Anda di halaman 1dari 5

Contoh kasus pelanggaran HAM : Kopi Bersianida Wayan Mirna

Kematian Wayan Mirna Salihin menjadi perhatian publik sejak 6 Januari lalu.
Wanita berusia 27 tahun itu dinyatakan keracunan senyawa sianida yang terkadung
dalam segelas es kopi Vietnam yang ia minum saat bertemu dua rekannya, Jessica
Kumala Wongso dan Hani di Restoran Olivier, Grand Indonesia Shopping Town,
Jakarta. Otoritas Polda Metro Jaya yang mengambil alih kasus kematian Mirna dari
Polres Jakarta Pusat menyatakan, sianida yang masuk ke tubuh Mirna memang dapat
mengikis jaringan organ secara kimia.

“Penyebab utama kematian Mirna bukanlah kerusakan lambung yang tanpa sebab,
namun diduga ada zat korosif,” ujar Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda
Metro Jaya Komisaris Besar Musyafa. Tim forensik yang mengautopsi jenazah Mirna
di Rumah Sakit Polri, Jakarta, memastikan lambung Mirna rusak. Zat korosif tersebut
mereka ketahui, antara lain dari reaksi Mirna setelah mencecap kopi, yaitu mulut yang
mengeluarkan buih dan tubuh yang menegang. Kepolisian lantas menggelar
prarekontruksi di Restoran Olivier, Senin (11/1). Mereka melibatkan pula Tim
Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis) dan Tim Laboratorium
Forensik dari Markas Besar Polri. Salah satu adegan pada prarekonstruksi tersebut
memperlihatkan reaksi Mirna yang terkejut usai meminum kopi yang dipesannya.

Ketika itu, Hani, yang memperagakan reaksi Mirna usai menegak kopi, berulang
kali mengulangi kalimat, "It's awful, it's so bad." Usai prarekonstruksi, kepolisian
membawa sejumlah barang bukti dari Restoran Olivier untuk kepentingan
penyelidikan, antara lain kamera pengintai (CCTV) dan beberapa peralatan untuk
menyeduh kopi Vietnam yang diteguk Mirna.

Kepolisian melanjutkan penyelidikan dengan menggeledah rumah Jessica di


kawasan Sunter, Jakarta Utara. Namun, penyelidik gagal menemukan celana yang
dikenakan Jessica pada hari kematian Mirna. Usai penggeledahan, Direktur Reserse
Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Krishna Murti, mengatakan
Jessica merupakan saksi potensial dalam kasus kematian Mirna. “Dia ada di tempat
kejadian perkara, yang memesan kopi, yang membayar kopi dan yang menunggu
korban. Itu fakta.” ujarnya. Berdasarkan penyelidikan, kepolisian menyatakan Jessica
datang ke Restoran Olivier lebih awal ketimbang Mirna dan Hani. Penyelidik
mengatakan, Jessica pulalah yang memesankan dua cocktail dan es kopi Vietnam.
Sepekan berselang, kepolisian melakukan rekonstruksi ulang berdasarkan rekaman
kamera pengintai milik manajemen restoran yang mereka sita

Terkait kopi yang dipesan Jessica, ujar Yudi, itu merupakan permintaan Mirna.
“Ada permintaan dari Mirna untuk pesan kopi Vietnam. Di Olivier, si Jessica hanya
mem-booking saja," katanya. Personel kepolisian kemudian meminta bantuan tiga
psikiater forensik untuk memeriksa kondisi Jessica. Polda Metro Jaya juga melibatkan
Kepolisian Federal Australia pada pengusutan kematian Mirna. "Ada informasi yang
sedang kami cari dari Kepolisian Australia," ujar Krishna. Berikut kronologi Kasus
Kopi Bersianida Wayan Mirna:

 Dua sahabat

Jessica dan Mirna merupakan teman sekampus di Billy Blue College of Design,
Sydney, Australia. Jessica adalah lulusan jurusan desain grafis kampus itu. Jessica
tinggal di Australia sejak 2008. Kepolisian menyebut Jessica jarang kembali ke
Indonesia karena orang tuanya pun menetap di Australia sejak 2005. Jessica pulang ke
Indonesia, 5 Desember 2015, untuk mencari pekerjaan. Sejak itu, ia menjalin
komunikasi dengan Mirna dan Hani dan sepakat untuk bertemu. Pertemuan pertama
Jesssica dan Mirna di Indonesia terjadi 12 Desember 2015. Saat itu Mirna mengajak
suaminya untuk bertemu Jessica di sebuah restoran. Pertemuan pertama itu berlanjut
ke pertemuan kedua yang berlangsung di Restoran Olivier.Olivier, menurut Jessica,
merupakan tempat yang ditentukan oleh Mirna. Sepulangnya dari Australia, Jessica
mengaku tidak mengetahui banyak lokasi kopi darat di Jakarta.

Pada pertemuan kedua di Restoran Olivier, Jessica tiba dua jam lebih awal dari
waktu yang ditentukan. Kepolisian mencatat, Jessica lantas memesankan es kopi
Vietnam sesuai permintaan Mirna, dan cocktail serta fashioned fazerac untuk dia dan
Hani. Es kopi vietnam yang ia pesan ternyata menewaskan Mirna. Hasil uji
laboratorium forensik Mabes Polri menunjukkan, kopi itu dibubuhi tiga gram racun
sianida, dosis yang dapat menewaskan lima orang sekaligus.

 Ekspose ke Kejaksaan

Sebelum menetapkan tersangka pada kasus Mirna, kepolisian dua kali mengekspose
hasil penyidikan mereka ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Pada ekspose pertama, Kejati menyatakan berkas penyidikan kasus Mirna tidak
lengkap. "Ada beberapa hal yang harus dilengkapi. Nanti (nama tersangka) harus ada
dalam berkas perkara," ujar Asisten Pidana Umum Kejati DKI Jakarta, Muhammad
Nasrun. Usai ekspose, Kepolisian diketahui telah menerbitkan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP) tanpa mencantumkan nama tersangka. Usai ekspose
kedua, Kepolisian dan Kejati mengaku telah mendapatkan hasil signifikan. Mereka
pun sepakat, gelar perkara bisa segera dilakukan. "Saya harus memimpin rapat dengan
rekan-rekan penyidik dan nanti setelah rapat itu apa yang diputuskan dalam gelar
perkara," ujar Krishna.

 Jessica dicekal

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian


Hukum dan HAM, Heru Santoso Ananta Yudha, mengatakan institusinya telah
menerbitkan surat cegah dan tangkal (cekal) ke luar negeri terhadap Jessica.

Pencekalan yang berlaku enam bulan atau hingga 26 Juni 2016 itu dilakukan atas
permintaan kepolisian melalui surat No.R/541/I/2016/DATRO tertanggal 26 januari
2016.

PENYELESAIAN :

 Jadi tersangka dan ditahan

Setelah ekpos kedua, kepolisian langsung melakukan gelar perkara hingga tengah
malam. Jumat (29/1), pada pukul 23.00 WIB, penyidik menetapkan Jessica menjadi
tersangka pembunuhan Mirna.

"Penetapan dilakukan sehabis gelar perkara, jam 11 malam," kata Krishna. Usai gelar
perkara itu, penyidik langsung mencari Jessica di rumahnya. Namun, rumah tersebut
kosong. Setelah ditelusuri, penyidik mengetahui keberadaan Jessica di sebuah Hotel
Neo, di kawasan Mangga Dua.

Sabtu (30/1), sekitar pukul 7.45 WIB, Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan Polda
Metro Jaya menangkap Jessica di hotel tersebut. Penyidik memeriksa Jessica kurang
lebih selama 12 jam. Keputusan penahanan diambil kepolisian karena mereka
khawatir Jessica akan melarikan diri, mengulang perbuatannya atau menghilangkan
alat bukti

"Penahanan berlaku untuk 20 hari. Jika penyidikan membutuhkan proses lanjutan,


kami akan meminta jaksa memperpanjang masa penahanan," kata Krishna.

Kepolisian menjerat Jessica dengan Pasal 340 pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana tentang pembunuhan berencana. Berdasarkan pasal itu, Jessica harus
menghadapi ancaman pidana penjara minimal selama lima tahun dan maksimal
selama 20 tahun atau hukuman mati.

Di sisi lain, Yudi mempertanyakan alat bukti yang digunakan polisi untuk menangkap
dan menahan kliennya. Ia menduga bukti itu rekaan belaka.

"Siapa yang melihat, mendengar, mengalami, Jessica menaruh sianida? Itu saja yang
perlu diungkap," katanya.

Pasal-Pasal Yang Terkait Kasus Kopi Mirna Adalah:

Ancaman pasal yang disangkakan kepolisian kepada pemberi racun Mirna tidak main-
main. Polisi menyiapkan pasal dengan ancaman hukuman maksimal, yaitu pasal
pembunuhan berencana.

(Pelaku) bisa disangkakan pasal pembunuhan berencana, bisa (Pasal) 340 (KUHP),
1. Hak untuk hidup
Sesuai dengan data yang ada, terdapat korban yang meninggal dunia atas nama
Wayan Mirna akibat mengalami tindak pembunuhan berencana. Berdasarkan hal
tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang merupakan
hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights)
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, Pasal 4 dan 9 UU 39
Tahun 1999 tentang HAM serta Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-hak
Sipik dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU 12 Tahun 2005.
2. Hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam
Berdasarkan kasus tersebut telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM
sebagaimana dijamin Pasal 33 ayat (1) UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 7
UU 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik, Pasal 16 ayat (1) UU 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak
Manusia atau Merendahkan Martabat Manusia.
2. Hak atas rasa aman
Peristiwa ini telah menyebabkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami
oleh keluarga korban serta masyarakat sekitar juga, terutama bagi pembela HAM.
Berdasar hal tersebut maka telah terjadi pelanggaran hak atas rasa aman
sebagaimana dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 30 UU 39 Tahun 1999
tentang HAM.

Anda mungkin juga menyukai