terutama
pengikatan dan transportasi dari berbagai zat (seperti obat- obatan dan hormon) di

10
dalam darah; sifat antioksidan, modulasi oksida nitrat; dan kapasitas buffer, yang
berelevansi khusus pada pasien sakit kritis, dan tidak hanya untuk mengatur tekanan
osmotik. Juga, tingkat serum albumin yang rendah, yang umumnya ditemukan pada
pasien sakit kritis, yang terkait dengan hasil yang lebih buruk. Di sisi lain, terdapat
beberapa keterbatasan untuk penggunaan larutan albumin yang lebih luas: biayanya
tinggi, potensi risiko penularan mikroorganisme dan efek alergi bila dibandingkan
dengan kristaloid. Sehingga, tidak ada uji klinis acak yang menunjukkan manfaat
nyata pemberian albumin. Sebenarnya, hal tersebut bisa diperhatikan dimana
beberapa subpopulasi, seperti pasien dengan cedera otak traumatis, dapat mengalami
peningkatan risiko kematian saat diberikan larutan albumin.
Sebuah analisis subkelompok antara pasien syok septik yang terdaftar dalam
penelitian SAFE menunjukkan kecenderungan penurunan mortalitas yang
mendukung albumin dibandingkan normal saline (OR = 0,71; 95 % CI: 0,52-0,97; p =
0,03). Baru-baru ini, studi acak ALBIOS (Volume Replacement With Albumin in
Severe Sepsis) pada 1.818 pasien sepsis berat dan pasien syok septik menerima 300
ml albumin 20% ditambah kristaloid atau hanya kristaloid dari saat ngacakan sampai
hari 28, atau hingga keluar dari ICU, yang bertujuan untuk mempertahankan serum
albumin sebesar ≥30g / L. Meskipun lebih banyak pasien yang mencapai MAP target
dalam waktu 6 jam pada kelompok albumin bila dibandingkan dengan kelompok
kristaloid, tingkat mortalitas 28- hari maupun kematian 90-hari (RR = 0,94; CI 95%:
0,85-1,05; p = 0,29) tidak berbeda antara kelompok.
Dapat disimpulkan bahwa percobaan klinis yang membandingkan larutan
albumin 4% dengan kristaloid untuk resusitasi pada pasien syok septik masih
diperlukan. Misalnya, larutan albumin merupakan satu-satunya larutan koloid yang
disahkan oleh Surviving Sepsis Campaign guidelines pada pasien septik yang tidak
respon terhada infus kristaloid.

11
KESIMPULAN
Tidak ada konsensus mengenai jenis cairan mana yang harus digunakan
sebagai terapi lini pertama untuk resusitasi pada pasien syok septik. Bukti
menunjukkan bahwa kristaloid, apakah seimbang atau tidak, merupakan pilihan yang
paling dianjurkan. Larutan albumin hipo- onkotik dapat digunakan sebagai alternatif
bagi mereka yang membutuhkan jumlah cairan yang besar selama fase resusitasi
awal. Pati hidroksietil tidak boleh diberikan pada populasi ini karena kemungkinan
efek yang merusak. Bukti lebih lanjut mengenai penggunaan albumin dan larutan
seimbang masih diperlukan.

12
REFERENCES

1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM,


Sevransky JE, Sprung CL, Douglas IS, Jaeschke R, Osborn TM, Nunnally
ME, Townsend SR, Reinhart K, Kleinpell RM, Angus DC, Deutschman CS,
Machado FR, Rubenfeld GD, Webb S, Beale RJ, Vincent JL, Moreno R;
Surviving Sepsis Campaign Guidelines Committee including the Pediatric
Subgroup. Surviving sepsis campaign: international guidelines for
management of severe sepsis and septic shock, 2012. Intensive Care Med.
2013;39(2):165-228.
2. Asfar P, Meziani F, Hamel JF, Grelon F, Megarbane B, Anguel N, Mira JP,
Dequin PF, Gergaud S, Weiss N, Legay F, Le Tulzo Y, Conrad M, Robert R,
Gonzalez F, Guitton C, Tamion F, Tonnelier JM, Guezennec P, Van Der
Linden T, Vieillard- Baron A, Mariotte E, Pradel G, Lesieur O, Ricard JD,
Hervé F, du Cheyron D, Guerin C, Mercat A, Teboul JL, Radermacher P;
SEPSISPAM Investigators. High versus low blood-pressure target in patients
with septic shock. N Engl J Med. 2014;370(17):1583-93.
3. ARISE Investigators; ANZICS Clinical Trials Group, Peake SL, Delaney A,
Bailey M, Bellomo R, Cameron PA, Cooper DJ, Higgins AM, Holdgate A,
Howe BD, Webb SA, Williams P. Goal-directed resuscitation for patients
with early septic shock. N Engl J Med. 2014;371(16):1496-506.
4. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Huang DT, Barnato AE,
Weissfeld LA, Pike F, Terndrup T, Wang HE, Hou PC, LoVecchio F, Filbin
MR, Shapiro NI, Angus DC. A randomized trial of protocol-based care for
early septic shock. N Engl J Med. 2014;370(18):1683-93.
5. Holst LB, Haase N, Wetterslev J, Wernerman J, Guttormsen AB, Karlsson S,
Johansson PI, Aneman A, Vang ML, Winding R, Nebrich L, Nibro HL,
Rasmussen BS, Lauridsen JR, Nielsen JS, Oldner A, Pettilä V, Cronhjort MB,
Andersen LH, Pedersen UG, Reiter N, Wiis J, White JO, Russell L,

13
Thornberg KJ, Hjortrup PB, Müller RG, Møller MH, Steensen M, Tjäder I,
Kilsand K, Odeberg- Wernerman S, Sjøbø B, Bundgaard H, Thyø MA,
Lodahl D, Mærkedahl R, Albeck C, Illum D, Kruse M, Winkel P, Perner A;
TRISS Trial Group; Scandinavian Critical Care Trials Group. Lower versus
higher hemoglobin threshold for transfusion in septic shock. N Engl J Med.
2014;371(15):1381-91.
6. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl
J Med. 2003;348(2):138-50. Review.
7. Angus DC, van der Poll T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J Med.
2013;369(9):840-51. Review. Erratum in: Erratum in: N Engl J Med. 2013;
369(21):2069.
8. Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S, Arnold RC, Claremont HA, Kline JA;
Emergency Medicine Shock Research Network (EMShockNet) Investigators.
Lactate clearance vs central venous oxygen saturation as goals of early sepsis
therapy: a randomized clinical trial. JAMA. 2010;303(8):739-46.
9. Myburgh JA, Mythen MG. Resuscitation fluids. N Engl J Med. 2013;369(13):
1243-51. Review.
10. Marx G. Fluid therapy in sepsis with capillary leakage. Eur J Anaesthesiol.
2003;20(6):429-42. Review.
11. Ospina-Tascon G, Neves AP, Occhipinti G, Donadello K, Büchele G, Simion
D, et al. Effects of fluids on microvascular perfusion in patients with severe
sepsis. Intensive Care Med. 2010;36(6):949-55.
12. Rady MY, Rivers EP, Nowak RM. Resuscitation of the critically ill in the
ED: responses of blood pressure, heart rate, shock index, central venous
oxygen saturation, and lactate. Am J Emerg Med. 1996;14(2):218-25.
13. Cecconi M, Arulkumaran N, Kilic J, Ebm C, Rhodes A. Update on
hemodynamic monitoring and management in septic patients. Minerva
Anestesiol. 2014; 80(6):701-11.

14
14. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, Peterson
E, Tomlanovich M; Early Goal-Directed Therapy Collaborative Group. Early
goaldirected therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl
J Med. 2001;345(19):1368-77.
15. Corrêa TD, Vuda M, Blaser AR, Takala J, Djafarzadeh S, Dünser MW, et al.
Effect of treatment delay on disease severity and need for resuscitation in
porcine fecal peritonitis. Crit Care Med. 2012;40(10):2841-9.
16. Kumar A, Roberts D, Wood KE, Light B, Parrillo JE, Sharma S, et al.
Duration of hypotension before initiation of effective antimicrobial therapy is
the critical determinant of survival in human septic shock. Crit Care Med.
2006;34(6): 1589-96.
17. Seifter JL. Integration of acid-base and electrolyte disorders. N Engl J Med.
2014;371(19):1821-31. Review.
18. Kellum JA. Determinants of plasma acid-base balance. Crit Care Clin. 2005;
21(2):329-46. Review.
19. Scheingraber S, Rehm M, Sehmisch C, Finsterer U. Rapid saline infusion
produces hyperchloremic acidosis in patients undergoing gynecologic surgery.
Anesthesiology. 1999;90(5):1265-70.
20. Morgan TJ. The meaning of acid-base abnormalities in the intensive care
unit: part III -- effects of fluid administration. Crit Care. 2005;9(2):204-11.
Review.
21. Kellum JA. Saline-induced hyperchloremic metabolic acidosis. Crit Care
Med. 2002;30(1):259-61.
22. Smorenberg A, Ince C, Groeneveld AJ. Dose and type of crystalloid fluid
therapy in adult hospitalized patients. Perioper Med (Lond). 2013;2(1):17.
Erratum in: Perioper Med (Lond). 2014;3:3.
23. Nashat FS, Tappin JW, Wilcox CS. The renal blood flow and the glomerular
filtration rate of anaesthetized dogs during acute changes in plasma sodium
concentration. J Physiol. 1976;256(3):731-45.

15
24. Wilcox CS. Regulation of renal blood flow by plasma chloride. J Clin Invest.
1983;71(3):726-35.
25. Raghunathan K, Shaw A, Nathanson B, Stürmer T, Brookhart A, Stefan MS,
et al. Association between the choice of IV crystalloid and in-hospital
mortality among critically ill adults with sepsis*. Crit Care Med.
2014;42(7):1585-91.
26. Morgan TJ. The ideal crystalloid - what is ‘balanced’? Curr Opin Crit Care.
2013; 19(4):299-307. Review.
27. Yunos NM, Bellomo R, Hegarty C, Story D, Ho L, Bailey M. Association
between a chloride-liberal vs chloride-restrictive intravenous fluid
administration strategy and kidney injury in critically ill adults. JAMA.
2012;308(15):1566-72.
28. . Rochwerg B, Alhazzani W, Sindi A, Heels-Ansdell D, Thabane L, Fox-
Robichaud A, Mbuagbaw L, Szczeklik W, Alshamsi F, Altayyar S, Ip WC, Li
G, Wang M, Wludarczyk A, Zhou Q, Guyatt GH, Cook DJ, Jaeschke R

16

Anda mungkin juga menyukai