Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengurusi masalah
AIDS, memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004
adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari
HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan,
menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi,
pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS
menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan
respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan
untuk individu yang terinfeksi HIV.1
Pada tahun 2009, diperkirakan 860.000 wanita hamil ditemukan hidup
dengan HIV di Afrika Timur dan Selatan, lebih daripada di daerah lain di dunia.
Daerah ini juga mempunyai persentase yang tinggi, yaitu rata-rata 47% dari total
keseluruhan anak yang hidup dengan HIV, dimana lebih 90% yang terinfeksi
melalui penularan vertikal dari ibu ke bayi selama kehamilan, persalinan atau
menyusui.2 Tanpa pengobatan, sekitar 25% -50% dari ibu HIV-positif akan
menularkan virus ke bayi mereka selama kehamilan, bersalin, atau menyusui.3
Risiko penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dikurangi sampai kurang dari
5% melalui kombinasi langkah-langkah pencegahan penularan dari ibu ke anak
atau yang dikenal dengan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission),
termasuk terapi ARV (antiretroviral) untuk ibu hamil dan anak yang baru lahir.
PMTCT dimulai selama asuhan antenatal, ketika wanita melakukan tes HIV dan
menerima hasilnya bahwa dia positif HIV. Rekomendasi di bagian sub-Sahara
Afrika adalah terapi ARV diberikan pada wanita selama kehamilan, saat
persalinan, dan selama masa nifas atau sementara pemberian ASI eksklusif. Bayi
juga harus menjalani tes HIV secara berkala dan minum obat untuk mencegah
penularan virus sementara ia disusui.2

1
Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang
relatif baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika
pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara
relatif cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah
pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya penyebab defisiensi
imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang
kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1),
pada tahun 1985. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini
dapat menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala
hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan
kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus
ini pada orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak
mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat
diperkirakan jumlah kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat.2

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami secara umum tentang HIV

1.2.2. Tujuan Khusus


 Mengetahui dan memahami definisi HIV
 Mengetahui dan memahami epidemiologi HIV
 Mengetahui dan memahami etiologi HIV
 Mengetahui dan memahami patogenesis HIV
 Mengetahui dan memahami diagnosis HIV
 Mengetahui dan memahami penatalaksanaan HIV

1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi penulis
Melalui penulisan case ini diharapkan penulis dapat memahami penyakit
HIV terutama mengenai penegakan diagnosis dan penatalaksanaan. Selain itu,

2
case ini juga bermanfaat untuk memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Penyakit Dalam RSUD Solok tahun 2016.

1.3.2. Bagi Pembaca


Sebagai media informasi untuk menambah pengetahuan tentang penyakit
HIV mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis, diagnosis dan
penatalaksanaan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit
retrovirus epidemik, menular yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human
Immunodeficiency Virus), yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi
berat imunitas selular, dan mengenai kelompok risiko tertentu, termasuk pria
homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena, penderita
hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari individu
yang terinfeksi HIV, dan bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi virus tersebut. 4

2.2. Epidemiologi
Epidemiologi AIDS di Indonesia adalah salah satu yang paling cepat
berkembang di Asia. Kementrian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan bahwa
tanpa meningkatkan upaya pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan
dari masing-masing daerah jumlah ODHA diestimasikan naik menjadi 501.400
orang pada 2014 dari 227.700 ditahun 2008.
Hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011
menunjukan bahwa prevalensi HIV tertinggi terdapat di kelompok NAPZA (36%),
lalu diikuti kelompok waria, WPSL, LSL, narapidana, WPSTL, dan pria risti. Pola
tersebut hampir sama dengan STBP 2007. Bila dibandingkan dengan 2007,
prevalensi HIV di WPSL, WPSTL, pria risti dan waria tidak mengalami
perubahan. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi di kelompok LSL yaitu
meningkat 2-3 kalinya. Sementara itu, pada kelompok NAPZA mengalami
penurunan sebesar 10% (Jakarta) sampai dengan 20% (Medan). STBP 2011
melakukan pengukuran prevalensi IMS yaitu Sifilis, Klamidia, dan Gonore.
Prevalensi Sifilis tertinggi pada kelompok Waria (25%). Dibandingkan dengan
tahun 2007, prevalensi Sifilis mengalami penurunan pada kelompok WPSL dan
WPSTL (4-8 kali), kelompok waria (20%) dan pria risti (3%). Penurunan tersebut
terutama terjadi di lokasi-lokasi yang mendapatkan program Pengobatan

4
Presumtif Berkala (PPB). Hal yang berbeda terjadi pada kelompok LSL dimana
prevalensi Sifilis meningkat 2-5 kali dibanding tahun 2007.
Dalam triwulan juli sampai dengan September 2014 dilaporkan tambahan
HIV sebanyak 7.335 jiwa & AIDS sebanyak 176 jiwa. Jumlah HIV & AIDS yang
dilaporkan 1 Januari sampai dengan 30 September 2014 adalah 22.869 jiwa pada
HIV dan 1.876 pada AIDS. Secara kumulatif dari 1 April 1987 sampai dengan 30
September 2014 jumlah penderita HIV sebanyak 150.296 jiwa, jumlah penderita
AIDS sebanyak 55.799 jiwa dan kematian sebanyak 9.796 jiwa.

Tabel 1. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS

5
2.3. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang disebut HIV. Ini adalah suatu
virus RNA berbentuk sferis dengan diameter 1000 angstrom yang termasuk
retrovirus dari family Lentiviridae. Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau
envelop yang terdiri atas glikoprotein gp 120 yang melekat pada glikoprotein gp 4.
Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah
itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p 24. Didalam inti terdapat
komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase.6
Dikenal dua serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), dimana virus ini pertama kali
diisolasi oleh Luc Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983.
HIV-1, sebagai penyebab AIDS yang tersering, penyebarannya lebih luas di
hampir di seluruh dunia,sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari
Afrika barat dan Portugal dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic
virus tipe III (HTLV-III), lymphadenophaty associated virus (LAV) dan AIDS
associated virus. HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV
(Simian Immunodeficiency Virus). HIV 1 dan HIV 2 mempunyai inti yang mirip,
tetapi selubungnya berbeda.6

Gambar 1. Struktur dasar virus HIV

6
Cara penularan HIV adalah sebagai berikut:
 Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah
terinfeksi. Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat
dicegah.
 Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana
darah tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang
tidak steril.
 Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan
seseorang yang telah terinfeksi.
 Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa
kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui.

2.4. Patogenesis
Infeksi HIV memerlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul
CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel
tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling
banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada
limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel limfosit-T
sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T,
kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi
seuntai DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim
RNA-ase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk
mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA dengan bantuan enzim
polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke dalam
inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim
integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam
keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada
aktivitas dan deferensiasi sel pejamu (T-CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak
terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan mamacu terjadinya replikasi
dengan kecepatan tinggi.5

7
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau
ekspresi virus, yaitu pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang
cepat ini masih belum jelas, walaupun umumnya diduga dapat terjadi oleh karena
bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja melalui sitokin, baik yang
terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua sitokin
dapat memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat
menghambat replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya
ikut serta mengatur respons imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor
necrosis factor α dan β, interferon gamma, granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor dan macrophage colony-stimulating factor. Yang bersifat
menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor β, interferon α dan
β. 5
Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang
terdiri dari infeksi oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus,
virus hepatitis B, virus herpes simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell
lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman seperti mikoplasma. Oleh karena
sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam jaringan tanpa masuk ke dalam
sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat
menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh
karena itu, pada keadaan adanya gangguan imunologik, di dalam jaringan
(terutama di dalam kelenjar limfe) tetap dapat terjadi replikasi atau ekspresi
virus.5
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan organ
limfoid dapat dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik
melalui sirkulasi atau melalui mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam
kelenjar limfe regional. Di sini terjadi replikasi virus yang kemudian
menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain (multipel) yang dapat
menimbulkan limfadenopati subklinis.5
Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum
germinativum jaringan limfoid juga memberikan respon imun yang spesifik
terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan limfadenopati yang nyata akibat
hiperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh meningkatnya sel dendrit

8
folikular di dalam sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4. Akumulasi sel
limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat
proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi limfosit dari luar. Migrasi sel
T-CD4 dari luar inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam
sirkulasi secara tiba-tiba yang merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi
HIV akut. Di samping itu, sel limfosit-B menghasilkan berbagai sitokin yang
dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-CD4. 5
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan
komplemen terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik
folikular ini, pada respons imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang
terdapat di lingkungan sentrum germinativum dan menyajikannya kepada sel
imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami aktivasi dan
infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten
untuk waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat
berbagai stimulasi. Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi
ditemukan partikel HIV yang bebas oleh karena semuanya terdapat di dalam sel.
Hal lain yang dapat diamati adalah dengan progresivitas penyakit terjadilah
degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid
untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi.
Hal ini sudah tentu meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ
tubuh.5

9
Gambar 2. Siklus replikasi HIV

2.5. Diagnosis
Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium
meliputi uji imunologi dan uji virologi.

2.5.1. Tanda dan Gejala Klinis


Banyak orang dengan HIV-positif tidak memperlihatkan gejala. Seringkali
orang hanya mulai merasa sakit ketika masuk pada periode AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Kadang-kadang orang hidup dengan HIV melalui
periode sakit dan kemudian merasa baik-baik saja.
A. Tanda dan Gejala Tahap Awal atau Fase Akut Infeksi HIV
Pada 2-4 minggu awal setelah terpapar HIV (sampai 3 bulan
kemudian), seseorang dapat mengalami penyakit akut, sering digambarkan
sebagai flu berat. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut (ARS), atau
infeksi primer HIV, ini merupakan respon alami tubuh terhadap infeksi

10
HIV. Selama infeksi primer HIV, terjadi peningkatan virus yang beredar
dalam darah, yang berarti bahwa orang dapat lebih mudah menularkan
virus kepada orang lain. Gejalanya bisa berupa:7
 Demam
 Ruam
 Panas dingin
 Berkeringat di malam hari
 Nyeri otot
 Sakit tenggorokan
 Kelelahan
 Pembengkakan kelenjar getah bening
 Ulkus di mulut
Infeksi HIV akut terjadi segera setelah infeksi HIV, antibodi anti-
HIV tidak terdeteksi, sementara terdapat RNA HIV atau antigen p24.
Infeksi baru terjadi pada umumnya hingga 6 bulan setelah infeksi selama
antibodi anti-HIV terdeteksi. Sepanjang tahap ini merupakan infeksi awal
HIV atau merujuk ke infeksi HIV akut atau baru.7
Sekitar 40% sampai 90% diperkirakan pasien dengan infeksi HIV
akut akan mengalami gejala sindrom retroviral akut, ditandai dengan
demam, limfadenopati, faringitis, ruam kulit, mialgia/arthralgia, dan gejala
lainnya. Bagaimanapun juga infeksi HIV sering tidak terkenali karena
mirip dengan banyak infeksi virus lainnya, seperti influenza dan infeksi
mononukleosis. Infeksi akut juga dapat tanpa gejala.7
Selama periode infeksi, sejumlah besar virus sedang diproduksi
dalam tubuh. Virus ini menggunakan sel CD4 untuk meniru dan
menghancurkan sel. Oleh karena jumlah CD4 dapat menurun dengan cepat,
akhirnya respon imun memulai untuk membawa virus dalam tubuh
kembali ke suatu tingkat yang disebut set point virus, yang merupakan
tingkat relatif stabil virus dalam tubuh. Pada titik ini, jumlah CD4 mulai
meningkat, tapi mungkin tidak kembali ke tingkat pra-infeksi.7

11
B. Tanda dan Gejala Tahap Kronis atau Fase Laten Infeksi HIV
Setelah infeksi awal, virus menjadi kurang aktif dalam tubuh.
Selama periode ini, banyak orang tidak memiliki gejala infeksi HIV.
Periode ini disebut periode kronis atau fase laten. Periode ini bisa bertahan
sampai 10 tahun atau lebih. 7
Selama fase ini, diproduksi virus HIV yang rendah, meskipun
masih aktif. Seseorang dapat bertahan dengan terdeteksinya viral load dan
jumlah CD4 yang sehat tanpa menggunakan obat selama tahun-tahun pada
awal fase ini. Seseorang mungkin tidak memiliki gejala atau infeksi
oportunistik. Penting untuk diingat bahwa tubuh masih bisa menularkan
HIV kepada orang lain selama fase ini. Menjelang pertengahan dan akhir
periode ini, viral load mulai meningkat dan jumlah CD4 mulai turun. Oleh
karena itu tubuh akan mulai mengalami gejala konstitusional HIV sebagai
peningkatan virus dalam tubuh.7

C. AIDS
Seseorang akan didiagnosis AIDS karena jumlah sel CD4 mulai
menurun di bawah 200 sel/mm3 dalam darah. Jumlah CD4 normal adalah
antara 500 dan 1.600 sel/mm3. Ini adalah tahap infeksi yang terjadi ketika
sistem kekebalan tubuh rusak parah dan tubuh akan menjadi rentan
terhadap infeksi oportunistik. Tanpa pengobatan, orang yang didiagnosis
dengan AIDS biasanya bertahan sekitar 3 tahun. Setelah seseorang
memiliki infeksi oportunistik yang berbahaya, harapan hidup jatuh sekitar
1 tahun.7

D. Klasifikasi HIV/AIDS Menurut WHO


Penentuan stadium berdasarkan penemuan klinis yang didapatkan
dari diagnosis, evaluasi dan pengelolaan HIV/AIDS yang tidak disertai
hasil CD4.Stadium klinis dikategorikan dari stadium 1 sampai 4. Tahap ini
ditentukan oleh kondisi klinis dan gejala tertentu dan tidak bergantung
oleh jumlah CD4.

12
Tabel 2. Penentuan Stadium Berdasarkan Penemuan Klinis

Stadium Asimtomatik  Tidak ada penurunan berat badan


I  Tidak ada gejala atau hanya limfadenopati
generalisata
Stadium Sakit Ringan  Penurunan berat badan 5 – 10%
II  ISPA bereulang, misalnya sinusitis atau otitis
 Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
 Luka di sekitar bibir (keratitis angularis)
 Ulkus mulut berulang
 Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo –
PPE (pruritic papular eruption)
Stadium Sakit Sedang  Penurunan berat badan > 10%
III  Diare, demam yang tidak diketahui
penyebabnya lebih dari 1 bulan
 Kandidosis oral atau vaginal
 Oral hairy leukoplakia
 TB paru dalam 1 tahun terakhir
 Infeksi bacterial yang berat (pneumoni,
piomiositis, dll.)
 TB limfadenopati
 Gingvitis / periodontitis ulseratif nekrotikan
akut
 Anemia (Hb < 8 g/dL), neutropenia ( <
5000/mL), trombositopeni kronis ( <
50.000/mL)
Stadium Sakit Berat  Sindroma wasting HIV
IV (AIDS)  Pneumonia pnemosistis, pneumonia bacterial
yang berat berulang
 Herpes simpleks ulseratif lebih dari 1 bulan
 Kandidosis esophageal

13
 TB ekstra paru
 Sarkoma Kaposi
 Retinitis Cytomegalovirus
 Abses otak Toksoplasmosis
 Ensefalopati HIV
 Meningitis Kriptokokus
 Infeksi mikrobakteria non-TB meluas
 Lekoensefalopati multifocal progresif (PML)
 Peniciliosis, kriptosporidosis kronis,
isoproriasis kronis, mikosis meluas,
histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis
 Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin
(gangguan fungsi neurologis dan tidak sebab
lain seringkali membaik dengan terapi ARV)
 Kanker serviks invasive
 Leismaniasis atipik meluas
 Gejala neuropati atau kardiomiopati terkait
HIV

2.5.2. Pemeriksaan Laboratorium


Tes laboratorium diagnostik HIV harus dilakukan secara lengkap.
Pengujian asam nukleat HIV (NAT) untuk mendeteksi RNA HIV atau DNA HIV
dianjurkan untuk menetapkan diagnosis infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV-1. Dokter harus menggunakan tes antibodi HIV dengan konfirmasi
Western blot atau uji imunofluoresensi secara tidak langsung untuk menetapkan
diagnosis infeksi HIV kronis. Tes skrining antibodi HIV termasuk enzim
immunoassay (ELISA/EIA), chemiluminescent immunoassay (CIAS), dan Rapid
tes.7

14
Gambar 3. Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa

Tabel 3. Interpretasi dan Tindak Lanjut Hasil Tes A1

15
Pasien dengan hasil tes antibodi HIV negatif, harus melakukan
pengulangan tes selanjutnya pada 3 bulan kemudian. Bagi individu yang pada tes
HIV mempunyai hasil negatif pada 3 bulan tetapi terus terlibat dalam perilaku
risiko tinggi, maka dokter harus mendiskusikan strategi harm reduction yang
berorientasi pada tujuan, termasuk rujukan untuk layanan konseling, dan
pengulangan tes HIV setidaknya setiap 3 bulan. Dokter harus mengevaluasi
pasien infeksi HIV akut, terutama ketika mereka datang dengan demam, flu, atau
seperti penyakit yang tidak dapat dijelaskan. Termasuk mereka yang datang
dengan kriteria dibawah ini:7
 Mereka yang melaporkan telah melakukan kontak seksual dengan
pasangan yang diketahui terinfeksi HIV atau pasangan yang tidak
diketahui status HIVnya terdahulu.
 Pria yang melaporkan memiliki hubungan seksual yang tidak aman dengan
pria lain.
 Mereka yang pernah melakukan penggunaan jarum suntik secara
bergantian.
 Mereka yang datang dengan infeksi menular seksual yang baru di
diagnosa.
 Mereka yang datang dengan meningitis aseptik.
 Pasien hamil atau menyusui.

Jika diduga infeksi HIV akut, maka dilakukan tes skrining serologis HIV yaitu
tes HIV RNA plasma assay. Tes RNA plasma assay dilakukan jika tes skrining
serologis adalah negatif. Dilakukan tes kombinasi generasi keempat yang
merupakan tes skrining serologis, jika:7
 Deteksi HIV RNA atau tidak adanya antibodi HIV harus dianggap sebagai
hasil positif awal, tes HIV RNA dari spesimen baru harus diulang segera
untuk mengkonfirmasi adanya HIV RNA.
 Tes HIV RNA harus diulang untuk menyingkirkan hasil positif palsu
ketika hasil kuantitatif memberikan hasil yang rendah (<5.000 kopi / mL)
dari tes HIV RNA dilaporkan tidak adanya bukti serologis infeksi HIV.

16
Tes HIV serologis harus diulang 2 sampai 3 minggu setelah diagnosis. Tes
HIV RNA dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi. Namun, dokter tidak harus
menunggu hasil tes serologis untuk konfirmasi adanya infeksi HIV dan untuk
memulai terapi ARV. Ketika wanita hamil didiagnosis dengan infeksi HIV akut
melalui tes HIV RNA disarankan untuk segera memberikan terapi ARV.7
Ketika dicurigai infeksi HIV akut, segera lakukan tes viral load HIV,
diikuti oleh tes antibodi. Kemudian dilakukan konfirmasi 3 sampai 6 minggu.
Kebanyakan tes HIV RNA akan mendeteksi infeksi HIV akut 7 sampai 14 hari
setelah terpapar HIV. 7
A. Tes Antibodi
Deteksi antibodi HIV adalah metode yang paling umum untuk
mendiagnosis infeksi HIV pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia
> 18 bulan. Antibodi ini biasanya terdeteksi dalam waktu 3 sampai 6
minggu setelah infeksi, dan hampir semua individu serokonversi terjadi
pada minggu ke-12. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, antibodi
mungkin tidak terdeteksi selama berbulan-bulan. Jika keadaan ini terjadi,
maka tes harus ditindaklanjuti dengan tes antibodi HIV pada 3 bulan
kemudian untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada individu dengan
eksposur baru. 7
Pengujian serologis saat ini dilakukan dengan alat tes skrining
yang sangat sensitif yaitu, ELISA / EIA, CIA, atau Rapid tes dan spesimen
positif awal ditindaklanjuti dengan uji konfirmasi yang sangat spesifik
yaitu, Western Blot. Tes antibodi juga dapat dilakukan pada cairan oral
dan sampel urin. Istilah "reaktif," "tidak reaktif," dan "tak tentu"
digunakan untuk menggambarkan hasil pemeriksaan dari tes konfirmasi. 7
 Rapid Tes
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG
antibodi terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi
partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi.
ELISA tidak dapat digunakanuntuk mengkonfirmasi hasil rapid tes dan
semua hasil rapid tes reaktif harusdikonfirmasi dengan Western blot
atau IFA.

17
 Western Blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil
serologi rapidtes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western
blot menemukankeberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1
spesifik (struktural danenzimatik). Western blot dilakukan hanya
sebagai konfirmasi pada hasil skriningberulang (ELISA atau rapid tes).
Hasil negative Western blot menunjukkanbahwa hasil positif ELISA
atau rapid tes dinyatakan sebagai hasil positif palsudan pasien tidak
mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positifmenunjukkan
keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari
18bulan.
 Penurunan Sistem Imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,
sebagianbesar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan
CD4 telah terbukti dapatdipakai sebagai petunjuk perkembangan
penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurunsecara bertahap selama
perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktuke waktu
rata-rata 100 sel/tahun.

B. Tes Identifikasi Virus


 DNA Polymerase Chain Reaction (PCR DNA)
Pemeriksaan PCR DNA digunakan hanya untuk
mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi
HIV-1. Semua PCR DNA dengan hasil positif harus dikonfirmasi
dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Tes PCR
DNA merupakan cara yang paling terkenal untuk amplifikasi asam
nukleat. Prosedur kualitatif ini sangat sensitif karena dapat
mendeteksi antara 1 dan 10 salinan provirus DNA HIV-1 per
sampel. Karena sensitivitas yang sangat tinggi dalam pengujian ini,
sejumlah kecil masalah noise dalam lingkungan atau kontaminasi
selama proses di laboratorium dapat menyebabkan amplifikasi
produk yang dapat menghasilkan reaksi positif palsu. Semua hasil

18
awal PCR DNA yang bernilai positif memerlukan konfirmasi
dengan tes PCR DNA kedua pada spesimen terpisah. Saat ini,
penggunaan diagnostik PCR DNA HIV-1 hanya direkomendasikan
untuk mendeteksi infeksi pada bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV-1.7
 Tes HIV RNA Plasma
Merupakan tes viral load HIV yang harus digunakan
bersamaan dengan tes antibodi HIV-1, tes ini berguna untuk
mendiagnosis infeksi HIV akut atau primer. Riwayat alami
terinfeksi HIV akut dapat beraneka ragam sehingga antibodi
mungkin tidak terbentuk pada saat timbulnya gejala (2 sampai 6
minggu setelah paparan). Tes antibodi dari pasien ini akan sering
memberikan hasil negatif lemah atau positif lemah pada
pemeriksaan ELISA dan negatif pada pemeriksaan Western Blot.
Namun, tingkat viral load yang sangat tinggi selama infeksi akut,
biasanya mulai dari 100.000 sampai lebih dari 10 juta kopi / mL,
dan terdeteksi sekitar 2 minggu sebelum serokonversi. 7

19
2.6. PENATALAKSANAAN

Gambar 4. Bagan Alur Layanan HIV

20
2.6.1 Tatalaksana setelah ditegakkan diagnosa HIV
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan
PDP untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium
klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi. Hal tersebut dilakukan untuk:
1) menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi antiretroviral;
2) menilai status supresi imun pasien; 3) menentukan infeksi oportunistik yang
pernah dan sedang terjadi; dan 4) menentukan paduan obat ARV yang sesuai.9

A. Penilaian Stadium Klinis


Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali
kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
.
B. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.
Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang
memerlukan pengobatan profilaksis IO dan terapi ARV. Rata-rata penurunan CD4
adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian
ARV antara 50 – 100 sel/mm/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat
menggantikan pemeriksaan CD4.9

C. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi


Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan
mutlak untuk menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga
bukan kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV,
namun pemantauan laboratorium atas indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan
untuk memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi
ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan melakukan
pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal
terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.9

21
Tabel 4. Pemeriksaan Laboratorium yang Ideal Sebelum Memulai ART

D. Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV


Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang
dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur
hidupnya. Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah
CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol
(1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini
dimaksudkan untuk: 1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan 2.
Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol
dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping
yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.

E. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)


Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan
pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan,
yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
 Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.

22
 Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang
pernah diderita sebelumnya
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi
bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang
disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP). Pemberian kotrimoksasol untuk
mencegah (secara primer maupun sekunder) terjadinya PCP dan Toxoplasmosis
disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK).9

PPK dianjurkan bagi:


 ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan
hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam
jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala
klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang
memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan
profilaksis kotrimoksasol.
 ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia
pemeriksaan dan hasil CD4).

Tabel 5. Pemberian Kotrimoksasol sebagai Profilaksis Primer

23
Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP
atau Toxoplasmosis selesai dan diberikan selama 1 tahun.

ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah


200 sel/mm3; dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu
sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) mengkaji kepatuhan
pasien dalam minum obat dan 2) menyingkirkan efek samping yang
tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat
bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan
efek samping kotrimoksasol.

1. Desensitisasi Kotrimoksasol
Dalam keadaan terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap Kotrimoksasol dan
kemudian akan memulai lagi maka perlu dilakukan desensitisasi obat. Angka
keberhasilan desensitisasi kotrimoksasol cukup tinggi yaitu 70% dari ODHA yang
pernah mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang. Desensitisasi jangan
dicobakan pada ODHA dengan riwayat mengalami reaksi alergi yang berat
(derajat hipersensitivitas 3 atau 4), berarti ODHA tidak memperoleh terapi
profilaksis. Untuk itu perlu pengawasan ketat sebelum timbul infeksi oportunistik
terkait dan mulai pemberian ARV untuk mencegah pasien masuk dalam fase
lanjut.9

24
Tabel 6. Protokol Desensitisasi Kotrimoksasol

Selain protokol desensitisasi seperti di atas, terdapat Desensitisasi cepat


kotrimoksasol yang dapat dilakukan dalam waktu 5 jam (dilakukan pada pasien
rawat jalan), dengan protokol sebagai berikut:

Tabel 7. Protokol Desensitisasi Cepat Kotrimoksasol

2.6.2 Tatalaksana Pemberian ARV


A.Saat Memulai Terapi ARV
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah
CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut
adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi
antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi
ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4.
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai
terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.

25
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4
<350sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.9

Tabel 8. Saat Memulai Terapi pada ODHA Dewasa

B. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang Aktif
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu
pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini.
Tabel 9. Tatalaksana IO sebelum Memulai Terapi ARV

C. Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV
berdasarkan pada 5 aspek yaitu:

26
 Efektivitas
 Efek samping / toksisitas
 Interaksi obat
 Kepatuhan
 Harga obat

Prinsip dalam pemberian ARV adalah


1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan
berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas
penggunaan obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
akses pelayanan ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.9

1. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama


Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:

2 NRTI + 1 NNRTI

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
Tabel 10. Obat ARV Lini Pertama

27
Tabel 11. Paduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa
yang Belum Pernah Mendapat Terapi ARV

D. Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan Paduan terapi


ARV 9

1. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase


Inhibitor (NNRTI)
Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14
hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC.
Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap
12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya.Mengawali terapi dengan dosis rendah
tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP menginduksi
metabolismenya sendiri.
Dosis awal tersebut juga mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis
oleh karena NVP yang muncul dini.Bila NVP perlu dimulai lagi setelah
pengobatan dihentikan selama lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali
pemberian dosis awal yang rendah tersebut.

28
Cara menghentikan paduan yang mengandung NNRTI
1. Hentikan NVP atau EFV
2. Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah penghentian
Nevirapine dan Efavirenz, (ada yang menggunakan 14 hari setelah
penghentian Efavirenz) kemudian hentikan semua obat. Hal tersebut guna
mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan risiko
resistensi NNRTI.9

Penggunaan NVP dan EFV


1. NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara
2. Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat lain,
dan harga
3. NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom StevenJohnson
dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.
4. Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus
dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi
5. Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika
NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan selama 3
bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama
6. Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4 >250
sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya danpada laki-laki
dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidakdiketahui jumlah CD4-
nya.
7. Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitudiberikan
satu kali sehari selama 14 hari pertama kemudiandilanjutkan dengan 2 kali
sehari.
8. EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,
hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia dibandingkan
NVP
9. Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat
(SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat
teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester

29
dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringandan hilang sendiri tanpa
harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan meskipun
biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut dapat bertahan
beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien
10. EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik berat,
pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan trimester
pertama.
11. EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV yang
mendapat terapi berbasis Rifampisin.Dalam keadaan penggantian
sementara dari NVP ke EFV selama terapi TB dengan Rifampisin dan
akan mengembalikan ke NVP setelah selesai terapi TB maka tidak perlu
dilakukan lead-in dosing.9

2. Pilihan pemberian Triple NRTI


Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat
menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
 Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
 Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
 Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah

AZT+3TC +TDF

Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya,setelah itu


pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat.9

3. Penggunaan AZT dan TDF


1. AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal
2. Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4
yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemioleh penggunaan
AZT

30
3. Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi,yaitu antara
lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIVyang lanjut
4. TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas
dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar
0.5% sampai 2%
5. TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit data
tentang keamanannya pada kehamilan
6. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian satu
kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA9

4. Perihal Penggunaan d4T


Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun
waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan data
laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat terjangkau
dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti Zidovudin (terapi ARV),
Tenofovir(TDF) maupun Abacavir (ABC).Namun dari hasil studi didapat data
bahwa penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen yang bermakna,
antara lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat
asidosis yang menyebabkan kematian.Efek samping karena penggunaan d4T
sangat berkorelasi dengan lama penggunaan d4T (semakin lama d4T digunakan
semakin besar kemungkinan timbulnya efek samping). WHO dalam pedoman
tahun 2006 merekomendasikan untuk mengevaluasi penggunaan d4T setelah 2
tahun dan dalam pedoman pengobatan ARV untuk dewasa tahun 2010
merekomendasikan untuk secara bertahap mengganti penggunaan d4T dengan
Tenofovir (TDF).
Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah
memutuskan sebagai berikut:
1. Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi dan
belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya

31
2. Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek
samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti setelah
6 bulan
3. Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka sebagai
obat substitusi gunakan TDF.
4. Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk
dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan
penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak
menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis. 9

5. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)


Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk
terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini
Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan
NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak
menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya
yang masih terbatas.9

6. Paduan Obat ARV yang Tidak Dianjurkan

Tabel 12. Paduan ARV yang Tidak Dianjurkan

32
E. Sindrom Pulih Imun (SPI - immune reconstitution syndrome = IRIS)
Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution Inflammatory
Syndrome (IRIS) adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respons
inflamasi berlebihan pada saat pemulihan respons imun setelah pemberian terapi
antiretroviral. Sindrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk penyakit
infeksi maupun non infeksi. Manifestasi tersering pada umumnya adalah berupa
inflamasi dari penyakit infeksi. Sindrom pulih imun infeksi ini didefinisikan
sebagai timbulnya manifestasi klinis atau perburukan infeksi yang ada sebagai
akibat perbaikan respons imun spesifik patogen pada ODHA yang berespons baik
terhadap ARV.
Mekanisme SPI belum diketahui dengan jelas, diperkirakan hal ini
merupakan respon imun berlebihan dari pulihnya sistem imun terhadap
rangsangan antigen tertentu setelah pemberian ARV.
Insidens sindrom pulih imun secara keseluruhan berdasarkan analisis
adalah 16.1%. Namun, insidens ini juga berbeda pada tiap tempat, tergantung
pada rendahnya derajat sistem imun dan prevalensi infeksi oportunistik dan
koinfeksi dengan patogen lain.
Pada saat ini dikenal dua jenis SPI yang sering tumpang tindih, yaitu
sindrom pulih imun unmasking (unmasking IRD) dan sindrom pulih imun
paradoksikal. Jenis unmasking terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosis dan
tidak mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan langsung mendapatkan
terapi ARV-nya. Pada jenis paradoksikal, pasien telah mendapatkan pengobatan
untuk infeksi oportunistiknya.Setelah mendapatkan ARV, terjadi perburukan
klinis dari penyakit infeksinya tersebut.
Manifestasi klinis yang muncul sangat bervariasi dan tergantung dari
bahan infeksi atau non-infeksi yang terlibat, sehingga diagnosis menjadi tidak
mudah. Pada waktu menegakkan diagnosis SPI perlu dicantumkan penyakit
infeksi atau non infeksi yang menjadi penyebabnya (misal IRIS TB, IRIS
Toxoplasmosis). International Network Study of HIV-associated IRIS (INSHI)
membuat konsensus untuk kriteria diagnosis sindrom pulih imun sebagai berikut.
1. Menunjukkan respons terhadap terapi ARV dengan:
a. mendapat terapi ARV

33
b. penurunan viral load > 1 log kopi/ml (jika tersedia)
2. Perburukan gejala klinis infeksi atau timbul reaksi inflamasi yang terkait
dengan inisiasi terapi ARV
3. Gejala klinis tersebut bukan disebabkan oleh:
a. Gejala klinis dari infeksi yang diketahui sebelumnya yang telah
berhasil disembuhkan (Expected clinical course of a previously
recognized and successfully treated infection)
b. Efek samping obat atau toksisitas
c. Kegagalan terapi
d. Ketidakpatuhan menggunakan ARV

Beberapa faktor risiko terjadinya SPI adalah jumlah CD4 yang rendah
saat memulai terapi ARV, jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat memulai terapi
ARV, banyak dan beratnya infeksi oportunistik, penurunan jumlah virus RNA
HIV yang cepat selama terapi ARV, belum pernah mendapat ARV saat diagnosis
infeksi oportunistik, dan pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi
oportunistik dan memulai terapi ARV.Tatalaksana SPI meliputi pengobatan
patogen penyebab untuk menurunkan jumlah antigen dan meneruskan terapi ARV.
Terapi antiinflamasi seperti obat antiiflamasi non steroid dan steroid dapat
diberikan. Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid belum pasti, berkisar
antara 0,5- 1 mg/kg/hari prednisolon.9
Tabel 13. Penyakit Infeksi dan Non-Infeksi Penyebab SPI pada
ODHA

34
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu


sindrom/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang
menyerang sistem pertahanan tubuh. Dengan rusaknya system kekebalan, maka
orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit lain yang berakibat fatal, yang
dikenal dengan infeksi opportunistik.Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus
golongan retroviridae, genus lenti virus.Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2.
Target utama virus HIV adalah reseptor CD4++ yang terdapat di
membran sel T, serta pada makrofag dan sel dendritik folikel yang
terdapat di system saraf dan jaringan limfoid. Penularan HIV terjadi melaui
hubungan seksual (homoseks, heteroseks), transfusidarah yang mengandung HIV,
penyalahgunaan obat terlarang IV, dan secara vertical dari ibu kepada bayi
melalui plasenta atau ASI. Terdapat empat fase infeksi HIV, yaitu infeksi akut
primer (serokonversi), fase asimptomatik, fase asimptomatik dini, fase
asimptomatik lanjut.
Untuk menegakkan diagnosa HIV/AIDS dapat ditentukan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan serologi HIV.
Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metoda ELISA/EIA
(enzyme linked immunoadsorbent assay). Pemeriksaan ELISA harus
menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai
metoda Western Blot. ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat
spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.
Penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri dari Pengobatan Pencegahan
Kotrimoksasol (PPK) yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder dan
pemberian ARV(Antiretroviral). Pengobatan ini hanya memperpanjang hidup tapi
tidak akan menghilangkan virus HIV.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Penyakit


Menular.2010.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo d/a
Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2010
2. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. 2010. Human
Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R,
Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom,
K D. 2010.Penyakit Menular Seksual. Dalam: Cunningham F G, Gant N F,
Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D. Obstetri Williams.
Jakarta: EGC.
4. Sundaru H, Djauzi S, Mahdi D, Sukmana N, Renggaris I, Karyadi TH. 2010.
Infeksi HIV/AIDS. Dalam: Rani AA, Soegondo S, Nazir AU, Wijaya IP,
Nafrialdi, Mansjoer A (eds). Jakarta : Panduan pelayanan medik perhimpunan
dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. PB PAPDI,
5. Isselbacher, J Kurt. dkk. 2011. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison.
Editor: Ahmad H. Asdie. Volume 4, Edisi 13. Jakarta: EGC.
6. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. 2008. Kebijakan PMTCT
Indonesia: PMTCT.net
7. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2014:
epidemiology graphs and charts. Geneva. 2014.
8. Anonim. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi terbaru dari
WHO. 2013.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2011. Pedoman nasional
tatalaksana klinis infeksi terapi antiretroviral pada orang dewasa. Jakarta :
DEPKES RI
10. Sudoyo,W.Aru dkk.2010..Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II V .Jakarta :
Internal Publishing.

36

Anda mungkin juga menyukai